19 Februari 2014

Sastra dan Kudeta



Dharma Setyawan, MA
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, sekarang tinggal di Bandar Lampung

“Harmoni itu tidak pernah mengenal kata krisis” -Ashadi Siregar.

Kutipan kata-kata Ashadi Siregar di atas adalah bagian kecil dari pidato budaya saat peluncuran majalah sastra “Sabana” di Rumah Budaya Emha Ainun Najib di Yogyakarta (25/06/13) dengan tema “Menuju Bangsa Tanpa Sastra”. Bang Ashadi dengan kritis bertanya: apa yang diharapkan dari sebuah karya sastra? Apa yang menjadikan sastra menjadi bagian kebudayaan dalam cara berpikir kemanusiaan?

Pertanyaan itu adalah letupan-letupan yang muncul di tengah krisis kepercayaan kita menghadapi demokrasi kita yang semakin tidak menemui kepastian. Hari ini, kita mendapati ironi: sastra semakin hilang dari bangku-bangku pendidikan, hilang dari kehidupan sosial. Tidak ada semangat berkarya, meresapi, bahkan merenungi kembali karya sastra bangsa ini. Hilangnya sastra diikuti oleh semakin tenggelamnya kebudayaan berpikir para generasi.

Lalu sejauh mana peran sastra -yang membangun cara berpikir berbudaya dalam kehidupan manusia- berperan terhadap perubahan yang dicita-citakan, terutama oleh mahasiswa, lebih utama lagi oleh KAMMI?

Hegemoni Politik
Jika diikuti secara seksama, pusat berpikir para aktivis (terutamamahasiswa) pasca-98 semakin terfokus pada politik dan kianpolitical-minded”. Kita belum melihat apresiasi kebudayaan dalam rumah sastra bangsa ini diberikan tempat sebesar kita memberi tempat pada panggung politik kita -politikus, partai, pemilu, acara televisi, headline koran. Semua sedang mabuk dengan panggung kekuasaan.

Bahkan. kita menemukan kreatifvtas kebudayaan sastra membusuk di panggung politik. Kreativitas budaya hanya sekadar untuk memberi legitimasi kesenangan para pelaku politik untuk diakui telah merakyat, sehingga para sastrawan menjadi sangat rendah di bawah ketiak para politikus.

11 Februari 2014

Menguatkan Ideologi KAMMI (Tanggapan untuk Alikta Hasnah Safitri)

oleh: Sofistika Carevy Ediwindra *)

Pimpinan Redaksi Eramadina Online, Pegiat Forum diskusi KAMMI Kultural,


Tanggapan atas tulisan Alikta Hasnah Safitri berjudul Membingkai Perkaderan KAMMI: Kritik dan Gagasan


Keresahan atas segala hal yang terjadi di sekitar kita menjadi sebuah indikasi sederhana namun prima yang menunjukkan masih adanya kepedulian. Negara ini tidak ada yang memungkiri atas anugerah (taken for granted) berupa SDA dan SDMnya yang berlimpah. Namun demikian negara ini mungkin kehilangan banyak penegaknya yang peduli yang justru inilah semestinya yang menjadi nyawa sesungguhnya.


Hal yang sama terjadi di gerakan pemuda Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Gerakan ini baru menjadi remaja dalam bingkai usianya yang hendak genap 16 tahun. Dalam usianya yang meremaja, ia menjadi semakin menarik dan mempesona banyak kalangan. Banyak sekali pihak yang melirik sang primadona KAMMI yang dengan berbagai aksinya terus menggeliat di sebaran Indonesia. 

Tidak ada yang menyangkal atas luar biasanya perekrutan mahasiswa untuk menjadi kader KAMMI di kampus-kampus di seluruh Indonesia. Ada kampus yang dengan sekali gelar mampu meraup hampir seratusan anggota dan itu dilakukan dalam tiga kali pelaksanaan daurah tingkat pertama (Daurah Marhalah1) sebagai gerbang awal masuk KAMMI. Bayangkan saja berapa totalnya dalam satu kali periode kepengurusan. Ada pula kampus yang dengan tertatih namun terus mengkader anggotanya yang mungkin tak lebih dari sepuluh orang dalam sebuah komisariat. Semuanya sama, memiliki gelora semangat yang sama yang sangat layak diapresiasi meski hanya Allah-lah yang mampu memberikan balasan atas niatan memperbaiki generasi yang dilakukan para kader KAMMI.

10 Februari 2014

Pembunuhan Massal Kaum Intelektual!

Fachry Aidulsyah
Ketua Bidang Kebijakan Publik PD KAMMI Sleman, Pegiat Gerakan Indonesia Berdaulat 


Ketika ‘Kampus’ Menjadi Pembunuh
Mungkin orang telah jengah melihat realita kampus hari ini. Kampus yang seharusnya menjadi ruang reproduksi pengetahuan dan pembentukan agen intelektual kini justru malah menjadi ruang komersialisasi bisnis. Budi F Hardiman menyatakan; globalisasi yang disertai ekspansi pasar telah ikut mendorong proses komersialisasi pendidikan. Iklim komersialisasi kampus telah membuat banyak kampus lebih melayani kepentingan pasar daripada melakukan berbagai macam inovasi pengetahuan dan berbagai macam kreatifitas dalam menjawab tantangan masa depan.

            Selain itu, secara tidak sadar kampus saat ini juga seakan telah mengubah orientasi yang berawal menjadi lembaga pendidikan, kini menjadi lembaga politik-administratif. Perihal itu tergambar dari sejauh mana wacana ilmu pengetahuan kian tersandera untuk menjangkau kepentingan sebagian elite (baca: globalisasi) itu sendiri. Akhirnya, kampus saat ini seakan hanya menjadi dua kutub kehidupan (1) kampus mengalami resonansi anti-saintisme ditandai dengan matinya bangunan kultur intelektual. Kampus hanya dijadikan sebagai peningkatan identitas kelas sosial tanpa dibarengi peningkatan ilmu pengetahuan bagi setiap individu-individunya. Aktivisme kampus menjadi mati, ruang kuliah sudah mulai tidak diprioritaskan oleh sebagian dosen yang lebih tergiur dengan berbagai macam ‘proyek’. (2) kampus juga seakan hanya mereproduksi saintisme-semu. Matson seakan menggambarkan; kampus saat ini seakan hanya menciptakan manusia selayaknya mesin yang diarahkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan praktis pekerjaan seorang ‘teknokrat’ yang melayani segala macam kepentingan pasar. Wajarlah jika buku dan ruang diskusi menjadi suatu hal yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh mahasiswa. Karena ‘nilai utama’ bagi mereka bukanlah pengetahuan, melainkan ‘nilai A’ dari secarik pelajaran. Hal ini tak ubahnya dengan apa yang disampaikan oleh Jurgen Habermas sebagai “kesadaran teknokratis”.

Ketika ‘Kaum Intelektual’ Kehilangan Arah
            Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, ketika kampus hari ini hanya menjadi ‘wisata pengetahuan’ yang sudah tidak lagi mereproduksi agen-agen intelektual masa depan, kepada siapakah nasib bangsa ini akan dipergulirkan?
            Wajarlah jikalau sistem demokrasi kita mungkin sistem demokrasi mengalami pematangan kualitas secara pelembagaan, namun mengalami pengeroposan ‘kualitas calon’ ditingkat legislatif maupun eksekutif. Sumberdaya finansial masih menjadi faktor utama pemenangan daripada faktor intelektualitas itu sendiri. Mereka menjadikan profesi ‘pemerintah’ sebagai sektor pengembangan bisnis yang mampu ‘menngembosi sumber daya finansial’ negara dalam rangka mengakumulasi sumberdaya fanansial pribadi.
            Memang sangat dilematis jikalau definisi ‘kaum intelektual’ hanya dikategorikan berbasis pada kaum akademisi atau pun kaum yang berasal dari kampus. Namun, setidaknya kampus menjadi salah satu ‘sarana formal’ pembentukan intelektual itu sendiri.
            Pertanyaannya adalah; apa sebenarnya makna yang tersirat dari definisi intelektualitas? Julian Benda menyatakan; Intelektual adalah orang-orang yang kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Kaum intelektual adalah orang-orang yang mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan atau teka-teki metafisika. Singkatnya, dalam hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan kebendaan, dan dengan demikian dalam artian tertentu kerajaannya bukanlah di dunia ini”. Mereka adalah sekelompok manusia yang menempatkan impiannya tidak hanya pada praktis yang sifatnya keduniawian, melainkan meletakkan tujuan hidupnya pada visi masa depan yang mencerahkan tidak hanya di dunia tetapi juga di surga.
            Yudi Latif mengungkapkan; intelektualitas pada awalnya merujuk pada individulalitas dari para pemikir dan mengindikasikan respon individu dari pemikir terhadap sebuah panggilan historis tertentu atau fungsi sosial tertentu. Dari dua definisi diatas, setidaknya –sebagaimana yang dikemukakan Ahan Syahrul- definisi intelektualitas adalah bahwa; seorang sarjana yang cakap memahami keilmuan belum tentu seorang intelektual yang mampu memberikan pendapat, gagasan dan ide serta menanamkan pengaruhnya pada masyarakat walaupun ia dianggap orang cerdas. Hal tersebut berbeda dengan pengertian mengenai kaum intelektual yang dapat dipahami sebagai orang yang mempunyai pengetahuan mengenai keseluruhan, mampu menggerakkan rakyat serta menjadi solusi bagi masyarakat.

Selanjutnya, Yudi Latif melanjutkan bahwa esensi kaum intelektualitas adalah; mereka yang mempunyai suatu kesamaan identitas dalam perbedaan dan keberagaman dalam kebersamaan identitas. Pada intinya mereka adalah kelompok elite yang minoritas namun mempunyai peranan besar dalam mengayun bandul gerak sejarah bangsa. Mereka menjadi bagian inti dari perubahan bangsa dan hadir di setiap lini perubahan. Meski pun kecil, mereka memiliki daya pengaruh yang sangat luas untuk menggerakkan masyarakat. Karena pada pundak mereka dinamika kebangsaan menentukan momentumnya untuk berubah dan bertransformasi.

Hal ini juga senada dengan apa yang disampaikan Max Weber; ‘Para intelektual seringkali berhadapan dengan dilema antara memilih integritas intelektual atau kontingensi-kontingensi ekstra-intelektual, antara arus ide yang rasional atau kejumudan dogmatik. Setiap keputusan yang memilih pilihan kedua akan berarti melakukan ‘pengorbanan intelek’.

            Disinilah peranan kaum intelektual dibutuhkan. Mereka hadir bukan untuk menjadi ‘pengekor’ sistem yang sudah mulai membusuk. Mereka bukanlah orang-orang yang hanya mempertajam ‘gagasan’ namun tanpa dibarengi tindakan untuk perbaikan bangsa. Kaum intelektual adalah ‘kamu, kalian, mereka,.. kami’ yang selalu mengedepankan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. Yang bersungguh-sungguh mengabdikan dirinya untuk bangsa demi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengedepankan ‘akal yang berintegrasi dengan ruh’ untuk selalu menegakkan kedaulatan bagi umat manusia.

8 Februari 2014

Mengecam Pembatalan Sepihak Diskusi Buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia"

Ahmad Rizky M. Umar
Editor Jurnal KAMMI Kultural

Indonesia kembali punya catatan kelam soal kebebasan dalam mengemukakan pendapat di muka umum. Acara bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (jilid ke-4) yang semestinya diadakan di Perpustakaan C2O pada hari Jumat, 7 Februari 2014, pk. 18.30-21.00, dibatalkan. Keputusan pembatalan ditetapkan beberapa jam sebelum acara dimulai atas rekomendasi Polrestabes Surabaya dengan alasan keamanan.

Menurut kabar, pembatalan ini terkait dengan aksi FPI Jawa Timur yang melarang diskusi dengan alasan "Tan Malaka adalah tokoh Marxis" (Merdeka, 672). FPI dan beberapa kelompok masyarakat yang menamakan diri mereka "Gerakan Umat Islam Bersatu" mendatangi arena penyelenggaraan diskusi dan menolak diskusi dilaksanakan. Atas dasar itu, polisi dan tentara merekomendasikan panitia untuk membatalkan acara diskusi dengan alasan keamanan.

7 Februari 2014

Reformasi Struktur KAMMI: Sebuah Gagasan

oleh: Sofistika Carevy Ediwindra *)
Pimpinan Redaksi Eramadina Online, Pegiat Forum diskusi KAMMI Kultural,
 

Pembahasan di forum KAMMI yang tengah saya ikuti memang nampak seperti huru-hara yang tidak berujung. Namun dari semua itu saya menangkap sinyal positif adanya geliat menguatnya gerakan yang hendak menjejakiusia 16 tahun ini atas kebangkitannya. Huru-hara paling kencang adalah soal banyaknya masalah Indonesia di segala bidang dan elemen masyarakatnya. Yang jadi pertanyaan besarnya adalah apa peran KAMMI di sini, di antara banyaknya permasalahan bangsa.

Semua mengakui bahwa pemuda dalam hal ini pemuda KAMMI sama-sama menjadi saksi atas kemelut bangsa yang bejibun ini. Dalam bidang ekonomi, misalnya. Kemiskinan yang semacam endemi di masyarakat, luasnya jurang antara si kaya dan si miskin, sistem ekonomi yang kapitalis, dll. Dalam bidang pendidikan salah satu contohnya, adanya ketidakmerataan pendidikan, sistem pendidikan yang kacau, manajemen keuangan dan pendidikan itu sendiri yang takjelas, dan masih banyak lagi. Bidang politik, mungkin jauh lebih kompleks. Rendahnya pendidikan politik, lemahnya kekuatan politik Indonesia, dll. Dalam bidang pertanian,hukum, kesehatan, sosial, dll juga pasti dengan mudah kita mampu menyebutkan apa masalah di dalamnya.

[CERPEN] Kerusuhan di Pagi itu

sebuah fragmen oleh: Zulfikhar 
Ketua Umum PD KAMMI Bantul, Pegiat Forum diskusi KAMMI Kultural





Pagi itu langit biru cerah. Sinar matahari penuh menyinari pesisir Barat kota Biak yang beberapa saat lalu masih di telan kegelapan. Sinar matahari masuk ke sela-sela jendela dapur. Lalu menerobos masuk ke dalamnyamenimbulkan sinar keputihan dari taplak plastik meja makan. Segelas air putih juga memancarkan sinar silau tersebut. 

Pagi ini seperti biasanya, Mama membuat sarapan untuk kami. Menu kali ini bubur panas dan telur dadar. Sembari Mama sibuk memasak, aku membantunya membuat teh. Berkali-kali air teh kucicipi. Semoga tidak terlalu manis. Karena Mama selalu mengingatkan, jangan terbiasa dengan minuman manis. Kata Mama, nanti kena penyakit gula. 

Setelah selesai urusan dengan teh, kuteruskan membuat kopi. Karena pagi tadi, sebelum ke pasar, Papa sempat mengingatkanku untuk membuatkannya kopi.  Pun kalau tidak diingatkan, sebagai anak aku tahu apa kebiasaan Papa setiap pagi. Karena seorang anak adalah orang yang mampu membaca dan memahami kemauan orang tuanya. 

Nabi dan Revolusi (2) : Nabi Daud AS

oleh: Fatin Rohmah.
Aktivis KAMMI UI, Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

Dalam melakukan revolusi, ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu: Ideologi sama, kepentingan yang besar, dan krisis/ momentum yang tepat.

Kisah revolusi nabi Daud ini terdapat dalam QS. Al-Baqoroh 246-251. Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa berhasil mengeksodus Mesir ke Palestina. Setelah berpuluh tahun berjalan, para elit dari Bani Israil kembali berkumpul dan bertemu dengan Nabi Samuel. Kisah ini mengawali term yang akan dibahas, yaitu revolusi. Revolusi adalah sebuah bentuk perubahan yang sangat cepat dan biasanya terjadi kurang dari 10 tahun. Setiap upaya perubahan yang ada lahir dari para elit (sedikit) bukan para alit. Mereka itu orang-orang yang memiliki wawasan luas, kesadaran politik, dan basis dukungan sosial. Inilah tiga syarat untuk menjadi pemimpin besar yang dibutuhkan dalam melakukan revolusi. Dalam kisah nabi Daud, sangat disayangkan bahwa para elit yang berkumpul tadi, tidak memiliki orang dari kaumnya yang memiliki tiga syarat tersebut (memiliki wawasan luas, kesadaran politik, dan basis dukungan social) sehingga mereka menemui Nabi Samuel untuk bisa mengkristalkan dan mensakralkan perjuangan mereka agar nilai-nilai revolusi yang mereka bawa tetap dilegitimasi.

Pengaruh adalah satu kata yang dibutuhkan oleh pemimpin. Ia harus bisa mempengaruhi bawahannya agar mau bertindak sesuai visinya. Ia harus bisa menggerakan dengan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Demikian pula ketika seseorang akan melakukan revolusi, ia harus punya pengaruh bagi orang-orang di sekitarnya. Berkat kecerdikan Nabi Samuel, ia menyadari bahwa sebuah revolusi bisa terjadi dari orang yang berasal dari kaumnya sendiri. Ia mengetahui ada seorang pemuda bernama Thalut. Thalut adalah anak desa dari golongan Bani Israel, bahkan anak seorang yang tak punya. Dia tinggal di desa kecil bersama ayahnya. Pekerjaannya bertani dan beternak. Dalam pergaulan ia jarang dikenal oleh orang lain sehingga tidak ada yang menyangka ia akan menjadi seorang pemimpin. Tetapi dia adalah seorang yang berbadan kuat dan sehat, perawakannya tinggi dan gagah, matanya tajam, wawasan pikiran luas dan tajam. Ia juga mempunyai hati yang suci dan bersih serta memilki budi pekerti yang halus dan agung. Nabi Samuel memilihnya dengan menyadari bahwa seorang pemimpin revolusi haruslah berwawasan luas dan memiliki kekuatan fisik yang handal. Karenanya, ia memilih Thalut karena memenuhi kriteria tersebut.

6 Februari 2014

KAMMI MEMBACA! Undangan Menulis 'Ulasan Buku'

Anda suka membaca buku? Atau anda kader KAMMI yang taat pada mantuba dan sedang membaca buku-buku yang direkomendasikan oleh manhaj? Jangan biarkan bacaan anda hilang begitu saja!

Semangat membaca buku sudah diperintahkan oleh Allah pada wahyu yang diturunkan pertama kali: Iqra'. Membaca, dalam lima ayat tersebut, harus diikuti dengan 'menulis' dan 'mengajarkan' kepada manusia, sehingga pengetahuan yang didapat dari buku bisa menyebar dan menghasilkan pengetahuan baru., 

Sejak tahun 2013, Jurnal KAMMI Kultural mengelola rubrik 'Ulasan Buku' yang menghadirkan ulasan dan kritik kader KAMMI atas buku yang dibaca. Rubrik ini diasuh oleh Ahmad Rizky M. Umar (Yogyakarta). Di tahun 2013, ada 6 artikel ulasan buku yang terbit. Ini menandakan adanya apresiasi yang baik dari beberapa kader KAMMI terhadap buku yang sedang mereka baca.

Di tahun kedua (2014) ini, Jurnal KAMMI Kultural kemballi memfasilitasi kader-kader KAMMI yang membaca buku untuk menuliskan ulasan dan kritiknya atas buku-buku yang sudah dibaca. Buku yang diulas bebas, semua genre dari sastra, politik sosial, budaya, agama, keislaman, filsafat, hingga buku-buku biografi. Direkomendasikan untuk mengulas buku dengan tema Gerakan Politik Islam dan buku-buku ideologi KAMMI. 

Beberapa kriteria untuk tulisan di rubrik ini antara lain: 
1. Tulisan diketik dalam format MS Word sebanyak 1000-1500 kata.
2. Mencantumkan identitas buku, minimal nama penulis, judul buku, dan penerbit.
3. Buku yang diulas bebas, lebih disukai yang mengambil tema Gerakan Politik Islam dan buku-buku idelogi KAMMI.
4. Pengulas diharapkan dapat memberikan kritik atas kelemahan yang ada di buku tersebut, agar bisa memberikan perspektif yang baru terhadap isi buku.
5. Tulisan dikirim via email ke rizky_mardhatillah@yahoo.co.id (Umar) atau huruharaunmuh@gmail.com (Azami).
6. Editor berhak mengedit isi tulisan selama tidak mengubah substansi.

Besar harapan kami agar kader-kader KAMMI dapat berpartisipasi menulis dalam Jurnal KAMMI Kultural dan rubrik 'ULASAN BUKU'. Jika pada Mukernas lalu ada wacana untuk membuat gerakan KAMMI membaca, inilah saatnya membuktikan wacana tersebut. Sebab, inti dari gerakan membaca adalah menuliskan kembali dan mengajarkan isi bacaan tersebut kepada manusia...

Mari menulis di Jurnal KAMMI Kultural!

"Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan" (Pramoedya Ananta Toer)

5 Februari 2014

Nabi dan Revolusi (1) : Nabi Yusuf AS

oleh: Fatin Rohmah.
Aktivis KAMMI UI, Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

Bersiaplah dengan konflik yang mungkin kita temui dalam perubahan reformasi. Persiapkan diri kita untuk menerimanya dengan baik, segera selesaikan, dan jangan biarkan berlarut-larut. Manaje konflik tersebut, meski kadang kita yang membuatnya, buatlah konflik yang terukur sehingga kita bisa meredakan. Akuilah perbedaan, hargailah konflik yang ada.

Dalam Al-Quran yang sepertiganya terisi dari kisah-kisah para nabi, disebutkan bahwa kisah Nabi Yusuf adalah kisah terbaik. Mengapa demikian? Ada beberapa hal yang menjadi alasannya, yaitu :
  • Kisah yang berakhir bahagia. Nabi Yusuf yang berkonflik dan berpisah sejak kecil dengan para saudaranya, berpisah dengan keluarga terutama ayahnya hingga ayahnya senantiasa menangisi, kemudian di akhir kisah, Nabi Yusuf bahagia karena bisa bretemu dan berkumpul dengan saudara dan ayahnya kembali.
  • Kisah ini ada dalam Al-Quran secara lengkap, bukan hanya kisah-kisah awalan seperti nabi-nabi lainnya.
  • Sangat manusiawi dan terjadi di sekeliling kita.
  • Menggambarkan perjuangan yang bersusah-susah dahulu (kisah nabi dari anak-anak hingga dewasa) baru bersenang-senang kemudian (ketika dewasa ia bertemu dengan keluarganya). Ini merupakan success story karena dalam menyelesaikan masalahnya, Nabi Yusuf tidak melawan para saudaranya dengan peperangan tetapi dengan kedamaian.
Dalam kisah nabi Yusuf As pun terdapat pelajaran penting, yaitu tentang Reformasi. Reformasi adalah perubahan mendasar yang dilakukan dari dalam sistem, tidak bisa dihitung dalam jangka waktu beberapa tahun saja, dan hal ini terjadi antar generasi. Dalam melakukan perubahan mendasar ini, kita tentu membutuhkan:

4 Februari 2014

Membingkai Perkaderan KAMMI: Kritik dan Gagasan

oleh: Alikta HS.
Aktivis KAMMI Solo, Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kaderisasi dan pembinaan adalah merupakan napas utama dari pergerakan. Apabila sebuah pergerakan ingin tetap terus bertahan, eksis, berupaya memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat, maka parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah bagaimana keberjalanan proses kaderisasinya. Karakter KAMMI sebagai harokatu tajnid menuntut konsekuensi logis akan kebutuhan proses pembinaan yang berjalan secara sistemik dan berkesinambungan demi mewujudkan cita-cita bersama organisasi, yakni: bangsa dan negara Indonesia yang Islami.

Refleksi Sederhana
Namun, hal yang bertolak belakang dengan idealita itu terjadi di tubuh KAMMI selama kurun waktu 15 tahun lebih ia mengada di Indonesia. Kaderisasi yang carut marut dari tingkat pusat hingga komisariat terjadi di depan mata tanpa penganganan yang berarti. Setiap pleno/evaluasi diadakan di komisariat maupun tingkat daerah, kritik terhadap kaderisasi selalu menguar ke permukaan, gagasan dan terobosan baru diungkapkan untuk membedah akar permasalahan kaderisasi. Akan tetapi, solusi yang ditawarkan tak kunjung membawa perubahan berarti, stagnan berdiam dalam notulensi acara, mandul dalam praksis di lapangan.

Undangan Menulis di Jurnal KAMMI Kultural

Jurnal KAMMI Kultural adalah ruang aktualisasi pemikiran alternatif kader-kader KAMMI. Dikelola oleh para pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural dan telah berjalan hampir satu tahun sejak awal tahun 2013. Jurnal ini menghimpun ratusan tulisan yang mendiskusikan banyak hal, terutama masalah-masalah ke-KAMMI-an, Gerakan Islam, politik Islam, maupun perkembangan pemikiran Islam kontemporer.

Sejak tahun 2013, Jurnal KAMMI Kultural telah menerbitkan banyak artikel yang menjadi referensi tentang ideologi dan perspektif alternatif tentang gerakan KAMMI. Jurnal ini dibaca oleh banyak kalangan, tidak hanya dari gerakan Islam, melainkan juga dari peneliti maupun aktivis gerakan lain. Jurnal KAMMI Kultural membaktikan diri sebagai portal pengetahuan yang bertujuan untuk mencerdaskan aktivis gerakan Islam.

1 Februari 2014

[ULASAN BUKU] Membaca (Ulang) Trias Politica: Perspektif Islam


Judul Buku : Trias Politica dalam Negara Madinah
Penulis : Dr. Muhammad Alim,S.H., M.Hum.
Penerbit : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kontitusi, Jakarta
Jumlah Halaman : xxii + 106 Halaman
Cetakan : Pertama (September 2008)
Peresensi : Kuncoro Probojati *)

Banyak kalangan yang menganggap Montesquieu sebagai seseorang yang mengenalkan teori pemisahan kekuasan pada abad XVII, yaitu menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, serta kekuasaan yudikatif. Teori ini oleh Immanuel Kant, seorang filsuf politik terkemuka era pertengahan, disebut sebagai trias politica. Muhammad Alim dalam buku ini menyatakan bahwa anggapan ini keliru. Pemisahan kekuasaan telah dikenal jauh lebih lama daripada itu yaitu pada abad VI bahkan telah mencapai taraf praktik, bukan hanya teori.

Jauh sebelumnya, Khilafah Islam telah mengenalkan pembagian kekuasaan serupa dalam terminologi yang berbeda. 

Negara Madinah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab (634-644) telah melakukan pembagian kekuasaan secara horizontal. Telah ada lembaga eksekutif yaitu Khalifah dan stafnya; ada lembaga legislatif yakni yang disebut Majelis Syura sebagai dewan perwakilan rakyat yang kemudian hari untuk otoritas menetapkan hukum dilakukan oleh ahl al hall wa al aqd, bersama-sama dengan khalifah, dan juga sudah ada lembaga yudikatif yang dilakukan oleh para hakim atau qadi (hlm 73-74).