12 Desember 2015

Tradisi Kultural KAMMI

M. Sadli Umasangaji 
Aktivis KAMMI di Ternate

“Kekanglah luapan perasaan dengan pandangan akal dan terangilah kecemerlangan akal dengan gelora perasaan” (Imam Hasan Al-Banna)

Jika melihat rentang sejarah, kita akan mempelajari bahwa dinamika perubahan sosial merupakan interaksi dari empat elemen utama: manusia, ide, ruang dan waktu. Manusia adalah pusat dari perubahan karena ia adalah pelaku atau aktor dimana ruang dan waktu merupakan panggung pertunjukkannya. Ide menjadi penggerak manusia dalam seluruh ruang dan waktu. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam ide-ide manusia, maka kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat mengikutinya. Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara tantangan dan respon terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena ia merespon tantangan di sekelilingnya. Hasil respon baru itu selanjutnya melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respon-respon baru. (lihat Anis Matta, 2014). 

Tentunya yang penulis sadari bahwa yang membuat daya hidup KAMMI dan terus berkembang adalah ranah Dakwah Tauhidnya. Disisi lain KAMMI dalam perjalanannya maka KAMMI perlu reposisi sebagai tambahan daya hidupnya. Karena jika kecemasan merupakan kekuatan utama yang menggerakkan para pahlawan kebangkitan, maka kekuatan apakah yang paling agresif menggerakkan para pahlawan di jaman kejayaan? Jawabannya adalah obsesi kesempurnaan (lihat Anis Matta, 2013).

Homo Islamicus dan Intellectual Freedom 
KAMMI sendiri memiliki output pengkaderan yaitu Muslim Negarawan. Karakter Muslim Negarawan, yakni memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan. Selain Muslim Negarawan, ada sebuah frasa yang pernah didiskusikan dalam Jurnal KAMMI Kultural, yakni Homo Islamicus. Karena Muslim Negarawan yang terkesan mengandung makna bentuk perjuangan yang melalui ranah politik dan kekuasaan Negara. Maka Homo Islamicus, yang dituliskan Dharma Setyawan yang dikutipnya dari Seyyed Hossein Nasr, Homo Islamicus adalah bentuk konsistensi manusia sebagai makhluk ber-Tuhan. Dia meramu segala bentuk kebaikan-kebaikan yang hadir pada nalar dan wahyu untuk menciptakan maslahah (manfaat). Homo Islamicus membuat kader bisa berdiaspora dimana saja sesuai kompetensinya dengan bersandar pada nilai-nilai keislaman.

Homo Islamicus adalah intelektual profetik dalam arti yang lebih makro (Setyawan, 2013). Intelektual Profetik sendiri dalam GBHO KAMMI, Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal. 

Kemampuan manusia yang diandalkan itu ialah rasionya. Rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio. Maka seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran (Madjid, 2013). 

Maksud sikap rasional ialah memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Oleh karena manusia dengan karena keterbatasan kemampuannya tidak dapat sekaligus mengerti seluruh alam ini melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, menjadi rasional adalah juga berani progresif dan dinamis. Jadi tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada, dan karena itu bersifat merombak dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang tidak benar, tak sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak diterima akal, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai kebenaran. Maka sekalipun bersikap rasional itu suatu keharusan yang mutlak, rasionalitas itu sendiri relatif sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu 

Sebagaimana Idea Of Progress dan Intellectual Freedom yang dituliskan Nurcholish Madjid (2013), Idea Of Progress bertitik tolak dari konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan oleh Allah dalam fitrah dan berwatak hanif). Manifestasi dari adanya idea of progress ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Konsistensi idea of progress ialah kesediaan “sikap terbuka” kepada menerima dan mengambil nilai-nilai dari mana saja, asalkan mengandung “kebenaran”. 

Di antara kebebasan perseorangan, kebebasan berpikir, dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga. Seharusnya kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide betapapun aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini. Selanjutnya, di dalam pertentangan pikiran-pikiran dan ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat. 

Jadi, sejalan dengan Intellectual Freedom, harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang, menurut ukuran-ukuran objektif, mengandung kebenaran. Harus mendengarkan ide-ide dan mengikuti mana yang paling baik. 

Rasionalitas yakni dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran, proses penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak. Nurcholis Madjid (2013) menempatkan bahwa Islam memerintahkan rasionalitas, tetapi tidak rasionalisme. Islam menuntut agar setiap orang itu rasional tetapi tidak rasionalis.
          
Pikiran-pikiran itu betapun salahnya kelak, merupakan kulminasi pemikiran manusia tentang kehidupan dirinya sendiri dalam bermasyarakat, sebagai hasil penelaahan yang realitis dan penuh keuletan berpikir atas gejala sosial dan historis.

Intelektual Kolektif
Untuk mengembalikan otonomi intelektual yang kian terancam oleh kekuatan ekonomi dan politik serta untuk memperbarui modus tindakan politik, Bourdieu mengajukan gagasan apa yang disebut dengan intelektual kolektif. Intelektual kolektif merupakan gerakan intelektual dari beragam bidang ilmu atau kompetensi sekaligus bersifat lintas negara dan budaya. Gerakan ini menjadikan kemandirian intelektual dan keterlibatan politik sebagai fondasi utamanya (Sugiarto, 2013). Intelektual kolektif berupa gerakan lintas budaya, bangsa, negara dan multidisipliner. Gerakan ini memiliki struktur bebas, jaringan informal, dan tidak terkonsenterasi di satu pusat. Beragam aliran pemikiran, perspektif dan cita-cita juga diakomodasi (Safitri, 2014).

Maka Intelektual Kolektif untuk memelihara opini umum yang akarnya adalah Dakwah Tauhid dan Intelektual Profetik. Dalam GBHO KAMMI, Gerakan Dakwah Tauhid merupakan gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (Ilahiyyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta (rahmatan lil ‘alamin). Dan Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik. 

Hingga ujung dari Dakwah Tauhid adalah kita akan membina diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga muslim. Kita akan membina bangsa kita, sehingga menjadi bangsa yang muslim. Kita akan berada di tengah-tengah bangsa Muslim ini dan akan berjalan dengan langkah pasti menuju akhir perjalanan, tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kita, bukan tujuan yang kita tetapkan untuk diri kita. Dan, dengan izin dan pertolongan Allah, kita akan sampai ke tujuan. Karena Allah SWT, tidak menghendaki, kecuali menyempurnakan cahaya-Nya (al-Banna, 2012).

Maka tantangan intelektual KAMMI adalah semakin menjamurnya pemikiran kader dan tokoh-tokoh KAMMI. Baik dalam ranah-ranah pemikiran maupun dalam bentuk karya dan lembaga-lembaga intelektual. Dengan tradisi kader, membaca, berdiskusi, dan menulis. Menghidupkan dialetika wacana dalam budaya literasi dan dalam perspektif Islami. Sebagaimana masa-masa kejayaan Islam. Kepahlawan zaman kejayaan didominasi oleh semangat perfeksionisme dan inovasi. Ini menjelaskan tipikal kepahlawan zaman kejayaan, biasanya terjadi paling banyak pada bidang pemikiran, kebudayaan, bahasa, seni, dan ilmu pengetahuan, dan pembangunan fisik, serta berorientasi pada spesialisasi yang rumit dan detil sebagai simbol kesempurnaan. Seperti kreativitas Imam Syafi saat beliau merumuskan kaidah-kaidah Ushul Fiqih, atau temuan dan inovasi Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dalam bidang kedokteran, atau kedalaman Imam Ghazali, Ibnu Jauzi, Ibnu Qayyim dalam bidang akhlak atau Al-Jahiz dalam bidang sastra, dan seterusnya (Matta, 2013).

Atau sebagaimana ungkapan Syekh Said Hawa (2014), penelitian harus dihadapi dengan penelitian, institusi harus dihadapi dengan institusi, penerbitan harus dihadapi dengan penerbitan, dan sloganpun harus dihadapi dengan slogan. Semua harus dilihat dalam perspektif Islam. Prinsip dasar ini didapatkan dalam kehidupan Rasulullah, beliau menghadapi syair dengan syair, pidato dengan pidato, dan perang juga dengan perang. Maka tantangan dan tradisi intelektual KAMMI adalah ledakan karya sebagai reposisi dan daya hidup KAMMI yang baru. Mengutip bahasa KAMMI Kultural, hanya upaya sebagai “memenangkan kekuasaan pada tingkat berpikir kader”, inilah tradisi intelektual KAMMI.

Tradisi Kultural 
Tidak seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan. Sebaliknya, karena menyadari kerelatifan kemanusiaan, setiap orang harus bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain. Dengan demikian, terjadilah proses kemajuan yang terus-menerus dari kehidupan manusia, sesuai dengan fitrahnya, dan dengan sejalan dengan watak hanifnya (merindukan kebenaran). Seharusnya seorang “Muslim” adalah seorang yang paling mendalam kesadarannya akan kemanusiaan yang relatif. Seorang “Muslim” adalah seorang yang dengan ikhlas mengaku bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya di hadapan Tuha. Sebab itu, seharusnya pula seorang “Muslim” adalah seorang yang paling tidak bersedia untuk mempertahankan kebenaran-kebenaran insani sebagai sesuatu yang mutlak, menantang segala perubahan nilai-nilai kemanusiaan. (Madjid, 2013). 

Dalam gagasannya, Bowo Sugiarto (2013), menguraikan bahwa Gerakan mahasiswa dapat mengambil inspirasi dari gagasan Bourdieu tentang intelektual kolektif ini. Semangat tentang pentingnya kemandirian intelektual, keterlibatan politik, dan penggabungan intelektual dari beragam bidang ilmu dapat direplikasi ke tubuh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang anggotanya terdiri dari mahasiswa dengan latar belakang bidang ilmu dapat membumikan gagasan Bourdieu itu dalam skala yang lebih kecil.

Agar dapat mengadopsi gagasan Bourdieu tentang intelektual kolektif, gerakan mahasiswa harus mengakumulasi modal kultural dengan cara mengembangkan kompetensi yang dimiliki anggotanya yang berasal dari beragam bidang ilmu tersebut. Pengembangan kompetensi itu tidak melulu hanya berkisar di ruang-ruang perkuliahan, tetapi juga melalui forum-forum diskusi dan penerbitan tulisan-tulisan yang sedapat mungkin merupakan kajian ilmiah. 
 
Dalam ranah ini, saya menyebutnya sebagai “tradisi kultural”. Tradisi Kultural bagi saya terdiri atas kesetaraan dan keikhlasan dan terejawantahkan melalui tulisan (berbagi gagasan). Tradisi Kultural inilah yang bagi saya mirip dengan slogan Jurnal KAMMI Kultural, “Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama”. Dan setahu saya slogan ini tanpa tafsiran yang pasti, maka semuanya “berwenang” memberikan asumsi.

Ahmad Rizky Mardatillah Umar (2015) kiranya mendefenisikan “Bergerak Tanpa Kasta” dengan membawa semangat egalitarian. Mendorong setiap anggota biasa KAMMI, tak peduli apapun status perkaderan ataupun posisi 'struktural'-nya di KAMMI, untuk menjadi generasi pembelajar. Untuk belajar kepada siapapun dan mampu menarik hikmah dari apapun. Banyak tempat untuk belajar di dunia pergerakan maupun di luar. Bergeraklah, oleh karenaya, tanpa kasta, dengan semangat pembelajaran.

Sedangkan “Berjuang Tanpa Nama”, menurut Umar (2015), adalah konsekuensi untuk menciptakan perubahan tanpa harus terbebani dengan label atau nama. Terlebih-lebih menurut Umar (2015), Berjuang tanpa nama menyiratkan satu pesan: apapun perjuangan kita, hendaknya ikhlas lillahi ta'ala, mengajarkan kita untuk mencipta tanpa mengharap balas jasa. Juga mengajarkan kita satu hal lain: konsistensi dalam perjuangan, untuk setia di garis massa. Bahwa tak selamanya perjuangan dilakukan di atas panggung yang hiruk-pikuk dengan pengeras suara dan tabuhan gendang. Perjuangan kadang kala dilakukan di balik panggung, di bawah tempat penonton menikmati hiburan, atau mungkin di ruang-ruang yang selama ini terlupakan oleh para politikus. Tempat yang kadang sunyi, penuh onak dan duri, dan sering juga terabaikan. Tapi dengan semangat keikhlasan, insya Allah hal-hal semacam itu bisa dilalui sebagai pembelajaran. Umar mengidentikan “Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama” sebagai generasi “Muslim Pembelajar”.

Sedangkan Dharma Setyawan (2013), menafsirkan, gerakan kultural sebagai sebuah gerakan kehendak bebas’ yang bertujuan memberi ruang kepada seluruh kader KAMMI untuk memberikan sumbangsih berfikir secara dialektis ruang-ruang kultural –bergerak tanpa kasta dan berjuang tanpa nama. Bisa saja, seorang kader KAMMI dalam wilayah struktural bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang jundi komisariat yang tidak menempati posisi atau jabatan struktural yang strategis. Akan tetapi, di jagad pemikiran, ialah yang paling baik amal ibadahnya, lebih luas membaca bukunya, tinggi pemahaman ilmu dan pengetahuannya, serta lebih progresif dalam berkarya.

“Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama” terpatri dalam kesetaraan, keikhlasan, dan bentuk manifestasinya adalah menulis (berbagi gagasan). Kesetaraan dapat diidentikkan dengan totalitas dan persaudaraan. Menurut Hasan al-Banna (2012) totalitas adalah bahwa engkau harus membersihkan pola pikir dari prinsip nilai dan pengaruh individu yang lain, sebab ia adalah seutama-utama, selengkap-lengkap, dan setinggi-tinggi fikrah. Sedangkan persaudaraan, menurut Hasan al-Banna, bahwa hendaknya berbagai hati dan ruh berpadu dalam ikatan akidah. Akidah adalah ikatan yang paling kokoh dan paling mahal. Ukhuwah merupakan saudara keimanan. Kekuatan pertama adalah persatuan, tiada persatuan tanpa cinta kasih, sedangkan cinta kasih yang paling lemah adalah lapang dada dan puncaknya adalah itsar (mengutamakan orang lain dari diri sendiri). 

Imam Hasan al-Banna juga berkata, “Terus terang saya bangga dengan kesatuan ikhwan yang tulus ini, sangat senang dengan ikatan rabbani yang kokoh ini, dan sangat optimis menatap masa depan selama kalian tetap bersaudara karena Allah, saling mencintai, dan saling tolong-menolong. Karena itu jagalah persatuan ini, sebab ia merupakan senjata dan bekal utama kalian”. Inilah “Bergerak Tanpa Kasta”.

Keikhlasan. Hasan al-Banna mendefinisikannya, bahwa seorang al-akh hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan perjuangannya hanya kepada Allah SWT, mengharap keridhaan-Nya, dan memperoleh pahala-Nya, tanpa mempertimbangkan aspek kekayaan, penampilan, pangkat, gelar, kemajuan, atau keterbelakangan. Dengan itulah ia menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara kepentingan dan yang hanya ambisi pribadi. Keikhlasan tentu berkawan dengan pengorbanan. Pengorbanan menurut pandangan Hasan al-Banna, mengorbankan jiwa, harta, waktu, kehidupan, dan segala sesuatu yang dipunyai seorang untuk meraih tujuan. Tidak ada perjuangan tanpa disertai pengorbanan. Selain pengorbanan, maka pendamping dari keikhlasan adalah keteguhan. Keteguhan menurut Imam Hasan al-Banna, adalah bahwa hendaknya senantiasa bekerja sebagai pejuang di jalan yang mengantarkan oada tujuan, meski masa amat jauh dan tahun-tahun terasa panjang hingga bertemu dengan Allah. Inilah “Berjuang Tanpa Nama”.

Manifestasinya adalah berbagi gagasan. Pada hakikatnya bagi saya setiap kader memiliki benih untuk menulis. Saya mengatakan seperti ini karena saya menyakini setiap kader memiliki kebiasaan membaca yang baik. Saya percaya bahwa kader harus menulis adalah karena Goethe berasumsi bahwa “Manusia pada hakikatnya adalah penulis. Apa yang ia dengar, apa yang ia lihat dan alami, ia jadikan pola. Ia percaya apa yang dapat dipikir, akan dapat pula ditulis, lambat atau cepat. Dalam setiap perjalanan dan dalam setiap peristiwa ia memperoleh bahan baru untuk ditulis atau dikarangnya”.

Kader harus menulis karena pada dasarnya, “Membiasakan diri, membuat catatan, apa yang dipelajari setiap hari. Itulah ciri seorang pembelajar”. Menulis merupakan suatu tradisi baik untuk mahasiswa, pegawai kantor, wiraswasta, dan pengusaha karena dengan adanya tulisan sendi kehidupan akan terus berlangsung. Menulis juga berarti mengasah ketajaman otak dan menyeimbangkan dengan tangan sehingga menghasilkan sebuah karya. Menulis merupakan proses kreatif seseorang dalam mencari jati diri. Menulis akan memberi kekuatan pikiran menjadi segar dan bersemangat. Dengan mengekspresikan segala yang terekam dari dalam otak dengan menyeleraskan kata-kata hingga menjadi sebuah tulisan. Bukankah Pramoedya Ananta Toer mengatakan “Menulislah selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah”. 

Hasan al-Banna dalam “Kewajiban Aktivis (Pejuang)” menuliskan “Hendaklah engkau meningkatkan kemampuan baca tulis. Hendaklah engkau banyak mengkaji risalah-risalah, surat-surat kabar, majalah-majalah Ikhwan, dan yang sejenisnya. Hendaklah engkau berusaha memiliki perpustakaan pribadi, meskipun sekecil apapun. Bila engkau memiliki spesialisasi, maka hendaklah menekuni keilmuan dan keahlianmu. Dan hendaklah mengenal persoalan Islam secara umum yang dengannya dapat membangun persepsi yang baik untuk menjadi referensi bagi pemahaman terhadap tuntutan fikrah”. 

Demikian juga dengan Sayyid Qubth, seorang pembaca “kelas berat” dalam waktu yang lama. Seorang sastarawan yang piawai dalam menguraikan kata indah dan seorang aktivis harakah yang jujur dalam beropini. Bahkan Sayyid Quthb dapat dijadikan contoh ril, dimana ia adalah seseorang yang telah menghabiskan waktunya, selama kurang lebih 40 tahun, untuk membaca. Selama itu, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk menelaah dan meneliti hampir semua bidang ilmu pengetahuan manusia, beberapa ilmu memang menjadi spesialisasinya dan sebagian lainnya karena hobi (membaca). Kemudian ia kembali membaca sumber-sumber akidah dan ideologi Islam. Tak disangka, sedikit demi sedikit dari apa yang pernah ia pelajari di Barat, ternyata ia menjumpainya dalam perbendaharaan Islam yang kaya, memang demikian adanya. 

Demikianlah, “Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama” adalah kesetaran dan keikhlasan dalam berkarya. Karena dengan itu, kita merindu dengan sederhana, mencintai dengan karya. Itulah tradisi kultural, dengan karya, kita mencintai KAMMI dengan sederhana. Begitulah ledakan karya. Dan bukankah Muhammad Natsir mengungkapkan, “Mulailah dari apa yang ada. Sebab, yang ada itu lebih dari cukup untuk memulai”.

Bahan Bacaan:


  1. Al-Banna, Hasan. 2012. Majmu’atur Rasail Jilid I (Cetakan Kesepuluh). Penerbit Al-I’tishom. Jakarta.
  2. Hawwa, Said. 2014. Fi Afaqi At-Ta’alim. Penerbit Era Adicitra Intermedia. Surakarta
  3. Madjid, Nurcholis. 2013. Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan (Edisi Baru, Edisi Kedua). Penerbit Mizan. Bandung.
  4. Matta, Anis. 2013. Mencari Pahlawan Indonesia. Cetakan Keempat. The Tarbawai Center. Jakarta
  5. Matta, Anis, 2014. Gelombang Ketiga. The Future Institute. Jakarta
  6. Quthb, Sayyid, 2012. Ma’alim Fi Ath-Thariq Cetakan Keempat. Darul Uswah. Yogyakarta.
  7. Safitri, Alikta Hasnah. 2015. Intelektual KAMMI; Profetik Menuju Kolektif. http://www.kammikultural.org/2015/01/intelektual-kammi-profetik-menuju.html
  8. Setyawan, Dharma. 2013. Muslim Negarawan dalam Gugatan. http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/20/muslim-negarawan-dalam-gugatan/
  9. Setyawan, Dharma. 2013. Kultural Pasti Berlalu. http://www.kammikultural.org/2013/09/kultural-pasti-berlalu.html
  10. Sugiarto, Bowo. 2013. Meneguhkan Otonomi: KAMMI dan Proyek Intelektual Kolektif. http://www.kammikultural.org/2013/05/meneguhkan-otonomi-kammi-dan-proyek.html
  11. Umar, Ahmad Rizky Mardatillah. 2015. Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama. http://www.kammikultural.org/2015/08/bergerak-tanpa-kasta-berjuang-tanpa-nama.html