27 Mei 2015

Mahasiswa dan Buku


Artikel ini sebelumnya dimuat di situs Rumah Buku Simpul Semarang. Dimuat kembali di Jurnal KAMMI Kultural atas seizin penulisnya untuk keperluan pendidikan. Lihat http://www.simpulsemarang.com/ 

oleh: Edi Subkhan
Dosen Universitas Negeri Semarang

Saya hampir selalu membandingkan apa yang saya lakukan dulu ketika masih mahasiswa unyu-unyu bin culun pas S1 dengan apa yang dilakukan oleh kebanyakan mahasiswa jaman sekarang. Bisa jadi ini sebuah kelemahan, karena tentu tidak fair membandingkan jaman dulu dan jaman sekarang yang berbeda kecanggihan teknologi dan perubahan budayanya. Tapi ya sebagai manusia biasa tentu saya tidak bisa lepas dari menilai sesuai berdasarkan pemahaman saya atas pengalaman hidup dulu.

Hal yang saya lihat sekarang ini—walau tentu subjektif—adalah: menurunnya minat beli dan baca mahasiswa terhadap buku. Mengenai tuduhan saya ini beberapa kawan berpendapat bahwa sejatinya sejak dulu persentase mahasiswa yang minat buku juga tidak banyak. Mahasiswa yang selalu up date buku, membeli buku, membaca dan mendiskusikan buku konon dari waktu ke waktu memang tidak banyak. Bahkan di kampus seperti Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara pun, mahasiswa yang serius dan bergairah dengan filsafat juga minoritas. Setidaknya hal ini berdasarkan pada curhat dan penghilatan saya ketika sering dolan ke STF Driyarkara semasa saya masih kuliah (S2) di Jakarta dulu (2008-2012).


Kalau hal tersebut benar, maka “kutukan” bahwa para pionir perubahan, cerdik cendekia, dan pemimpin sejati merupakan komunitas elite benar adanya. Di antara 100% mahasiswa paling tidak lebih dari 5% yang benar-benar minat dalam aktivitas akademik dan intelektual, paling tidak lebih dari 5% juga yang berjiwa pemimpin dan bervisi jauh untuk perubahan sosial. Inilah kurva normal mahasiswa yang setidaknya masih tetap proporsinya dari dulu sampai sekarang, yaitu sebagian besar diisi oleh mahasiswa biasa-biasa saja dan sebagian sedikit diisi oleh mahasiswa tidak biasa-biasa saja. Mahasiswa yang tidak biasa-biasa saja inilah yang dapat dipilah menjadi “baik sekali” dan “tidak baik sekali”, dari para aktivitas, intelektual, hingga mahasiswa yang tidak tahu tujuan hidup dan bingung siapa dirinya sendiri.

26 Mei 2015

Melawan Pembodohan! Sebuah Cerita dari Moro-Moro

Oleh: Dharma Setyawan
Peneliti Sai Wawai Institute Kota Metro dan Komunitas Cangkir Kamisan,
Pegiat Forum Diskusi Kultural Lampung

Sedih sekali saya mendengar kawan-kawan SD Moro-Dewe mulai minggu depan harus bersekolah di sekolah induk yang jaraknya 20 kilo meter. Induknya yang lama masih di Tulang Bawang Barat, seluruh usaha telah dilakukan, advokasi lewat KOMNAS HAM, membuat film kampanye, demonstrasi. Dukungan media lokal, nasional bahkan asing belum juga mengubah keputusan Bupati. Saya mendapat kabar, inilah pilihan terbaik yang dapat ditempuh karena anak-anak akan segera ujian, kalau mereka tidak mengambil langkah ini, mereka tak bisa naik kelas. Masyarakat patungan untuk menyewa mobil Truk mengantar jemput anak-anak tersebut sekolah” 

Kata-kata di atas adalah pesan yang muncul dari seorang kawan—sengaja disamarkan namanya—di group Komunitas Cangkir Kamisan yang mengabarkan berita duka pendidikan di kawasan Moro-Moro Mesuji. Penulis cukup memahami kesedihan kawan tersebut. Beliau kami ketahui sebagai orang yang lama hidup membersamai masyarakat yang tidak kunjung usai dihantam badai kekuasaan yang pongah. Sejak  masih menempuh kuliah sarjana politik semester akhir di Lampung, beliau memilih datang sendirian di daerah konflik tanah yang telah banyak memakan korban tersebut. 

Terhitung 11 Tahun Beliau terus berjuang bukan hanya soal membantu mengadvokasi tanah warga tapi juga hak politik, membersamai hidup bersama warga, mendampingi mereka untuk solid berorganisasi dan sampai dirinya menempuh Doktor, tetap setia berkunjung ke Moro-Moro, sebuah entitas masyarakat yang tidak ada hubungan darah sedikitpun.

25 Mei 2015

Dari Redaksi

Forum Diskusi KAMMI Kultural adalah forum yang diinisiasi oleh beberapa orang kader KAMMI (dan sekarang beberapa sudah menjadi alumni) sebagai wadah untuk mengembangkan nuansa intelektualitas di dunia gerakan. Forumnya cair, siapapun yang ingin berdiskusi bisa hadir dan ikut mendiskusikan tema-tema yang dibahas/menulis. 

Oleh sebab itu, Forum Diskusi KAMMI Kultural tidak pernah menyelenggarakan Training/Daurah/Pelatihan dalam bentuk apapun. Semua aktivitas mengenai kami bisa dibaca di website ini.  Kami tetap berpijak pada nalar intelektual profetik yang diusung oleh KAMMI dan tidak berminat untuk mengadakan pelatihan-pelatihan yang tidak jelas.

Bagi yang tertarik dengan diskusi dan wacana tentang KAMMI, sangat dianjurkan untuk menjadi anggota KAMMI di Komisariat-Komisariat terdekat dengan mengikuti Daurah Marhalah. 

Maka dari itu, jika ada yang menyelenggarakan kegiatan yang mengatasnamakan Forum Diskusi KAMMI Kultural di kota anda, mohon bisa disampaikan kepada kami melalui alamat email forum.kultural@gmail.com. Mari berdiskusi secara sehat dan bernalar.

Terima Kasih,
Redaksi

24 Mei 2015

[ULASAN BUKU] Jalan-Jalan Bersilang: Islamisasi Nusantara dan Keruntuhan Majapahit

Judul Buku: "Genealogi Keruntuhan Majapahit (Islam, Toleransi, dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali)"

Penulis: Dr. Nengah Bawa Atmadja
Jumlah Halaman: xxxiii+530 halaman
Cetakan: Pertama, Desember 2010
Penerbit: Pustaka Pelajar
 

Peresensi: Kuncoro Probojati *)

MAJAPAHIT yang merupakan ikon puncak peradaban Hindu-Jawa. Sejarah mencatat bahwa setelah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, yang dikenal sebagai salah satu kerajaan yang mampu mempersatukan nusantara, kerajaan ini perlahan namun pasti mengalami kemunduran dan akhirnya musnah pada abad ke-15. Bersamaan dengan itu pulan, terjadi proses islamisasi di Jawa hingga munculnya kerajaan Islam, yaitu Demak yang menjadi kerajaan besar menggantikan Majapahit (hlm 1). 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan ini menjadi salah satu alasan lahirnya buku berjudul “Genealogi Keruntuhan Majapahit (Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali)”. Buku ini ditulis Nengah Bawa Atmadja, seorang Antropolog Bali di Universitas Udayana. Ditulis dengan menggunakan kerangka Genealogi Foucauldian, buku ini melacak sejarah Bali dari keruntuhan Majapahit, bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam, dan dipertahankannya agama Hindu di pulau tersebut.

22 Mei 2015

Rohingya dan Kekeliruan Cara Pandang Kita Soal Identitas

oleh: Ahmad Rizky M. Umar
Editor Jurnal Kultural

Pada tanggal 21 Mei 2015, laman Selasar.com dan Mata Garuda menerbitkan satu infografis menarik: "Kontribusi Sang Naga bagi Indonesia". Infografis sederhana tersebut memetakan kontribusi-kontribusi positif warga keturunan Tionghoa bagi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia, sekaligus membantah sebuah stigma, bahwa mereka adalah Liyan bagi kemerdekaan Indonesia.

courtesy of selasar.com
Saya ingin merefleksikan infografis tersebut dengan cara pandang yang sedikit berbeda. Selama ini, cara kita memandang orang-orang keturunan lebih banyak dipenuhi stigma --memandang apa yang nampak sebagai kebenaran yang menyeluruh. Sesuatu yang kemudian, dalam kasus lain, terbukti bisa sangat berbahaya.

Setidaknya cerita yang saat ini hangat di pesisir Sumatera dan beberapa negara lain di Asia Tenggara mencerminkan hal tersebut. Sejak pekan lalu, dunia tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya gelombang pengungsi Rohingya di beberapa negara Asia Tenggara. Mereka sejak bertahun-tahun silam sudah mencari perlindungan ke beberapa negara dan dikabarkan ingin kembali.