31 Desember 2014

Kota, Kata, Kamisan, Kultural: Dari Tahun yang Berlalu Menuju Awal yang Baru

Oleh: Dharma Setyawan
Pegiat Majelis Kamisan Cangkir dan Forum Diskusi Kultural, Penulis Buku “Haji Agus Salim: The Grand Old Man”


 “Di belakang gedung-gedung tinggi
Kalian boleh tinggal
Kalian bebas tidur dimana-mana kapan saja
Kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
Jika kedinginan karena gerimis atau hujan
Kalian bisa mencari hangat
Di sana ada restoran
Kalian bisa tidur dekat kompor penggorengan
Bakmi ayam dan babi denting garpu dan sepatu mengkilat
Di samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan asli Jepang
Kalian bisa mandi kapan saja
Sungai itu milik kalian
Kalian bisa cuci badan dengan limbah-limbah industri
Apa belum cukup terang benderang itu lampu merkuri taman
Apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
Kota ini milik kalian
Kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu jangan!”

-Wiji Thukul: “Kota Ini Milik Kalian”-

Upaya Transformasi KAMMI

oleh : M. Sadli Umasangaji
(Staf Departemen Kehumasan KAMMI Kota Ternate Periode 2012-2014)


Reideologisasi dan Rekonstruksi
Pada dasarnya bagi saya, KAMMI bukan sebuah gerakan mahasiswa yang original. Dalam artian KAMMI tidak memiliki konsep yang dari awal dirancangnya sendiri, tapi KAMMI adalah gerakan mahasiswa peniru (imitator). Imitasi yang akhirnya berinovasi, itulah yang tepat disematkan pada KAMMI sebagai keorisinalanya. Pada dasarnya semua yang ada di dunia adalah peniru, bukan orisinal atau lebih tepatnya pengembangan karena berbagai inovasi dimulai dari sebuah peniruan (imitasi). Imitasi adalah meniru dengan membuat seperti yang sudah ada. Sedangkan inovasi adalah pembaruan ataupun penemuan dari sekumpulan hal yang sudah ada, tetapi memiliki nilai tambah. Imitasi dibagi dalam tiga bagian, yaitu imitasi inferior, imitasi mirip, dan imitasi superior (Sidik dalam Trim, 2011). Imitasi inferior artinya produk yang dihasilkan jauh mutunya dibandingkan produk yang ditiru. Imitasi mirip artinya produk yang dihasilkan sama mutunya atau minimal mendekati mutu produk yang ditiru. Dan imitasi superior artinya pada tingkatan ini imitator membuat produk lebih bagus daripada produk yang ditiru.
            
KAMMI merupakan bagian dari gerakan dakwah ideologis yang mengglobal yang mempunyai kekhasan. Ini sebuah keniscayaan yang seharusnya dieksplor lebih jauh oleh KAMMI. Maka pada tataran ini adalah ranah re-ideologisasi. Pendalaman pemahaman sebagai Gerakan Tarbiyah dan penguatan pemahaman sebagai bagian dari pengembangan Ikhwanul Muslimin. Tapi dalam hal ini bukan membuat KAMMI terjebak pada gerakan politik praktis, namun lebih pada pendalaman pemikiran harakah Islam.  

Disini KAMMI akan menempatkan dirinya sebagai basis gerakan massa politis (ekstra parlementer) atau sebagai mesin ideologis atau peleburan keduanya, gerakan massa yang berideologi. Penempatan KAMMI sebenarnya (atau butuh sebuah kesadaran) adalah sebuah cover dari harakah Islam tertentu dalam gerakan ideologi yang lebih besar, sehingga posisinya sebagai klien secara fisiologis dari gerakan ideologi itu sendiri. Maka bila ditempatkan sebagai mesin ideologis minimal KAMMI harus menjadi imitasi mirip sedangkan dalam tindakannya ia harus menjadi imitasi superior. 

Dalam ranah ini, maka dibutuhkan rekonstruksi melalui fase-fase. Ikhwanul Muslimin misalkan, memiliki fase-fase yang terdiri dari fase pengenalan, fase pembentukan, dan fase pelaksanaan. sejatinya KAMMI harus memiliki fase, yakni fase Konseptual, Transisi, Substansi, dan Transformasi.


29 Desember 2014

Melampaui Islamisme: Otokritik untuk Gerakan-Gerakan Islam


Di edisi ini, Editor Jurnal KAMMI Kultural menerjemahkan artikel dari Professor Tariq Ramadan yang diambil dari website pribadi beliau, http:/www.tariqramadan.com/ Judul aslinya adalah "Beyond Islamism" dan berisi kritik terhadap kecenderungan gerakan Islam di beberapa negara, termasuk Turki, Mesir, Tunisia.

Beberapa poin penting yang ditampilkan dari artikel ini antara lain:

  1. Gerakan Islam Politik (Islamis) selama ini memang mampu menarik dukungan populer di pentas demokrasi, tetapi gagal mengelolanya dengan baik dan beberapa berujung pada konflik yang lebih besar.
  2. Perlu ada pembaharuan dalam Gerakan Islam saat ini, dengan tidak hanya bergerak di wilayah politik kekuasaan, tetapi juga politik pengetahuan dan kebudayaan. 
  3. Gerakan  Islam harus melampaui bias "Islam-Barat" yang dikotomis dan sloganistik, menjadi "Utara-Selatan" dengan dialog antara elemen-elemen yang selama ini terpinggirkan dalam tatanan dunia saat ini, dan dengan demikian menjadi alternatif atas tatanan dunia yang ada saat ini.

28 Desember 2014

Rachid Ghannouchi: Tidak ada Kontradiksi antara Islam dan Demokrasi!

Tulisan ini diterjemahkan oleh Ahmad Rizky M. Umar, Editor Jurnal KAMMI Kultural, dari sebuah op-ed yang ditulis oleh Rachid Ghannouchi di The Washington Post. Judul Aslinya adalah "Tunisia Shows There Is No Contradiction between Democracy and Islam".
 
oleh: Rachid Ghannouchi
Pendiri dan Ketua Umum Partai An-Nahdha, Tunisia

Sejak Tunisia bersiap untuk menggelar Pemilu kedua yang bebas dan adil bulan Oktober silam, yang menandai sebuah transisi dari despotisme ke demokrasi, ada semacam tawaran baru yang berbeda dari sikap ekstrem para teroris dan intervensi militer yang terlihat di kawasan Tiomur Tengah. Tunisia saat ini tengah menjadi sebuah "bukti" bahwa mimpi demokrasi kini sedang dituai setelah menghadapi Arab Spring empat tahun silam. 

Kendati ada yang percaya sebaliknya, tidak ada sama sekali "pengecualian" dalam proses demokrasi di Timur Tengah atau kontradiksi yang inheren antara Islam dan Demokrasi. Sebaliknya, Timur Tengah bisa mendapatkan stabilitas dan perdamaian melalui proses rekonsiliasi dan konsensus. Akan tetapi, jalannya tentu masih panjang dan memerlukan kerja-kerja menantang. Masih ada proses pembangunan institusi, mengobati "luka lama" dan memperoleh kompromi dari nilai-nilai yang selama ini disepakati. Jalan yang sedang ditempuh oleh Tunisia bisa memandu negara-negara lain di kawasan.

22 Desember 2014

Problem Mendasar Ideologisasi KAMMI

oleh: Biiznilah, 
Anggota Biasa KAMMI | Mahasiswa Pasca-Sarjana ICAS Jakarta  


Kader adalah rahasia kehidupan dan kebangkitan –Asyahid Hasan Al Banna-
Masalah Kita
Jika kita melihat KAMMI secara utuh, maka kita akan dihadapkan pada cerminan sebuah arus sejarah yang campur aduk, saling berkait, dan berkelindan. KAMMI berdiri di atas proses panjang yang melibatkan beberapa anasir di dalamnya: gerakan Tarbiyah, FSLDK, gerakan reformasi yang  melibatkan berbagai elemen mahasiswa, dan lain sebagainya. Maka dari itu, sepatutnya  tidak ada satupun individu ataupun lingkaran kelompok berhak  mendominasi arah dan warna gerakan KAMMI. Namun, yang terjadi sejak kemunculannya justru sebaliknya. Harus diakui, KAMMI telah didominasi oleh sebuah pola pandang yang cenderung kaku dan klasik. Bahkan sebagian kader KAMMI menganggap ekslusifitas KAMMI adalah bagian dari keistimewaan organisasi ini.
Kecendrungan ikhwanisasi dan salafisasi dalam tubuh KAMMI tak terhindarkan. Padahal, dalam filosofi gerakan KAMMI, kita tidak akan menemukan kecendrungan mazhab atau fiqroh tertentu. Kita hanya menemukan pernyataan-pernyataan universal yang menegaskan alasan KAMMI lahir.  Kecenderungan ini mengarah pada kebudayaan yang muncul dalam interaksi antar kader. Kesalehan skriptual dan ritus-ritus terlanjur menjadi indikator mutlak bagi status ke-KAMMI-an seorang kader.
Tentu, saya tidak menolak unsur-unsur kesalehan ini sebagai salah satu inti dari kultur KAMMI. Saya hanya tidak sepakat dengan labelling jati diri kader yang cenderung skriptual dan ritus oriented, hingga berimbas pada jati diri KAMMI secara keseluruhan. Jika demikian, KAMMI hanya menjadi gerakan mahasiswa yang mengusung agenda-agenda keagamaan. Ttak heran akhir-akhir ini kita banyak menemukan adanya atensi komisariat-komisariat KAMMI di indonesia yang mengadakan tasqif tentang kesesatan aliran ini, kesesatan mazhab anu, dan keburukun kelompok ini dan kejelekan kelompok itu.

21 Desember 2014

Menegaskan Eksistensi Wali dalam Pemikiran Islam Indonesia


Oleh: Ibnu Tsani Rosyada
Pegiat Forum Diskusi Kultural Surabaya | Aktivis PMII Universitas Airlangga

Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah polemik yang menghangat: munculnya stigma “berhala” terhadap makam para wali yang tercetak di buku pegangan guru Sejarah Kebudayaan Islam (Kurikulum 2013) untuk kelas VII Madrasah Tsanawiyah. Ironisnya, buku ituditerbitkan oleh Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Jelas hal tersebut kemudian menjadi isu hangat, terutama di kalangan pengguna media sosial.

Tentunya penulisan makam wali sebagai representasi dari bentuk “berhala”tidak bisa hanya dianggap sebagai kesalahan ringan yang dianulir begitu saja. Selain mengandung unsur SARA dan juga mengganggu keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia, sebagaimana yang dilontarkan oleh PBNU dalam situs resminya NU Online, hal ini juga bisa dilihat lebih seksama sebagai upaya untuk mendelegitimasi akan eksistensi wali. Terutama akan keberadaan Wali Songo beserta peranannya.

20 Desember 2014

Kenabian dan Perlawanan atas Tirani: Refleksi untuk KAMMI


oleh: Faqih Addien Al-Haq
Ketua KAMMI Universitas Airlangga, 
Pegiat Diskusi Kultural Surabaya

Satu
Hatinya masygul. Gundah gulana. Selama ini Tuhan memberikan kabar dan perintahNya melalui lorong-lorong mimpinya. Secepat ia bangun, sekejap pula ia memahami dan mengerti tentang wahyu yang baru saja turun dari syurga.

Ismail disembelih dalam mimpi oleh dirinya sendiri. Sekejap masa, Ismail kemudian menetapkan diri sebagai golongan para penyabar dan Ibrahim bersejajar dengan para kekasih Tuhan setelah pengorbanan atas putranya digantikan biri-biri raksasa.

Cerita singkat maha legendaris ini tidak ditulis oleh Tuhan dalam bukuNya hanya sebagai hiburan dan cerita saja untuk umat manusia. Maka, Dia bertanya, " Apakah kamu tidak berpikir ? " (3 : 65)

17 Desember 2014

KAMMI, “Fatwa”, dan Makna Perjuangan Kita


Oleh   : Faizal Adisurya
Anggota Biasa KAMMI di Surakarta

Dengan menyelami kematian | Manusia bisa hidup dan mati dengan indah
Komarudin Hidayat dalam Psikologi Kematian (2011)

Agak ragu sebenarnya bagi Saya menuliskan kisah jenaka ini. Keengganan ini berkaitan dengan relasi KAMMI dan Jama’ah Tarbiyah PKS— yang, menurut saya pribadi, tidak akan pernah habis dibahas ila yaumil qiyamah. Selain karena karena tidak pernah selesai, juga karena kita seperti sudah bosan sekali untuk kembali lagi memperbincangkan. Jurnal KAMMI Kultural sempat secara panjang melemparkan wacana ini ke publik dalam beberapa tulisannya agar publik menilai KAMMI dengan bingkai yang objektif, dan tentunya memberi kritikan yang membangun bagi relasi kuat ini. Namun, tidak banyak konklusi yang bisa diambil sebagai hikmah dalam tanggapan-tanggapan yang diberikan oleh anggota KAMMI.

Tempo hari, saya membaca The Death of Sukardal (1986), essay pendek bertenaga milik Goenawan Muhamad. Membaca esai ini membuat Saya ingin untuk segera mencatat dan menuliskan cerita yang tidak lebih campuran fakta dan fantasi ini. Mirip dengan apa yang terjadi di KAMMI hari ini. Kondisi KAMMI dalam cerita ini, kecil dan kalah. Seperti yang diungkapkan Goenawan dalam essaynya itu: Orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering kalah. 

Saya teringat Kredo Gerakan KAMMI yang dibacakan dalam pelantikan Anggota Biasa 1 dalam Daurah Marhalah 1 terakhir: Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak, dan seterusnya. Kredo dibacakan dengan suara cadas dan tegas. Panitia dan peserta tampak fokus mengikuti. Daurah terakhir ini lebih istimewa dari sebelumnya, karena pengelola mencoba menerapkan Manhaj Kaderisasi KAMMI secara konsekuen, terlebih dengan penerapan sistem keinstrukturan yang terkoordinasi di tingkat daerah dengan berbagai kode etiknya (misal: semua pemateri adalah instruktur yang telah mengikuti TPN/TPD sebelumnya, minimal AB2 KAMMI aktif, dan tentu saja tidak melibatkan “ustadz jama’ah”seperti biasanya).

15 Desember 2014

Majelis Kamisan Cangkir: "Membangun Tradisi Intelektual Kolektif itu Penting"


Beberapa waktu lalu, di Kota Metro, Lampung, berdiri sebuah Forum Diskusi bernama "Cangkir" (Berbincang dan Berpikir) yang diselenggarakan setiap malam Jumat. Forum Diskusi tersebut awalnya hanya beranggotakan beberapa orang, namun dalam waktu yang cukup singkat berhasil menarik perhatian media dan kalangan aktivis pergerakan di Kota Metro yang lebih luas. Bahkan, Komunitas ini sudah memiliki sekretariat yang dibangun sendiri secara gotong-royong untuk wadah berdiskusi, menulis, bahkan riset. Komunitas ini bukan hanya mengumpulkan aktivis mahasiswa lintas-pergerakan, tetapi juga menjadi wadah berdiskusi para pemuka agama dan aktivis pergerakan sosial. Tema-tema yang dibahas juga tidak melulu seputar keislaman, tetapi juga soal kebangsaan dan masalah-mmasalah sosial Lampung. Komunitas ini dibidani oleh beberapa orang, salah satunya Dharma Setyawan, mantan Ketua KAMMI STAIN Metro yang sekarang mengajar Ekonomi Islam di almamaternya. Dharma yang juga alumnus Sekolah Pascasarjana UGM ini pernah mendirikan dan aktif menggiatkan Forum Diskusi KAMMI Kultural di Yogyakarta. Pada kesempatan ini, Ahmad Rizky M Umar berkesempatan mewawancarai Dharma mengenai keterlibatannya dalam Forum Diskusi Cangkir ini. Berikut petikan wawancaranya.

14 Desember 2014

Tugas Seorang Anggota Biasa KAMMI (AB-III)

Oleh: Zulfikhar1 
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, Tinggal di Maluku Utara 

Pengantar
Dalam sistem perkaderan KAMMI, kita mengenal jenjang perkaderan dari Anggota Biasa I (AB-I) hingga Anggota Biasa-III (AB-III) yang merupakan jenjang perkaderan yang harus dilalui oleh kader KAMMI. Seorang kader, idealnya menempuh jenjang perkaderan hingga Daurah Marhalah III hingga menjadi Anggota Biasa III. Dengan menjadi AB-III, ia berkesempatan untuk menjadi Ketua KAMMI Daerah, Pengurus KAMMI Wilayah, atau menjadi fungsionaris di PP KAMMI.  
Acap kali kita sebagai kader KAMMI di cekoki oleh sebuah pandangan, bahwa AB-III adalah kader yang menguasai segala sesuatu tentang KAMMI. Suatu prototipe “Manusia KAMMI” yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan, baik teoritis dan praktis sekaligus. Dari fragmen-fragmen tentang Islam, ideologi, sampai persoalan politik, terutama politik praktis. Semua dipandang ada pada AB-III.
AB III dianggap sebegitu mulianya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka telah lama berkecimpung dalam organisasi. Kedua, semua training yang diselenggarakan organisasi telah mereka ikuti. Ketiga, oleh karena kedua hal tersebut, secara otomatis mereka memiliki kadar pengetahuan yang lebih tinggi dibanding, khususnya tentang KAMMI dari A sampai Z, ketimbang kedua level kader di bawahnya.
Karena sederet kelebihan-kelebihan itu, maka AB III dalam tradisi organisasi dianggap elite. Elite dalam hal kepemilikan mereka terhadap kekuasaan dan wewenang di organisasi. Kekuasaan mempengaruhi kader-kader di bawahnya dan kewenangan sebagai fungsionaris organisasi untuk menentukan laju gerak gerakan. 

Surat Pembaca: "Siapakah KAMMI Kultural?"

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh,

Redaksi Yth,
Saya ingin bertanya, apakah sebenarnya Forum Diskusi KAMMI  Kultural itu sama dengan KAMMI-KAMMI yang lainnya, atau berbeda secara kultural?
Terima Kasih, 
AP

9 Desember 2014

KAMMI MAJAPAHIT: Sebuah Manifesto Pergerakan dari Jawa Timur

Oleh : Anis Maryuni Ardi, Faqih Addien Al Haq, Muhammad Azami Ramadhan 

Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural Jawa Timur


“disobedience is the true foundation of liberty. The obedient must be slaves” – Henry David Thoreau

BICARA tentang KAMMI dan Keindonesiaan tidak dapat terlepas dari satu hal penting: warisan sejarah. 


Perjalanan spiritualitas kebangsaan tidak bisa terlepas dari tatanan Imperium kerajaan-kerajaan di nusantara abad 13-14 M. Pada abad ini kejahatan paling purba dari manusia, yakni membunuh dan menindas sangat erat kaitannya dengan perebutan sumber daya dan pengakuan. Kerajaan-kerajaan di bumi nusantara dan asia saling adu kompetensi dan peradaban untuk saling menaklukkan. Secara sederhana imperium-imperium itu digerakkan oleh sistem sosial yang  harus mempunyai benteng bernama kekuasaan. Selama seni tatakelola masyarakat yang berdaulat dan pemerintah yang memiliki mandat berjalan harmonis dalam suatu wilayah, tak ada peyorasi dalam narasi kekuasaan. Dan skema ini sukses dibangun oleh Majapahit, sebagai kerajaan yang sukses melakukan program politik berupa penyatuan nusantara sebagai cikal bakal Indonesia.

5 Desember 2014

Pribumisasi Islam dan Pribumisasi Hijab (Bagian I)

Oleh: Alikta Hasanah fitri
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural Surakarta

Prolog
Sore itu, Bidang Perempuan KAMMI Shoyyub UNS menyelenggarakan diskusi perempuan bertema “Hijab, antara Kewajiban dan Tren”. Pemantik diskusi adalah Shofiyyah Zahra (Kabid Perempuan KAMMI UNS) dan Chaerunisa (Sekjend Partai Asmara di Kampus UNS). Shofi berbicara tentang hijab dari segi syariat beserta dalil-dalil yang menyertainya. Ia juga meluruskan pandangan umum yang selama ini berlaku tentang jilbab, khimar, dan hijab. Sementara, Anis menyampaikan kaitan antara hijab dan tren dari perspektif sejarah dan kondisi kontemporer dewasa ini. Setelah kedua pemantik menyampaikan paparannya, secara bergiliran seluruh peserta diskusi menyampaikan argumennya berkaitan dengan penyampaian yang telah disampaikan.

Ketika tiba giliran saya, saya hanya menyampaikan dua hal. Pertama, kaitan antara tokoh perempuan di Minang, adik HAMKA, yang menentang legalitas prostitusi saat masa pendudukan Jepang dengan otobiografi Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams. Dalam otobiografinya, Bung Karno mengatakan bahwa legalitas prostitusi ia lakukan dengan dua alasan: menjaga kehormatan gadis Minang yang terkenal religius dan memanfaatkan para pelacur sebagai telik sandi (mata-mata) untuk menyelidiki tentara Jepang. Memang, yang ia lakukan kala itu mendapat banyak tentangan dari para ulama maupun tokoh adat, namun toh hal tersebut ia lakukan demi manfaat yang ‘menurutnya’ lebih besar. Namun demikian, saya tak bicara lebih jauh lagi soal ini.

Kedua, saya menyoroti apa yang Yunda Woro (HMI) sampaikan dalam argumennya terkait dengan kontekstualisasi Islam di Indonesia, dimana kita tidak bisa serta merta melakukan arabisasi di segala sektor kehidupan. Sebab, budaya Arab tentunya berbeda jauh dengan budaya Indonesia. Jika Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, konsekuensinya kita tidak boleh bertindak radikal dengan memaksakan budaya Arab dengan budaya yang telah mengakar di Indonesia.

Saya berkomentar cukup singkat soal ini. Dengan mengutip pendapat Gus Dur soal pribumisasi Islam saya tegakkan argumen saya. Bahwa ulama-ulama kita yang terdahulu telah berusaha mengintegrasikan Islam dengan lokalitas setempat, maka sudah kewajiban kita untuk mengokohkan apa yang pernah dibangun sebelumnya. Bukan malah mengkonfrontasikannya dengan arabisasi di segala sektor. Sayangnya, penyampaian yang singkat ini agaknya membawa interpretasi tafsir yang keliru di mata kawan-kawan peserta lain.

1 Desember 2014

Lawanlah, (Meski) dengan Tulisan


Oleh: Ibrahim Hasan
Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Angkatan 2013. Aktivis Gema Pembebasan Solo Raya

Saat di mana kita tak memiliki tenaga untuk melawan, kita masih bisa menulis. Saat di mana suara kita dibungkam, kita masih bisa menulis. Saat fisik kita dipenjara, kita masih bisa menulis. Lakukanlah perlawanan, meski dengan hanya menulis!

Memang, menulis bukan satu-satunya cara untuk melakukan perlawanan, tetapi menulis bisa menjadi satu cara untuk tetap menumbuhkan semangat perlawanan. Saat kita terdesak tak punya saluran untuk menyuarakan pendapat kita, menulis menjadi media untuk menggelontorkan gagasan dan pendapat kita agar dibaca banyak orang.