31 Mei 2013

Pancasila dan Pemuda Indonesia

Prayogo Kurnia
Pegiat Kultural KAMMI UNS

Pemuda merupakan seorang anak manusia dimana ia memiliki semangat tinggi untuk mencari jati dirinya. Beberapa orang mengatakan bahwa usia muda adalah dimana seorang manusia sedang labil dan memiliki rasa ingin tau tinggi untuk mecoba sesuatu baru. Kondisi psikis pemuda mempengaruhi arah masa depan dari pemuda itu nantinya. 

Usia muda hanya sekali saja, dimana kita masih bisa melakukan apapun sesuai kesenangangan kita tanpa ada kendala fisik dalam hal ini tenaga yang masih fit. Tak kelak maka dulu Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno mengucapkan “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut gunung Semeru, berikan aku 10 pemuda revolusioner akan kuguncangkan dunia”. Ini dikatakannya mengingat bahwa kelompok pemuda dapat dijadikansosok andalan oleh suatu bangsa.

Terkadang kita memandang sebelah mata oleh apa yang dilakukan oleh pemuda. Dengan anggapan belum memiliki pengalaman hidup dan masih sedikitnya ilmu yang dimiliki pemuda, banyak penilaian bahwa pemuda masih belum bisa melakukan apapun apalagi membuat sebuah perubahan. Tapi pemuda tidaklah harus terima begitu saja dengan alasan – alasan tersebut. Bangsa ini pernah mencatatkan sejarah di dunia pergerakan kemerdekaan dimana banyak sejarah yang dimotori oleh pemuda Indonesia.

30 Mei 2013

Meneguhkan Otonomi: KAMMI dan Proyek Intelektual Kolektif (Catatan untuk Yusuf Maulana)

Bowo Sugiarto
Alumni KAMMI
  
Paling tidak ada dua isu yang digarisbawahi oleh Yusuf Maulana (YM) dalam tulisannya ‘KAMMI, dan Elaborasi Masyarakat Sipil’, yaitu tentang adanya kecenderungan mahasiswa menjadi semakin apolitis dan masalah independensi KAMMI dengan partai politik. Isu kedua sebenarnya sudah selesai jika kita mengacu ke konstitusi KAMMI. Faktanya sampai sekarang masih menjadi “hantu” yang mewarnai hari-hari sebagian aktivis KAMMI. 

Kata ‘sebagian’ perlu ditekankan karena bagi sebagian yang lain itu mungkin bukan sesuatu yang strategis untuk dibicarakan, baik karena dianggap isu basi, memang sudah selesai atau bahkan sesuatu yang tabu untuk didiskusikan. Tulisan ini sendiri, alih-alih mendiskusikan problem independensi itu secara khusus, justru hendak menawarkan jalan lain untuk memecah kebuntuan psiko-legal tersebut.

Jalan yang akan ditawarkan itu sekaligus berguna untuk membuka pintu jawaban terhadap isu pertama yang disampaikan oleh YM. Saya akan meminjam konsep Louis Althusser tentang karakter kekuasaan negara dalam sebuah masyarakat kapitalis untuk menggarisbawahi kekeliruan cara pandang awam tentang politik. Althusser secara jelas menyebutkan bahwa dalam negara kapitalis, selain keluarga, Aparat Ideologis Negara yang berperan sangat besar dalam melanggengkan dominasi kelas borjuis adalah lembaga pendidikan. Urgensi soal peran lembaga pendidikan dalam melanggengkan ketidaksetaraan sosial juga disampaikan oleh Pierre Bourdieu. 

Dalam upaya melawan penindasan atau ketidaksetaraan itu, Bourdieu menganjurkan para intelektual untuk melakukan intervensi politis lewat apa yang disebutnya dengan intelektual kolektif. Gagasannya soal intelektual kolektif inilah yang diharapkan menjadi inspirasi bagi KAMMI mendobrak kebuntuan masalah psiko-legal yang dihadapinya.

15 Mei 2013

Banjir dan Suara Diam Gerakan Mahasiswa

Oleh : Yusuf Maulana*   
*Pendamping Ideologis Pegiat KAMMI Kultural 

Banjir yang terjadi di Jakarta dan daerah di sekitarnya tidak hanya menyita perhatian aparat pemerintah, namun juga gerakan mahasiswa (GM). Jika warga biasa mengkritik penanganan bencana pemerintah, aktivis GM punya cara sendiri untuk melakukannya: berdemonstrasi. Jika warga, perusahaan hingga partai politik berjibaku menyalurkan bantuan kepada para korban, aktivis GM tidak mau tertinggal: menjadi relawan kemanusiaan. Pendek kata, apa yang dilakukan warga atau aparat, GM telah melakukan pula; tidak relevan lagi, mana yang mengawali, mana yang meniru.


Keterlibatan GM dalam bencana alam seperti banjir Jakarta beberapa waktu lalu memang suatu tindakan terpuji. Masih ada harapan untuk memercayai mereka dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah krisis kepercayaan terhadap mereka. Apatisme terhadap kiprah mahasiswa atau GM, seperti yang dilontarkan banyak pihak belakangan ini, setidaknya bisa dikurangi dengan adanya kegiatan seperti menjadi relawan. 

KAMMI dan PKS [atau Mengapa Dobby bisa Menjadi Peri-Rumah yang Bebas] (Bagian IV-Habis))

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Pegiat KAMMI Kultural Jogja 

Bagian Keempat dari Empat Tulisan 

Relasi KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup, problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak, intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru menyiratkan hal yang sebaliknya.

“Dobby si-Peri-Rumah”
Bagi yang pernah membaca serial Harry Potter pasti akan bertemu dengan figur makhluk aneh bernama ‘peri-rumah’ (house-elves). Peri-rumah adalah makhluk yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani penyihir. Ia tinggal di rumah-rumah para bangsawan penyihir, dan hidup sebagai pelayan dalam keluarga mereka. Para penyihir ‘darah-murni’ biasanya memiliki peri-rumah. Hukum tertinggi mereka adalah ‘ketundukan terhadap para majikan’ dan ‘hasrat’ mereka adalah menyenangkan dan melayani dengan sepenuh hati para majikannya.

Peri-rumah menjadi metafor yang sangat baik untuk menggambarkan KAMMI. Jelas, peri-rumah adalah subjek –ia adalah ‘sesuatu’/makhluk. Namun, hasratnya diinterpelasi sedemikian rupa hingga hasratnya adalah bekerja memberikan pelayanan kepada tuannya. KAMMI juga demikian. Ia telah mengalami proses subjektivikasi secara historis yang membuatnya menjadi ‘sesuatu’. Ini yang membedakannya, misalnya, dari Gema Keadilan atau sayap-sayap pemuda yang memang dibentuk secara spesifik oleh partai. Namun, sama halnya dengan peri-rumah, hasratnya diinterpelasi sedemikian rupa dalam diskursus “Sang-Pekerja” yang dibuat sebagai jalan untuk menuju diskursus “Sang-Penikmat” –dari PKS.

KAMMI dan PKS [atau Mengapa Dobby bisa Menjadi Peri-Rumah yang Bebas] (Bagian III)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Pegiat KAMMI Kultural Jogja 

Bagian Ketiga dari Empat Tulisan

Relasi KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup, problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak, intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru menyiratkan hal yang sebaliknya.

Diskursus “Sang Penikmat”
Lantas, bagaimana cara PKS membangkitkan hasrat KAMMI hingga ia memiliki kerinduan mendasar untuk mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan apa yang diinginkan PKS? Subjek Lacanian, berbeda dengan Subjek Foucauldian, adalah subjek yang sepenuhnya sadar untuk menyerahkan dirinya pada Sang-Ayah. Oleh sebab itu, proses penundukan tidak dilakukan melalui suruhan atau koersi, melainkan melalui  hasrat. Proses interpelasi hasrat itulah yang akan kita bicarakan pada bagian ini.

Ada dua jenis hasrat: hasrat narsistik yang berbentuk aktif dan pasif, serta hasrat anaklitik yang juga berbentuk aktif dan pasif. ‘Hasrat narsistik’, sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah ‘hasrat untuk menjadi’ (wants-of-being). Hasrat untuk mendapat pengakuan atas diri dari The-Other. Hasrat narsistik aktif artinya ia berupaya untuk mengimitasi The-Other—menjadi Orang Lain. Sebagai contoh, KAMMI yang ingin menjadi Hassan Al-Banna atau Syabaab Ikhwan dan mengimitasinya. Sementara hasrat narsistik pasif artinya ia berupaya untuk mendapatkan cinta dari The-Other, semisal KAMMI yang ingin mendapatkan cinta/pengakuan diri dari PKS.

KAMMI dan PKS [atau Mengapa Dobby bisa Menjadi Peri-Rumah yang Bebas] (Bagian II)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Pegiat KAMMI Kultural Jogja 
  
Bagian Kedua dari Empat Tulisan
Relasi KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup, problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak, intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru menyiratkan hal yang sebaliknya.


KAMMI: ‘Sang-Aku’
Dengan melihat analisis Lacan di atas, kita bisa berargumen bahwa relasi ‘ayah dan anak’, yang dalam bahasa Ilmu Politik digambarkan sebagai ‘relasi patron-klien’ menggambarkan bahwa ada semacam konstruksi budaya (Phallus) yang mendisiplinkan klien dan menjadikannya berada pada sebuah sistem penandaan tertentu. Begitu juga ketika kita membaca relasi KAMMI dan PKS. Tak diragukan lagi, walaupun elit-elit KAMMI menyatakan bahwa KAMMI bersifat independen dan tak berhubungan dengan PKS, relasi yang ditumbuhkan bersifat klientelistik; terlihat dari peran sentral alumni yang berada di PKS dalam mengendalikan aksi-aksi gerakan KAMMI (lihat Kurniawan, 2013; Machmudi, 2006; Muhtadi, 2012).

Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah, mengapa dengan relasi klientelistik tersebut, mengapa proses kultural tersebut bertahan hingga kini? Dan mengapa relasi kultural ini mengakar sedemikian rupa, hingga jarang sekali ada kader KAMMI yang berani mempertanyakannya, dan dengan demikian menutup kemungkinan perubahan? Pada titik ini, kritik kebudayaan yang ditawarkan melalui psikoanalisis Lacanian menjadi cukup relevan untuk membongkar praktik-praktik diskursif tersebut.

KAMMI dan PKS [atau: Mengapa Dobby Bisa Menjadi Peri-Rumah yang Bebas] (Bagian I)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Pegiat KAMMI Kultural Jogja 

Bagian Pertama dari Empat Tulisan

Relasi KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup, problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak, intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru menyiratkan hal yang sebaliknya.

Tulisan ini berniat untuk menyingkap, mengapa hubungan KAMMI dan PKS selama ini bagaikan ‘anak’ dan ‘ayah’; seluruh artikulasi KAMMI hampir selalu berada dalam pola permainan yang digariskan oleh sang ‘ayah’. Kasus Muktamar Luar Biasa di tahun 2009, misalnya, mencerminkan praktik pendisiplinan ketika KAMMI melakukan sesuatu yang melanggar perintah PKS dengan bermanuver mendukung  salah satu calon presiden yang tidak direstui oleh PKS. Praktik serupa terjadi baik dari tingkat komisariat hingga pusat.

Relasi antara KAMMI dan PKS yang menyerupai ‘anak dan ayah’ ini akan sangat relevan jika kita dipandang dalam perspektif psikoanalisis yang diajukan oleh Jacques Lacan. Yang menarik dari Lacan adalah bahwa setiap perilaku individual tidak dipahami dari ‘apa yang ia lakukan’ secara sadar, melainkan pada konstruksi ketidaksadaran yang menyebabkan ia melakukan hal tersebut. Bagi Lacan, ketidaksadaran berstruktur seperti Bahasa (Bracher, 2005). Untuk itu, melihat relasi KAMMI dan PKS dalam ruang ketidaksadaran akan memberikan kita sebuah penjelasan yang lebih adequat mengenai ‘independensi KAMMI’.

KAMMI, dan Elaborasi Masyarakat Sipil (Prawacana untuk Muktamar KAMMI)

Oleh : Yusuf Maulana

Bagi publik yang pernah terlibat dalam dunia pergerakan, bukan hal sulit untuk merasakan adanya perubahan karakter mahasiswa sekarang. Perubahan itu sayangnya bukan menuju kepada kemajuan. Mahasiswa kini tidak lagi tertarik untuk aktif di gerakan mahasiswa (GM). Tak heran jika banyak GM yang kekurangan anggota; pengaderan berjalan di tempat, atau bahkan separuh mati. Jika pada masa kejayaannya antar-GM berkompetisi merekrut anggota, kompetisi yang sama sekarang ini nyaris tidak ada.

Keadaan di atas tidak terkecuali ikut dialami KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Dalam usianya yang masih remaja (lima belas tahun), sebuah kerugian jika KAMMI ikut layu sebelum berkembang menjadi GM yang berpengaruh dalam mengawal demokratisasi di negeri ini. Apalagi, saat yang sama, masih terbuka tantangan untuk berdialektika dengan saluran politik formal (parlemen).

Menimbang Partai Politik Agama

Oleh:  Robert Edy Sudarwan
Pegiat KAMMI Kultural asal Lampung

Keberadaan partai politik di era pra kemerdekaan tentunya berbeda dengan keberadaan partai politik pada saat ini.  Jika pada masa lalu politik digunakan sebagai sebuah jalan dan upaya untuk meraih kemerdekaan, maka pada saat ini politik lebih kepada mengisi kemerdekaan.  Serupa tapi tak sama, itulah klise yang tepat disematkan pada partai politik era lalu dan saat ini.

Berbicara ruang politik maka tidak akan terlepas dari ruang kepentingan yang menyelimuti. Dari kepentingan agar sebuah bangsa dapat menjadi bangsa yang berdaulat dan sejahtera, hingga pada orientasi kepentingan kelompok dan individu tertentu.  Tentu hal ini bergantung dari bagaimana seseorang memaknai arti dan keberadaan partai politik tersebut.

Senayan, dan Asa Sederhana pada Kawan Lama

Oleh : Yusuf Maulana

Kawan, namamu tertera di antara ribuan politisi yang bakal bertarung di Senayan tahun depan. Aku yakin itu namamu karena kiprahmu memang selama ini di sana. Kau bahkan mencari sesuap nasi juga di antaranya dari sana. Kalau kemudian engkau diamanahi menjadi ‘pendakwah’ di parlemen bila kelak terpilih, logis saja. Terlebih lagi kau sudah kenyang asam garam mendampingi para senior di panggung nasional.

Kawan, hadirnya namamu di selebaran KPU bedalah ketika engkau ada di papan nama DPM di kampus kita dulu. Dulu kau musti masuk karena tiada pesaing untuk menghadang.  Tapi kini, kau harus berjuang ekstrakeras hingga peluang terakhir. Boleh jadi kau menang; boleh pula kau terbuang. Bukan saja terhempas oleh kawan di luar partai, namun juga teman seiring separtai. Kau tentu ingat, kawan, tiada kawan abadi, yang ada kepentingan abadi!

Kau bukan pertama kali seorang kawan lama di organisasi anak-anak muda di jalanan yang kemudian tercebur di pusara para sesepuh. Kau pasti paham apa itu ketaatan, dan kau pun memilih ke sana. Ketaatanmulah yang kemudian melempangkanmu menemukan jalan kini yang kadang berbeda denan sebagian kawan lama kita. Apa boleh buat, selagi muda kita memang bisa bersatu, saat periuk beterbaran masanya kita berhamburan. Di sinilah akhirnya kadang meradang untuk saling serang. Bukan saja antara kau dengan kawan kita yang ada di seberang kubu, tapi juga kau dengan kawan yang sekadar ada di luar kandang.

Ada atau tidak adanya kau di daftar, bagiku, setabal pengisi rutinitas pesta lima tahunan. Memang penting bagi kawan-kawanmu yang masih percaya kehadiran politisi muda bisa berikan asa baru dalam mengubah tatanan. Bagiku, semua itu omong kosong. Kalau tidak terseret, syukur tidak tenggelam. Sukar untuk menyeret orang agar ikut jalur idealisme kita selagi masih di jalanan. Mungkin, katamu, dunia kini berbeda; dunia jalanan itu absurd dan penuh omong kosong. Adapun kini, dunia dengan kursi sebagai simbol, idealisme itu dipertaruhkan dengan kenyataan.

Justru karena aku takut kau akan mengulang lagu lama kawan-kawan kita yang pupus sebelum kepalan tangan teracung, maka aku mawas. Mawas agar aku yang mengenalmu secara bersahaja juga ingin menempatkanmu dengan apa adanya.  Perubahan memang tidak mustahil kaulakukan. Seorang diri tanpa atau dengan cinta, kerja, dan harmoni, dengungan guru utamamu. Perubahan itu bahkan mungkin hadir dengan kau seorang bertandang di kandang lawan.

Tapi kawan, untuk itu apakah kau bersiap? Bersedia untuk mengikuti prasyarat yang ada agar engkau menjadi petarung yang siap memengaruhi orang ketimbang kau dipengaruhi?

Maka, aku tak muluk memintamu mengingat apa itu jati diri organisasi kita. Takperlu mencapmu dengan ini dan itu lewat uji tes apakah engkau masih ingat tafsir gerakan kita. Juga tidak memadai bila kau kami ukur dengan kefasihanmu dalam bicara kredo gerakan. Semua omong kosong itu biarlah kauletakkan di sakumu. Kau cukup hafalkan saja apa yang diamanahi partaimu. Cukup itu saja. Selagi itu bersesuaian dengan nuranimu, jalankan! Bila tidak, katakan tidak!

Karena kita anak-anak yang pernah dibesarkan di jalanan; karena kita pernah menghirup liarnya udara pantai, jangan pernah ragu untuk menjadi pelafal amin pada satu kata: kebenaran. Dan katakan tidak untuk pelafal amin pada membeo dan taklid kekuasaan. []

13 Mei 2013

Pelukan Sepertiga Malam


Oleh : Iva Wulandari
Pegiat Lembaga Kebudayaan KAMMI (LEKMI)


Dalam hening, 
Aku merasa semua yang tadinya begitu asing diam tak bergeming khusyu' bersanding sebagaimana sajadah dan kening
Dalam pekat, 
Aku melihat persinggungan kita benar-benar terasa begitu dekat, hangat, khidmat
dalam sunyi, 
Aku mendengar lebih tajam nyanyian surgawi mendendang indah mengiringi pertemuan indah tak terbeli
dalam sujud,
Aku mencium setiap pinta yg perlahan terbang mengangkasa membawa takut dan harapku akan takdirnya terwujud
Dan dalam sepertiga malam ini,
Aku memeluk kasih yang tiada pernah minta belas kasih, 
Aku memeluk cinta yang tiada pernah habis kureguk manisnya
Aku memeluk rindu yang tiada pernah ia berujung pilu
Aku memeluk hati yang tiada pernah ingkar janji

Kau, aku, dan sepertiga malam dimana kita mesra bersua...

Jogja, 10 Mei 2013