Tribun Timur - Kamis, 26 Januari 2012
Oleh: Dr. Syarifuddin Jurdi *)
PERKEMBANGAN ilmu sosial Indonesia termasuk yang lambat bila dibandingkan perkembangan ilmu ini di negara-negara berkembang lainnya. Pengaruh Barat atau Eropa sangatlah dominan dalam politik akademik dan tradisi riset ilmu-ilmu sosial Indonesia. Tingkat ketergantungan pada teori-teori sosial Eropa sangat tinggi, akibatnya proyek merumuskan diskursus alternatif ilmu sosial Indonesia mengalami "kemacetan".
PROSES merumuskan ilmu sosial alternatif terkendala banyak hal, setidaknya soal ketekunan dan kemandirian intelektual menjadi penyebab utamanya. Ilmu sosial alternatif secara sederhana dapat dimaknai sebagai ilmu yang membebaskan, ilmu sosial yang sesuai dengan corak masyarakat Indonesia atau ilmu sosial yang tidak terkolonialisasi.
Usaha menghadirkan ilmu sosial alternatif bagi penjelasaan masyarakat Indonesia yang religius (sekitar 88 persen Muslim, 12 persen sisanya Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kongucu) telah menjadi kegelisahan para intelektual Indonesia sejak pra kemerdekaan, ditandai perdebatan cerdas para intelektual kala itu, misalnya perdebatan antara Natsir dan Soekarno mengenai konstruksi masyarakat Indonesia, gagasan Tjokroaminoto dan Agus Salim mengenai sosialisme Islam, ataupun misi kemanusiaan yang diusung Muhammadiyah, Persis dan NU.
Dalam sejarah Indonesia modern, para ilmuwan sosial tetap menyuarakan mengenai pentingnya pribuminisasi ilmu sosial dengan mengusung misi utamanya yakni membangun tradisi akademik sendiri yang berbeda dengan tradisi ilmu-ilmu sosial di kawasan lain, khususnya Barat. Pada dimensi yang lain, para ilmuwan sosial Indonesia melupakan beberapa tokohnya dalam tradisi Islam seperti Ibn Khaldun, Ismail Raji Al-Faruqi, Ali Syariati, ataupun Kuntowijoyo dengan ilmu sosial profetik.
Macet Terbelenggu
Perkembangan teori-teori sosial Barat dalam beberapa dekade terakhir berlangsung begitu massif, bahkan buku-buku sosial yang ditulis oleh sarjana Barat diterjemahkan dan diterbitkan oleh berbagai penerbit terkemuka di Indonesia, buku-buku tersebut telah menjadi bacaan utama para mahasiswa Indonesia.
Perkembangan tersebut menurut Farid Alatas sebagai akibat langsung dari perkembangan teknologi informasi serta dorongan kuat untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial di Barat, akibat perkembangan itu dipandang sebagai fenomena Barat. Ilmu-ilmu sosial yang berkembang dan dipelajari di lembaga pendidikan (kampus) di Indonesia, termasuk juga negara-negara Dunia Ketiga merupakan ilmu sosial yang dihasilkan oleh sarjana Barat dari hasil pembacaan terhadap masyarakat mereka.
Kuatnya pengaruh ilmu sosial Barat tersebut lebih disebabkan masalah internal intelektual-akademisi Indonesia sendiri, mereka telah terpuaskan dengan meniru apa yang berkembang di Barat, bahkan intelektual Indonesia bekerja keras untuk menerapkan teknik yang dipelajari dari buku-buku yang ditulis oleh sarjana Amerika dan Eropa dalam menjelaskan dan persoalan empiris atas masalah yang kebanyakan dirumuskan oleh ilmuwan Barat.
Keterpesonaan intelektual-akademisi kita terhadap ilmu sosial Barat berimplikasi pada pemilihan isu dan masalah yang menjadi topik kajian. Keadaan itu terus berlangsung, bahkan setelah lebih dari satu abad ilmu-ilmu sosial berkembang di Nusantara, hingga kini belum ada teori-teori sosial yang kuat dan unggul yang dihasilkan oleh intelektual kita dalam rangka menjelaskan realitas sosial masyarakat secara memadai, kecuali yang dirumuskan oleh para Indonesianis yang meminati studi tentang masyarakat Indonesia.
Keadaan ini akibat rendahnya penghargaan sesama intelektual Indonesia dalam menghargai ide dan gagasan diantara mereka sendiri, atau tradisi kutip-mengutip karya yang dihasilkan oleh intelektual kita sendiri, sehingga ilmu sosial Indonesia tidak pernah mengalami perkembangan, bahkan mereka yang selesai belajar di Barat dengan sangat bangga dan hebat meniru-niru dan mengulang-ulang apa yang mereka pelajari di Barat, tidak muncul kesadaran kritis untuk merumuskan teori-teori sosial yang khas Indonesia.
Tingginya penghargaan terhadap Barat tidak terlepas dari perasaan inferior dan juga akibat kondisi ekonomi bangsa yang masih bergantung pada Barat. Sebagian besar mereka yang menempuh pendidikan di Barat pada umumnya dibiayai oleh negara-negara Barat, akibatnya tingkat independensi menjadi lemah dan bahkan hilang.
Sejumlah riset (penelitian) yang dilakukan oleh para akademisi dan intelektual kita dibiayai oleh negara-negara Barat, dana untuk riset yang disediakan negara-negara maju jauh lebih memadai dari dana yang disediakan negara sendiri, prestise yang dilekatkan pada publikasi di jurnal Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda misalnya, juga kualitas universitas Barat dan ketekunan para intelektual Barat melahirkan karya-karya yang bermutu menjadi semakin kita tingkat ketergantungan kita pada ilmu sosial Barat.
Ilmu-ilmu sosial Indonesia mengikuti pola pengembangan ilmu sosial Barat, bahkan menurut Alatas, antropologi Indonesia telah terhegemoni oleh diskursus kolonial, khususnya antropologi Amerika.
Sejumlah karya antropolog tentang masyarakat Indonesia justru dihasilkan sarjana Barat, untuk menyebut sarjana Barat yang paling produktif menulis tentang Indonesia dan apa yang mereka tulis menjadi sumber referensi sangat bermanfaat bagi para antropolog Indonesia diantaranya Clifford Geertz, Mitsuo Nakamura dan Robert W. Hefner.
Hanya saja, apa yang telah dirumuskan oleh para antropolog asing tersebut tidak secara serius dikembangkan antropolog Indonesia. Pada bidang ini, kita memiliki sejumlah sarjana antropolog yang menonjol seperti karya-karya antropologi Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan.
Demikian pula bidang-bidang yang lain, tingkat ketergantungan pada Barat masih tinggi, selain perasaan inferior, tingkat ketekunan serta problem ekonomi yang belum baik, negara sendiri belum maksimal menyediakan dana riset yang memadai.
Tingkat ketergantungan intelektual bekas kolonial terhadap model Barat terus berlanjut, bahkan bangsa ini setelah lebih dari enam puluh tahun merdeka, belum mampu merumuskan KUHP yang terbebas dari pengaruh kolonial, bahkan sejumlah sarjana hukum kita merupakan produk dari negara yang pernah menjajahnya.
Kebergantungan Akademisi
Ada dua kemungkinan mengapa tradisi meniru ini begitu kuat; Pertama, apa yang dirumuskan sarjana Barat tersebut dipandang secara metodologis dapat berlaku universal, bisa diterapkan di mana saja termasuk Indonesia; Kedua, rendahnya tradisi akademis dan semangat untuk mengembangkan ilmu sosial yang sesuai dengan konteks sosio politik dan kultural masyarakat Indonesia, karena itu pilihan yang paling mudah dilakukan oleh para akademisi dan intelektual kita itu adalah meniru teori-teori sosial Barat.
Kendatipun semangat meniru begitu kuat, namun masih ditemukan sejumlah sarjana kita yang konsisten mengembangkan ilmu sosial yang khas, kepada mereka itu kita harus memberi apresiasi yang tinggi.
Usaha mengembangkan ilmu sosial alternatif seperti yang pernah dilakukan Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetiknya, bisa menjadi pilihan pengembangan ilmu sosial Indonesia. Sebab kalau hanya meniru dari Barat saja, maka tentu bisa dinyatakan bahwa teori-teori sosial Barat tersebut merupakan teori yang tercerai dengan realitas, tidak memiliki dasar pijakan pada realitas masyarakat.
Sarjana kita seperti Soejatmoko pernah mengkritik teoritisasi masyarakat Jawa yang dilakukan oleh sarjana Barat, padahal watak dan tradisi masyarakat Indonesia merupakan yang khas, berbeda dengan elemen-elemen yang membentuk tradisi masyarakat Barat.
Tingkat ketergantungan intelektual Indonesia terhadap ilmu sosial yang berkembang di Barat sebagai fenomena khas dunia ketiga, menurut Alatas, tingkat ketergantungan intelektual dapat dilihat baik dari struktur kebergantungan akademis maupun dari relevansi ide-ide yang berlatar asing.
Kebergantungan pada sponsor-sponsor riset dari negara-negara Barat pada satu sisi barangkali menguntungkan para sarjana yang memperoleh riset, tetapi juga menyedihkan, karena konsekuensinya pada pemilihan masalah, desain riset, dan bentuk penerbitan.
Imperialisme atau kolonialisme akademis sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan, mengapa? Semakin banyak sarjana kita, semakin miskin karya-karya yang menunjukkan watak dan identitas Indonesia, bahkan semakin massif kampanye teori-teori sosial Barat dalam menjelaskan masyarakat Indonesia.
Pengembangan ilmu sosial Indonesia hingga kini masih mengikuti dua kecendrungan utama yaitu mengikuti tradisi Amerika yang lebih berorientasi liberal dan tradisi Marxis. Tradisi liberal lebih menekankan pada pendekatan struktural fungsional sebagai suatu paradigma dominan dalam ilmu-ilmu sosial, paradigma ini dipandang sebagai paradigma yang paling "mujarab" menjelaskan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan. Ilmuwan sosial liberal tidak berbicara mengenai hukum-hukum sejarah, karena mereka tidak percaya pada hukum-hukum sejarah tersebut.
Sementara tradisi Marxis menekankan ilmu sosial mempunyai tugas untuk menemukan hukum-hukum fundamental evolusi historis, terutama berkaitan dengan interpretasi inklusif tentang evolusi tipe-tipe sosial.
Karl Marx menyebut tipe-tipe sosial adalah ekonomi kuno didasarkan pada perbudakan, ekonomi abad pertengahan (feodal) yang didasarkan pada penindasan kaum petani kecil (serfdom), ekonomi kapitalis yang didasarkan atas upah (wage earning), dan akhirnya ekonomi sosialis yang mengakhiri eksploitasi manusia atas manusia, dan eksploitasi kelas atas kelas (Amien Rais, 1999)
Apakah kedua pendekatan tersebut sesuai dan relevan untuk menjelaskan masyarakat Indonesia? Untuk hal-hal tertentu barangkali dapat dijadikan pisau analisis, tetapi fakta menunjukkan pula bahwa masyarakat Indonesia masih didominasi oleh struktur sosial masyarakat agraris.
Dalam masyarakat agraris, tingkat kohesi sosial atau solidaritas sosial atau dalam istilah Emile Durkheim sebagai solidaritas sosial mekanik, tingkat diferensiasi sosialnya masih sangat rendah. Struktur sosial ini menjadi dasar bagi intelektual Indonesia untuk mengkritisi teori-teori sosial Barat, mengingat bahan dasar perumusan teori sosial Barat berasal dari struktur sosial masyarakat industri.
Wallahu a'lam bi shawab.
*) Penulis adalah Deklarator sekaligus Ketua Umum KAMMI Sulawesi Selatan tahun 1998, kini menjadi dosen di UIN Alauddin Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar