Artikel diambil dari milis KAMMI.
oleh: Widya Supena *)
Perdebatan soal independensi sudah lama terjadi di KAMMI. Namun menjadi panas kembali, ketika kemarin Sdr Rahmantoha (Ketum KAMMI) dan Fikri Azis (Sekjend KAMMI) periode 2008-2010 dimakzulkan dengan tuduhan melanggar konstitusi karena tidak independen. Kehadiran Ketum pada acara Deklarasi Mega-Pro yang sekaligus di daulat untuk memberikan orasi tentang neo-liberalisme dalam dunia pendidikan di putuskan oleh MPP sebagai kesalahan fatal dan karena itulah harus di-impeach.
Terlepas dari adanya "invisible hand" yang telah membajak Rapimnas (yang seharusnya bisa menjadi forum tabayyun) menjadi MLB Kuningan, dan bermain dalam proses dialektika organisasi KAMMI ini, saya mengajak teman-teman untuk berdialektika melakukan objektifikasi terhadap independensi dalam konstitusi KAMMI.
Kata "Independen" dalam konstitusi KAMMI tersebut dalam Pasal 5 Anggaran Dasar, tentang Sifat Organisasi yakni "Organisasi ini bersifat terbuka dan independen". Sementara maksud dari kata terbuka dan independen tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam AD. Namun di dalam konstitusi KAMMI yang lain yaitu GBHO, pada Bab III terdapat penjabaran
tentang Posisi KAMMI.
Pada pasal itu disebutkan dalam pasal 9 "Generasi muda adalah generasi yang bersifat idealis dengan cita-cita terhadap bangsanya. Generasi muda adalah generasi yang selalu kritis terhadap kondisi yang stagnan (status quo). Maka, KAMMI bekerjasama dengan seluruh elemen gerakan mahasiswa dan gerakan kepemudaan dalam kesamaan prinsip komitmen kebangsaan yang tulus, bukan karena kepentingan politik pragmatis". Pasal selanjutnya tentang KAMMI dan Institusi Pendidikan Tinggi, KAMMI dan Gerakan Islam, KAMMI dan Elemen Masyarakat, KAMMI dan Partai Politik, KAMMI dan Pemerintahan.
Pasal yang relevan dengan bahasan independensi adalah pasal 14 tentang KAMMI dan Partai Politik, dijelaskan bahwa: "KAMMI menyadari potensi politik KAMMI sebagai gerakan mahasiswa. Ekspresi gerakan KAMMI adalah ekspresi moral yang berdimensi politik, dan ekspresi politik yang berdasar pada prinsip moral dan intelektual. Sebagai gerakan politik yang berbasis moral, KAMMI tidaklah berpolitik pragmatis yang berorientasi kekuasaan baik bagi gerakan maupun kadernya. Tetapi, konsistensi KAMMI terhadap prinsip tersebut tidak akan menyebabkan KAMMI berjauhan dan antipati dengan Partai Politik yang bekerja dalam ranah politik praktis. Dalam bingkai independensinya, KAMMI akan siap bekerja sama dengan mereka yang menurut KAMMI masih mengedepankan intelektualitas, nurani, dan kepeduliannya pada rakyat dalam berpolitik.
Dan pada pasal 15, tentang KAMMI dan Pemerintah: KAMMI meyakini prinsip kekuasaan sebagai amanah (tanggungjawab) dan khadimah (pelayanan) teradap masyarakat. Maka kekuasaan yang tidak bertanggung jawab dan tidak melayani adalah kedzaliman, dan itu adalah musuh KAMMI. Oleh karena itu, KAMMI akan senantiasa memberikan kontrol dan evaluasi atas mereka yang padanya Allah limpahkan amanah memerintah bangsa ini. KAMMI akan mendukung (tha'at) setiap upaya perbaikan dan pembangunan yang dilakukan bagi masyarakat selama tidak bertentangan dengan nurani pada umumnya masyarakat, prinsip syari'ah Islam, dan logika intelektual. Tetapi KAMMI akan siap melawan pemerintahan yang dijalankan secara dzalim, tidak peka dengan realitas masyarakat, melanggar prinsip-prinsip Ilahiyyah, dan tidak rasional. Keseluruhannya, akan KAMMI lakukan semaksimal mungkin tetapi senantiasa dengan menghindari cara-cara yang tidak bermoral, tidak berwawasan etis, dan membawa mudharat lebih lanjut.
Saya bukanlah mufassir konstitusi yang handal, seperti Sdr. Ramlan (Kebijakan Publik KAMMI Jabar, red). Saya juga bukan mahasiswa hukum, yang mendapat mata kuliah tentang legal drafting, apalagi sering menyusun naskah akademik. Dengan keterbatasan itu, izinkan saya menafsirkan secara kontekstual pasal-pasal di atas pada konteks sekarang.
Semua mengetahui bahwa potensi politik KAMMI sangatlah besar. Dapat dikatakan saat ini gerakan mahasiswa yang paling mampu membuat gerakan yang massif di Indonesia salah satunya adalah KAMMI. Sehingga sangat wajar jika setiap sikap langkah politik KAMMI akan
sangat diperhitungkan. Dan tentu semua mafhum, dalam politik setiap sikap politik yang diambil pastilah memiliki implikasi. Dan konsekuensi atasnya pasti ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan.
Sikap konsisten KAMMI tolak neo-lib sejak tahun 2002 setahu saya tidak datang dari ruang hampa, atau bahkan by order. Sikap tersebut diambil dari proses diskusi yang panjang dengan referensi intelektual yang sangat memadai. Terlebih lagi itu didasari dari Prinsip Gerakan yaitu "Kebatilan adalah musuh abadi KAMMI".
Sejarah mencatat bahwa KAMMI tidak hanya bergumul dalam wacana saja dalam menghusung isu tolak neolib. KAMMI telah terlibat aktif dalam gerakan tolak privatisasi BUMN, tolak utang baru, tolak IMF, CGI, ADB, tolak kenaikan BBM, dll. Karena itu sudah semestinya bila sampai hari ini KAMMI tetap istiqomah dengan sikap tersebut. Justru menjadi lucu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada publik bila tiba-tiba KAMMI berhenti menghusung itu.
Kembali soal independensi, memang sampai hari ini belum ada ketegasan dan kata sepakat 100% tentang maksud independensi. Itulah yang menyebabkan multi tafsirnya setiap sikap yang diambil KAMMI Pusat. Contohnya, ketika sikap kita tolak Boediono yang neolib dan kebetulan sama dengan PKS, dikritiklah KAMMI gak kreatif, mengekor dan ini agenda pesanan/ order. Ketika PKS kembali dukung SBY-Boediono, dan KAMMI tetap
istiqamah dicurigailah KAMMI dibeli JK-Win. Ketika deklarasi dan orasi tentang neo-lib dalam pendidikan di Mega-Pro, beralih lagi tuduhan bahwa KAMMI dibayar Mega-Pro. Mengundang SBY di Muktamar juga diprotes keras, Prabowo datang dihujat, wacana menghadirkan Megawati juga dikecam, mengundang petinggi PKS...ah nggak independen.
Karena itulah selalu ada multitafsir dan perspektif tentang independensi. Bagi Ketum, hadir ke acara Mega-Pro adalah bentuk komunikasi politik, menghadiri undangan, dan didasari kesamaan visi dan agenda tolak neo-lib. Dan jelas-jelas dalam orasinya Ketum menegaskan "ini bukan soal dukung mendukung,....bila ternyata Pak Prabowo ternyata neolib juga maka KAMMI akan menjadi yang terdepan menolaknya". Sebagai bentuk komunikasi politik dan kewajiban menghadiri undangan bila diundang JK-Win atau SBY-Boediono dan ada visi, kesamaan prinsip komitmen kebangsaan dan agenda yang sama semisal menghusung ekonomi kerakyatan, maka KAMMI juga akan datang. Karena sesuai GBHO pasal 14 disana dijelaskan secara gamblang bahwa "....konsistensi KAMMI terhadap prinsip tersebut tidak akan menyebabkan KAMMI berjauhan dan antipati dengan Partai Politik yang bekerja dalam ranah politik praktis. (justru) Dalam bingkai independensi, KAMMI akan siap bekerja sama dengan mereka yang menurut KAMMI masih mengedepankan intelektualitas, nurani, dan kepeduliannya pada rakyat dalam berpolitik".
Jadi dari pasal tersebut, saya menafsirkan tak ada larangan bagi KAMMI untuk bermuamalah dengan partai politik manapun selama tidak melanggar prinsip. Dalam kaidah muamalah, setiap hal yang tidak dilarang/diharamkan maka hukumnya boleh. Jadi, dalam konteks komunikasi politik menjadi sangat wajar bila KAMMI berkomunikasi dengan semua capres dan semua partai. Berkomunikasi untuk sharing visi boleh, mendorong visi bersama juga boleh. Bahkan menurunkan visi menjadi agenda bersama juga tak dilarang. Asalkan menurut KAMMI itu masih mengedepankan intelektualitas, nurani, dan kepeduliannya pada rakyat dalam berpolitik.
Tentu semua masih ingat penjelasan Akh Rijal ketika pada kepengurusan Akh Taufik Amrullah KAMMI bersilaturahim dengan SBY. Bagi saya itu biasa-biasa saja, namun bagi banyak kader itu tindakan yang salah. Untung Akh Rijal segera menafsirkan Q.S Thaha 44 tentang perintah Allah kepada Musa a.s dan Harun untuk menghadap dan berbicara kepada Fir'aun. Bahwa kita tidaklah sehebat Musa dan SBY tidaklah sejahat Fir'aun, karena itu bertemu SBY pun saat itu adalah bentuk komunikasi politik yang wajar karena mengkomunikasikan gagasan "muslim negarawan". Untuk itulah, bagi saya kondisi itu analog dengan kehadiran Akh Amang ke Megapro yang sama-sama sevisi tentang tolak neoliberalisme dalam pendidikan. Dan pun menjadi sama ketika nantinya misal Akh Rijal datang dan berorasi tentang ekonomi kerakyatan/ekonomi syariah pada acaranya JK-Win, ataupun SBY-Boediono.
Sebagai harakah amal 'am, tentu KAMMI punya pertanggung-jawaban publik sendiri. Sangat disayangkan apabila justifikasi tidak independen itu baru datang setelah PKS kembali ke SBY, dan KAMMI tetap istiqamah dengan isu tolak neolib. Saya salut dengan Akh Taufik yang serta merta mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moralnya ketika "tertangkap basah" menjadi deklarator (tidak sekedar tamu undangan) tim sukses SBY-Boediono. Saya juga salut apabila langkah ini diikuti oleh struktur KAMMI yang lain baik MPP maupun Ketua-Ketua KAMMDA yang menjadi ketua, aleg, dan staff ahli partai tertentu dengan sepenuh kesadaran. Itu adalah i'tikad baik untuk membangun tradisi
organisasi yang lebih sehat dan independen.
Mohon maaf, tulisan ini sekedar pembuka. Saya sangat berharap ada antitesis agar dialektika independensi mendapatkan obyektivikasi. Saya menerima bila dituduh sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kabinet/kepengurusan PP KAMMI yang sekarang sehingga perspektif yang saya ajukan mungkin dituduh sangat apologetik. Tapi saya yakin, kader KAMMI mengamalkan kredo "Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan"
Karena itulah, saya meyakini kehadiran teman-teman dalam MLB kemarin adalah pilihan sadar, berdasarkan pemahaman, pikiran merdeka, tidak atas dasar paksaan dan tekanan siapapun. Teman-teman hadir dengan surat dan sikap yang sama yaitu impeachment dan MLB, serta memiliki dasar yang kuat tentang tuduhan independensi.
Tangan saya sudah terpotong sekarang. Saya tidak punya power and authority. Saya bukan siapa-siapa lagi, hanya anggota biasa. Namun inilah manifestasi keimanan yang bisa saya ekspresikan. Bagi yang masih punya tangan, maka kepalkan tanganmu, bagi yang punya lisan, maka kemukakan, dan bagi yang tidak berani, maka berteriaklah dengan nuranimu. Katakan yang haq adalah haq, yang batil adalah bathil.
Wallahu a'lam bi al showab
*) Penulis adalah Ketua Umum KAMMI DIY 2006-2008, sekarang menjadi anggota Forum Pemantau Independen Walikota (FORPI) Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar