Jangan
sampai nanti orang-orang tarbiyah dibenci karena orientasi
kekuasaan. Dia tidak boleh berbangga dengan bangunannya, lalu tertidur-tidur tidak pernah mengurus
urusan hariannya. Tetap dia harus kembali
pada akar masalahnya, akar tarbiyahnya, mahabbin, tempat kancah dia dibangun.(KH Rahamat Abdullah)
“Murobbi”-bentuk
fa'il (pelaku) rabba-yurabbiy-tarbiyyah-
‘rabaa yarbuu’ yang berarti
berkembang atau ‘rabiya yarbaa’ yang
bermakna tumbuh. Tumbuh berarti mengalami proses berkembang, ada etos laku
untuk terus belajar secara internal dan eksternal. Kata tersebut menjadi ‘rabba-yarubbu’ bermakna aslahahu, tawallaa amrahu, sasa-ahuu, wa
qaama ‘alaihi, wa ra’aahu, yang artinya memperbaiki, mengurus, memimpin,
menjaga dan memeliharanya. ‘Murobbi’melampaui
struktur dirinya secara inheren, dan berusaha untuk mengelola segala yang
tersurat dan tersirat agar menjadi nilai-nilai yang hidup . Berubah kata ‘tarbiyah’ bermakna pendidikan, sehingga murobbi
lebih diartikan pendidik. ‘Murobbi’ tidak hanya sebatas seseorang atau
sosok tokoh dalam sebuah kelompok lingkaran ‘tarbiyah’. ‘Murobbi’ adalah mereka-mereka yang terus bergiat,
berbuat dan berjabat tangan dengan perbaikan ummat. Mereka yang hidup member
perhatian pada generasi masa depan pantas disebut ‘murobbi’.
Kita
hidup dijaman informasi -semua pesan saling berbenturan- bahkan kita lelah
menyaring arus yang setiap hari lalu-lalang. Kita disuguhkan dengan fenomena
saling tidak percaya, lalu lintas pemikiran yang begitu riuh. Mulai dari
internet, handphone,televisi, koran dan segala akses informasi yang terus
bertabrakan satu sama lain. ‘Murobbi’
di era metropolis ini tidak dapat disamakan dengan ‘murobbi’ masa lalu yang sangat terbatas arus informasi. Namun tidak menutup kemungkinan
kearifan-kearifan masa lalu dari seorang yang disebut ‘murobbi’ tetap abadi
sebagai sebuah ‘moralitas publik’. KH Rahmat Abdullah adalah satu sosok yang
sangat membanggakan, di tengah terseretnya kader-kader tarbiyah dalam ‘euforia’ politik praktis. Kita melupakan
nilai-nilai luhur yang beliau semai di masa-masa awal tarbiyah hidup dan member
bara api perjuangan. Hampir kita tidak menyadari bahwa ruang kultural yang dulu
sangat beliau hidupkan di masa ‘tanzdim’ hari ini sangat mudah dilupakan. Kita menjadi kaku,
sangat strukturalis, berhujah untuk ‘kemenangan suara’ dan mengorbankan
‘fatsoen’ politik yang pernah beliau wanti-wanti untuk dijaga yaitu
‘kesederhanaan’.