30 September 2014

Tentang “Rekonsiliasi”: Sebuah Catatan untuk KAMMI

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Peneliti dan Aktivis.

SETIAP tahun, kita bertemu dengan satu tanggal kelam: 30 September. Kelam karena sampai hari ini, kita tidak kunjung mampu untuk berekonsiliasi dengan apa yang terjadi puluhan tahun silam. Wijaya Herlambang, seorang penulis Indonesia, mengupas hal ini dengan cermat: baginya, apa yang terjadi pada tahun 1965-66 ditutupi dengan hegemoni budaya yang dijalin dengan cermat, membuat kesadaran kita tentang “kekerasan budaya” menjadi tertutupi oleh narasi rezim tentang G30S. Bahkan, perbincangan tentang “Komunis” masih berlangsung pada Pemilu 2014, ditiupi oleh omongan orang-orang bodoh di media massa yang ingin menyerang lawan politiknya dengan hal-hal semacam ini.

********

ADA sebuah kecenderungan bagi kelompok masyarakat tertentu, untuk “menangisi” kematian dari orang-orang yang mereka pahlawan, sembari “berteriak kegirangan” karena matinya orang-orang yang mereka anggap jahat. Hal ini, mungkin sering terjadi pada kita –umat Islam. Berapa banyak di antara kita, bahkan mereka yang mengaku aktivis gerakan Islam, yang menangisi mereka yang meninggal di Palestina tetapi justru ramai berapologi ketika diingatkan dengan apa yang terjadi pada tahun 1965-66? Banyak yang mungkin akan mengambil dalih, “komunis” membunuh orang-orang Islam dan semacamnya sebelum 1965, tetapi sedikit yang mau mengakui bahwa apa yang terjadi setelah 1965 juga tak kalah “komunis” dibanding orang-orang komunis yang mereka tuduh itu.

Judith Butler mengingatkan kita pada hal-hal semacam itu. Baginya, “tangisan” bisa menjadi sangat politis. Hal ini terjadi pada masyarakat Amerika Serikat yang menangisi para pahlawan mereka yang meninggal di Perang Dunia I, yang “membunuh” di bawah panji-panji kebesaran nasional, lalu berpesta ketika para tentara mereka membunuh warga sipil di Iraq dan Afghanistan. Ini tak jauh dari hipokrisi –kemunafikan, yang sayangnya, sering muncul dalam cara banyak orang melihat kematian, kekerasan, dan kekuasaan. Kekerasan dan kematian, ternyata, bertalian erat dengan identitas yang menjustifikasi adanya kekerasan itu.

John Roossa melihat G30S sebagai semacam pretext untuk pembunuhan dan penangkapan massal yang terjadi setelah kejadian tersebut. Apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965-66 mengingatkan kita pada kejadian yang sangat mirip yang terjadi pada tahun 2001-03, di Amerika Serikat. Setelah tragedy 9/11, ketika pesawat “teroris” dibajak dan ditabrakkan ke gedung World Trade Center. Kejadian ini disiarkan secara luas ke seluruh dunia. Tapi tragedi sebenarnya adalah apa yang terjadi setelah itu. “Islam Radikal” diburu di mana-mana. Angkatan Perang Amerika Serikat segera diluncurkan ke Afghanistan, membunuh rakyat sipil atas dalih “Perang Melawan Terorisme” dan sukses meruntuhkan rezim Afghanistan. Rupanya perburuan itu juga tidak cukup. Iraq menjadi sasaran berikutnya. Amerika Serikat sukses mengukuhkan dominasinya di Timur Tengah dengan ‘cambuk’ yang siap menghukum siapapun yang mbalelo terhadap kekuasaannya.

26 September 2014

DEMOKRASI

Ibnu Tsani Rosyada
Penstudi Ilmu Politik Airlangga 2012
Pegiat Diskusi Kultural Surabaya, Aktivis PMII Airlangga

Di negara kita demokrasi kedudukannya “lebih tinggi” dari Al Quran.
Segala sesuatu bisa dibenarkan atas nama demokrasi.
Kebohongan bisa tertutup rapat dengan kain bernama demokrasi.
Kepalsuan bisa tampak elegan dengan bingkai demokrasi.
Atas nama demokrasi, sekali jujur dua tiga kepalsuan terlampaui.

Demokrasi...
Malang benar nasibmu.
Bagai pisau yang dipegang balita.
Yang tak bisa digunakan semestinya.
Demokrasi oh Demokrasi.
Demokrasi sejati hampir tertangkap mimpi.

[ilustrasi : "demokrasi untuk rakyat? itu omong kosong!"]

POLITIK EKOLOGI; MEMBONGKAR KORPORASI EKSPLOITATIF, SEBUAH PERDEBATAN TEORITIK

DISKUSI KAMMI KULTURAL SURABAYA
21 SEPTEMBER 2014
Komisarijat Dharmawangsa 80A 

(suasana diskusi KAMMI kultural Surabaya) 

Surabaya(21/9). Sulit untuk menemukan persamaan substantive dari diskusi kultural satu ke diskusi kultural berikutnya. Kali ini Diskusi cultural dengan tema Politik Ekologi, memaksa setiap pegiatnya untuk berpikir lebih radikal dan berdiri menjadi oposisi dari aktor-aktor penyebab kerusakan lingkungan di Indonesia. Setelah moderator menyampaikan aturan main diskusi dan preface terkait dengan tema politik ekologi ini, muncul berbagai perspektif dalam mengkaji persoalan yang substantive terkait dengan lingkungan. 

Dengan semangat UUD 1945 pasal 33, wujud perlawanan terhadap eksploitasi alam, harus massif digalakkan. Sebagai “good citizenship”semua pihak harus berbenah secara praktis ideologis. Semangat anti alam dan eksploitatif jelas menciderai semangat kemanusiaan. Pemerintah sebagai penentu regulasi harus tegas terhadap pelanggaran ekologi. Sebagai aspek ruang yang perlu dipelihara, fungsi utama pengelolaan Sumber daya alam adalah kemakmuran kolektif. Melalui sudut pandang kelembagaan dalam korporasi sendiri sudah mempunyai system yang mengatur norma etik sebuah korporasi, Rachmat Ari Fattah mengatakan dengan adanya CSR (Corporate Social Responsibility) tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan dampak negative dari kerusakan lingkungan dan disparitas social di masyarakat terdampak. CSR hanya upaya ceremonial sebaagai wujud apologi terhadap perilaku korporasi yang eksploitatif.

Pernyataan ini secara santun tidak diterima sepenuhnya oleh Heri, sebagai penstudi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, melalui analisa yang canggih menyatakan bahwa dalam skala makro CSR sebenarnya mampu menyeimbangkan korporasi yang sudah mempunyai standart Good Corporate Governance, dalam Global Reporting Index, CSR yang abal-abal hanya dimiliki oleh korporasi yang tidak serius menjadi pelaku bisnis di Negeri ini.

25 September 2014

Bisakah KAMMI Jadi Parpol? (Komentar untuk tulisan Anis Maryuni Ardi)

Zulfikhar
Pegiat KAMMI kultural Jogjakarta. Ketua Umum PD KAMMI Bantul

Saya cukup terkejut bercampur gembira ketika membaca tulisan Anis dalam Jurnal KAMMI Kultural kemarin. Sebuah gagasan yang saya kira berani, kritis dan penting di tengah-tengah kekeringan dialektika yang melanda KAMMI. Tulisan tersebut mengandung banyak ide segar yang wajib dipertimbangkan kembali oleh seluruh kader KAMMI, terutama para eksponen di ibukota sana. Namun, tidak sedikit darinya beberapa perkara yang urgen didiskursuskan serta dikomentari. Dalam konteks inilah esai pendek ini hadir. Moga-moga menjadi timbangan yang berguna.
***
Muatan ide dalam opini Anis: “Upaya Strategis Pembenahan Politik Indonesia melalui KAMMI” seingat saya pernah muncul ketika DM3 Yogyakarta beberapa tahun lalu. Yang satu ini hanya pendapat. Kalau tidak salah, datang dari Triyanto Nugroho (Mekel), mantan pengurus KAMMI Wilayah DIY. Meskipun saat itu saya pikir ia hanya berkelakar. Ia mengatakan, KAMMI ke depan lebih baik jadi parpol saja. Yang terlontar begitu saja ketika tengah mengomentari diskusi yang berlangsung hangat membahas masa depan KAMMI. 

Tulisan Anis rasa-rasanya datang dari keresahan terhadap realitas logika kader KAMMI hari ini. Betapa dalam menggerakkan roda organisasi, para kader, bahkan AB3 sekalipun, tidak punya kemandirian berpikir serta berijtihad. Lantaran, sejak awal tak mampu membedakan sikap PKS dan sikap organisasi. Apa yang dilakukan dan dimusuhi PKS, turut serta harus didukung meskipun terkadang irasional, ahistoris, pragmatis. Katakanlah, sikap PP KAMMI kemarin yang secara terbuka mendukung  koalisi Merah Putih dalam isu RUU Pilkada.

Memang, kebanyakan kader KAMMI, umumnya berpikir dalam kerangka hizb. Yang dianggap ‘sehat’ ya seperti itu. Relasi keduanya sejak dulu memang bersifat resiprok, sejak organisasi ini didirikan. Doktrin al-hizb huwal jamaah, al jamaah hiyal hizb sebagai basis ideologi penyatuan, memang sangat manjur mengkondisikan dinamika ini. Sehingga menjaga PKS dari upaya-upaya melebar dan penggembosan dari belakang.

20 September 2014

POLITIK EKOLOGI; PERLAWANAN TERHADAP KORPORASI PASCAKOLONIAL MELALUI GERAKAN ECOFEMINISME


Diskusi KAMMI kultural surabaya
14 september 2014

Sekilas Kekayaan Ekologi Indonesia
Mengelola bumi, tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Tahun1945. merupakan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Materi tersebut termaktub dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33. Pemerintah sebagai satu-satunya yang memiliki kewenangan legal dan legitimasi yang absah mempunyai kewajiban untuk menjalankan amanah konstitusi.Cita-cita undang-undang dasar adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Mekanisme ini mempunyai fungsi nilai susut dan kerusakan dapat dicegah. Pemanfaat ekologi dan ekosistem yang ada di Indonesia harus ditangani oleh negara dan dimanfaatkan pengelolaan nilai sumber daya alam baik secara moneter dan ekologi untuk kepentingan rakyat sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kekayaan Alam Indonesia mencakup 8.157 spesies fauna atau mencakup 10% dari keberagaman spesies dunia, serta 15,5% dari total tumbuh-tumbuhan di dunia. Potensi sumberdaya ikan Indonesia mencapai 6,52 juta ton pertahun dengan luas terumbu karang mencapai 50.875 km2 atau 18% dari total luas dunia. Padang lamun hingga 30.000 km2.Di sektor kehutanan tercatat luas hutan Indonesia mencapai 132,54 juta hektar,tersisa 94,34 juta hektar pada 2012. Luas lahan gambut dari 21,53 juta hektartersisa 10,82 juta hektar pada 2011. Sektor bahan tambang mentah, sebagai komoditas utama industry makro, juga banyak di Indonesia, mulai dari besi,timah, nikel, emas, baja, dan semen.

Praduga transaksional korporasi
Melalui quasi oposisi biner yang fokus pada relasi timpang antara yang kuat dan lemah, kaya dan miskin ini merupakan cerminan korporasi tidak pernah berlaku adil, dan eksploitatif terhadap sumber daya alam dan masyarakat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap kekuasaan. Korporasi merupakan wujud kelembagaan kapitalisme penuh dengan tragika, kapitalisme yang melakukan perlawanan sistem religi dan nasionalisme. Kapitalisme memang spektakuler, dalam kurun waktu tertentu bisa mencetak kemudhan materi buat manusia, menciptakan dunia feodalisme menjadi demokrasi dan emansipasi (Dawan Rahardjo 1984)

Sedangkan menurut Milton friedman kapitalisme dalam korporasi ini telah turun aktif hampir semua pemerintahan represif di dunia ketiga, mulai rezim despotik. Kondisi ini diperkuat dengan pernyataan Erich Fromm (1995) kini manusia tidak berkutik dihadapan berhala materialisme, kediktatoran uang, anomistis dan perbudakan. Materialisme fundamentalistis alienasi manusia dari tuhan, sesama manusia, sinisme dan lingkungan. Manusia mengembara, namun tidak pernah dipersiapkan rumah untuk kembali. Gelombang masyarakat urban yang merupakan hasil dari konstruksi teknokratis.

Upaya Strategis Pembenahan Politik Indonesia melalui KAMMI

Anis Maryuni Ardi
SEKJEN KAMMI Airlangga, Pegiat Diskusi KAMMI Kultural Surabaya, 
aktivis feminis profetik, Penstudi Ilmu Politik Universitas Airlangga


 “Manusia bukan seonggok perut, kami percaya di atas semuanya, kita lapar demi martabat.” (Che Guevara da n Fidel Castro)

Sebagaimana definisi intelektual, Seorang terpelajar mungkin tidak dibesarkan di kampus ternama, mereka lebih banyak dibesarkan dan bergerak di organisasi pergerakan.(Anis M.A.)

Tidak ada gerakan di negara yang tidak terjadi di kampus. Kampus adalah “mini state” melalui pendekatan ilmiah maupun common sense, tentunya elite pergerakan mahasiswa sudah mampu memetakan gerakan mana yang mencerminkan partai apa. Sampai disini penulis ingin mengucapkan selamat kepada pihak yang sudah terjebak dalam “retrospective determinisms” banyak yang mengatakan hubungan KAMMI dengan PKS sudah selesai dibahas sejak 2012, KAMMI sudah “move on” (Arif Susanto, 2014). Disisi lain kalimat tersebut menyimpan paradoksal revolusi, yakni menolak kelompok lain yang tidak sealiran dengan pikirannya melalui cara yang tidak baik. Menolak pluralisme dan memberlakukan monisme (ideologi tunggal) sehingga semua aparatur negara diabdikan penuh untuk memagari kekuasaan tunggal. (miriam budiardjo, 1997). Dari logika kampus adalah mini state gerakan paling relevan untuk dihubungkan pada garis imaginer sistem ideologi adalah antara KAMMI dan PKS. Mulai dari paragraf ini pembaca tidak boleh menafikan realitas jika dan hanya jika kader KAMMI masih bangga dengan kebesaran para alumni KAMMI yang di partai, alumni yang ada di kursi parlemen, merasa puas untuk menjadi bayang-bayang. Tentunya mereka menikmati akan patronase itu, sehingga berakibat akan sifat patuh yang berlebihan dan akhirnya ketergantungan tanpa sebab. (Azami, 2014)

Think without comparative is unthinkable. Transformasi wacana dan konstruksi pemikiran yang solutif adalah bagian yang tak terpisahkan dari kammi kultural. Melalui hubungan sedarah antara KAMMI dan PKS, yang lahir dari rahim yang sama, sebagai anak kandung dakwah, bagaimana jika dua bersaudara bersaing dalam kontestasi politik?

Mendekonstruksi wacana publik, KAMMI adalah partai

Parlementer heavy merupakan implikasi gerakan mahasiswa yang mulai terkikis, idealism menjadi tidak awet hidup. Artinya gerakan ekstraparlementer sudah tidak diminati, indikatornya adalah aksi dan demonstrasi tidak signifikan untuk menjadi kontrol terhadap mekanisme pemerintahan. Secara riset KAMMI telah terbukti bersumbangsih terhadap bursa pemimpin dan elite kampus. Mengapa tidak mencoba menjadi penghilang dahaga yang dibutuhkan oleh rakyat secara konkret, salah satunya adalah merubah kelembagaan kammi dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik. Cita-cita ini menurut penulis lebih mulia daripada kader yang tidak paham terhadap kredo gerakan menjadi simpatisan salah satu Partai di Indonesia. Walaupun secara sadar kita semua tahu pasca tahun 60an, partai kader dan partai ideologis mulai merubah wajah menjadi partai transaksional (lihat format koalisi partai dan oposisi)

13 September 2014

Ketika Hati dan Kata berbicara



Muhammad Azami.
Pegiat KAMMI kultural Malang, Komunitas Tjangkir 13,
Kadep SOSMA KAMMI Malang

coba kau ceritakan bagaimana rerupa jingga
pada bayi yang terlahir buta

atau coba kau kisahkan bagaimana indahnya suara kekasihmu
bernyayi pada kanak yang terlahir tanpa telinga


oh manisku, terimakasih kau telah hadir kepadaku
tak membawa apa-apa kecuali sisi kemanusiaanmu
meminjamkanku segelas airmata rindu
yang biasa kau tuangkan pada kekasihmu di pulau seberang

nanti, akan kita ceritakan pada mereka yang belum terlahir: 
bagaimana mendung mengabur senja dan 
bagaimana langit sanggup mengeja c i n t a
Malang porak-poranda

RUU PILKADA CIDERAI KEDAULATAN RAKYAT!

Anis Maryuni Ardi
SEKJEN KAMMI Airlangga, Pegiat Diskusi Kultural Surabaya,
Penstudi Ilmu Politik Universitas Airlangga 

 

Mempercayai jalan parlementer yang tenteram, yakni meretas jalan kemerdekaan Indonesia dengan cara berebut kursi dalam dewan rakyat dan peminta-minta supaya diberikan kekuasaan politik, kita namai ‘percobaan untung-untungan’ yang menyesatkan. Percobaan ini hanya dapat dipikirkan secara teoritis dan praktis di dalam negeri jajahan yang mempunyai borjuasi bumi putra. Kerjasama yang jujur dengan golongan penjajah belanda di luar atau didalam dewan rakyat adalah pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia.”[1] (Tan Malaka)


Secara substantif Tan Malaka mencoba untuk memberikan  upaya preventif bahwa tak semua perjuangan politik bertumpu pada parlemen, termasuk pemilihan kepala daerah yang saat ini menjadi perdebatan publik, melalui RUU Pilkada. 

Atas nama kedaulatan rakyat, secara tegas pilkada ditangan DPR adalah wujud konkret pemangkasan kedaulatan rakyat yang selama ini menjadi hikmah kebijaksanaan yang mengalir dalam setiap proses demokrasi di Indonesia. Apakah pantas dalih untuk mengamalkan sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dijadikan semangat untuk mendesak pengesahan RUU Pilkada?

Pancasila merupakan rangkaian ide normatif yang elastis terhadap perkembangan zaman, setiap nilai yang tercermin dalam Pancasila berusaha membangun dialektika yang substantif. Dalam konteks ini proses politik yang berlangsung di Indonesia masih memerlukan nalar kolektif dari rakyat berupa keberhadiran suara rakyat. Segenap aktivitas politik harus mengutamakan nilai demokrasi yang substantif, dengan adanya pilkada dibawah wewenang DPRD berarti secara pelan-pelan akan membersihkan nalar kolektif dari rakyat, serta menjauhkan hikmah kebijaksanaan itu sendiri yang sejatinya merupakan kemurnian ide dari pancasila.

12 September 2014

DISKUSI KULTURAL SURABAYA : "Menakar Kebijakan Populis Presiden Terpilih"




suasana diskusi kultural surabaya. 
Studi kasus I; Gejala kelangkaan dan kenaikan harga BBM

SURABAYA (7/9) Untuk mempertahankan idealisme agar awet hidup dikalangan aktivis, dan mengurangi gejala pergerakan mahasiswa yang mudah “dibentuk” oleh dinamisasi media dan psikologi publik, merupakan semangat yang mengiringi diskusi kultural yang di inisiasi oleh KAMMI AIRLANGGA. Pasca kontestasi dan sirkulasi elit yang menguras emosi rakyat Indonesia sepanjang tahun politik 2014. Diskusi kultural kali ini mengangkat dua tema besar, Gejala kelangkaan dan kenaikan BBM serta Pertahanan Nasional melalui pengadaan Alutsista (Alat Utama Sistem Pertahanan Semesta) diskusi dimulai pukul 19.30 WIB- 22.30 WIB.

Diskusi kali ini berbeda dengan mekanisme diskusi sebelumnya, melalui studi kasus yang dilemparkan oleh moderator yang merupakan pengamat politik Universitas Airlangga, peserta diskusi diminta untuk menyimpulkan argumentasi dengan melempar pertanyaan kepada peserta diskusi lain, hal ini bermaksud untuk menciptakan situasi berpikir yang tidak “common sense”. Pemantik diskusi kali ini adalah Rachmat Ari Fattah, Technopreneur lulusan ITS, yang sangat kritis melihat fenomena kenaikan BBM melalui pendekatan Ekonomi politik. Melalui pendekatan ini, konstruksi berpikir peserta diskusi di arahkan untuk melihat “cover both side” terlepas dari pergantian presiden yang akan menentukan regulasi dan memformulasikan RAPBN bersama DPR, kenaikan BBM merupakan keniscayaan, yang perlu di tekankan adalah biaya produksi BBM serta kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran bisa di minimalisir.

Dalam 15 menit pertama alur diskusi ini masih belum mencapai konsensus apapun. Karena melalui perspektif teori kesejahteraan, yang dikhawatirkan dengan kenaikan BBM akan menciptakan disparitas sosial yang dampaknya multidimensional. Menurut Kwik Kian Gie, jika terjadi ketidakseimbangan dalam perekonomian di suatu negara, berarti ada kelembagaan ekonomi yang tidak berfungsi secara optimal, sejauh mana keseimbangan kebijakan fiskal dan moneter bisa mengatur rumah tangga suatu negara mencapai kemakmuran kolektif. Dalam perspektif Karina, aktivis Kammi pe-studi ekonomi pembangunan, melihat bagaimana inkonsistensi sikap “The rulling party” PDIP yang menyatakan dengan jelas di berbagai media bahwa partai ini mengusulkan subsidi BBM diminimalisir (Menaikkan Harga BBM), merupakan semacam pergeseran “interest dari public” interest menuju “personal interest”. 

Terlepas dari Inkonsistensi PDIP, apakah ada keyakinan bahwa jika presidennya bukan Jokowi, BBM tidak akan naik? Pertanyaan yang keluar dari Rhozi, Mahasiswa UNMUH ini sempat menekan diskusi pada ranah yang paling spekulatif, Menurut Agus Pariawan, Wisudawan Terbaik FPK Unair, ini bukan semata karena siapa presidennya, namun harus dilihat secara kolektif dari berbagai variabel. 

Melihat bagaimana komposisi APBN yang pemasukannya sebagian besar melalui Pajak dan setiap tahun APBN kita juga dibebani dengan kenaikan pengeluaran untuk subsidi sebesar 6,1% yakni sebanyak 76,8 Triliyun. Pemerintah bisa mengambil kebijakan fiskal yang tepat dengan menaikkan pajak untuk barang-barang mewah dan tarif tol, yang secara tersegmentasi penggunanya adalah menengah keatas. Walaupun kebijakan fiskal bukan satu satunya alternatif, setidaknya negara tetap bertanggungjawab dalam memelihara kemakmuran kolektif rakyatnya. 

Kesepakatan utuh dari diskusi dengan tema BBM ini adalah tetap mengawal agar pemerintah menyiapkan berbagai alternatif dan kebijakan yang tepat, agar keterpurukan ekonomi dan disparitas sosial tidak menjadi mimpi buruk bagi masa depan Indonesia.[]


8 September 2014

Hakikat Intelektualisme Kita! (Bagian 2)

Fachry Aidulsyah
Penerima Beastudi Aktivis Bakti Nusa Angkatan 4 Dompet Dhuafa,
Founder Gerakan Indonesia Berdaulat, Aktivis KAMMI Sleman


Kala Intelektualitas Menjadi Senjata!
Setelah kita banyak memperbincangkan tentang “Barat”, maka sudah saatnya kali ini kita membicarakan tentang konsepsi apa yang ditawarkan oleh identitas kita sendiri, yaitu selaku Muslim. Jikalau kita cermati, perbedaan mendasar dalam memahami kemajuan zaman dan peranan keilmuan yang terjadi antara Barat dan Islam adalah sejarah Renaissance yang memunculkan traumatik terhadap keagamaan di Barat. Agar tidak kehilangan umatnya para teolog dan pemikir Eropa-Amerika seperti Karl Barth, Friedrich Gogarten, Rudolph Bultmann, Harvey Cox, dll menyeru untuk melakukan perubahan radikal terhadap konsepsi teologis, perubahan terhadap model penafsiran injil dan juga mengenai hakikat peranan gereja baru. Perubahan tersebut diperlukan agar dapat menyesuaikan agenda rasional-modernis itu sendiri.

Sedangkan Islam, untuk membangkitkan peranan keilmuan dan menyesuaikan dengan kemajuan zaman bukan berarti harus merubah konsepsi teologisnya. Bahkan, hal yang paling fundamental untuk melakukan perubahan terhadap zaman dan spirit dari pengembangan keilmuan tersebut bersumber dari pandangan teologis Islam itu sendiri. 

Sebagaimana Wan Mohd Noor Wan Daud yang menyatakan bahwa dalam porsi lebih besar dari sejarah Islam, pengaruh sebenarnya dari intelektual, agama, dan transformasi budaya dan ilmiah mencerminkan sebuah proses yang disebut sebagai stabilisme dinamis (dynamic stabilism), yang terus menerus menggabungkannya, mengadopsi, dan menyesuaikan berbagai ide eksternal, konsep, dan praktik sesuai pandangan alam keagamaan yang terbangun dengan baik, etika, dan hukum Islam. Proses asimilasi dan inkulturasi ini juga berlaku untuk semua pemikir non-Muslim vis a vis agama dan tradisi mereka sendiri. Karya-karya dari semua pemikir kreatif Muslim tradisional dan reformis adalah dinamis dalam arti mencerminkan kegiatan mental dan fisik secara terus menerus, yang berusaha untuk memecahkan beberapa problem sejarah, konseptual, dan praktis. Solusi-solusi mereka sebagian besar atau seluruhnya baru. Namun solusi tersebut bertanggung jawab untuk memperbaiki, memperkuat metafisika, etika, kerangka hukum, dan sosial, serta prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu mereka melakukan stabilisasi.

Sayyid Quthb mengungkapkan, hukum-hukum Allah memiliki nilai-nilai yang tetap yang sanggup menampung dinamika kehidupan manusia yang terus berubah, dan itu disebutnya dengan “gerakan di dalam lingkaran yang tetap dan berada di seputar poros yang tetap pula”. Manusia, sebagai objek hukum, selalu mengalami perubahan. Akan tetapi, di tengah perubahannya tersebut, terdapat sesuatu yang tetap dan tidak berubah dalam dirinya, dan itulah yang menyebabkan manusia memerlukan sesuatu yang tetap pula.

5 September 2014

Hakikat Intelektualisme Kita! (Bagian 1)



Fachry Aidulsyah
Penerima Beastudi Aktivis Bakti Nusa Angkatan 4 Dompet Dhuafa,
Founder Gerakan Indonesia Berdaulat, Aktivis KAMMI Sleman


Dikala Rasionalitas dan Agamamu menjadi Arogan!

Mungkin hari ini adalah waktu yang tepat untuk memperbincangkan kembali apa yang terjadi di masa lalu. Ditengah gemuruhnya penghambaan terhadap berbagai macam konsepsi feminisme, liberalisme, komunisme, modernis dan post-modernisme yang dianut oleh kalangan muda telah membuat mereka menafikkan ke ber-Tuhan-an dan ke ber-Islam-an. Tidak dipungkiri, bahwa hal itu terjadi dikarenakan berbagai macam ideologi yang berkembang tersebut muncul dari semangat pembebasan dari keagamaan yang selama ini justeru menindas mereka.

Hal ini senada dengan George Balandes yang mengatakan bahwa; dalam hubungannya dengan politik, agama mempunyai dua sisi yang kontradiktif. Pada sisi yang pertama, agama dijadikan sumber bagi terbentuknya institusi yang menciptakan berbagai tata-aturan, sedang pada sisi yang kedua ia dapat dijadikan legitimasi tindakan.

Lebih jauh lagi, Karl Marx menyatakan bahwa agama adalah candu. Agama adalah suatu sistem, keyakinan, dan tata ke-Tuhan-an yang diciptakan oleh kaum borjuis untuk mengendalikan kaum proletar. Atas nama spirit ‘ke-Tuhan-an’, kaum borjuis ber-kehendak sesuka hati untuk mengeksploitasi kaum proletar. Hal ini justeru berkebalikan dengan Neitzsche yang menganggap bahwa agama diciptakan oleh kelas proletar dalam rangka untuk memberikan spirit ketabahan atas penderitaan yang dialami oleh mereka selama ini. ‘Tuhan’ pun menjadi pegangan penderitaan bagi kaum proletar. Wajarlah jikalau Friedrich Nietzsche menganggap bahwa “Tuhan telah mati”, sebab dengan adanya Tuhan, justeru masyarakat merasa nyaman dengan penderitaan dan kemiskinannya.

Namun, apakah pernyataan Nietzsche tersebut tidak menjadi kontradiktif, -sebagaimana diterangkan oleh Murthahari- ketika justeru Nietzsche sendirilah yang menyarankan bahwa sudah saatnya kaum miskin diberanguskan, mereka adalah orang-orang yang tidak layak untuk hidup di dunia dan menjadi beban bagi negara.

Pertanyaannya adalah, lalu agama manakah yang dimaksud dalam rekam jejak Karl Marx dan Friedrich Nietzsche? Untuk membicarakan perihal ini, perlu kiranya kita untuk membuka kembali sejarah keagamaan Barat –yang menjadi ketakutan mereka- dimasa lalu.

3 September 2014

[ULASAN BUKU] Sanggupkah Dunia Tanpa Sekolah?




Judul Buku : Dunia Tanpa Sekolah


Penulis : M Izza Ahsin


Penerbit : Read! (Mizan Group)


Jumlah Halaman : 252 Halaman


Cetakan : April 2007


Peresensi : Sofistika C. Ediwindra *)



Refleksi atas bacaan terhadap novel Dunia Tanpa Sekolah

Dunia Tanpa Sekolah merupakan judul sebuah buku karangan Muhammad Izza Ahsin Sidqi. Buku atau lebih tepatnya novel yang mengisahkan sepenggal rangkaian perjalanan hidup nyata sang penulis ini memang memukau. Seperti judulnya, novel ini menceritakan kehidupan pribadi penulis yang mengaksikan suatu hal 'radikal' : MEMILIH TIDAK SEKOLAH.

Tidak sekolah? Yang benar saja? Pasti seputaran begitu yang kita lontarkansaat membayangkan terlebih membaca buku yang merupakan seri Read! Dari tiga seri Read, Write and Imagine. Penulis menuturkan dengan rinci hal yang ia hadapi saat menentukan pilihan keluar dari sekolah. Ia memilih untuk tidak bersekolah. Awalnya saya pun hampir mengatakan bahwa penulis ini gila. Alasan utama ia keluar dari sekolah yakni ingin fokus menulis. Hanya itu? Mau jadi apa dia kelak? Apa Anda akan berkomentar demikian?

Dari pada memusingkan aneka pertanyaan yang menyeruak, saya merumuskanbeberapa pembelajaran utama dalam kisah yang dibukukan ini.
Pertama, pembelajaran akan lemahnya pendidikan, hingga kini. Izza bukan merupakan anak bodoh (atau dicap bodoh) di kelasnya. Meski demikian, sekolah baginya bak sebuah penjara.

Seorang Izza lahir dari keluarga yang well-educated. Orang tuanya, terutama sang ayah merupakan sosok teladan hingga Izza lahir sebagai pembelajar keras. Kegemaran membaca telah dipupuk dan mendarah daging dalam diri Izza. Tak salah jika di usia kelas 3 SMP ia telah mengoleksi 600an buku. Kegandrungan ayahnya pada buku tentang pendidikan radikal, quantum learning, dll lah yang menjadi inspirasi keputusan besarnya yakni untuk tidak sekolah.