Oleh: Anis
Maryuni Ardi
Pengurus PP KAMMI 2015-2017, Mahasiswa S2 Universitas Pertahanan (UNHAN)
Delapan belas tahun bukanlah perjalanan
yang mudah bagi sebuah organisasi untuk menemukan bentuk ideal. Tumbuh dalam
waktu yang cukup lama memerlukan konsistensi dan persistensi dalam pengelolaannya.
Basis keanggotaan yang tersebar secara meluas di berbagai kampus di Indonesia,
menjadikan heterogenitas dalam organisasi ini sangat kentara. Meskipun begitu, entitas
pemersatu sebagai mahasiswa muslim menjadikan visi mudah disebarluaskan. Secara
struktural, pastilah akan muncul dinamika dan berbagai konflik dalam mengelola
KAMMI sebagai organisasi yang independen. Melalui kesempatan ini, penulis
mencoba melihat pola seni mengelola konflik yang ada pada tataran kepengurusan pusat
dalam 2 (dua) periode estafet kepemimpinan.
* *
*
Perbedaan pada
hakikatnya bisa memberikan manfaat dan sekaligus bisa menciptakan krisis. Huruf China untuk kata krisis terdiri
dua huruf yang berarti bahaya dan
peluang (James & Gilliland,
2005). Akibat krisis, rnaka suatu organisasi pastilah berubah. Krisis mendorong
cara-cara baru, pilihan-pilihan baru,
intervensi baru dan kekuatan untuk menyelesaikan masalah. Maka harus diyakini
bahwa karena krisislah suatu organisasi berkembang dengan pesat.
Mengambil
kajian psiko-politik dari Platon, akar konflik dari manusia adalah berasal dari
pertentangan daya (prinsip) yang ada dalam jiwa manusia dimana pertentangan
prinsip ini jika tidak dikendalikan dapat menghancurkan seorang individu itu
sendiri. Menurut Platon, terdapat tiga prinsip yang ada dalam jiwa manusia:
Pertama,
prinsip untuk
belajar (rasional) yaitu prinsip
rasional yang membuat manusia kadang tidak menuruti begitu saja rasa laparnya.
Padahal rasa lapar adalah sebuah tanda untuk makan. Walaupun rasa lapar ini
normalnya harus dipenuhi , namun faktanya terkadang terdapat sesuatu penolakan.
Che Guevara pernah menyatakan bahwa manusia bukan seonggok perut. “Sesungguhnya kami rela
lapar demi martabat,” Katanya.
Kedua,
prinsip untuk
merasa marah (thumos). Thumos bukan hanya sekedar rasa amarah semata, karena yang
dimaksud adalah soal rasa marah moral dan rasa marah akan skandal moral yang
dilihat. Thumos merupakan hasrat atau
semangat yang meluap-luap. Dan ketiga,
prinsip untuk
hasrat bersenang-senang (ephitumia)
yang berkaitan dengan nafsu dan keinginan, bukan kebutuhan. Untuk yang
ketiga ini penulis merasa tidak perlu menjelaskannya lebih jauh.
Dalam
gerakan sangat naif jika kita hanya melihat pada sisi aktivisme dan
ideologisasi saja. Proses pengendalian dan penyelesaian konflik, juga merupakan
ruang kerja yang jelas, bagaimana suatu kepengurusan bisa merekonsiliasi “despute” atau ketegangan yang dapat
mengganggu berjalannya organisasi secara umum. Dalam kepengurusan pusat KAMMI
periode 2013-2015 sempat berlangsung reintegrasi di beberapa daerah. Sampai
pada periode kepengurusan 2015-2017 rekonsiliasi ini berhasil menemukan titik
cerah. Artinya, kerja estafet antar periodisasi kepengurusan tidak putus dan
tetap terpelihara walaupun dengan strategi kepemimpinan yang berbeda.
Pertanyaannya,
bagaimana strategi PP KAMMI dalam mengelola dinamika tersebut?
Dengan adanya intervensi sosial, kata strategi merujuk pada pengertian Si Kahn, yaitu peta
jalan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Untuk
itu diperlukan perencanaan hingga mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Si Khan, Organizing: A guide for a grass root
leaders, 1981). Untuk menjalankan strategi yang telah ditetapkan dibutuhkan suatu
taktik dan aktivitas-aktivitas yang spesifik. Serangkaian kegiatan untuk
pemberdayaan bagi masyarakat yang tidak diuntungkan pada suatu wilayah
tertentu, secara partisipatif dengan bertumpu kepada
kerangka teori dan metodologi psikologi sosial yang tepat guna. Strategi
intervensi sepenuhnya diarahkan oleh visi dari intervensi.
Di tahun ke-18 ini, tren dinamika yang muncul
adalah mengorganisir internal agar kepengurusan menjadi efektif dan optimal. Secara
pribadi penulis melihat pasca musyawarah kerja nasional belum ada aktualisasi
wacana yang mengarah pada evaluasi tegas pengurus yang dilihat dari kinerjanya.
Dalam suatu tatanan struktur, adanya tata ulang (reshuffle) bukanlah
sesuatu yang patut dihindari, juga dilaksanakan. Pengurus dalam konteks ini
harus selesai secara ideologis dan komitmen bekerja dalam tatanan yang
disepakati secara kolektif. Sebagai konsekuensi spirit jayakan Indonesia 2045, kerja
kolektif harus diutamakan melalui basis kompetensi dan profesionalitas.
Dalam menjawab dinamika konflik dalam bentuk
perang wacana dan potensi perpecahan, Pengurus Pusat mampu mengatasi dengan
hasil yang cukup positif, namun gerakan ini tidak boleh dibesarkan oleh daya
spiritualitas dan intuisi saja. Budaya sungkan untuk melakukan evaluasi tidak
boleh dipelihara. Keseriusan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi tidak
bisa dibenturkan dengan rasa sungkan. Struktur harus lebih artikulatif terhadap
kebutuhan gerakan. Dalam berbagai persoalan, belum begitu nampak pola
dinamisasi yang menonjol.
Usulan penulis adalah menciptakan sebuah sistem
yang mampu mengkuantifikasi produktifitas bidang, pengurus maupun program,
mekanisme evaluasi yang berkelanjutan dan pergantian ini merujuk pada sistem
yang berkelanjutan. Sehingga ketika masuk dalam periode akhir kepengurusan,
tidak ada missing link dalam penyelesaian tupoksi yang sudah di
rencanakan melalui aktivitas-aktifitas yang spesifik. []