sebelumnya dimuat via blog penulisnya di http://wuriantos.blogspot.com/2010/06/dan-revolusi-diurai-dari-kata-kata_08.html
oleh: Wurianto Saksomo, SH*
Beberapa gerakan mahasiswa anti kemapanan yang menyuarakan tuntutan di hadapan penguasa seringkali membawa korban, dan korban paling besar seringkali dialami oleh mahasiswa itu sendiri. Bentrokan dan perlawanan secara fisik menghiasai aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mereka. Pukulan, tendangan, lemparan bom molotov, pembakaran ban bekas, perusakan pagar kantor, adalah bentuk-bentuk resistensi untuk menghadapi tindakan represif aparat keamanan yang dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah, bukan lagi alat negara.
Peristiwa di lapangan Tiananmen, Cina yang dipelopori oleh para mahasiswa diakhiri dengan penumpasan berdarah. Oleh penguasa komunis aksi mahasiswa dalam peristiwa ini dinamakan sebagai pemberontakan kontra-revolusioner. Sampai sekarang tidak diketahui angka pasti korban yang jatuh dalam peristiwa tersebut. Sementara beberapa yang lain mengasingkan diri dan melarikan diri ke luar negeri menghindari kejaran brutalnya aparat di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Beberapa yang lain terpaksa menginap di balik jeruji besi termasuk Wang Dan, seorang mahasiswa Muslim, yang akhirnya dibebaskan.
Di Indonesia sendiri terjadi juga peristiwa yang membawa korban jiwa di pihak mahasiswa ketika mengadakan aksi-aksi protes terhadap penguasa, seperti misalnya Peristiwa Trisakti tahun 1998. Dari peristiwa–peristiwa tersebut ada dua alasan yang melatarbelakangi timbulnya bentrok di dalam aksi gerakan mahasiswa ketika berhadapan dengan aparat. Yang pertama militansi para mahasiswa yang sangat gigih untuk mempertahankan tuntutan-tuntutannya. Yang kedua, lepasnya kesadaran aparat keamanan untuk menahan diri. Aparat yang membawa senjata dan terlatih tampaknya lupa jika yang mererka hadapi bukanlah tentara angkatan bersenjata negara lain, namun saudaranya sendiri sesama anak bangsa yang masih berusia belia.
Namun demikian jatuhnya korban di kalangan mahasiswa ini tidak pernah menyurutkan perjuangan gerakan mahasiswa untuk terus-menerus meneriakkan perlawanan di hadapan penguasa yang berlaku zalim dan tidak memihak kepentingan rakyat. Jika kita mencermati isu yang berkembang di kalangan gerakan mahasiswa maka kita akan mendengarkan idiom ‘revolusi’. Inilah alternatif kreatif dari kepedulian mahasiswa mencermati kondisi negara yang semakin tidak jelas dipimpin oleh rezim Megawati. Revolusi menjadi bahasa perjuangan sebagaimana istilah ‘reformasi’ yang mendapat sambutan luas di kalangan umum saat itu. Revolusi dijadikan alat perjuangan yang diteriakkan di setiap aksi demonstrasi, tuntutan dan penyikapan, diskusi-diskusi terbatas di kalangan mahasiswa, atau bahkan perbincangan yang sudah lintas status, baik itu mahasiswa, aktivis buruh, partai politik, maupun elit politik.
Apa alasan sehingga di antara kalangan itu menggulirkan revolusi, entah sekedar wacana atau mungkin sudah berupa rencana pelaksanaan. Sikap penguasalah yang tampaknya mendasari alasan digulirkannya revolusi. Perbuatan korup, tidak memihak kepentingan rakyat kecil, ketidakberdayaan di hadapan lembaga asing yang ada sehingga negara tidak independen, penjualan aset bangsa ke tangan kapitalis, dan lain-lain memerlukan obat mujarab untuk menyembuhkan keterpurukan negeri ini. Barangkali revolusi adalah terapi sosial untuk menyehatkan negara yang sedang sekarat parah ini.
Menurut Sztompka revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang paling spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa. Revolusi tidak membiarkan apapun seperti sebelumnya. Revolusi menutup satu jaman dan membuka jaman baru. Pada saat revolusi masyarakat mengalami puncak perannya, ledakan potensi transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi, masyarakat dan para anggotanya seakan-akan dihidupkan kembali, hampir dilahirkan kembali. Dalam hal ini, revolusi adalah tanda kesehatan sosial.
Revolusi mempunyai definisi perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan srtuktur kelas suatu negara, dan revolusi tersebut disertai dan sebagian menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas dari bawah. Menurut Chalmers Johnson, dalam Revolutionary Change, kekerasan dan perubahan sosial adalah sifat dari revolusi. Menciptakan revolusi berarti menerima kekerasan untuk mengubah sistem, lebih tepatnya revolusi adalah implementasi dari suatu strategi kekerasan yang ditunjukkan untuk mendorong timbulnya perubahan dalam struktur sosial. Revolusi terjadi karena masyarakat mengalami lingkungan yang tidak harmonis (kritis) sehingga mengalami disorientasi. Dalam keadaan seperti ini akan membuka peluang lahirnya nilai-nilai alternatif yang ditawarkan oleh gerakan revolusioner. Hal ini tentu saja menyebabkan penguasa bertindak menekan karena merasa otoritas yang dipunyainya semakin kehilangan legitimasi. Penguasa selalu mengandalkan kekerasan untuk menghentikan gerakan revolusi dengan dalih ketertiban bangsa. Karena itu, pecahnya suatu revolusi tidak saja disebabkan oleh protes kelas bawah terhadap kehidupan cara lama, tetapi juga oleh adanya ketidakmampuan kelas atas dalam mengatasi kehidupan cara lama itu, urai Lenin.
Di benak orang awam revolusi seringkali dijadikan mimpi indah, menjadi harapan akan kebebasan terhadap ketertindasan dan kehidupan yang lebih sejahtera. Kalaupun ada pertumpahan darah, hal itu dianggap sebagai resiko di dalam setiap perjuangan. Darah yang mengalir membasahi bumi menjadi obat yang subur untuk menumbuhkan bunga-bunga kemakmuran sebuah bangsa.
Sebenarnya pengalaman revolusi jauh dari apa yang diimpikan. Dalam realita revolusi menyingkirlan seorang tiran untuk kemudian menaikkan tiran yang lain yang bahkan lebih kejam. Tujuan awal revolusi yang untuk memajukan kemakmuran namun dalam kenyataannya seringkali menggantikan rasio dengan kekerasan, pemaksaan, dan penghancuran. Dengan demikian mitos tentang janji indah gerakan ini akan tumbang. Akan tetapi kita tidak boleh lengah, bahwa tugas kita adalah menemukan alternatif untuk memberikan yang terbaik bagi umat. Jika revolusi menjadi bahasa perjuangan kita, maka itu akan terpolesi dengan warna fikrah dan tujuan rahmatan lil ‘alamin dalam kemenangan cahaya Islam.
Pendapat Franz Borkenau mengatakan bahwa setiap revolusi besar selalu menghancurkan aparat pemerintahan yang ada. Setelah melakukan eksperimen dan pertimbangan, setiap revolusi akan membentuk aparat pemerintahan baru yang pada umumnya karakternya sangat berbeda dengan aparat pemerintahan yang ditumbangkannya, oleh karena itu perubahan tatanan negara merupakan hal yang yang tidak kalah pentingnya dari perubahan tatanan masyarakat.
Dari argumen tersebut kita dapat menemukan peluang sekaligus tantangan dalam melakukan setiap perubahan di dalam masyarakat sekaligus juga pada struktur kenegaraan, tak terkecuali ketika menggunakan revolusi sebagai jalan pelaksanaannya. Jika gerakan Islam tidak mampu membaca situasi dan kondisi yang selalu berkembang ini, bukan tidak mungkin kalangan gerakan lain yang tidak mengakomodasi bahkan antipati terhadap kepentingan Islam yang akan menggelindingkan bola salju. Bola salju yang berupa revolusi tersebut semakin membesar dan menggilas umat Islam sendiri.
Gerakan mahasiswa Islam sebagai bagian dari entitas pengontrol penguasa juga sekaligus menjadi sumber terpenting kepemimpinan. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, permasalahan kondisi negara harus menjadi menu bagi setiap aktivis gerakan mahasiswa Islam, karena hal ini mempunyai implikasi yang besar terhadap keberlanjutan dakwah di negeri tercinta Indonesia.
Ada dua hal yang minimal harus disiapkan oleh Gerakan Mahasiswa Islam yakni penjagaan moral spiritual sebagai ruh dalam setiap pergerakan dan aktivitas serta kapasitas keilmuan dan pengembangan wacana. Moral spiritual akan menjadi akar pengokoh perjuangan mahasiswa muslim sehingga tidak seketika tercerabut dari manhaj ketika bersinggungan dengan dunia luar. Ia berupa keimanan, keikhlasan, semangat, dan keistiqomahan.
Sementara itu, peningkatan kapasitas intelektual yang akan membuktikan kepada masyarakat luas tentang kepahaman dan kecerdasan setiap kader dakwah. Kulturisasi sebagai gerakan mahasiswa akan terus diupayakan dengan melalui diskusi-diskusi sebagaimana para pendahulu gerakan mahasiswa telah melakukan hal itu. Setiap mahasiswa harus mempunyai kesadaran tentang upaya ini.
KAMMI sebagai bagian dari gerakan mahasiswa muslim di Indonesia akan terus bergerak menuntaskan perubahan. Ada atau tanpa kehadiran KAMMI, maka kawan-kawan gerakan mahasiswa lain akan tetap menggulirkan revolusi. Jika akhirnya revolusi yang menjadi kendaraan untuk usaha perbaikan bangsa ini, tentu saja cara perdamaian yang akan digunakan sebagaimana watak perjuangan kita. Revolusi Damai akan kita munculkan.
Dan revolusi itu dimulai dari kata-kata. Berdoa dan berusahalah kawan.(ws)
wallahu a'lam bish shawwab.
*) Penulis adalah Ketua KAMMI Komisariat UGM 2003-2004. Sekarang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Kepegawaian Daerah, Pemerintah Kabupaten Ngawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar