Dharma Setyawan.
Ketua Komunitas Hijau, Alumnus S2 UGM
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, menetap di Bandar Lampung.
Hiruk pikuk pilpres menjadikan kita absen terhadap isu-isu yang terjadi di
berbagai daerah. Konflik sengketa tanah terjadi antara warga dan petani pemilik
tanah di Karawang dengan salah satu perusahaan pengembang, PT. Sumber Air Mas
Pratama (PT SAMP). Perusahaan mengklaim kepemilikan tanah seluas 350 hektar
yang berlokasi di 4 Desa; Margamulya, Wanakerta, dan Wanasari, Telukjambe Barat
di Kabupaten Karawang. Pihak-pihak yang peduli terhadap hak-hak rakyat ini,
harus mendesak Capres terpilih untuk memberi keadilan dan ketegasan presiden ke
depan bicara ‘Tanah”.
Sepanjang bulan Juni sudah ada beberapa kasus dimana warga mendapat
tindakan diskriminasi, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat
diantaranya yaitu penggusuran paksa, penangkapan terhadap 8 orang, dan
kekerasan terhadap warga Karawang yang bersengketa dengan pengembang yang
terkenal dengan sebutan Agung Podomoro Land tersebut. Di tempat lain,
Kriminalisasi juga terjadi terhadap 6 orang warga Ulu Kabupaten Musi Banyu Asin
di Taman Marga Satwa Danku (Sumatera Selatan). Kejadian ini mengakibatkan 1
orang meninggal buntut berlarutnya kasus sengketa tanah antara warga dengan PT
Agro Bukit (Agro Indomas Grup). Konflik tanah di daerah lainnya membutuhkan
upaya bersama untuk mengungkap konflik tanah yang tidak ada ujung keadilan bagi
rakyat miskin.
Tanah Milik Siapa?
Sejarah kerajaan di Nusantara tidak ada gagasan kepemilikan tanah secara
individu. Seorang tuan tanah tidak memiliki tanah, dia memiliki petani-petani
dan kelompok pengiring. Ketika sang Raja menjatahkan tanah kepada bawahannya,
maka dia akan membawa petani dan rombongannya untuk mengusir penduduk dan
menguasai tanah. Dengan hasil dari pertanian tersebut petani dan rombongan
pengiring membayar pajak per kepala. (Onghokham: 2008). Gagasan kepemilikan
tanah baru diperkenalkan oleh kekuasaan kolonial. VOC (Verenigden
Oostindische Compaqnie) sebagai penguasa perdagangan hasil rempah-rempah
memperkenalkan tantang kepemilikan tanah, dimana VOC memaksa tuan tanah untuk
membayar pajak. Baru Inggris kemudian memperkenalkan hukum Barat bahwa seluruh
tanah diserahkan kepada negara, dimana negara dapat menyewakan kepada kepala
desa dan kepala desa menyewakannya kepada petani (Bernhard H.M Vlekke: 1961).