19 Februari 2015

Paradoks Fundamentalisme Sekular

PENGANTAR: Pada kesempatan ini, editor Jurnal Kultural menerjemahkan sebuah artikel dari Mustafa Akyol, seorang intelektual dan jurnalis Turki, tentang fundamentalisme sekular di Turki. Judul Aslinya adalah "The Threat is Secular Fundamentalism" dan dimuat di The New York Times, 4 Mei 2007. Walaupun kondisi di Turki hari ini agak berbeda, tulisan ini cukup menarik karena menyajikan cara pandang berbeda tentang 'fundamentalisme' yang kerap dilekatkan pada Islam. Jika tidak waspada, bahkan kaum sekular dan liberal bisa terjerembab pada model fundamentalisme yang sama, dan justru kontraproduktif dengan demokrasi. Kuncinya adalah dialog kritis dan sikap saling memahami, dengan menanamkan nilai-nilai kewargaan yang baik pada masyarakat muslim. Indonesia bisa belajar dari hal ini.

Oleh: Mustafa Akyol

Sudah bukan rahasia lagi jika ada yang menyatakan bahwa fundamentalisme Islam adalah ancaman bagi demokrasi, kebebasan, dan keamanan di dunia hari ini –terutama di Timur Tengah. Namun, sebetulnya nilai-nilai tersebut juga bisa diancam oleh fundamentalisme sekular. Laicite khas Turki –versi yang jauh lebih radikal dari sekularisme a la Perancis— bisa jadi satu contoh kasus.

Model sekularisme Amerika menggaransi adanya kebebasan beragama individual. Namun, model Turki justru menggaransi hak negara untuk mendominasi agama dan menindas praktik-praktik keagamaan sejauh mana dianggap ancaman (bagi negara). Model semacam ini bermula dari pemujaan (berlebihan) terhadap negara sebagai “akhir tujuan’” yang harus dimuliakan oleh semua nilai lain.

18 Februari 2015

Teologi Pembebasan untuk Gerakan Dakwah Kampus (Bagian 3-Habis)


oleh: Hilmi Bangkit
Aktivis Aku Peduli Cak! Surabaya dan Mahasiswa Geomatika ITS

“Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.”
Hasan Al Banna

Berbicara tentang pemakanaan gerakan intelektual di kampus berarti bicara juga tentang dengan metodologi (konsep dan cara) gerakan dakwah kampus dalam menyelesaikan permasalahan umat. Namun, terkadang pemahaman tentang dakwah kampus yang mengusung misi untuk mewujudkan bahwa Islam rahmatan lil 'alamin terkadang mengalami distorsi makna, sehingga dakwahkampus seringkali terbentur dengan permasalahan solidaritas gerakan. Ditambah lagi dengan wacana politisasi kampus yang membuat gerakan-gerakan dakwah kampus lemah dalam memperjuangkan isu-isu seputar kesejahteraan umat dan kemuliaan Islam itu sendiri. 

Karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin berargumen bahwa pada dasarnya gerakan dakwah di kampus harus memposisikan dirinya sebagai gerakan intelektual Islam yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menjauhkan diri pada vested interest dalam urusan politisasi kampus, serta menghindari hubungan patronklien dengan unsur politik tertentu. Tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian: Bagian Pertama akan mendiskusikan peran Gerakan Dakwah Kampus dalam memperjuangkan kaum mustadh'afin, Bagian Kedua akan mendiskusikan konsep teologi pembebasan yang perlu dibangun kembali oleh gerakan-gerakan dakwah kampus; dan Bagian Ketiga akan mencoba melakukan reposisi mengenai gagasan Gerakan Dakwah Kampus sebagai gerakan intelektual (profetik). 

15 Februari 2015

Teologi Pembebasan untuk Gerakan Dakwah Kampus (Bagian 2)

oleh: Hilmi Bangkit
Aktivis Aku Peduli Cak! Surabaya dan Mahasiswa Geomatika ITS

“Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.”
Hasan Al Banna

Berbicara tentang pemakanaan gerakan intelektual di kampus berarti bicara juga tentang dengan metodologi (konsep dan cara) gerakan dakwah kampus dalam menyelesaikan permasalahan umat. Namun, terkadang pemahaman tentang dakwah kampus yang mengusung misi untuk mewujudkan bahwa Islam rahmatan lil 'alamin terkadang mengalami distorsi makna, sehingga dakwahkampus seringkali terbentur dengan permasalahan solidaritas gerakan. Ditambah lagi dengan wacana politisasi kampus yang membuat gerakan-gerakan dakwah kampus lemah dalam memperjuangkan isu-isu seputar kesejahteraan umat dan kemuliaan Islam itu sendiri. 

Karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin berargumen bahwa pada dasarnya gerakan dakwah di kampus harus memposisikan dirinya sebagai8 gerakan intelektual Islam yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menjauhkan diri pada vested interest dalam urusan politisasi kampus, serta menghindari hubungan patronklien dengan unsur politik tertentu. Tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian: Bagian Pertama akan mendiskusikan peran Gerakan Dakwah Kampus dalam memperjuangkan kaum mustadh'afin, Bagian Kedua akan mendiskusikan konsep teologi pembebasan yang perlu dibangun kembali oleh gerakan-gerakan dakwah kampus; dan Bagian Ketiga akan mencoba melakukan reposisi mengenai gagasan Gerakan Dakwah Kampus sebagai gerakan intelektual (profetik). 

14 Februari 2015

Teologi Pembebasan untuk Gerakan Dakwah Kampus (Bagian 1)

oleh: Hilmi Bangkit
Aktivis Aku Peduli Cak! Surabaya dan Mahasiswa Geomatika ITS

“Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.”
Hasan Al Banna

Berbicara tentang pemakanaan gerakan intelektual di kampus berarti bicara juga tentang dengan metodologi (konsep dan cara) gerakan dakwah kampus dalam menyelesaikan permasalahan umat. Namun, terkadang pemahaman tentang dakwah kampus yang mengusung misi untuk mewujudkan bahwa Islam rahmatan lil 'alamin terkadang mengalami distorsi makna, sehingga dakwahkampus seringkali terbentur dengan permasalahan solidaritas gerakan. Ditambah lagi dengan wacana politisasi kampus yang membuat gerakan-gerakan dakwah kampus lemah dalam memperjuangkan isu-isu seputar kesejahteraan umat dan kemuliaan Islam itu sendiri. 

Karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin berargumen bahwa pada dasarnya gerakan dakwah di kampus harus memposisikan dirinya sebagai8 gerakan intelektual Islam yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menjauhkan diri pada vested interest dalam urusan politisasi kampus, serta menghindari hubungan patronklien dengan unsur politik tertentu. Tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian: Bagian Pertama akan mendiskusikan peran Gerakan Dakwah Kampus dalam memperjuangkan kaum mustadh'afin, Bagian Kedua akan mendiskusikan konsep teologi pembebasan yang perlu dibangun kembali oleh gerakan-gerakan dakwah kampus; dan Bagian Ketiga akan mencoba melakukan reposisi mengenai gagasan Gerakan Dakwah Kampus sebagai gerakan intelektual (profetik). 

11 Februari 2015

"Kaum Muslim Demokrat Sedunia, Bersatulah!" (Pernyataan Sikap Empat Intelektual Muslim Dunia)

Di awal Februari 2015, empat intelektual Muslim Progresif (Ghaleb Bencheik, Anwar Ibrahim, Felix Marquardt, dan Tariq Ramadan) mengeluarkan pernyataan yang intinya mengajak kaum "Demokrat Muslim" untuk bersatu. Reformasi keagamaan harus kembali dibangkitkan di tengah kondisi dunia yang dipenuhi oleh prasangka dan kesalahpahaman. Demokrasi harus ditegakkan dalam maknanya yang progresif. Kaum muslim harus terlibat aktif dalam soal-soal toleransi dan hidup berdampingan secara damai. Kontributor Jurnal KAMMI Kultural, Muhammad Ihsan Harahap menerjemahkan pernyataan sikap tersebut pada para pembaca sekalian.

oleh:  Ghaleb Bencheik, Anwar Ibrahim, Felix Marquardt & Tariq Ramadan 

Sejak akhir abad ke-19, gerakan untuk refleksi kritis atas fondasi dan interpretasi terhadap Islam telah kehilangan momentum, berganti dengan dominasi wacana keislaman yang "sklerotik" (tidak responsif pada perkembangan zaman), Arab sentris, serta berbasis pada cara pandang dunia (worldview) yang usang dan seringkali menyingkirkan (pandangan) Islam-non Arab.

Hari ini, kita bersungguh-sungguh menyeru para pemimpin Muslim yang komitmen kepada demokrasi, baik itu tokoh-tokoh politik maupun para intelektual dan para agamawan untuk bertemu di Prancis pada awal tahun 2016 untuk mendefinisikan kontur dari interpretasi Islam progresif abad ke-21.

9 Februari 2015

Jalan yang Bersimpang: Dua Kutub dari Rahim Ikhwan

Artikel ini ditulis pertama kali pada bulan September 2012. 

oleh: Ahmad Rizky M. Umar

Di tahun 1960an, ketika masa-masa petinggi Ikhwanul Muslimin dipenjara, terbit dua buku penting: "Du'at Laa Qudhat" dari Hassan Hudaiby dan "Ma'alim fith Thariq" dari Sayyid Qutb. Yang disebut kedua terbit lebih dulu.

Masa-masa itu adalah masa yang berat bagi Ikhwan. Mereka dikhianati oleh orang yang justru mereka dorong untuk tampil sebagai pemimpin Mesir waktu itu, Gamal Abdel Nasser. Nasser adalah mantan anggota Nizham Khas, satuan paramiliter Ikhwan. Bersama Sadat dan beberapa perwira lain waktu itu, dan dengan dukungan penuh dari Ikhwan (yang baru saja kehilangan pemimpin besarnya Hassan Al-Banna), ia menggulingkan Raja Farouk dan mendeklarasikan pemerintahan baru. Setelah krisis politik era Naguib, Nasser tampil sebagai pemimpin baru. Ia mulai membangun front baru, mengeksklusi Ikhwan secara politik, dan akhirnya, setelah insiden percobaan pembunuhan oleh delapan aktivis Ikhwan di Al-Manshiya tahun 1954, Nasser memerintahkan penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokoh Ikhwan.

7 Februari 2015

Gerakan Islam, Globalisasi dan Tanggapan-Tanggapannya

oleh: Gading EA
Staf Kebijakan Publik PD KAMMI Surabaya

Hanya dalam satu abad Indonesia mengalami perubahan formasi sosial yang sangat cepat. Separuh pertama abad ke-20 Indonesia masih berada pada era kolonialisme sampai tahun 1945. Separuh abad kedua, Indonesia memasuki era developmentalisme yang ditandai pembangunan berbagai sektor atas dasar paham modernisasi. Belum hilang rasa kaget akibat modernisasi, Indonesia sudah harus menghadapi babak baru yang disebut globalisasi.

Perubahan-perubahan tersebut berdampak besar pada tatanan masyarakat bangsa ini. Islam sebagai salah satu komponen utama masyarakat Indonesia juga merasakan dampak perubahan tersebut. Dampaknya tidak selalu negatif. Melihatnya pun harus dari kacamata peluang dan tantangannya. Pertanyaannya, bagaimana Umat Islam merespon kondisi ini?