*Oleh Joko Setiawan, S.ST.,
Pekerja Sosial dan Perintis KAMMI Komisariat Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung
Sejak awal kemunculan forum Diskusi KAMMI Kultural di Yogyakarta, Jakarta dan beberapa tempat lain pada tahun 2013 yang lalu, kita patut berbahagia karena telah muncul suatu kajian dari kader KAMMI sendiri untuk mampu melahirkan wacana-wacana intelektual dalam meneguhkan eksistensi KAMMI di masa depan. Lebih hebatnya lagi, wacana dan gagasan tersebut tidak lantas hilang begitu saja, namun dapat terabadikan dalam satu wadah portal online bernama Jurnal KAMMI Kultural.
KAMMI Kultural tidak berurusan secara langsung dengan masalah rumah tangga di dalam tubuh KAMMI atau dengan kata lain tidak ikut menyelesaikan masalah-masalah operasional dalam menjalankan roda kepengurusan, melainkan fokus kepada pengembangan gagasan-gagasan yang bisa jadi sebenarnya telah diteguhkan oleh para pendahulu KAMMI di masa silam, tapi kemudian berbelok arah sehingga KAMMI kehilangan jati dirinya sendiri.
Kehilangan jati diri tidak lantas membuat KAMMI patut disebut “murtad” dari jalan perjuangannya. Berbagai macam perbaikan dan penyempurnaan telah dilakukan sebagai bentuk aktualisasi nilai teoritis dari kecerdasan para kadernya yang kemudian dibenturkan dengan realitas kekinian yang dihadapi oleh KAMMI pada masa sekarang ini. Jalan tak selalu mulus, bahkan lebih banyak batu terjal menghadang. Semakin minimnya gairah aktivisme pada mahasiswa kebanyakan, rendahnya semangat dialog maupun debat intelektual, serta patronasi partai politik yang tidak bisa dihindari keberadaannya karena pengaruhnya yang diakui tidak ada tapi senyatanya ada, dan lain sebagainya.