Ketua Bidang Kebijakan Publik PD KAMMI Sleman, Pegiat Gerakan Indonesia Berdaulat
Ketika
‘Kampus’ Menjadi Pembunuh
Mungkin orang
telah jengah melihat realita kampus hari ini. Kampus yang seharusnya menjadi
ruang reproduksi pengetahuan dan pembentukan agen intelektual kini justru malah
menjadi ruang komersialisasi bisnis. Budi F Hardiman menyatakan; globalisasi
yang disertai ekspansi pasar telah ikut mendorong proses komersialisasi
pendidikan. Iklim komersialisasi kampus telah membuat banyak kampus lebih
melayani kepentingan pasar daripada melakukan berbagai macam inovasi
pengetahuan dan berbagai macam kreatifitas dalam menjawab tantangan masa depan.
Selain itu, secara tidak sadar kampus saat ini juga
seakan telah mengubah orientasi yang berawal menjadi lembaga pendidikan, kini
menjadi lembaga politik-administratif. Perihal itu tergambar dari sejauh mana
wacana ilmu pengetahuan kian tersandera untuk menjangkau kepentingan sebagian
elite (baca: globalisasi) itu sendiri. Akhirnya, kampus saat ini seakan hanya
menjadi dua kutub kehidupan (1) kampus mengalami resonansi anti-saintisme ditandai dengan matinya bangunan kultur
intelektual. Kampus hanya dijadikan sebagai peningkatan identitas kelas sosial
tanpa dibarengi peningkatan ilmu pengetahuan bagi setiap individu-individunya.
Aktivisme kampus menjadi mati, ruang kuliah sudah mulai tidak diprioritaskan
oleh sebagian dosen yang lebih tergiur dengan berbagai macam ‘proyek’. (2) kampus
juga seakan hanya mereproduksi saintisme-semu.
Matson seakan menggambarkan; kampus saat ini seakan hanya menciptakan manusia
selayaknya mesin yang diarahkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan praktis
pekerjaan seorang ‘teknokrat’ yang melayani segala macam kepentingan pasar.
Wajarlah jika buku dan ruang diskusi menjadi suatu hal yang sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh mahasiswa. Karena ‘nilai utama’ bagi mereka bukanlah
pengetahuan, melainkan ‘nilai A’ dari secarik pelajaran. Hal ini tak ubahnya
dengan apa yang disampaikan oleh Jurgen Habermas sebagai “kesadaran teknokratis”.
Ketika ‘Kaum Intelektual’ Kehilangan Arah
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, ketika kampus
hari ini hanya menjadi ‘wisata pengetahuan’ yang sudah tidak lagi mereproduksi
agen-agen intelektual masa depan, kepada siapakah nasib bangsa ini akan dipergulirkan?
Wajarlah jikalau sistem demokrasi kita mungkin sistem
demokrasi mengalami pematangan kualitas secara pelembagaan, namun mengalami
pengeroposan ‘kualitas calon’ ditingkat legislatif maupun eksekutif. Sumberdaya
finansial masih menjadi faktor utama pemenangan daripada faktor intelektualitas
itu sendiri. Mereka menjadikan profesi ‘pemerintah’ sebagai sektor pengembangan
bisnis yang mampu ‘menngembosi sumber daya finansial’ negara dalam rangka
mengakumulasi sumberdaya fanansial pribadi.
Memang sangat dilematis jikalau definisi ‘kaum
intelektual’ hanya dikategorikan berbasis pada kaum akademisi atau pun kaum
yang berasal dari kampus. Namun, setidaknya kampus menjadi salah satu ‘sarana
formal’ pembentukan intelektual itu sendiri.
Pertanyaannya adalah; apa sebenarnya makna yang tersirat
dari definisi intelektualitas? Julian Benda menyatakan; Intelektual adalah
orang-orang yang kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Kaum
intelektual adalah orang-orang yang mencari kegembiraan dalam lapangan
kesenian, ilmu pengetahuan atau teka-teki metafisika. Singkatnya, dalam hal-hal
yang tidak menghasilkan keuntungan kebendaan, dan dengan demikian dalam artian
tertentu kerajaannya bukanlah di dunia ini”. Mereka adalah sekelompok manusia
yang menempatkan impiannya tidak hanya pada praktis yang sifatnya keduniawian,
melainkan meletakkan tujuan hidupnya pada visi masa depan yang mencerahkan
tidak hanya di dunia tetapi juga di surga.
Yudi Latif mengungkapkan; intelektualitas pada awalnya
merujuk pada individulalitas dari para pemikir dan mengindikasikan respon
individu dari pemikir terhadap sebuah panggilan historis tertentu atau fungsi
sosial tertentu. Dari dua definisi diatas, setidaknya –sebagaimana yang
dikemukakan Ahan Syahrul- definisi intelektualitas adalah bahwa; seorang
sarjana yang cakap memahami keilmuan belum tentu seorang intelektual yang mampu
memberikan pendapat, gagasan dan ide serta menanamkan pengaruhnya pada
masyarakat walaupun ia dianggap orang cerdas. Hal tersebut berbeda dengan
pengertian mengenai kaum intelektual yang dapat dipahami sebagai orang yang
mempunyai pengetahuan mengenai keseluruhan, mampu menggerakkan rakyat serta
menjadi solusi bagi masyarakat.
Selanjutnya,
Yudi Latif melanjutkan bahwa esensi kaum intelektualitas adalah; mereka yang mempunyai
suatu kesamaan identitas dalam perbedaan dan keberagaman dalam kebersamaan
identitas. Pada intinya mereka adalah kelompok elite yang minoritas namun
mempunyai peranan besar dalam mengayun bandul gerak sejarah bangsa. Mereka menjadi
bagian inti dari perubahan bangsa dan hadir di setiap lini perubahan. Meski pun
kecil, mereka memiliki daya pengaruh yang sangat luas untuk menggerakkan
masyarakat. Karena pada pundak mereka dinamika kebangsaan menentukan
momentumnya untuk berubah dan bertransformasi.
Hal
ini juga senada dengan apa yang disampaikan Max Weber; ‘Para intelektual
seringkali berhadapan dengan dilema antara memilih integritas intelektual atau
kontingensi-kontingensi ekstra-intelektual, antara arus ide yang rasional atau
kejumudan dogmatik. Setiap keputusan yang memilih pilihan kedua akan berarti
melakukan ‘pengorbanan intelek’.
Disinilah peranan kaum intelektual
dibutuhkan. Mereka hadir bukan untuk menjadi ‘pengekor’ sistem yang sudah mulai
membusuk. Mereka bukanlah orang-orang yang hanya mempertajam ‘gagasan’ namun
tanpa dibarengi tindakan untuk perbaikan bangsa. Kaum intelektual adalah ‘kamu,
kalian, mereka,.. kami’ yang selalu mengedepankan kepentingan orang lain
daripada kepentingan pribadi. Yang bersungguh-sungguh mengabdikan dirinya untuk
bangsa demi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Mereka adalah orang-orang
yang selalu mengedepankan ‘akal yang berintegrasi dengan ruh’ untuk selalu menegakkan
kedaulatan bagi umat manusia.
Ketika Gerakan Mahasiswa Hilang?
Dari
perihal diatas, kita mendapatkan benang merah bahwa ‘kampus’ mulai tidak
memberikan ruang aktivisme intelektual yang luas, bahkan cenderung tertutup.
Dan memang perihal ‘penggembosan aktivisme intelektual’ tidak dapat dipungkiri
sebagai salah satu warisan Orde Baru melalui NKK/BKK dan berbagai macam
kebijakannya yang hari ini terus melakukan transformasi. Namun perbedaan
mendasar yang ditemukan diantara dua zaman yang berbeda itu adalah ‘kaum
intelektual’ yang teralienasi dengan kampus terus mencari ruang untuk
‘bergerak’ dengan berbagai macam dinamikanya. Namun, pasca reformasi muncul
fenomena baru, yaitu; dinama ‘gerakan mahasiswa –sebagai alat reproduksi
intelegensia’ terbelenggu dengan model ‘gerakan mahasiswa’ di masa orde baru
dan sangat sulit untuk mencari bentuk dalam mentransformasikan gerakan yang
mampu menjawab segala macam tantangan kebijakan dan dinamika kampus yang terus
bertransformasi. Akhirnya, kecenderungan yang muncul adalah; kampus semakin
menunjukkan ‘arogansi kebijakan’-nya dengan wajah yang semakin ‘soft’ dalam
membangun framing opini para mahasiswa untuk semakin apatis ‘atas nama
tuntutang akademik’, namun disatu sisi ‘gerakan mahasiswa’ justeru tidak mampu
menjawab tantangan tersebut dan cenderung ditinggalkan oleh mahasiswa itu
sendiri. Ruang diskusi semakin mati, aktivisme politik gerakan mahasiswa
semakin surut tak berarti.
Disinilah
letak permasalahan yang harus saat ini harus menjadi prioritas penyelamatan. Setidaknya,
ketika ‘kampus’ sudah mulai tertutup, gerakan mahasiswa masih bisa menjadi
senjata ampuh dalam mereproduksi ‘kaum intelektual’. Ketika dinamika mahasiswa
hari ini semakin apatis terhadap politik kampus dan politik kenegaraan, namun
fakta yang berkembang saat ini sangatlah menarik, justeru semakin banyak
mahasiswa yang lebih peduli terhadap gerakan kebudayaan dan pemberdayaan
pemberdayaan masyarakat. Dan ini adalah modal sosial yang menjadi elemen
penting untuk ditindak lanjuti ‘gerakan mahasiswa’ saat ini agar bisa menjadi wadah yang mampu
mengintegrasikan reproduksi intelegensia-pemberdayaan-kebudayaan dalam merespon
dinamika sosial politik yang berkembang.
Untuk
mampu menjawab tantangan tersebut, setidaknya ada empat agenda yang harus
menjadi pijakan ‘gerakan mahasiswa’ saat ini dalam bertransformasi; (1) membangun kesadaran tentang fakta sosial;
dalam hal ini, Kuntowijoyo dalam hal ini menekankan tentang bagaimana setiap
individu-gerakan mahasiswa dalam melihat fakta sosial yang berkembang dimasyarakat
untuk dijadikan sebagai sebuah peluang dalam melihat peluang dalam bergerak dan
membaca tantangan masa depan (eschatology)
dalam bergerak. Dalam hal ini, Fahri Hamzah
menyatakan; prediksi masa depan (future
prediction) hanya dapat dilakukan jika kita tanggap dengan segala fenomena
yang terjadi pada saat ini, membaca sejumlah isyarat dan petanda yang ada,
lantas menganalisa kemungkinan-kemungkinan yang paling logis dan rasional
mengenai efek dan konsekuensi yang bakal terjadi. Disinilah letak ‘kaum
intelektual’ harus berani dan mampu
menerawang puluhan tahun ke depan, atau bahkan ratusan tahun kedepan untuk
membaca sejarah lebih dini. Kaum muda juga harus mampu memprediksi imajinasi
kolektif bangsa ini yang akan kita bawa kearah mana, serta infrastruktur masa
depan bangsa ini akan seperi apa, sehingga bangsa ini memiliki kemampuan
antisipasi sebagai bangsa yang berpikir visioner.
(2)
Manajemen yang rasional; rasionalitas
dan strategi gerakan harus dimanage dengan rapid an terarah. Manajemen rasionalitas
dibutuhkan terlebih dahulu untuk menyelesaikan intra-gerakan itu sendiri. Sudah
saatnya kesadaran kolektifitas gerakan menjadi identitas utama yang terus di-manage dan selalu mengedepankan
kepentingan bersama daripada mengedepankan kepentingan eksistensi politik
individu.
Dan
yang terakhir, ialah (3) manajemen
pemberdayaan; manajemen pemberdayaan adalah pembauran gerakan mahasiswa dan
gerakan pemberdayaan menjadi satu kekuatan yang utuh, yang mampu saling
melengkapi dan saling menutupi kekurangan satu sama lain. Dalam hal ini,
gerakan mahasiswa jangan sampai dikungkung menjadi manusia ‘pikiran’ yang tidak
pernah menemukan orang untuk ‘menindak lanjuti’ pikiran tersebut. Setidaknya,
dengan pembauran inilah antara gerakan mahasiswa dan gerakan pemberdayaan
saling menempatkan peran yang mengintegrasikan antara ‘pemikir strategis’ dan
‘penindak taktis’ untuk menciptakan suatu perubahan Bangsa yang lebih baik.
Dari
tiga poin diataslah, sekiranya satu titah untuk menghidupkan kembali episentrum
‘reproduksi kaum intelektual’ dikembangkan. Tiga poin ini hanyalah ingin
mengukuhkan bahwa ‘kaum intelektual’ harus hidup di setiap zamannya. Sudah
menjadi hukum alam jika yang bergelut di bidang tersebut terlampau sedikit.
Namun bukan berarti yang sedikit itu harus mati dan tenggelam, melainkan dengan
yang sedikit itulah bisa menghasilkan karya-karya besar dan berdaya.
Transformasi disetiap zaman menjadi penting, tinggallah esensi kebenaran akan
tetap menjadi fondasi perjuangan.
Ketika
kampus sudah arogan dan mulai kehilangan arah, bukan berarti ia menjadi awal
sejarah ‘kematian kaum intelektual’. Ketika ruang diskusi semakin sepi diminati
mahasiswa, bukan berarti ‘kehidupan kaum intelektual sudah mati’. Tinggalah
semua ada dipundak kita yang menentukan mati atau hidupnya ‘kaum intelektual’
saat ini, ia ada ‘dipundakku, pundakmu, dan pundak kita semua’ untuk saling
bersatu dan saling menguatkan perjuangan satu sama lain. Sudah saatnyalah ‘kaum
intelektual’ bangkit dari tidurnya, dan kini kita memulai sejarah perjuangan
baru untuk kehidupan yang lebih baik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar