28 Januari 2015

KAMMI Kultural dan Wahana Ideologisasi Alternatif bagi KAMMI

*Oleh Joko Setiawan, S.ST.,
Pekerja Sosial dan Perintis KAMMI Komisariat Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung

Sejak awal kemunculan forum Diskusi KAMMI Kultural di Yogyakarta, Jakarta dan beberapa tempat lain pada tahun 2013 yang lalu, kita patut berbahagia karena telah muncul suatu kajian dari kader KAMMI sendiri untuk mampu melahirkan wacana-wacana intelektual dalam meneguhkan eksistensi KAMMI di masa depan. Lebih hebatnya lagi, wacana dan gagasan tersebut tidak lantas hilang begitu saja, namun dapat terabadikan dalam satu wadah portal online bernama Jurnal KAMMI Kultural.

KAMMI Kultural tidak berurusan secara langsung dengan masalah rumah tangga di dalam tubuh KAMMI atau dengan kata lain tidak ikut menyelesaikan masalah-masalah operasional dalam menjalankan roda kepengurusan, melainkan fokus kepada pengembangan gagasan-gagasan yang bisa jadi sebenarnya telah diteguhkan oleh para pendahulu KAMMI di masa silam, tapi kemudian berbelok arah sehingga KAMMI kehilangan jati dirinya sendiri.

Kehilangan jati diri tidak lantas membuat KAMMI patut disebut “murtad” dari jalan perjuangannya. Berbagai macam perbaikan dan penyempurnaan telah dilakukan sebagai bentuk aktualisasi nilai teoritis dari kecerdasan para kadernya yang kemudian dibenturkan dengan realitas kekinian yang dihadapi oleh KAMMI pada masa sekarang ini. Jalan tak selalu mulus, bahkan lebih banyak batu terjal menghadang. Semakin minimnya gairah aktivisme pada mahasiswa kebanyakan, rendahnya semangat dialog maupun debat intelektual, serta patronasi partai politik yang tidak bisa dihindari keberadaannya karena pengaruhnya yang diakui tidak ada tapi senyatanya ada, dan lain sebagainya.

27 Januari 2015

Liberalisasi, Liberasi, dan Literasi: Tanggapan untuk Arif Saifurrisal


Oleh: Gading EA
Warga KAMMI Surabaya, Ketua KAMMI Universitas Airlangga 2012-2013
“Maka jika hari ini muncul kecaman terhadap kelompok yang disebut-sebut sebagai Islam Liberal, sebenarnya islam sendiri adalah sebuah agama yang liberal.”
Kalimat pembuka di atas saya kutip dari tulisan saudara Arif Syaifurrisal yang berjudul “Islam dan Liberalisme” di Jurnal KAMMI Kultural tanggal 1 Januari 2015 (lih. http://www.kammikultural.org/2015/01/islam-dan-liberalisme.html). Ada yang perlu diluruskan dari tulisan beliau karena dapat mengundang kesalahpahaman terhadap konstruksi pemikiran yang hendak beliau bangun.

Pertama, yang perlu diluruskan adalah tidak jelasnya definisi liberalisme, liberasi, dan liberal dalam tulisan tersebut. Meskipun memiliki akar kata yang sama, ketiga definisi tersebut tidak dapat disamakan. Oleh karena itu, sangat rancu ketika saudara Arif mengatakan bahwa Islam adalah agama yang liberal berdasar konsep liberasi Kuntowijoyo.

Kedua, tentang kesimpulan saudara Arif di akhir tulisan bahwa kaum muslimin harus memiliki pemikiran liberal dan berpikiran merdeka. Meskipun dalam kalimat berikutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah membebaskan kaum muslimin dari keterjajahan pemikiran, istilah liberal di sini tidak menemukan konteksnya.

23 Januari 2015

Tariq Ramadan: Lihatlah Penyerangan Paris dari "Potret Besarnya"

Terjemahan Wawancara Aljazeera English dengan Tariq Ramadan: Double Standard of Freedom of Expression

Pada hari Kamis, 8 Januari 2015, satu hari setelah peristiwa penyerangan kantor majalah mingguan satir Charlie Hebdo di Paris, stasiun televisi Aljazeera English mewawancarai Professor Tariq Ramadan tentang dampak setelah serangan tersebut. Wawancara ini diterjemahkan oleh kontributor Jurnal Kultural, Muh Ihsan Harahap, yang juga adalah Pengurus KAMMI Komisariat Universitas Hasanuddin, Makassar. 

18 Januari 2015

Mengapa KAMMI Tidak Punya Sastrawan?

oleh: Ahmad Rizky MU.
Peneliti, dan Penikmat Cerpen-Cerpen Kuntowijoyo

Kresna Duta
Dalam sebuah perbincangan di sela-sela Sarasehan KAMMI di Jakarta, 2 tahun silam, ada satu tema yang sempat saya dan beberapa orang perbincangkan: soal budaya. Obrolan sederhana saja: bagaimana kalau KAMMI menggagas semacam wadah kebudayaan, yang bisa menjadi wadah berkarya bagi kader-kadernya yang punya minat di bidang sastra, seni, dan kebudayaan kontemporer. Iseng-iseng digagaslah satu nama: LEKMI, Lembaga Kebudayaan KAMMI. Walaupun selama ini aktivitasnya baru sebatas bergerak menerbitkan hasil-hasil karya di Jurnal Kultural.

Harus diakui, selama belasan tahun hidup di Indonesia, tema-tema soal sastra, kesenian, dan secara lebih luas kebudayaan absen dalam ruang-gerak KAMMI. Hal ini tidak mengherankan. Di dalam Filosofi Gerakan, wa bil khusus Filosofi Gerakan KAMMI yang tercantum di GBHO, tak sekalipun tema kebudayaan disinggung. Yang dominan adalah KAMMI sebagai Gerakan Politik. Isinya adalah hubungan KAMMI dengan partai politik, LSM, negara, dan elemen politik lain. Tak ada disinggung hubungan KAMMI dengan Dewan Kesenian Daerah, para Sastrawan, atau komunitas penyanyi dangdut di masing-masing kampung.

Saya bisa memahami kalau elemen-elemen yang saya sebut di atas absen dalam jati diri KAMMI. Dalam proses kesejarahan organisasi ini, KAMMI memang men-tanfidz-kan diri sebagai gerakan mahasiswa yang bergerak secara politis. Hal ini tercermin dari jargon "Muslim Negarawan" yang jadi orientasi perkaderan KAMMI. Mungkin (sekali lagi mungkin) karena orientasi ini, kader-kader KAMMI dilatih untuk menjadi kader-kader pemimpin yang siap mengakses negara ketika mereka siap. Mungkin, menjadi sastrawan tidak cukup bonafid untuk disebut sebagai "negarawan" (lihat artikel menarik dari Gading EA soal Muslim Negarawan ini).

17 Januari 2015

Titik Rawan Muslim Negarawan: Sebuah Kritik


oleh: Gading EA
Staf Kebijakan Publik PD KAMMI Surabaya [1]

Kader KAMMI generasi sekarang pasti mengetahui istilah “Muslim Negarawan”. Minimal pernah melihatnya tercetak gagah di punggung jaket aktivis. Namun, banyak yang belum tahu kalau Muslim Negarawan bukanlah konsep yang sudah eksis sejak KAMMI berdiri. Ia merupakan jawaban atas kegelisahan, pengalaman, dan pergulatan pemikiran para ideolog KAMMI setelah tujuh tahun sejak dideklarasikan.

Konsep Muslim Negarawan ‘ditemukan’ dalam Lokakarya Nasional Kaderisasi KAMMI di Sukabumi pada tanggal 29 Desember 2005 s.d 1 Januari 2006[2]. Forum lokakarya tersebut lah yang melahirkan rumusan Manhaj Kaderisasi 1427 H dimana Muslim Negarawan ditetapkan sebagai outcomes pengkaderan KAMMI[3].

Dalam manhaj terbaru, Manhaj Kaderisasi 1433 H, pun tidak ada perubahan signifikan selain detail-detail pengkaderan. Orientasi dasarnya masih tetap, yakni melahirkan kader yang memiliki karakter Muslim Negarawan[4]. Sampai sekarang belum ada konsep yang mampu menggeser Muslim Negarawan dalam diskursus pengkaderan KAMMI.

Pertanyaannya, apakah Muslim Negarawan akan selamanya menjadi orientasi pengkaderan KAMMI?

10 Januari 2015

Apa Artinya Insiden Charlie Hebdo bagi Islam dan Politik Global?

Ahmad Rizky M. Umar
Peneliti dan Aktivis

Tragedi Charlie Hebdo segera menjadi perdebatan publik. Beberapa cendekiawan muslim seperti Tariq Ramadan, Farish Noor, atau Yasir Qady segera mengecam penembakan, namun ada satu hal yang perlu dicermati: apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo dalam beberapa satirnya juga tak bisa diterima. Keduanya, baik penembakan atau kartun satir yang jelas-jelas menghina simbol-simbol identitas Islam, sama-sama keliru dan fatal. 

Tapi mari kita berpikir lebih ke depan. Apa dampak insiden ini bagi tatanan politik global ke depan? Apakah penembakan ini sebentuk 'sinyalemen' pertentangan yang lebih keras antara 'Islam' dan 'Barat'? Apakah bakal ada gelombang baru 'Islamofobia' terutama di negara-negara Eropa? Ataukah  ini sebetulnya sinyal pengaturan keimigrasian yang lebih ketat di negara Barat?

9 Januari 2015

Islam dan Pancasila: Sebuah Paradigma Baru

oleh: Abdul Jabbar
Ketua Umum KAMMI Kalimantan Barat

Prolog
Ideologi merupakan gagasan dasar dari sebuah komunitas bangsa berdasarkan pandangan hidup dan pengalaman empiriknya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal bahwa setiap bangsa dan negara harus memiliki dan mengembangkan sebuah ideologi. Rapuh serta tegarnya bangsa dan negara amat ditentukan oleh kekuatan sebuah ideologi dalam menghadapi tantangan dan ujiannya. Tantangan dan ujian tersebut, menurut Alfian (2000) meliputi 3 dimensi yaitu dimensi idealitas, realitas dan fleksibilitas. Demikian pula halnya dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Mendialogkan Pancasila merupakan suatu keniscayaan, tidak hanya pada spektrum filosofis namun juga pada tataran teknis. Bahkan dengan prinsip bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka telah membuat diskusi yang tidak ada habisnya. Buya Hamka misalnya, yang mengkritik Sukarno atas tafsir beliau yang menyatakan bahwa perasan Pancasila itu akan menjadi satu prinsip saja, yaitu “Gotong Royong”. Sebagai balasan, Buya Hamka malah berpendapat bahwa Pancasila tidak perlu diperas namun cukup dicari akar tunggangnya yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Tulisan ini tidak bermaksud hadir diantara perdebatan tokoh-tokoh tersebut, akan tetapi diharapkan dapat menjadi perspektif baru dalam memahami Pancasila sebagai ideologi bangsa kita. Di sini, Pancasila diletakkan sebagai dasar untuk memahami periodisasi penegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga Indonesia bisa berada dalam wujudnya yang paripurna, menyatu ke dalam dasar-dasar normatif Pancasila tersebut.

8 Januari 2015

'Muslim Barat' dan Tragedi Penembakan di Paris: Terjemahan Wawancara dengan Tariq Ramadan

Pengantar Editor
Hari ini dunia dihentakkan oleh satu tragedi: penembakan kantor kartunis Charlie Hebdo dan beberapa orang lain di  kantornya di Paris, Perancis. Tragedi ini jelas menandai babak baru hubungan antara 'Islam' dan peradaban 'Barat'. Selama ini, hubungan antara 'Muslim' dan Masyarakat Barat yang telah renggang sejak tragedi 9/11 bisa jadi kembali merenggang akibat perbuatan tidak bertanggung jawab ini. Padahal, problem paling mendasar dari penembakan tersebut bukanlah agama, karena Islam sendiri tidak menganjurkan untuk melakukan kekerasan terhadap orang yang tak bersalah kecuali dalam hukum dan otoritas yang sah, melainkan problem-problem yang lebih bersifat 'imanen': ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi antara 'Eropa' dan 'Dunia Timur', misalnya, yang kemudian berimplikasi pada masalah-masalah keimigrasian di Eropa. 

Dalam bukunya, Western Muslims and The Future of Islam (Oxford University Press, 2004), Tariq Ramadan telah mendorong umat Islam di Eropa agar tidak lagi meliyankan diri, dengan menganggap orang-orang 'Barat' sebagai The Other -dan dengan demikian mengekslusi diri dari pergaulan masyarakat. Tariq berangkat dari konsep islah (perbaikan, reform) yang menurutnya mendasar pada pengenalan diri seorang Muslim, dan inilah tujuan dan tugas-tugas seorang Muslim pada umumnya. Konsep ini juga dikenal dalam tradisi Ikhwan, islah an-nafs, sesuatu yang fondasional dalam proses perubahan sosial yang dicita-citakan oleh Hasan al-Banna. Bagi Tariq, gerakan-gerakan perbaikan memerlukan revolusi intelektual yang menjadikan diri seorang Muslim bisa berbicara sejajar dengan masyarakat Barat, dan di saat yang bersamaan membunuh 'inferiority complex' yang selama ini muncul ketika seorang Muslim berhadapan dengan masyarakat Barat. Menurut Tariq, dengan keterlibatan  di dunia pendidikan, pembangunan sosial, dialog-dialog antar-agama, seorang Muslim akan bisa dengan percaya diri menghilangkan perasaan menjadi The Other di dalam konteks masyarakat di mana ia menjadi minoritas, dan percaya bahwa semua manusia, dari manapun ia berasal adalah sejajar. Dengan cara inilah seorang 'Muslim Barat' tidak lagi menjadi liyan bagi masyarakat Barat di mana ia tinggal.

7 Januari 2015

Intelektual KAMMI: Profetik Menuju Kolektif!

Penulis: Alikta Hasnah Safitri, 

Sekretaris Bidang Medkominfo KAMMI UNS, Bergiat di KAMMI Kultural Solo


KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam merumuskan substansi spirit, paham, corak, landasan berfikir dan bertindaknya dalam Paradigma Gerakan KAMMI. Seperangkat konsep inilah yang akan membentuk kerangka pemikiran guna memahami realita yang ada, mendefinisikannya secara utuh, mengkategorikannya dalam bagian-bagian, lalu mengkorelasikannya dengan kategori atau segmentasi yang lain sehingga lahirlah sebuah pemahaman yang utuh atas kenyataan yang dihadapi. Pada akhirnya, reaksi dari sejumlah hal tadi akan diejawantahkan dalam tindakan nyata yang sifatnya dzahir.

Paradigma Gerakan KAMMI terdiri dari empat frasa inti, yakni: KAMMI sebagai Gerakan Dakwah Tauhid, KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik, KAMMI sebagai Gerakan Sosial Independen, dan KAMMI sebagai Gerakan Politik Ekstraparlementer. Keempat frasa ini tidak berdiri secara terpisah, melainkan saling memiliki keterikatan dan keterpaduan yang erat. Untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana KAMMI memaknai konsepsi ‘Intelektual Profetik’, terlebih dahulu kita harus mengenai paradigma gerakan KAMMI pertama, yakni KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid.

Menegaskan KAMMI sebagai Gerakan Sosial dan Pengusung 'Ideologi Alternatif'

Oleh: Anis Maryuni Ardi
Pegiat Diskusi Kammi Kultural Jawa Timur

Ini masih di awal bulan, dan masih di awal tahun. Kita masih sempat menata apa yang terserak, membangun kenangan dan menghapus jejak yang telah lalu. Kita tetap radikal romantis, yakni mengakar pada bumi untuk menjadi khalifatullah fil ardh, dan selalu bersama berpegangan pada ikatan-Nya menebar aroma perjuangan melalui beberapa tangkai mawar haroki. Ketahuilah perjuangan ini tak akan pernah usai, melalui masjid, kampus dan aspal jalanan, kita akan tetap berjuang, berjuang sampai tidak ada kebhatilan di muka bumi.

Masih melekat dalam diri kita status atau sekedar semangat mahasiswa. Mahasiswa diasumsikan oleh publik sebagai seorang yang mempunyai status tinggi. Kapasitas mental dan sosialnya patut dibanggakan. Melalui idealisme yang potensial tetap terpelihara, keterbukaan dan kreativitas, serta kecerdasan intelektual, diharapkan mahasiswa mampu menganalisis  persoalan sosial, kajian mendalam, tampil dalam mimbar ilmiah, dan perdebatan akademik. Tidak sedikit yang menjadi katalisator gerakan sosial, gerakan yang dibangun atas dasar trend issue, situasi dan kondisi, pijakan moral dan keinginan yang berbeda secara politik.

1 Januari 2015

Islam dan Liberalisme

oleh: Arif Syaifurrisal
Pegiat KAMMI di Surabaya

Saat terjadi gejolak di tubuh Sarikat Islam yang melibatkan golongan kiri, seperti Semaoen dkk (SI-Merah) dengan golongan Islamis Agus Salim dkk (SI-Putih), H.O.S Tjokroaminoto menulis buku berjudul Islam dan Sosialsme. Buku ini ditulis guna menghalau pengaruh kelompok kiri komunis dalam tubuh SI. Dalam buku yang dicetak berulang-ulang hingga dekade 1950an ini, Tjokroaminoto menyampaikan bahwa seorang muslim dengan sendirinya akan menjadi sosialis, tidak perlu ikut ikutan komunisme ala barat, sosialisme ala barat. Maka, Islam sebagai sebuah agama yang syumul, sebagai sebuah way of life yang komperhensif dengan sendirinya bersifat sosialis. Tentu saja, sosialisme yang berada dalam pihakan Islam yang syumul ini sangat berbeda dengan sosialisme yang muncul dan dipraktikkan di Eropa sana.

Jika pada abad ke-20 islam banyak bergesekan dengan ideologi sosialis yang sedang naik daun sebagai ideologi perlawanan terhadap imperialisme dan kapitalisme barat, maka pada abad ke-21 ini Islam banyak bersinggungan dengan liberalisme yang diklaim oleh Francis Fukuyama dalam bukunya, The End of History. sebagai pemenang final dari benturan ideologi di tatanan dunia saat ini. Atau, yang dipercaya sebagai representasi 'Barat' dalam benturan antar peradaban -versi Samuel Huntington- sampai akhir hayat dunia nanti. Maka, pertanyaan yang perlu dimunculkan: apakah Islam yang dipercaya oleh pengikutnya sebagai agama yang syumul, sebagai sebuah way of life yang komperhensif juga bersifat liberal sebagaimana Islam juga bersifat sosialis seperti kata Tjokroaminoto?