Oleh: Alikta Hasanah fitri
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural Surakarta
Prolog
Sore itu, Bidang Perempuan KAMMI Shoyyub UNS menyelenggarakan
diskusi perempuan bertema “Hijab, antara Kewajiban dan Tren”. Pemantik diskusi
adalah Shofiyyah Zahra (Kabid Perempuan KAMMI UNS) dan Chaerunisa (Sekjend
Partai Asmara di Kampus UNS). Shofi berbicara tentang hijab dari segi syariat
beserta dalil-dalil yang menyertainya. Ia juga meluruskan pandangan umum yang
selama ini berlaku tentang jilbab, khimar, dan hijab. Sementara, Anis
menyampaikan kaitan antara hijab dan tren dari perspektif sejarah dan kondisi kontemporer
dewasa ini. Setelah kedua pemantik
menyampaikan paparannya, secara bergiliran seluruh peserta diskusi menyampaikan
argumennya berkaitan dengan penyampaian yang telah disampaikan.
Ketika tiba giliran saya, saya hanya menyampaikan dua hal.
Pertama, kaitan antara tokoh perempuan di Minang, adik HAMKA, yang menentang
legalitas prostitusi saat masa pendudukan Jepang dengan otobiografi Bung Karno
yang ditulis oleh Cindy Adams. Dalam otobiografinya, Bung Karno mengatakan
bahwa legalitas prostitusi ia lakukan dengan dua alasan: menjaga kehormatan
gadis Minang yang terkenal religius dan memanfaatkan para pelacur sebagai telik
sandi (mata-mata) untuk menyelidiki tentara Jepang. Memang, yang ia lakukan
kala itu mendapat banyak tentangan dari para ulama maupun tokoh adat, namun toh
hal tersebut ia lakukan demi manfaat yang ‘menurutnya’ lebih besar. Namun
demikian, saya tak bicara lebih jauh lagi soal ini.
Kedua, saya menyoroti apa yang Yunda Woro (HMI) sampaikan dalam
argumennya terkait dengan kontekstualisasi Islam di Indonesia, dimana kita
tidak bisa serta merta melakukan arabisasi di segala sektor kehidupan. Sebab,
budaya Arab tentunya berbeda jauh dengan budaya Indonesia. Jika Islam adalah rahmatan lil
‘alamin, konsekuensinya kita tidak boleh bertindak radikal dengan
memaksakan budaya Arab dengan budaya yang telah mengakar di Indonesia.
Saya berkomentar cukup singkat soal ini. Dengan mengutip pendapat
Gus Dur soal pribumisasi Islam saya tegakkan argumen saya. Bahwa ulama-ulama
kita yang terdahulu telah berusaha mengintegrasikan Islam dengan lokalitas
setempat, maka sudah kewajiban kita untuk mengokohkan apa yang pernah dibangun
sebelumnya. Bukan malah mengkonfrontasikannya dengan arabisasi di segala sektor. Sayangnya, penyampaian yang singkat ini agaknya
membawa interpretasi tafsir yang keliru di mata kawan-kawan peserta lain.