30 November 2014

Meninjau Kembali Keberadaan PW KAMMI

Oleh: Robert Edy Sudarwan
Penggiat di KAMMI

”Tulisan ini adalah refleksi perjalanan di tengah gegap gembitnya KAMMI dalam karyanya untuk Indonesia baik secara kultur atau pun struktur. Sekedar untuk mengingat dan mengukur diri, sebagai cermin yang harapannya dapat di jadikan cara untuk melihat diri sendiri untuk lebih baik dan bertahan dalam dinamika pergerakan kepemudaan di Indonesia,”.

Kehadiran KAMMI sejak 1998 dalam kancah gerakan di Indonesia tentu tidak dapat lepas dari visi besarnya. Dengan karakter gerakan yang bukan hanya sebagai oganisasi masa, namun juga organisasi pengkaderan. Organisasi ini menjadikan kader sebagai komponen utama dalam mencapai visinya, dan mau tidak mau di pertemukan pada banyaknya masalah dalam proses kaderisasinya.

Pengkaderan dalam hal ini diartikan sebagai sistem  yang terdiri dari beberapa tahapan untuk menanamkan nilai jati diri kader KAMMI dalam mencapai tujuan bersama. Pada proses ini secara formal, tentu ada yang bertindak sebagai subjek dan objek. Subjek adalah mereka yang diamanahi sebagai pelaksana pengkaderan, sedangkan objek adalah sasaran pengkaderan yang tidak lain adalah kader itu sendiri.

28 November 2014

Pelajaran Morsy untuk Jokowi dan Andriyana

oleh: Ahmad Rizky M. Umar
Editor Jurnal KAMMI Kultural

Pada bulan Maret 2013, beberapa bulan sebelum Kudeta di Mesir,  seorang kolumnis di Harian  Ahram menulis sebuah artikel berjudul "Apa yang tidak dipahami Morsi tentang Reformasi Kepolisian?" Di masa itu, Mesir sedang dilanda gelombang demonstrasi yang menuntut Presiden Morsi untuk mundur. Ia menulis kira-kira seperti ini: 

"Saya tidak akan menyebut-nyebut sikap yang diberikan oleh orang-orang presiden di luar istana. Saya hanya ingin mengingatkan Presiden bahwa mereformasi kepolisian bukan permintaan kecil yang bisa sewaktu-waktu diabaikan. Dan sikap Presiden yang mencoba untuk tidak meng-address masalah ini akan membuat "Pemilu" kehilangan maknanya"

26 November 2014

KAMMI sebagai "Gerakan Sipil Keumatan" (Bagian 3-Habis)

Muhammad Sadli Umasangaji
Aktivis KAMMI Ternate, Tinggal di Maluku Utara

Istilah Gerakan Sipil Keummatan’ adalah sebuah frase yang tertuang dalam Rencana Strategis KAMMI Periode 2013-2015 dengan tahapan implementasinya hingga 2024. Padanan frase ini, mungkin memiliki makna yang mirip dengan ‘Masyarakat Sipil’ ataupun ‘Masyarakat Madani’. Tulisan ini akan mengulas relevansi frase ini untuk masa depan gerakan mahasiswa dan, secara lebih luas, Gerakan Islam di Indonesia.

Masyarakat Otentik dan Cita-Cita Gerakan KAMMI
Konsepsi KAMMI sebagai “Gerakan Sipil Keumatan” ini kemudian mengundang pertanyaan lanjutan: apa yang sebenarnya ingin dituju oleh KAMMI dengan konsepsi tersebut? Sayyid Qutbh menuliskan Islam tidak akan mampu menuaikan perannya kecuali apabila ia tampil dalam sebuah masyarakat, yakni tampil dalam suatu umat (ummah; komunitas pemeluk agama). Manusia tidak akan mau mengindahkan, lebih-lebih pada masa sekarang, seruan akidah semata, mereka enggan memandang bukti nyata dalam kehidupan kekinian.

24 November 2014

KAMMI sebagai "Gerakan Sipil Keumatan" (Bagian 2)

Muhammad Sadli Umasangaji
Aktivis KAMMI Ternate, Tinggal di Maluku Utara



Istilah ‘ Gerakan Sipil Keummatan’ adalah sebuah frase yang tertuang dalam Rencana Strategis KAMMI Periode 2013-2015 dengan tahapan implementasinya hingga 2024. Padanan frase ini, mungkin memiliki makna yang mirip dengan ‘Masyarakat Sipil’ ataupun ‘Masyarakat Madani’. Tulisan ini akan mengulas relevansi frase ini untuk masa depan gerakan mahasiswa dan, secara lebih luas, Gerakan Islam di Indonesia.

23 November 2014

KAMMI sebagai "Gerakan Sipil Keumatan" (Bagian 1)

Muhammad Sadli Umasangaji
Aktivis KAMMI Ternate, Tinggal di Maluku Utara

Istilah ‘ Gerakan Sipil Keummatan’ adalah sebuah frase yang tertuang dalam Rencana Strategis KAMMI Periode 2013-2015 dengan tahapan implementasinya hingga 2024. Padanan frase ini, mungkin memiliki makna yang mirip dengan ‘Masyarakat Sipil’ ataupun ‘Masyarakat Madani’. Tulisan ini akan mengulas relevansi frase ini untuk masa depan gerakan mahasiswa dan, secara lebih luas, Gerakan Islam di Indonesia.

16 November 2014

Menuju Gerakan Intelektual KAMMI (Muqaddimah Pertanggungjawaban Kajian Strategis KAMMI DIY 2001-2002)

oleh: Mu'tamar Ma'ruf
Ketua Bidang Kajian Strategis KAMMI DIY 2001-2002, Kini Guru SMP di Jakarta

CATATAN  EDITOR: Tulisan ini merupakan Muqaddimah dari Laporan Pertanggungjawab Bidang Kajian Strategis KAMMI DIY 2001-2002 yang ketika itu digawangi oleh Mu'tamar Ma'ruf. Editor memberikan judul, merangkum kembali bagian-bagian yang terserak dan memperbaiki beberapa masalah penulisan. Naskah Pertanggungjawaban ini penting karena memuat gagasan-gagasan yang mendasari profil "Gerakan Intelektual Profetik" KAMMI sebelum menjadi bagian dari paradigma gerakan di Muktamar Samarinda 2004. Kami berharap, Semoga menjadi inspirasi bergerak dan berkarya bagi kader-kader KAMMI di tahun 2014. Silakan dinikmati sajian dari Forum Diskusi KAMMI Kultural. 

Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”, Maka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?: Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q. S. Al-Baqarah: 30).

Ayat yang penulis kutip di atas membuat kita bertanya-tanya. Di ayat tersebut, tertulis bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menciptakan seseorang yang nantinya akan dijadikan menjadi khalifah di bumi ini. Ayat di atas jelas tidak menunjuk sebuah kaum, atau manusia secara keseluruhan, tetapi menunjuk seseorang. Siapakah dia?


15 November 2014

Gus Dur dan Toleransi

Oleh : Dharma Setyawan
Pegiat KAMMI Kultural Lampung, Pengelola pojoksamber.com   
“Yang dilarang dari umat Islam bukan perbedaan pendapat tapi perpecahan” (Gus Dur)

Melihat fenomena kekerasan di dunia pendidikan akhir-akhir ini kita semakin sadar pendidikan adalah bagian kekerasan struktur. Penyiksaan yang dialami siswi SD Sumatra Barat oleh beberapa temannya adalah kekerasan yang bisa jadi adalah fenomena gunung es. Sekolah hari ini adalah penjara-penjara baru bagi mereka yang sedang tumbuh kreatifitasnya. Sekolah bahkan menjadi tempat penyeragaman dimana keberagaman sulit diakui. Mereka-mereka yang tumbuh berbeda dan melenceng dari arus kurikulum negara tidak layak untuk menjadi peserta didik yang baik. Contoh nyata, sekolah cenderung menjadi perlombaan nilai angka 10 dan ranking ke-1 dalam sudut mata pelajaran matematika. Matematika dalam arti kejujuran, toleransi, tolong menolong dilihat sebagai bentuk untung rugi. Matematika bahkan tidak diajarkan secara benar dalam arti membentuk hidup yang saling menambah mutu. Malah matematika selalu dianggap sebagai kalkulasi kehidupan yang sangat pragmatis, culas, sampai hedonis. Saling tikam, saling telikung, saling meng-kapital adalah matematika darwinisme—organism struggle . Sulit ditemukan ajaran matematika untuk saling berbagi, saling manambah sehingga dapat saling menguntungkan.

13 November 2014

Diskursus Tentang KAMMI; Tanggapan atas Tulisan Ali Akbar Hasibuan (Tentang KAMMI 1)

M. Sadli Umasangaji
Aktivis KAMMI Kota Ternate

Saya menjadi tertarik membaca mengenai ritme KAMMI Kultural. Bagaimana KAMMI Kultural lahir sampai pada gagasannya. Saya merasa cocok dengan itu. Karena sederhananya ada ‘kader-kader KAMMI’ (KAMMI Kultural) yang selalu menyediakan ruang diskusi serta ruang penciptaan gagasan untuk KAMMI dalam pandangan ‘KAMMI Kultural’. Saya tertarik dengan KAMMI Kultural, pertama, saya tertarik karena ada ruang dimana penciptaan gagasan dan diskusi. Kedua, mengenai diskursus KAMMI. Diskursus yang menjadi diskusi dalam internal KAMMI bahkan merata terjadi dalam semua internal KAMMI se-Indonesia, pertama, diskursus PKS-KAMMI, kedua, lemahnya budaya literasi kader, apalagi digiring untuk budaya baca buku ‘filsafat dan kiri’ dan tulis-menulis, identitas dan ideologi KAMMI, KAMMI dengan gaya ke-LDK-an, KAMMI-Ikhwanul Muslimin, KAMMI-partisipan lain.

Ketiga, kultural dijadikan sebagai silahturahim antara lintas generasi. Setiap generasi bebas untuk berbagi gagasan untuk KAMMI dalam pandangan mereka, mungkin subjektif, tapi pertama, setidaknya menghidupkan khasanah intelektual dalam tubuh KAMMI, kedua, ada sesuatu tentang keKAMMIan yang dapat dikaji, ada pelajaran yang dapat diambil dalam lintas generasi itu. Secara pribadi, saya mungkin bukan orang yang doyan membaca dan mengoleksi ‘buku filsafat dan buku kiri’.

11 November 2014

Jaket, Citra, Imajinasi

oleh: Faizal Adisurya
Aktivis KAMMI Solo

Pemilu tahun ini sempat dihebohkan dengan politik pencitraan. Ulah pemain politik yang berselingkuh dengan media, menjadi jamak dilakukan untuk mengangkat nama baik dan mengangkut suara yang gemuk. Politik Pencitraan adalah strategi beken, ketika mereka kaya akan dosa dan miskin amal. Namun dewasa ini, agaknya pencitraan menjadi hal yang klise. Standar hidup mulai memaksa untuk mengeksploitasi penampilan. Kehidupan pencitraan mulai mengetuk kehidupan mahasiswa yang bergiat mencari identitas.

Jaket dan Citra 
Pada awalnya, Jaket  adalah  pengusir hawa dingin.Mayoritas Pengguna jaket bisa kita lihat misalnya di daerah pegunungan yang berhawa dingin. Di perkotaan yang berhawa panas dan bising, jaket lebih berfungsi sebagai teman berkendara dan pelindung terik matahari. Meski demikian, hari ini jaket menjadi komoditi berharga, preferensi pengguna jaket hari bukan dari nilai guna, namun lebih memperhatikan nilai tanda.

Kisah ini bisa kita temui pada keakraban mahasiswa dan jaket. Khususnya aktivis kampus. Dalam keseharian, Aktivis kampus lekat dengan jaket yang bertuliskan nama organisasi dan slogan idealisnya. Tulisan ini memilki peran yang lebih penting dari wujud jaket itu sendiri.

9 November 2014

KAMMI dan Fahri Hamzah: Hegemoni atau Patron Baru?

oleh: M. Sadli Umasangaji
Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate

Pria Sumbawa itu yang kini telah menjadi Wakil Ketua DPR-RI, dan juga menjabat sebagai Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera. Sudah umum diketahui bahwa Fahri Hamzah merupakan dekralator KAMMI atau Ketua Umum KAMMI pertama.

Saya telah membaca sebuah adu gagasan yang dilakukan oleh ‘para kader KAMMI’ mengenai Fahri Hamzah. Pertama, tulisan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar yang judul “Melupakan FahriHamzah dari Pikiran KAMMI”. Kedua, tulisan Tsurayya Zahra, “SedikitBerbeda Pendapat Dengan Umar Tentang Fahri Hamzah di Dunia KAMMI”. Ketiga, tulisan Faqih Addien Al Haq, “Mendulang Nilai,Memutus Rantai : Menyingkap Tirai KAMMI (Pendapat untuk Melupakan Fahri Hamzahdari Cara Berfikir KAMMI)”. Keempat, Dharma Setyawan, “KAMMI Merdeka danMetafor Fahri Hamzah”. Kelima, tulisan Alikta Hasnah Safitri, “Melampaui Konflik dalam Kesatuan”. dan Keenam, nasehat dari Yusuf Maulana berjudul Patron, Mentor, dan Idola

Tulisan ini mungkin tidak mengikuti alur dari tulisan yang ada itu, walaupun dalam alur tulisan itupun dikatakan ada proses ‘mis-presepsi’ dari tulisan awal. Tulisan ini mungkin menghasilkan alur lain dengan pandangan subjektif sebagai bentuk tanggapan terhadap tulisan yang ada, titik realitisnya adalah pandangan dari kader KAMMI di daerah, daerah nan jauh, di Timur.

Patron, Mentor, Idola

Kontribusi untuk Diskusi tentang KAMMI dan Fahri Hamzah

oleh: Yusuf Maulana
Alumni KAMMI


Dalam pematangan gerakan, aktivis tetap butuh patron dan mentor. Jauh sebelum Republik ini berdiri, pengaderan para pejuang bangsa senantiasa diselubungi dengan peneladanan dan pengidolaan. Logis saja manakala anak didik mengikuti-habis setiap yang dikatakan patron maupun mentor. Bukan semata karena ada keyakinan barakahnya ridha sang patron ataupun mentor, melainkan juga karena ada ikatan kuat untuk selalu berbuat lebih baik.


Bagi saya, hal itulah yang muncul ketika membaca tulisan adinda Umar, "Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI" dan tulisan-tulisan tanggapannya dari Zahra, Dharma, Faqih, dan Alikta. Saya ingin mengarifi tulisan tersebut sebagai sebuah auto-kritik terhadap KAMMI, sekaligus juga ingin memberikan catatan bahwa dalam setiap pergerakan, tak terkecuali gerakan mahasiswa, ada semacam kegalauan ketka harus berinteraksi dengan senior. Ia bisa menjadi patron, mentor, atau dalam kasus yang lebih khusus: idola. 

Melampaui Konflik dalam Kesatuan: Catatan untuk KAMMI

Masih tentang KAMMI dan Fahri Hamzah

oleh: Alikta Hasnah Safitri
Sekretaris Bidang Medkominfo KAMMI UNS dan Pegiat Forum Diskusi Kultural Solo

Saat membuka beranda facebook sore tadi, saya dikejutkan oleh beragam respon yang muncul untuk menanggapi tulisan yang dirilis oleh Bang Umar akhir pekan lalu berjudul “Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI”.. Respons tersebut terutama dipantik oleh tulisan Yunda Tsurayya Zahra dan kemudian menjadi perbincangan hangat kader-kader KAMMI, mungkin dari seluruh Indonesia. 

Yunda Zahra memberi tanggapan dengan membangun narasi tentang KAMMI sebagai sebuah keluarga.  Setiap kader diharapkan memiliki loyalitas terhadap KAMMI sebagai bagian dari keluarga besar yang akan terus menopang, mendukung, dan menguatkan. Bahkan Yunda Zahra mencontohkan Anas Urbaningrum yang hingga saat ini masih didukung oleh kader HMI untuk menguatkan argumennya.

Mendulang Nilai, Memutus Rantai: Menyingkap Tirai di Tubuh KAMMI

Pendapat untuk Diskusi tentang KAMMI dan Fahri Hamzah

oleh :
Faqih Addien Al Haq[1]
Muh. Ashim Adzorif[2]

Pengantar
Heboh dan hebring. Begitulah suhu dan kondisi obrolan di tempat-tempat para kader KAMMI biasa ngobrol, baik di warung kopi maupun di grup diskusi media sosial (kalau media sosial dianggap sebagai tempat) setelah beberapa hari yang lalu pada 18 Oktober 2014, bung Umar merilis opininya berjudul "Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI". Bahkan sempat terlontar sebuah pertanyaan, “Bagaimana kita menceritakan kepada kader KAMMI yang baru dalam materi ke-KAMMI-an jika Fahri Hamzah harus dilupakan ?”.

Sentimen negatif yang dulu (atau mungkin sekarang masih) pernah dilontarkan tentang situs berbahasa Indonesia, Jurnal KAMMI Kultural (begitu mbak Tsurayya menyebutnya dalam artikelnya disini) merebak kembali. Ketidakdewasaan berfikir yang selama ini mengendap, kemudian berpendar ke permukaan hanya karena sekelebat gerakan seperti ikan di dasar kolam. Ternyata, hipotesa (karena belum diteliti lebih lanjut) yang disampaikan bung Umar tentang patronase gerakan (bahkan pemikiran) kader KAMMI kepada Fahri Hamzah, mendekati kebenaran. Karena ketidak fahaman atas sebuah gagasan, banyak yang menganggap bahwa inti gagasan bung Umar adalah tentang ‘Fahri Hamzah dan kawan-kawan’, padahal bukan.

KAMMI Merdeka dan Metafor Fahri Hamzah

(Tanggapan terhadap Umar dan Zahra)

oleh: Dharma Setyawan
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, Sekarang tinggal di Lampung

Semakin menarik ketika Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (kemudian disebut Umar) menulis tentang Fahri Hamzah dan ditanggapi melalui sebuah tulisan oleh Tsurayya Zahra, mantan pengurus pusat KAMMI yang kini bergiat bersama Presidium Nasional KAMMI. Melalui tulisan tersebut, Zahra ingin mengingatkan pada kita bahwa sejatinya Fahri adalah bagian dari keluarga KAMMI dan tugas anggota KAMMI untuk membela dan mengingat perjuangannya.

Saya ingin memberikan semacam 'tanggapan atas tanggapan' terhadap tulisan menarik dari Saudari Zahra itu.

Pendapat tentang KAMMI dan Fahri Hamzah

Catatan Editor: Artikel ini mula-mula dimuat di facebook pribadi beliau dan dimuat kembali untuk memperkaya diskusi tentang KAMMI dan Fahri Hamzah

oleh: Tsurayya Zahra
Pengurus PP KAMMI 2011-2013

Ahmad Rizky Mardhatilah Umar, editor Jurnal KAMMI Kultural, dengan lugas dan cerdas menulis sebuah essay berjudul “Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI”  pada Sabtu, 18 Oktober 2014 yang dirilis oleh Jurnal KAMMI Kultural. Saya memutuskan untuk memberikan tanggapan atas tulisan tersebut.  

Umar mengatakan bahwa Fahri Hamzah hanyalah mewarisi patronase KAMMI pada PKS seperti yang ditulisnya pada paragraf delapan , Fahri Hamzah memang sudah tidak di KAMMI lagi, tapi ada satu warisan yang ia tinggalkan: patronase KAMMI terhadap PKS. Bergabungnya Fahri, dan aktivis-aktivis generasinya, dengan PKS, menandai satu episode baru terhadap KAMMI: politik patronase yang terbangun secara tidak sadar antara KAMMI dengan partai berlambang padi hitam ini. “ , Umar juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan Fahri Hamzah dan eksponen 98 merupakan suatu bentuk kegagalan tersebab setelah reformas ipun , Indonesia masih juga disetir oleh anasir–anasir orba yang menurutnya masih memiliki kekuatan untuk mengendalikan Indonesia.