15 Februari 2013

Meruntuhkan Mitos 'Bangsa Panutan'








*) Makalah disampaikan sebagai pemantik Forum Diskusi KAMMI Kultural bertajuk "KAMMI: Hari Ini, Esok, dan Masa Depan" di Perum Polri Gowok C-4, 19 Januari 2013.











Oleh : Dharma Setyawan [1] 
Gambar




Memaknai sejarah adalah memaknai fakta yang pernah terjadi dimasa lalu. Anggapan-anggapan yang terjadi pada kehidupan manusia tidak perlu dinisbatkan pada cara-cara menyerahkannya pada sosok yang pantas mengatur tanpa adanya nalar yang bertanggungjawab. Sehingga cara berfikir menghadapai masalah yang seharusnya dipecahkan oleh individu manusia itu sendiri muncul pada gejala-gejala i-rasional. Satu contoh dalam hal berfikir tentang sebuah kemandekan gerak fikir masyarakat yang menyerahkannya pada pihak tertua, hal ini sering muncul fenomena hegemoni struktural. Lebih jauh upaya untuk kaderisasi pengetahuan akhirnya mandek pada titik umur (kaum tua), dimana menjadi pijakan untuk menentukan basis kebijakan.


Sejarah ke-nusantara-an kita telah hancur oleh budaya seperti ini. Padahal kebenaran sejarah merupakan cermin paling jernih, referensi terpercaya untuk suatu perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik.[2] Pram menyebut problem kebangsaan Indonesia ini dengan istilah “bangsa panutan”. Satu sikap dimana upaya untuk membangun pengetahuan yang terus berkesinambungan terhalangi oleh mitos. Bukan karena tanpa sebab, bahwa mitos bukan alami, bahwa mitos sendiri adalah buah upaya sadar dan tidak sadar manusia untuk mempercayai tentang zat di luar diri manusia yang lebih kuat, berpengaruh dan sangat berkaitan dengan gejala yang sedang dihadapi. “Bangsa Panutan” ini yang kemudian menjadi bentuk feodalisme[3] kontemporer di zaman yang seharusnya pengetahuan menjadi basis pijakan dan perubahan. Jika membaca epos sejarah pra-Indonesia abad 16 pasca tumbangnya Majapahit oleh kepongahan Feodalisme sampai pada kekalahan Mataram oleh militer Belanda di sepanjang laut Jawa, sangat terlihat bagaimana tetua adat mempengaruhi setiap kebijakan yang muncul di masyarakat.[4]

Muncul kemudian mitos tentang Nyai Roro Kidul yang melegenda menjadi cerita mistik dalam balutan sastra rakyat. Penggambaran Ratu pantai selatan yang menjadi penguasa laut Jawa menepis anggapan rakyat dan menjadi penguasa maya hingga ber abad-abad. Para Raja Mataram yang dipercayai menikah ghaib dengan Nyai Roro Kidul adalah mitos yang dibangun pujangga Jawa saat itu. Pakaian hijau menggambarkan perlawanan yang kuat seolah-olah telah menundukkan warna hijau pasukan kompeni Belanda yang di fakta sejarah menang teritorial secara total. Mitos ini yang tidak akan pernah sampai pada kesadaran sejarah dan kesadaran hari ini sebagai sebuah problem “Bangsa Panutan”. Sastra mitos ini juga tidak hanya terjadi di Jawa tapi sebagai bagian dari kepercayaan yang turun-temurun dan menyebar di daerah-daerah lain di Luar Jawa.

Bukan hanya dalam tokoh fiktif, mitos juga muncul dalam bentuk sosok-sosok yang benar-benar pernah hadir dalam sejarah perlawanan bangsa ini. Kartini dalam pengertian Pram juga menarik untuk dilihat sebagai fakta yang berubah menjadi mitos. Dalam kata pengantar bukunya Panggil Aku Sebagai Kartini Saja menyebut : “sampai sedemikian jauh, kartini disebut-sebut diberbagai peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai manusia biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri serta menempatkannya dalam dunia dewa-dewa. Tambah kurang pengetahuan orang tentangnya tambah kuat kedudukannya sebagai tokoh mitos. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmati candu mitos. Padahal Kartini jauh lebih agung dari pada total jendral mitos-mitos tentangnya.”

Pram ingin menyatakan bahwa mitos dapat muncul dari fakta sesuatu yang pernah ada sekalipun. Kartini yang hanya diperingati oleh bangsa ini sebagai ingatan hari lahirnya, pakaian khas jawanya dan sebuah gambaran simbol lainnya, telah menjadi mitos yang sangat mengganggu basis pengetahuan tantang tindakannya yang sebenarnya lebih mengagumkan. Pengetahuan tantang Kartini sebagai wanita cerdas, pemberani dan memperjuangkan hak-hak perempuan hilang dari ingatan bangsa ini. Mitos itu tumbuh dan mereduksi substansi dari cara berfikir Kartini sebagai pendobrak feodalisme jawa terhadap diskrminasi perempuan. Maka mitos itu dibantah oleh pram dengan menulis “Panggil Aku Kartini Saja”. Perlu pula kita  membuka sejarah lain, sebagai sebuah penghargaan yang jujur bahwa diluar Kartini juga ada pejuang wanita lain yang tidak dikenal namun berjasa dalam perjuangan bangsa ini dan terlupa karena tidak di mitos-kan sebagaimana Kartini. Pejuang lain yang juga berjasa namun tidak mendapat ingatan sejarah sebagaimana mitos Kartini seperti Opu Daeng Risadju (1880–1964), Rangkayo Rasuna Said (1910–1965),Nyi Ageng Serang (1752–1828), Maria Walanda Maramis (1872–1924), Raden Dewi Sartika (1884–1947),Tjoet Nja’ Meutia (1870–1910), Tjoet Nja’ Dhien (1848–1908) dan masih banyak yang lainnnya.

Pengetahuan dan Tauhid: Meruntuhkan 'Mitos'

Pengetahuan itu akan memusnahkan mitos. Mitos ini yang menjadi sikap sakralis sejarah ke-nusantara-an memandang banyak hal menjadi sebuah ketakutan yang luar biasa. Tidak hanya pada kebudayaan nusantara, mitos itu muncul dalam aspek politik dan agama. Sakralisme itu menjadi beban tersendiri mengungkap kebenaran. Sehingga yang muncul adalah bentuk cara pandang yang kaku dan dogmatis terhadap sebuah anggapan kebenaran fakta sejarah bahkan kebenaran dalam konteks Tauhid (aspek Tuhan yang monoteisme). Mitos yang dibangun dalam sosok Kartini contohnya, menjadi sikap pongah terhadap sejarah kita memandang Kartini sebagai sosok yang tidak membumi tapi hanya membayangi ingatan bangsa. Pengetahuan dalam diri kartini lupa untuk diingat dan ditafsirkan sebagai bentuk Ijtihad berfikir Kartini melawan feodalisme saat itu.

Sedikit tentang bagaimana Kartini dalam upayanya berjuang dan mengirim surat kepada Nn. Zeehandelaartertanggal 6 Nopember 1899 : “Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau yang serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar rumah besar, berhalaman yang luas sekelilingnya, tetapi sekitar  halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya. Teringat aku betapa aku oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga lalu menghempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu dan kepada dinding batu bengis itu. Arah kemana juga aku pergi, setiap kali putus juga jalanku oleh tembok batu dan pintu terkunci.” (Habis Gelap Terbitlah Terang, Terjemahan Armijn Pane, Balai Pustaka, 1982)

Bagaimana Kartini ingin menjelaskan dengan surat itu tersiksa fisik dan batinnya atas ketidakbebasan dirinya menjalani kehidupan sebagai seorang perempuan. Dalam surat lainnya Kartini bicara tentang Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (Ketuhanan, Keindahan dan Kebijaksanaan) yang kemudian baru sekarang kita mengerti maksud Kartini bahwa Innallaha jamillun yuhibbuljamal (Tuhan itu indah dan berkenan akan keindahan), atau habis gelap terbitlah terang atas pemahaman mina zulumati ila nur (dari gelap menuju cahaya). Namun mitos itu telah mendominasi terlalu dalam pada benak kesadaran kita yang tidak kunjung siuman. Sehingga problem mitos itu tidak pernah kita gapai dengan pengetahuan, salah satunya tentang sejarah negeri ini, sejarah tentang ke-Indonesiaan kita. Mitos terhadap Kartini menyeruak pada simbol saja, tentang kebaya, tentang perlombaan diperingatan kelahirannya. Tanpa disadarkan bahwa Kartini sangat menarik yaitu bukan pada simbol tapi perlawanan pemikiran yang mendobrak zaman saat itu. Memberi kesadaran kultural dan menuding struktur masayrakat feodal saat itu menempatkan wanita pada garis terbelakang. Sehingga saat ini pun usaha Kartini melawan mitos feodal itu harus diterimanya pupus, akibat kesadaran generasi sesudahnya yang tidak kunjung sadar malah mengganti sosok Kartini sebagai mitos baru bukan kesadaran sejarah.

Ketika Raden Ajeng Kartini menuliskan surat kepada sahabat-sahabat penanya di Belanda, rapat-rapat umum, pemogokan, partai, dan demonstrasi sama sekali belum ada di Hindia. Istilah-istilah vergadering, voordracht (pidato), accoord (setuju), vakbonden (serikat burh), mogok, cummunismeIslamisme, cursussen (kursus) atau debat, tidak punya arti apa-apa dan kedengaran asing ditelinga pribumi.[5] Selain Kartini, ingatan sejarah tentang Tirto Adhisoerjo[6] seorang pribumi yang menerbitkan koran sendiri dengan bahasa melayu (kelak : Indonesia) seperti Medan prijaji, Poetri Hindia bukti bahwa gerakan itu menandai menancapnya perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Tirto juga mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah (SDI) di Batavia, serta membuka bisnis hotel dan lembaga bantuan hukum.

KAMMI dan Mitos Bangsa Panutan

“Bangsa Panutan” tidak selesai pada pra-Indonesia, pasca kemerdekaan hingga hari ini Budaya Panutan menjadi problem latah bangsa ini. Upaya untuk membuka ruang ijtihad menjadi sakral dalam konsep berfikir, bergerak dan menumbuhkan sesuatu yang dianggap baru adalah tabu. Bangsa Panutan ini lahir dari budaya Priayi. Golongan Priayi ini lahir dari perkawinan kolonialisme dengan feodalisme. Orang-orang Jawa yang berkasta priayi kemudian menjadi birokrat-birokrat Belanda untuk melanggengkan kepanjangan tangan menjajah Nusantara atas pusat kekuasaan Batavia di Pulau Jawa. Soekarno telah jauh hari ingin memutus mata rantai mitos Budaya Panutan ini dengan memindahkan pusat Ibukota Indonesia ke Palangkaraya, Kalimantan. Hal ini karena Batavia sejak dulu menjadi pusat Ibukota Pemerintahan Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya cita-cita belum terlaksana, Soekarno tumbang oleh sejarah yang tidak berpihak pada perlawanan mitos, ditambah sikap tidak tepat Demokrasi Terpimpin Soekarno, menunjukkan gaya kepemimpinan yang populis bukan demokratis.

Pasca terlaksana Sarasehan Inteligensia KAMMI oleh gerakan Kultural, dicurigai sebagai bentuk makar gerakan di kancah pertemuan 22-23 Desember 2012 di Balai Kota Yogyakarta. KAMMI kemudian seolah terpecah menjadi dua kubu. Bagi penulis ini akibat mitos yang timbul dan kurang upaya yang komunikatif untuk menjelaskan duduk persoalan. Gerakan Kultural dianggap sebagai kelompok kepentingan yang berorientasi pada kepentingan Muktamar 2013. Hal ini juga sah-sah saja keluar dari statement Pengurus Struktural mengingat ada kesalahan komunikasi yang dilakukan beberapa individu sehingga upaya dialektika terhenti pada titik kecurigaan.

KAMMI bukanlah mitos gerakan! Pendapat ini bukan tanpa sadar, gejala menempatkan dialektika di bawah ketiak Struktur menandakan KAMMI sedang masuk dalam jebakan mitos lebih jauh pada gerakan KAMMI sebagai gerakan EO (event organizer) dan berada pada bayang-bayang komunitas lain. Dalam system kebudayaan, Ben Anderson telah memberikan pendapat tantang komunitas agama dan alam dinasti (dynastic realm) sebagai modal komunitas. Sebagaimana Indonesia dibayangkan adalah bentuk komunitas agama yang hadir secara kultur dan struktur tapi juga fakta sejarah dinasti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah ada sebelum Indonesia. Ini yang kemudian disebut Komunitas Terbayang (imagined community).[7] Pada akhirnya komunitas terbayang atas sejarah agama dan dinasti diproklamirkan oleh Soekarno dkk menjadi Negara bernama Indonesia.

Begitu juga KAMMI sebagai entitas gerakan mahasiswa yang sadar akan komunitas agama dan struktur (dynastic) sebagai pijakan gerakan mahasiswa masa lalu (Jong Islamiten Bond, Himpunan Mahasiswa Islam, Pelajar Islam Indonesia dan lainnya), fakta ini menjadi dasar terbentuknya gerakan KAMMI dari komunitas terbayang para pendahulunya. Jadi kalau kemudian hari ini yang terjadi bahwa setiap ideologi, cara berfikir, bergerak  dan rancangan masa depan KAMMI adalah sesuatu yang masih dogmatis tanpa kehadiran pengetahuan (sejarah, tauhid dan rasional), KAMMI akan kembali terjebak pada mitos dan sulit melakukan kekenyalan dalam bergerak, sebagaimana dulu KAMMI hadir dari imagined community. Mitos itu kemudian menjadi penutup kesadaran internal, sehingga merasa sangat kaku dan takut mendobrak tatanan yang ada dalam mitos di tubuh KAMMI itu sendiri. Mitos tentang kemandirian, kedaulatan, independensi, ideologi gerakan dan perlawanan terhadap hegemoni struktural entitas lain tidak mampu dilawan KAMMI.

Pada titik ini tauhid menjadi terhenti pada sikap takut melawan, takut memberi argumen yang rasional untuk menjelaskan dan memposisikan apa dan bagaimana seharusnya logika KAMMI sebagai gerakan mahasiswa. Ketakutan itu tumbuh dan menyalahi tauhid yang final pada upaya menemukan Tuhan dalam spirit gerakan. Ketakutan yang berlebih akan sebuah struktur yang lebih kuat dari dirinya dan menjadikan ketergantungan struktur seperti KAMMI adalah lemahnya sikap internal melawan mitos. Ini bisa disebut sebagai Paganisme baru dalam gerakan, dimana sebuah gerakan sangat percaya bahwa antar gerakan dapat menjinakkan pola berfikir dan bergerak, penjinakkan antar struktur yang berbeda sehingga gerakan yang mengaku tunduk dibawahnya menjadi ta’at, sampai tidak mampu keluar pada titik kesadaran dan perlawanan yang berbasis pengetahuan.

Gerakan Kultural Bukan Anti-Struktural

Muncul kemudian pertanyaan untuk apa hadir Gerakan KAMMI Kultural? Penulis secara pribadi tidak menghendaki ini menjadi bagian KAMMI dalam menampilkan gerak struktur. Ungkapan Kultur bagi penulis adalah bentuk gerakan kebudayaan bukan kekuasaan (struktur). Sebagaimana arti kebudayaan adalahbuddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Pendekatan kultural lebih pada dialektika yang menggunakan sopan santun dan corak ragamnya untuk memandang pengetahuan sebagai hak siapapun sehingga penyadaran terhadap pengetahuan tidak hanya hadir dari pusat-pusat kekuasaan (struktur), tapi dari tingkat bawah (grassroot) menuju ke atas (kultur).

Apakah Kultural memiliki agenda kepentingan struktural? Secara pengetahuan sangat mungkin bagi penulis, tapi secara kepentingan kekuasaan dalam arti bentuk struktur sangat tidak mungkin karena berakibat pada resistensi penolakan ide. Jadi gerakan KAMMI Kultural memang bukan mengacu pada bentuk, tapi tawaran strategi mencapai kesetaraan pengatahuan. Sehingga secara tidak langsung ini positif membantu kaderisasi untuk mencerdaskan generasi KAMMI lebih baik dari sebelumnya. Kesetaraan pengetahuan inilah yang dulu diinginkan Soekarno dalam menangkap pesan-pesan Nasionalisme, Islam dan Marxisme pada tawaran kerjasama melawan Kolonialisme dan Imperialisme.”Tidak ada halangannya Nasionalis itu dalam geraknja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis” ucap Soekarno.[8] Kesadaran dalam kemajemukan ini yang juga Cak Nur sebut berangsur-angsur menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertemu pada satu “titik pertemuan”, ‘Common Platform” atau dalam istilah Al-Quran, “Kalimah sawa”.[9]

Pengetahuan Kultural berupaya membongkar kasta intelektual yang dijaga oleh pusat-pusat kekuasaan (sruktural). Upaya kultural lebih memberi kesadaran bahwa tidak semua cara-cara struktur mampu menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam pengetahuan, karena ini mendekati sikap feodal yang menempatkan kasta pada para pemikir yang memiliki kekuasaan di tubuh KAMMI. Sehingga feodal berfikir juga menciptakan pada kasta berfikir raja atau pamong praja (government) dan kelas rakyat jelata (the governed). Kelayakan berfikir yang hanya mengacu pada penguasa struktural, penulis yakini akan memandulkan gagasan yang seharusnya hadir dari bawah ke atas dan juga dari atas ke bawah.

Pengetahuan adalah basis untuk saling belajar dan berfikir setara, sehingga yang diperlukan adalah adab dalam memenuhi kehausan pengetahuan itu sendiri. KAMMI Kultural dan Struktural juga harus menanggalkan sikap su’ul adab (adab jelek, mengumpat, menghardik, mencaci dan lainnya). Sehingga kaidah pengetahuan sebagaimana penyampaian pengetahuan yang cerdas dan manusiawi. Metode umum dakwah menurut Al-Qur'an, (S.16:125) yaitu bil hikmah (dengan hikmah) dan Wal mauizatil hasanah(dengan nasihat yang baik). Di ayat lain ‘adzilatin alal mukminin” – bersikap lemah lembut kepada orang mukmin. Karena Rosul menyatakan bahwa “addiinu nashihat” – agama adalah nasehat. Hasan Al Bana menyampaikan slogan “likulli maqal maqam wa likulli maqam maqal” setiap tempat ada perkataan yang pas dan setiap perkataan ada tempat-tepatnya yang pas. Point-point adab ini yang kelak menjadi kesadaran pembuktian masa depan, bahwa gerakan Kultural menolak tegas orientasi gerakannya untuk kepentingan menuju kepentingan kekuasaan (struktural) yang kelak dapat memecah belah KAMMI pada narasi kekuasaan semata.

Pram kemudian menyimpulkan dalam tulisan Sastra, Sensor dan Negara,”jadi seberapa jauh karya sastra (bagian budaya pengetahuan) dapat berbahaya bagi negara? Menurut pendapat saya pribadi karya sastra, disini cerita, sebenarnya tidak pernah menjadi bahaya bagi negara. Ia, ditulis dengan nama jelas, diketahui dari masa asalnya, dan juga jelas bersumber dari hanya seseorang individu yang tak memiliki barisan polisi, militer, mau pun barisan pembunuh bayaran. Ia hanya bercerita tentang kemungkinan kehidupan lebih baik dengan pola-pola pembaruan atas kemapanan yang lapuk, tua dan kehabisan kekenyalan”.[10] Kritik sastra terhadap kekejaman orde baru yang represif terhadap ide, baginya hanya akan mengganggu tidur para individu-individu yang menghianati kekuasaan. Seorang diri Pram, jika tidak punya daya upaya untuk memiliki barisan kuat militer yang sejak dulu dikuasai oleh hegemoni Angkatan Darat (struktural).

Jika dikaitkan dengan kasus KAMMI, di sini jelas letak gerakan pengetahuan (kebudayaan) tidak berbahaya bagi struktural KAMMI, malah semakin meneguhkan sebagai bagian gerakan pencerdasan menguatkan barisan ilmiah ditengah ke-kaku-an bergerak. Gerakan pengetahuan yang jelas ditulis oleh kader KAMMI yang jelas asalnya, domisilinya dan jujur menawarkan sumbangsih ide adalah bagian dari sikap kedewasaan menemukan wacana yang panjang dan mengarah pada perbaikan KAMMI. Ide-ide yang ditawarkan itu semakin memperkaya khasanah dialektika KAMMI dan tidak akan membahayakan struktural KAMMI baik daerah maupun nasional. Mungkin bisa saja tulisan-tulisan itu akan mengganggu pihak-pihak individu yang merasa terancam dengan adanya kritik yang mengarah pada perbaikan, namun hal itu sah bagi tumbuhnya gerakan KAMMI sebagai gerakan yang terus berproses dan bergerak di masa depan. Pada wilayah ini, kritik pengetahuan tidak akan berbahaya bagi struktural KAMMI, tapi berbahaya bagi individu-individu struktural yang menolak untuk terbuka dalam khazanah pengetahuan.

Fundamentalisme Rasional

Menarik atas apa yang ditulis Yusuf Maulana[11] tentang pengantar pijakan menuju Fundamentalisme Rasional. Teori ini dimunculkan oleh Murad Wilfried Hoffman[12] (seorang mualaf asal Jerman). Hoffman membedakan dua jenis fundamentalisme. Pertama, Fundamentalisem Literer adalah secara eksklusif  menetapkan susunan kata-kata asli dari sumbernya. Fundamentalisme literer tidak bermaksud melakukan konstruksi. Kedua, Fundamentalisme Rasional adalah berusaha untuk kembali kepada sumbernya tanpa batasan-batasan metodis.

Tokoh Fundamentalisme literer disini diantaranya Syaikh Wali Allah, Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab, Muhammad Ibn ‘Ali As-Sanusi, Ikhwan al Muslimin dan Jamaat-Islami. Sedangkan tokoh Fundamentalisme Rasional Muhammad Abduh, M Rasyd Ridha, Syaikh Ibn Badis, Al-Ibrahimi dan Muhammad Asad. Yusuf Maulana mencoba membuka tabir KAMMI yang saat ini masih ekstrim pada titik Fundamentalisme Literer. Walaupun dalam pandangan penulis saat ini tidak semua kader KAMMI kategori dalam  Fundamentalisme literer.

Fundamentalisme Rasional merupakan jalan tengah, moderasi, dari praktik ekstrim literer dan juga substansialisme literer. Satu sisi pemahaman ke-Islaman terjebak pada teks-teks sehingga melahirkan apologi yang berlebihan. Disisi lain pemahaman yang mengedepankan aspek substantif dari ke-Islaman juga bukannya tanpa persoalan. Pada titik ekstrimnya, pemahaman terakhir ini malah melahirkan anarkisme : mengapriorikan bahkan mengapatisi teks-teks sumber Islam.[13]

Pada posisi ini tidak mudah, Fundamentalisme rasional cenderung dicurigai karena tidak mengindahkan kaidah-kaidah ke-Islaman dalam bentuk teks. KAMMI akhirnya menjadi terjebak dalam mazhab dan tafsir yang menyeret pada perbedaan cara pandang bukan menampilkan dialektika substansi. Yang dihadapi KAMMI sama persis dengan apa yang menjadi perilaku KH Ahmad Dahlan tentang Legenda al-Maun dengan pengembangan Islam model protestan.[14] Pada saat itu terlihat KH Ahmad Dahlan dikafirkan karena menggabungkan tradisi dengan modernisme. Seperti mengajar dengan bangku-bangku, padahal kaum Islam saat itu menggunakan metode surau (pesantren). KH Ahmad Dahlan membangun Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) (sekarang Rumah Sakit Muhammadiyah Yogyakarta) dengan menggandeng dokter-dokter dari Belanda. Stigma Kiai Kafir kemudian muncul oleh para Kiai lain saat itu (fundamentalisme leterer).

Fundamentalisme Rasional mengingini aplikasi Islam tidak tercerabut dari akar tradisional, namun tidak terjebak pada aspek bernostalgia. Sehingga bila KAMMI ingin menjadikannya sebagai budaya organisasi, maka aktivitasnya harus berani memerluaskan pemahaman tentang sejarah. Sejarah tidak hanya tentang aspek normatif sebagaimana banyak dijalankan sekarang ini oleh aktivitas KAMMI. Sejarah juga harus disadari sebagai persolan kemanusiaan, sehingga bisa membaca masa lalu tidak sebagai fakta yang sakral. Dari sini diharapkan timbul etos untuk proporsional meletakkan sejarah dan mengapresiasi sejarah.[15]

KAMMI Meruntuhkan Mitos

KAMMI harus menyadari dirinya adalah bagian dari pembentukan fase sejarah dimana metamorfosis gerakan itu akan muncul sesuai dengan tantangan zamannya. KAMMI menyadari sejarah, bahwa gerakan Islam sebelumnya telah ikut andil membangun karakter KAMMI yang saat ini ada. Mulai kesadaran eksistensiJong Islamiten Bond (JIB) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang pernah militan di Indonesia. Wawasan sejarah ini memunculkan perilaku yang rasional dan tidak a-historis. KAMMI yang a-historismenafikan peran gerakan Indonesia dan mengira bahwa Ikhwanul Muslimin adalah gerakan yang pas dan diterapkan hegemonik di tubuh KAMMI.

Rasionalisasi perilaku hidup dapat disimak pada upaya re-interprestasi doktrin ke-Islaman agar sejalan dengan aspirasi dunia modern yang bernapaskan pada rasionalitas dan kemajuan. Islam dan kemajuan di-rekonsiliasikan.[16] Yusuf Maulana menegaskan di pengantar awal bahwa, Fundamentalisme-Rasionalmenjadi salah satu tawaran agar kekosongan dalam tradisi intelektual direkatkan lagi ke dalam sebuah budaya organisai. Fundamentalisme-Rasional bukanlah sebuah dekonstruksi nilai lama, melainkan rekonstruksi agar pemahaman ke-Islaman KAMMI makin berilmu, makin sadar zaman, makin holistik, makin kosmopolit, makin adaptif, tidak apriori, tidak apologi dan seharusnya kritis.[17]  Jadi murni Gerakan Fundamentalisme Rasional bagi penulis hanya ada pada kebutuhan berfikir dan sikap internal KAMMI bukan memaksa pada berfikir gerakan lain bahkan memaksa untuk menjadi perilaku gerakan lain.

Berintelektual di KAMMI adalah rasional substansi. Bahwa demokrasi dipahami dengan pengetahuan bukan mitos itu sendiri. Partai dalam demokrasi juga dipahami dengan pengetahuan bukan ketakutan mitos, sehingga KAMMI memilah-milih kritik terhadap partai dengan alasan bahwa ada partai dakwah. Bagi kesadaran rasional KAMMI, partai Islam sekalipun seharusnya dipahami sebagai alat organisasi bukan mitos yang sulit untuk dikritik. Kesadaran pengetahuan ini menjadi modal KAMMI berani mencari panutan yang benar (Muhammad SAW) dan tauhid menuju monoteisme (Allah SWT). Bangsa panutan yang melekat dan menempel pada unsur-unsur mistis dilawan dengan sejarah, tauhid dan rasionalitas KAMMI meneguk haus-nya pengetahuan. Sehingga KAMMI menyadari dirinya adalah potensi besar sebagai gerakan yang tidak tunduk atas dasar mitos yang selama ini sakral dan membonsai pertumbuhan KAMMI. Bahwa KAMMI mampu menentukan masa depan sendiri dengan keyakinan yang dibangun dari Konstitusi, Prinsip, Kredo, Paradigma, Cita-cita, dan bentuk gagasan Nilai Perjuangan KAMMI yang harus diyakini sebagai modal meneguk pengetahuan di masa depan.

KAMMI butuh arus kritis sehingga bersikap pada bentuk pencerdasan bersama menuju kemajuan organisasi Islam yang egaliter yaitu terbuka dan mengarah pada kemampuan KAMMI bergerak cerdas, solid dan rasional. KAMMI dan kesadaran kritis akan menyadari dirinya adalah entitas perubahan, kumpulan pemuda yang genial intelektualnya, progresif gerakan massa-nya, gerakan yang kritis pada porsi menuntut pelayanan publik, mendekat dalam nadi rakyat, dan tidak lengah hingga berakhir merapat dalam arena kekuasaan pragmatis. Kesadaran KAMMI sebagai gerakan politik ekstraperlementer adalah entitas pemuda yang memberi pencerahan kemasyarakat tentang pilihan-pilihan logis yang rasional atas demokrasi yang semakin anti-klimaks ini. Jika KAMMI tidak adil dalam pemikiran, maka KAMMI tidak adil dalam perbuatan. Perlu kerjasama sinergis dari KAMMI untuk masa depan  yang lebih baik, secara Struktural dan Kultural!

Daftar Pustaka

Ananta Toer, Pramoedya. Sang Pemula, Lentera Dipantara, Jakarta, 2003.

Ananta Toer, Pramoedya. Sastra, Sensor, dan Negara:Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?. (Pidato tertulis Pramoedya Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995)

Anderson, Benedict. Reflection on the  Origin and Spread of Nationalism, 1986, London, Verso.

http://id.wikipedia.org/wiki/Murad_Hoffman

Isak, Joesoef (ed). dalam novel, Pramodeya Ananta Toer, Arus Balik, Hasta Mitra, Jakata, 1995.

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992.

Maulana, Yusuf. Tantangan Masa Depan dan Budaya KAMMI : Pengantar tentang Pijakan Fundamentalisme-Rasional, Ketua Departemen Humas KAMMI DIY 2000-2002. (arsip KAMMI Yogyakarta)

Munir Mulkhan, Abdul. Kiai Ahmad Dahlan,  Jejak pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010.

Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak : radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926, penerjemah Hilmar Farid, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997.

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan Ketiga, Panitia penerbit DBR,  Djakarta, 1964.

Catatan Kaki

[1] Direktur Eksekutif Adzkiya Centre (pusat kajian dan penelitian ekonomi syariah, koperasi, dan green economics),, Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada, sesekali menulis di media cetak dan online. Website:www.dharmasetyawan.com dan www.adzkiyacentre.com, email : dharmasetyawan@rocketmail.com

[2] Lihat Joesoef Isak (ed) dalam novel, Pramodeya Ananta Toer, Arus Balik, Hasta Mitra, Jakata, 1995, hal viii

[3] Istilah feodalisme mengacu pada kalangan aristokrat atau keluarga raja di Inggris abad keemasan saat negara ini menjadi imperialis dan adi daya dunia. Istilah ini dalam level yg lebih lokal mengarah pada kalangan ningrat atau priyayi di Indonesia; khususnya kalangan suku Jawa yg oleh Cliffort Geertz (dalam bukunya Priyayi, Santri dan Abangan) dibagi ke dalam tiga kasta seperti yg tertulis dalam judul bukunya.

Orang yg berasal dari kalangan aristokrat atau ningrat ini disebut kalangan feodal dg ciri khas sifat dan sikapnya yg feodalistik. Apa itu feodalisme, feodal, dan feodalistik?

Feodalisme dulu ditunjukkan dg sikap jumawa bagai raja, permaisuri, putri dan pangeran. Sikap angker kalangan ningrat. Sikap anggun dan kecongkakan terutama pada kalangan rakyat jelata yg dianggap kastanya berada satu level di bawahnya, baik dari segi warna darah (darah mereka biru berkilau, sedang darah rakyat berwarna merah kecoklatan), maupun dari segi status sosial (harta dan lingkungan pergaulan).

[4] Pramodeya Ananta Toer, Arus Balik, Hasta Mitra, Jakata, 1995

[5] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak : radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926, penerjemah Hilmar Farid, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, hal 470

[6] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Lentera Dipantara, Jakarta, 2003, hal 11

[7] Benedict Anderson, Reflection on the  Origin and Spread of Nationalism, 1986, London, Verso, p. 15-16

[8] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan Ketiga, Panitia penerbit DBR,  Djakarta, 1964, hal 5

[9] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992, hal 184

[10] Pramoedya Ananta Toer, Sastra, Sensor, dan Negara:Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?. (Pidato tertulis Pramoedya yang disampaikan ketika menerima Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995)

[11] Yusuf Maulana, Tantangan Masa Depan dan Budaya KAMMI : Pengantar tentang Pijakan Fundamentalisme-Rasional, Ketua Departemen Humas KAMMI DIY 2000-2002. (arsip KAMMI Yogyakarta)

[12] Murad Wilfried Hofmann terlahir pada 6 Juli 1931, dengan nama Wilfred Hoffman, dari sebuah keluarga Katholik, di Jerman. Pendidikan Universitasnya dilalui di Union College, New York. Pada tahun 1957 ia meraih gelar gelar Doktor dalam bidang Undang-undang Jerman, dari Universitas Munich. Dan pada tahun 1960, ia meraih gelar magister dari Universitas Harvard dalam bidang Undang-undang Amerika. Ia kemudian bekerja di kementerian luar negeri Jerman, semenjak tahun 1961 hingga tahun 1994. Ia terutama bertugas dalam masalah pertahanan nuklir. Ia pernah menjadi direktur penerangan NATO di Brussel, Duta Besar Jerman di Aljazair dan terakhir Duta Besar Jerman di Maroko, hingga tahun 1994. Kini bersama isterinya, seorang muslimah asal Turki, ia menikmati masa-masa pensiun di Istambul. Sambil berpikir dan mengarang buku.

Pengalamannya sebagai duta besar dan tamu beberapa negara Islam mendorongnya untuk mempelajari Islam, terutama Al Quran. Dengan tekun ia mempelajari Islam dan belajar memperaktekkan ibadah-ibadahnya. Pada tanggal 11 September 1980, di Bonn, setelah lama ia rasakan pergolakan pemikiran dalam dirinya yang makin mendekatkan dirinya kepada keimanan, dengan terharu ia mengungkapkan dalam memoarsnya (edisi bahasa Indonesia: Pergolakan Pemikiran): "Aku harus menjadi seorang Muslim!" Maka pada tanggal 25 September 1980, di Islamic Center Colonia, ia dengan pasti mengucapkan dua kalimat syahadat.

Ia memilih nama baru nama baru bagi dirinya: "Murad". Muhammad Asad, seorang Muslim Austria, yang sebelumnya bernama Leopold Weist, dalam pengantarnya terhadap memoar Murad Hoffman, yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Pergolakan Pemikiran, lebih jauh menjelaskan makna filosofis nama tersebut: "Murad artinya 'yang dicari', dan pengertiannya yang lebih luas adalah 'tujuan', yaitu tujuan tertinggi hidup Willfred Hoffman."Murad Hoffman telah menulis beberapa buku tentang Islam. Pada tahun 1985 ia menulis memoarnya, yang diterbitkan pada bahasa Inggris pada tahun 1987, dalam bahasa Perancis pada tahun 1990, dalam bahasa Arab pada tahun 1993, dan bahasa Indonesia pada tahun 1998 (dengan judul Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman).Bukunya yang menggegerkan; Der Islam als Alternative, juga telah diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dan bahasa Arab, pada tahun 1993. Annie Marie Schimmel dengan hangat memberikan kata pengantar dalam buku tersebut, dan dengan antusias menutup pengantarnya itu sambil menyitir Goethe: "Jika Islam berarti ketundukan dengan penuh ketulusan, maka atas dasar Islamlah selayaknya kita hidup dan mati!" Memang, menurut pengamatan Murad Moffman, sebentar lagi Schimmel akan terus terang memeluk Islam.

Dalam buku Trend Islam 2000, Murad Hoffman mencoba menatap potensi futuristik peradaban Islam. Dengan tujuh bagian kajian, ia memulai dengan melihat tiga sikap kaum Muslimin terhadap masa depan mereka.

Pertama: kelompok yang pesimis, yang melihat bahwa perjalanan sejarah pada dasarnya selalu menurun.

Kedua: kelompok yang melihat sejarah umat Islam seperti gelombang yang terdiri dari gerakan naik turun. Dan

Ketiga: kelompok yang amat optimis, yang melihat bahwa sejarah Islam terus menuju kemajuannya.

Ketiga kelompok tersebut, masing-masinng mempunyai sandarannya dari teks agama Islam. Hoffman mengajak kita untuk bersikap optimis, menatap mentari esok dengan semangat dan usaha. Maka ia mulai mencari faktor-faktor yang mendorong optimisme tersebut, kemudian dibandingkan dengan situasi agama Kristen dan Yahudi, sambil membaca hubungan Islam dan Barat. Kemudian ia kembali bertanya, apakah mungkin membangkitkan Islam kembali? Untuk menjawab itu, ia mengajukan skala prioritas pembaruan yang harus dilaksakanakan sebagai prasyarat kebangkitan itu, yaitu: perbaikan mutu pendidikan dan teknologi, melepaskan belenggu kaum perempuan, perbaikan dalam hak-hak asasi manusia, merumuskan teori negara dan ekonomi, memberikan sikap tegas terhadap sihir dan khurafat, dan memperbaiki sarana transportasi dan komunikasi di dunia Islam. Sambil dengan tegas membedakan antara: Islam sebagai agama dan sebagai peradaban, sunnah yang sahih dan yang tidak, syari'ah dan pemahaman fuqaha (fiqh), serta al Quran dan as Sunnah. Ia terutama memberikan prioritas pada perbaikan pendidikan dan kemampuan teknologi. Karena masa depan kita, ia menambahkan, diciptakan dari dua bidang ini.

Seperti ia ungkapkan dalam prakata bukunya tersebut: "Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain bagi masyarakat Barat pasca industri. Karena memang hanya Islamlah satu-satunya alternatif itu!" Oleh karena itu, tidak aneh ketika buku itu belum terbit saja telah menggegerkan masyarakat Jerman. Mulanya adalah wawancara televisi saluran I dengan Murad Hoffman; dan dalam wawancara tersebut, Hoffman bercerita tentang bukunya yang --ketika itu-- sebentar lagi akan terbit itu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Murad_Hoffman)

[13] Ibid.,  Yusuf Maulana,  hal 4

[14] Abdul Munir Mulkhan, Kiai Ahmad Dahlan,  Jejak pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010 hal  65-68

[15] Ibid, Yusuf Maulana, hal 4

[16] Ibid., Abdul Munir Mulkhan,  hal 68

[17] Ibid, Yusuf Maulana, hal 5


Tidak ada komentar:

Posting Komentar