DR. IBRAHIM AL-ZA'AFARANI adalah salah seorang simbol gerakan Islam di era 1970an dan pemimpin terkemuka Ikhwanul Muslimin di Alexandria, Mesir. Ia berkiprah selama 45 tahun hidupnya bersama Ikhwanul Muslimin, pernah duduk di kursi Majelis Syura Ikhwan hingga penguduran dirinya pada April 2011, dan kini menjadi Wakil Presiden Partai Islah wa Nadha yang berhaluan moderat. Ia dikenal sebagai seorang pemikir Post-Islamis terkemuka di Mesir.
Dalam wawancaranya dengan Sharq Al-Ausath, ia menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin sedang menuai ‘buah yang berbahaya’. Keterlibatannya yang cukup kuat di dunia politik telah memberikan mereka jarak dari pekerjaan-pekerjaan advokasi keagamaan. Ia berpendapat, FJP mesti Independen dari Ikhwan agar pekerjaan mereka di masyarakat tidak terganggu. Selain itu, ada semacam penolakan di kalangan Ikhwan terhadap formalisasi status legal ‘negara Islam’ sebagaimana dijanjikan Presiden Mohammad Morsy. Ia menekankan bahwa Mesir tidak bisa menjadi seperti Iran dan para agamawan tidak bisa mengatur seperti itu.
Berikut petikan wawancaranya dengan jurnalis Ali Ibrahim dari Sharq Al-Awsath pada hari Ahad, 29 Juli 2012.
****
Anda Mengatakan bahwa Freedom and Justice Party (FJP) tidak independen dari Ikhwanul Muslimin. Bagaimana anda bisa mengatakan seperti itu?
Hingga kini, tidak ada indikasi bahwa FJP mengambil keputusan politiknya dari dalam organisasinya sendiri. Keputusan-keputusan penting diambil oleh Ikhwanul Muslimin dan Politbironya (Maktab Irsyad, red). Inilah problem utama di Jama’ah ini, yang terjadi secara natural, karena partai ini (FJP, red) adalah partai besar dan mempunyai banyak kader. Wacana independensi akan berbenturan dengan banyak kepentingan, baik dari partai maupun Jama’ah Ikhwan, karena tentu saja partai harus kompetitif secara politik. Ini terjadi bukan hanya pada level advokasi (*yang biasa dilakukan Ikhwan, red). Tindakan-tindakan politik tentu butuh adaptasi dan negosiasi yang mungkin saja tidak sejalan dengan model advokasi lama yang bersandar pada prinsip-prinsip syariah. Maka dari itu, pemisahan Partai dan Ikhwanul Muslimin akan meng-counter argument bahwa Ikhwanul Muslimin sedang mengkompromikan prinsip-prinsip dasarnya atau sedang membebani partai dengan ‘merampas’ kemampuannya untuk bernegosiasi dan mencapai deal dengan kekuatan politik lain.
Ketika anda menyatakan mundur dari Ikhwan, anda berkata bahwa anda memilih waktu ketika Jama’ah sedang berada pada posisi yang sangat kuat dan tidak ada anggota yang dipenjara, sehingga anda tidak dianggap ‘membubarkan barisan’ Jamaah. Jadi, apakah anda melihat bahwa berdirinya tirani rezim Mubarak adalah untuk menyatukan anggota Jama’ah dan tanpa hal itu, Jama’ah bisa terpecah?
Ketidakadilan dan perasaan ditindas membuat Jama’ah bergerak untuk membangun kebersamaan, dan merapatkan barisannya. Sekarang, rezim Mubarak telah pergi, namun bahayanya masih ada. Jika Jama’ah bubar, akan lebih mudah bagi, misalnya, SCAF, untuk menerkam kursi kepresidenan. Saat ini, Jama’ah sedang menuai buah, tapi buahnya masih berbahaya. Gagasan ini akan menyebar pada orang-orang dan bisa membesar.
Setelah menghabiskan sekitar 45 tahun bersama Ikhwan, apa yang mendorong anda untuk mundur?
Untuk beberapa alasan, hal terpenting adalah kurangnya pemisahan di tubuh Ikhwan sendiri antara pekerjaan advokasi dan politik. Dalam awal mula kelahirannya, Ikhwan adalah Jama’ah yang bekerja untuk memperjuangkan masyarakat dengan memperkuat nilai-nilai pada individu, lalu meninggalkan mereka untuk menghadapi hidup mereka, baik dalam publik maupun partai politik. Ekses dari keterlibatan dalam politik adalah berkurangnya kerja advokasi di dalam Jama’ah dan membiarkan aktivitas Salafi mengontrol aktivitas keagamaan di Mesjid, terutama ketika negara melumpuhkan Al-Azhar. Ada alasan-alasan regulatoris lain seperti dewan yang dipilih untuk mensupervisi badan eksekutif. Supervisi atas Maktab Irsyad dari Majelis Syura tidak didukung oleh akuntabilitas dan kekuatan yang sepadan. Seperti halnya sistem ‘keadilan’ di dalam tubuh Ikhwan tidak berjalan seimbang karena tidak ada aturan spesifik tentang hukuman-hukuman, ada pula penolakan terhadap institusionalisasi Jama’ah atas status hukumnya dari dalam Ikhwan sendiri.
Ada rumor bahwa Ikhwan akan menerapkan model Turki atau Iran d Mesir. Apa komentar anda?
Mesir lebih canggih daripada model Turki. Erdogan harus membuat caranya sendiri dalam sebuah negara yang sangat sekuler, tetapi caranya berjalan demokratis. Situasi di Mesir berbeda. Kita punya banyak stok asset-aset keagamaan, dan agama adalah komponen dasar kehidupan bagi rakyat Mesir, Muslim dan Nasrani. Mesir tidak bisa seperti Iran, karena kontrol para agamawan terhadap negara tidak akan terjadi. Tetapi, Mesir akan membuat sebuah ‘model Islam’ yang sangat khas dari kita sendiri.
Bagaimana anda melihat solusi untuk keresahan atas Ikhwan dari kelompok Kristen, kaum wanita (feminis, red), dan kekuatan politik yang ada saat ini?
Ketakutan umat Nasrani tidak beralasan, karena Ikhwan atau kelompok lain tidak akan bisa mengambil apapun dari mereka. Sebaliknya, saya memperkirakan status mereka akan lebih baik di masa depan daripada di bawah rezim sebelumnya yang bekerja untuk mengendalikan problem sektarian. Untuk isu wanita, mungkin akan memicu beberapa masalah, karena tidak ada keyakinan yang tuntas dalam Jama’ah bahwa wanita punya peran kepemimpinan. Kita bisa lihat bahwa keanggotaan wanita di Jamaah sangat kurang, dan mereka tak punya hak untuk memilih, memegang pos kepemimpinan, atau menjadi anggota Majelis Syura atau Maktab Irsyad. Excuse dari pimpinan Jama’ah adalah agar wanita terhindar dari segala macam marabahaya dan tidak menerima risiko politik seperti ketika rezim Mubarak dulu. Saya tidak melihat alasan tersebut logis pada masa kini, karena wanita sudah terlindungi oleh masyarakat yang tidak mungkin menerima serangan dalam berbagai macam cara (tidak seperti dulu, red).
Sistem negara seperti apa yang lebih anda pilih untuk Mesir dalam konstitusi, dan bagaimana harmoni dapat terjaga dalam Tim Presidensial?
Saya melihat sistem yang ada seharusnya adalah gabungan di mana Presiden tidak menikmati kekuasaan penuh. Ini dikarenakan situasi saat ini tidak mengizinkan soistem parlementer, akibat tidak adanya partai kuat. Pemerintahan mayoritas dan seorang perdana menteri dengan kekuasaan penuh adalah persoalan sulit saat ini. Negosiasi akan terjadi jika Presiden terpilih dan tidak diperas (kekuasaannya, red). Formasi pemerintahan harus kohesif dan mendukung tujuan revolusi. Maka dari itu, pemerintah harus percaya pada tujuan-tujuan Revolusi sehingga presiden bisa bekerja mencapai tujuan tersebut.
Anda adalah generasai tahun 1970-an yang membangun kembali Jamaah Ikhwan. Apakah anda melihat bahwa gagasan yang dibangun sekarang sudah cukup tepat diaplikasikan, seperti konsep ‘dengar dan taat’ (sami’na wa atha’na)? Atau Jama’ah ini harus mengembangkan dirinya sendiri dari dalam?
Gagasan-gagasan ini tidak ada gunanya ketika Jama’ah terlibat dalam aktivitas yang partisan (masuk dalam politik praktis, red). Mereka bisa berperan dalam kerja-kerja advokasi. Saya berharap Jama’ah Ikhwan bisa mengubah hasratnya, karena masuknya mereka dalam dunia politik dan keterlibatannya dengan kekuatan politik yang lain memerlukan review atas beberapa konsep dasar (doktrin, red) yang sudah ada. Ini sudah dilakukan oleh Salafi. Saya berharap ini bisa terjadi di Ikhwan pada waktu yang tepat.
Mengingat anda adalah seorang mantan pemimpin Ikhwan, bagaimana evaluasi anda terhadap Jamaah ini dari revolusi (2011) hingga sekarang?
Pada dasarnya, mereka punya poin positif dan negative. Mereka adalah Jama’ah yang besar, luas, dan terorganisir di banyak bagian di negara ini. Jama’ah ini adalah yang paling siap untuk bertindak. Sejak hari pertama revolusi, Jamaah ini sudah punya banyak peran yang tak bisa dinafikan, terutama ketika situasi spesifik seperti ‘Perang Jamal’. Tapi, ada beberapa keputusan yang salah diambil. Misalnya, mereka membiarkan kaum revolusioner berada di Jalan Muhammad Mahmud dan pusat kota Kairo, serta berpisah dari kekuatan politik dan kelompok Islam lain di saat Ikhwan seharusnya mendekati mereka. Ikhwan harus melakukan itu, karena mereka kekuatan politik yang lebih besar.
Apakah anda mengharapkan ada clash antara Presiden dan SCAF di masa depan?
Saya berharap ada clash yang terjadi dan Dr. Mohammad Morsy bisa mengambil keputusan revolusioner dan memperjuangkan kekuatannya dengan menganulir deklarasi suplementer (dari SCAF) dan menyerukan kepada rakyat pada sebuah referendum. Dia harus mengambil posisi kuat dalam menghadapi situasi ini. Orang-orang akan bersama Presiden karena mereka akan melihat bahwa kekuasaan Presiden sudah dilemahkan, dan alternative dari kekuasaan itu adalah sebuah kegagalan.
Anda bergabung dengan Partai Ishlah wa Nahdha yang berhaluan sentries (moderat, red). Apa perbedaan antara partai ini dan partai lain dengan referensi Islamis seperti Partai Wasat (didirikan oleh Abul ‘Ala Madi)?
Tidak banyak perbedaan dalam pemikiran partai Islam yang punya tendensi ‘tengah' atau moderat. Tapi yang jelas, pluralitas partai akan menciptakan kondisi persaingan yang memperkaya kehidupan politik kita. Kita sudah sama-sama tahu, kondisi politik kita terlalu flat selama berdekade-dekade. Kerjasama atau Aliansi strategis antar-partai menjadi sebuah kemungkinan yang sangat cerah ke depan.
*) Dr. Ibrahim Al-Za’afarani, Wakil Presiden Partai Ishlah wa Nahdha dan pemikir Post-Islamisme terkemuka di Mesir
(Description of Source: London Al-Sharq al-Awsat Online in Arabic -- Website of influential London-based pan-Arab Saudi daily; editorial line reflects Saudi official stance. URL: http://www.asharqalawsat.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar