26 April 2015

Keberagaman adalah Aset! Lima Catatan tentang Alur Gerakan KAMMI


oleh: Muhammad Sadli
Aktivis KAMMI Ternate, Maluku Utara 
KAMMI dalam Garis Besar Haluan Organisasi, menuliskan dalam Karakter Organisasi, KAMMI adalah organisasi pengkaderan (harokatut tajnid) dan organisasi pergerakan (harokatul amal). Bahkan mungkin KAMMI dengan segala karakter kadernya, ‘segelintir kader’ lebih menempatkan sebagai harokatut tajnid yang berbaur ke dalam harokatul amal. Atau organisasi pengkaderan yang harusnya tertampak sebagai organisasi pergerakan.
Umumnya organisasi mahasiswa atau organisasi kepemudaan identik dengan gerakan mahasiswa. Dan ini pula yang paling diminati oleh mahasiswa, bentuk gerakan mahasiswa seperti aksi-aksi demonstrasi atau yang sejenisnya (defenisi secara sempit). Pertanyaan mendasarnya adalah bolehkah ada mahasiswa yang tidak tertarik dengan aksi-aksi demonstrasi terlibat dalam KAMMI? Atau sebaliknya bagaimana KAMMI menampung orang-orang yang tidak terlalu tertarik dengan aksi-aksi demonstrasi?


25 April 2015

Menjadi Tjokro, Menjadi Guru untuk Semua

oleh: Ahmad Rizky M. Umar
Editor Jurnal KAMMI Kultural 

Apa artinya menonton film Tjokroaminoto, di masa ketika semua orang menjadi sensitif  dengan harakah atau perkumpulan lain?

Banyak catatan tentang film Tjokroaminoto yang baru-baru ini diangkat oleh sineas Garin Nugroho.Saya tidak ingin menggarami air laut dengan menambahkan catatan atas film ini. Tapi, ada sedikit hal yang mengusik saya tentang Tjokro, sisi yang sering terlupakan: sisi Tjokro sebagai seorang 'murabbi'.
courtesy of citraindonesia.com

Bagi saya, pesan yang ditampilkan Tjokroaminoto sebetulnya sederhana: semua orang adalah murid, dan semua tempat adalah pembelajaran. Mungkin hal ini sudah sering disebut-sebut, tapi menarik untuk diulang kembali: ada tiga orang murid Tjokro yang di kemudian hari berselisih jalan. Namanya Soekarno, Semaun, dan Kartosoewirjo.

Ini menarik. Ketiganya berjalan di atas garis ideologi yang kemudian saling berhadapan setelah kemerdekaan: nasionalis, komunis, dan Islamis. Tjokro-lah yang memberikan dasar bagi mereka dalam membangun dan mengembangkan garis ideologinya.

24 April 2015

KAMMI, Muslim dan Demokrasi: Refleksi 17 Tahun KAMMI

Oleh:  Dharma Setyawan
Direktur Sai Wawai Institute

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) telah berusia 17 Tahun. Perjalanan usia yang bisa dikatakan romantik dalam gerakan. Lahir 29 Maret 1988 dalam suasana politik yang sangat mendidih menuju orde reformasi. Berawal dari semangat gerakan masjid dan kampus (Andi Rahmat & M Najib, 2007), KAMMI memantapkan diri sebagai bagian rakyat dan bergerak bersama rakyat di lingkar gerakan ekstra-kampus. 

Sebagai sebuah kesungguhan tekad, gerakan KAMMI memberi mimpi segar bagi anak-anak muda pasca-Soeharto untuk memantapkan gerakan mahasiswa dalam semangat reformasi total. Sebagai gerakan ‘Muslim Negarawan’, KAMMI menarasikan paradigma gerakannya sebagai gerakan Tauhid, Intelektual Profetik, Sosial Independent dan Ekstra-parlementer. Paradigma ini menuntut konsistensi KAMMI dalam perjalanannya. Menyandang diri sebagai gerakan Islam, KAMMI acapkali menuai kritik—misal soal independensi—yang jelas menjadi basis gerakan yang dipertaruhkan dimuka publik.

2 April 2015

[ULASAN BUKU] Memperdebatkan Kembali Islam dan Pancasila: Beberapa Catatan dari Konstituante

Judul buku                  : Pancasila dan Islam (Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante)
Penyuting                    : Erwin Kusuma dan Khairul
Cetakan                       : Pertama, September 2008
Jumlah halaman           : xxviii + 423 halaman
Penerbit                       : PSP UGM dan TIFA
ISBN                           : 978-979-16291-0-2
Pengulas                     : Kuncoro Probojati *)


Dewan Konstituante dibuat untuk membentuk konstitusi Indonesia yang baru menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS RI). Dalam sidang Dewan Konstituante, perdebatan akan dasar negara menjadi perdebatan yang panjang, melebihi perdebatan di tahun 1945. Tiga usulan diajukan menjadi dasar negara, yaitu; Pancasila, Sosial-Ekonomi dan Islam. Masing-masing partai politik punya dasar falsafah dan ideologis tersendiri.  Buku “Pancasila dan Islam (Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante)” memotret perdebatan itu melalui kumpulan beberapa naskah pidato wakil rakyat yang duduk di Dewan Konstituante yang berisi perdebatan antara Pancasila dan Islam sebagai dasar negara.

Buku ini berisi pandangan dari fraksi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diwakili oleh Soewirjo, Nur Sutan Iskandar dan Roeslan Abdoelgani. Pandangan dari fraksi Masjumi diwakili oleh Moh. Natsir, Kasman Singodimedjo, Rusjad Nurdin, Moh. Isa Anshary, Abdul Kahar Muzakkir dan Hamka. Pandangan dari fraksi Nahdlatul Ulama (NU) diwakili oleh Achmad Zaini, Syarifuddin Zuhri, Zainul Arifin, A. Wahab Chasbullah, dan Masjkur.

Pandangan dari fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI) diwakili oleh Sakirman, Dasuki Siradj, Jean Torey, Wikana dan Njoto. Pandangan fraksi Partai Katolik diwakili oleh Soehardi, Costa dan Cunha. Pandangan dari fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI)  diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Soedjatmoko. Ada pula pandangan dari IPKI yang diwakili oleh Hamara Effendy.