Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar
Peneliti dan Aktivis.
SETIAP tahun,
kita bertemu dengan satu tanggal kelam: 30 September. Kelam karena sampai hari
ini, kita tidak kunjung mampu untuk berekonsiliasi dengan apa yang terjadi
puluhan tahun silam. Wijaya Herlambang, seorang penulis Indonesia, mengupas hal
ini dengan cermat: baginya, apa yang terjadi pada tahun 1965-66 ditutupi dengan
hegemoni budaya yang dijalin dengan cermat, membuat kesadaran kita tentang “kekerasan
budaya” menjadi tertutupi oleh narasi rezim tentang G30S. Bahkan, perbincangan
tentang “Komunis” masih berlangsung pada Pemilu 2014, ditiupi oleh omongan
orang-orang bodoh di media massa yang ingin menyerang lawan politiknya dengan
hal-hal semacam ini.
********
ADA sebuah
kecenderungan bagi kelompok masyarakat tertentu, untuk “menangisi” kematian
dari orang-orang yang mereka pahlawan, sembari “berteriak kegirangan” karena
matinya orang-orang yang mereka anggap jahat. Hal ini, mungkin sering terjadi
pada kita –umat Islam. Berapa banyak di antara kita, bahkan mereka yang mengaku
aktivis gerakan Islam, yang menangisi mereka yang meninggal di Palestina tetapi
justru ramai berapologi ketika diingatkan dengan apa yang terjadi pada tahun
1965-66? Banyak yang mungkin akan mengambil dalih, “komunis” membunuh
orang-orang Islam dan semacamnya sebelum 1965, tetapi sedikit yang mau mengakui
bahwa apa yang terjadi setelah 1965 juga tak kalah “komunis” dibanding
orang-orang komunis yang mereka tuduh itu.
Judith Butler
mengingatkan kita pada hal-hal semacam itu. Baginya, “tangisan” bisa menjadi
sangat politis. Hal ini terjadi pada masyarakat Amerika Serikat yang menangisi
para pahlawan mereka yang meninggal di Perang Dunia I, yang “membunuh” di bawah
panji-panji kebesaran nasional, lalu berpesta ketika para tentara mereka
membunuh warga sipil di Iraq dan Afghanistan. Ini tak jauh dari hipokrisi –kemunafikan, yang sayangnya,
sering muncul dalam cara banyak orang melihat kematian, kekerasan, dan kekuasaan.
Kekerasan dan kematian, ternyata, bertalian erat dengan identitas yang
menjustifikasi adanya kekerasan itu.
John Roossa
melihat G30S sebagai semacam pretext untuk
pembunuhan dan penangkapan massal yang terjadi setelah kejadian tersebut. Apa
yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965-66 mengingatkan kita pada kejadian
yang sangat mirip yang terjadi pada tahun 2001-03, di Amerika Serikat. Setelah
tragedy 9/11, ketika pesawat “teroris” dibajak dan ditabrakkan ke gedung World Trade Center. Kejadian ini
disiarkan secara luas ke seluruh dunia. Tapi tragedi sebenarnya adalah apa yang
terjadi setelah itu. “Islam Radikal” diburu di mana-mana. Angkatan Perang
Amerika Serikat segera diluncurkan ke Afghanistan, membunuh rakyat sipil atas
dalih “Perang Melawan Terorisme” dan sukses meruntuhkan rezim Afghanistan.
Rupanya perburuan itu juga tidak cukup. Iraq menjadi sasaran berikutnya.
Amerika Serikat sukses mengukuhkan dominasinya di Timur Tengah dengan ‘cambuk’
yang siap menghukum siapapun yang mbalelo
terhadap kekuasaannya.