oleh: Wijatnika, S. Sos
ABAD ini adalah abad China. Begitulah poin yang disampaikan buku berjudul ‘The Chinese Century’. Penulisnya, Oded Shenkar, adalah pimpinan Ford Motor Company di bidang Manajemen Bisnis Global sekaligus Guru Besar Manajemen dan Sumberdaya Manusia di College of Business, Ohio University. Ia menulis bahwa pabrik-pabrik di China memproduksi 70% mainan, 60% sepeda, setengah industri memproduksi sepatu dan sepertiga lainnya memproduksi tas.
Jadi, untuk produk-produk tersebut mustahil tak menemukan produk made in China di toko-toko di seluruh dunia. China juga memproduksi setengah oven microwave dunia, sepertiga televisi dan perangkat AC dunia, seperempat mesin cuci dunia, dan seperlima lemari es dunia.
Mari hitung produk China di rumah kita. Kita pasti akan menemukan jawaban yang WOW atas api si naga yang sudah merasuk jauh kedalam kotak pelindung bernama rumah. Jujur, aku sangat sebal ketika segala produk murah dan membanjiri pasar Indonesia adalah produk buatan China. Produk mereka selain murah meriah juga membanjir tanpa kenal waktu.
Nah, saat tinggal di Fayetteville, Arkansas State selama dua bulan di penghujung 2012 lalu, aku kembali bertemu dengan produk buatan China. Aku dan teman-temanku sampai tertawa terpingkal-pingkal karena dimana-mana kami temukan produk China, seakan-akan kami tak bisa hidup tanpa produk buatan China. Kemana kami pergi, kami selalu dibuntuti China. Segala yang kami pakai seakan-akan harus buatan China mulai dari tisu toilet sampai dengan pakaian.
Suatu hari di awal November 2012 kami mengunjungi Cherokee National Museum di Oklahoma State. Didalam museum ada juga toko tempat menjual aneka cinderamata khas suku indian Cherokee. Aku membeli sebuah gelang batu, sebuah magnet kulkas dan sebuah tas. Aku percaya semua produk yang kubeli made in Oklahoma. Rizia, kawan dari Brazil membeli dua buah boneka sebagai oleh-oleh untuk keponakannya.
Di mobil, dalam perjalanan pulang, kami mencubiti kedua boneka tersebut karena lucu. “Let see, this is made in Indonesia!” jeritku kaget. Kok bisa tuh museum menjual produk Indonesia? “And this is made in China!” teriak Rizia tak percaya. “How can they sell import product at their museum?” Kami tertawa, nyinyir, entah menertawakan kenyataan bahwa pasar dikuasai China atau menertawakan bahwa produk museum tersebut ternyata impor.
Saat berjalan-jalan ke Eureka Spring, sebuah lokasi yang sangat popular untuk destinasi wisata ala Amerika, lagi-lagi kami bertemu aneka produk China. Kami masuk-keluar aneka toko cinderamata yang berjejer dan menggoda kami untuk membeli benda-benda unik dan menarik. Memang ada beberapa produk buatan Indonesia, India, Pakistan, hingga Thailand. Tapi dari keseluruhan produk tersebut, hampir setengahnya made in China. Sungguh lucu saat produk buatan China tersebut merupakan benda-benda manis yang sangat menggambarkan Amerika. Jadi, kami malas membeli produk-produk tersebut, sebab toh made in China. Di Indonesia gak kelewat banyak.
Suatu hari aku dan Duong, teman dari Vietnam, berbelanja di Walmart. Kenyataannya adalah bahwa sebagain besar produk yang dijual di Walmart adalah produk China. Misalnya, saat aku membeli pernak-pernik khas ‘Arkansas State’ di sebuah kios khusus, labelnya bertuliskan made in China. Aku membeli sebuah cangkir yang kuharap akan menjadi kenang-kenangan terindah saat aku minum kopi darinya. Ternyata saat tiba di Indonesia, cangkir tersebut adalah satu-satunya cangkir yang pecah. Cangkir-cangkir produk Amerika lainnya yang harganya memang jauh lebih mahal tetap utuh, bahkan tak retak sedikitpun. Juga saat aku berkeliling melihat-lihat pakaian, makanan dan barang lainnya. Made in China. Bagaimana ya jika semua pasar di seluruh dunia, apatah lagi Amerika, menutup diri bagi produk China, apakah China akan kolaps dan kelaparan?
21 Desember 2012, setelah acara Closing Ceremony di University of Arkansas bubar aku dan beberapa kawan berbelanja di Student Union store. Rencananya sih belanja oleh-oleh. Lagi-lagi made in China. “I can’t believe it.” Kataku saat melihat label-label impor tersebut. Aku jadi ingat label-label baju made in Korea yang sering kunjumpai di Depok akibat kecanduan budaya Hallyu.
Oh ya, di Amerika, ternyata yang made in China bukan hanya produk-produknya saja. Juga orang-orangnya. Selama tinggal di Fayetteville, aku bertemu orang China dimana-mana, baik student maupun pekerja. Apakah orang China melakukan diaspora agar terhindar dari hidup melarat di negaranya? Nah, dalam bukunya Shenkar menulis bahwa di Amerika jumlah mahasiswa China adalah terbesar dibanding mahasiswa dari Negara lainnya. Pada kurun waktu 2002-2003 saja ada sekitar 64.000 mahasiswa asal China daratan yang belajar di Amerika Serikat, ditambah dengan 8.000 orang mahasiswa dari Hong Kong dan 28.000 orang dari Taiwan. Sementara 100.000 mahasiswa lainnya belajar di Eropa, Australia dan Jepang. Fantastis! Jika saja setengah dari kaum terpelajar itu kembali ke China dan membangun China atas dukungan pemerintahnya, sunggu China benar-benar akan mengulang sejarahnya menjadi legenda dunia.
Membayangkan hal ini seperti membayangkan pasukan besar yang berlari diatas kuda-kuda paling tangguh, yang siap menginvasi dunia. Dalam bukunya ‘Silicon Dragon’ Rebecca A. Fannin menggambarkan bahwa China sedang memimpin Revolusi Industri ke-2! Siap membuat Amerika Serikat bangkrut. Buku terbitan tahun 2007 tersebut merupakan hasil wawancara ekslusif pada 12 orang wiraushawan ternama China beserta investor mereka. Rebbeca ingin menyampaikan kepada dunia mengapa China bisa berlari begitu cepat dan meninggalkan ‘Macan Asia’ lainnya seperti Jepang, Korea dan Singapura dalam percaturan teknologi dunia.
Denise Roland, dalam artikelnya yang berjudul ‘Asia has more billionaires more than North America’ yang dipublikasikan salam situs www.telegraph.co.uk pada 28 Februari tahun ini, menyebutkan bahwa ‘The Hurun Report, compiled by British accountant and former Forbes Rich List researcher Rupert Hoogewerf, found that Asia had 608 dollar billionaires, compared with North America’s 440 and 324 in Europe (paragraph 1)”. Meskipun Amerika beada posisi pertama dengan 409 miliarder, dan China berada di posisi kedua dengan 317 miliarder menjadi prestasi tersendiri bagi Asia. Ekonomi China yang melejit dan melahirkan orang super kaya melalui bisnis real estate, industri manufaktur dan investasi menjadikan China sebagai negara dengan jumlah konglomerat terbanyak di Asia, yang tak bisa disusul India dengan hanya 53 miliarder saja yang hanya tertinggal sedikit saja dari Inggris dengan 56 miliarder.
Meskipun sebuah artikel tulisan Tom Parfitt yang berjudul “Moscow is billionaores capital of the world” menyebutkan bahwa Russia ada di rangking ketiga dengan 88 miliarder saja, namun orang-orang terkaya tersebut made in Moscow. Berbeda dengan China yang hanya 41 orang saja yang made in Beijing. Namun, sebagai naga yang memimpin kebangkitan ekonomi Asia, aku cukup respek. Saatnya dunia kembali dipimpin orang timur.
Sedikit mundur ke belakang, di penghujung tahun 2011 aku membeli sebuah Laptop. Aku memilih Toshiba, brand yang sudah diakui dunia dan made in Japan. Ternyata bukan, melainkan made in China. Semua made in China. “Buruh di China adalah buruh termurah di dunia, mbak. Makanya semua hal nyaris dibuat di China,” kata si penjual. Belum setahun, laptop tersebut mati. Kesalllllllll sekali! Kemudian aku menjual laptop Toshibaku dan membeli yang baru, Asus, brand unggulan Taiwan.
Lagi-lagi made in China. Kapan ya, everything made in Indonesia?
*) Wijatnika, S.Sos pernah menjadi pengurus KAMMI Lampung. sekarang bekerja di Walhi Lampung dan menyelesaikan S2 di Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar