17 Februari 2013

Dari ‘MLB Ideologis’ sampai Dokumen Lama yang Dibuka Kembali – Catatan Sarasehan Nasional Intelegensia KAMMI (3)

Gambar

Tradisi diskusi yang egaliter seakan tergantikan oleh syuro yang elitis dan hierarkis. Tradisi baca buku digantikan oleh pertarungan politik. Tradisi nulis yang agak serius terpinggirkan oleh komentar

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)



Ahad (23/12) Sarasehan Nasional Intelegensia KAMMI resmi ditutup. Tidak secara formal, tentu saja, tapi dengan beberapa kesepakatan. Diputuskan, forum serupa akan kembali dihelat di Jakarta, pertengahan Februari 2013. Forum yang diharapkan akan lebih ‘matang’ dan lebih ‘greget’ dibanding pendahulunya di Yogyakarta. Sarasehan ini hasilnya memang tak banyak, hanya rencana tindak lanjut agenda-agenda ke depan, karena forum ini memang tidak menuntut diri untuk mem-’final’-kan gagasan yang telah diperdebatkan selama dua hari satu malam di Masjid Pangeran Diponegoro, Balai Kota Yogyakarta.


Namun, sarasehan ini seperti membuka kotak pandora di KAMMI. Semua keresahan tertumpah dalam diskusi-diskusi yang hangat. Dibuka jam 8 malam, hanya dengan jeda-jeda sedikit, forum berlangsung hingga pukuk 3 dini hari. Para peserta saling berdiskusi tanpa harus mempertimbangkan status struktural di KAMMI. Padahal, peserta sangat beragam: dari Ketua KAMMI Wilayah, pengurus Komisariat, hingga yang tak punya posisi apa-apa di KAMMI sepoerti saya. Seingat saya, sudah agak lama di KAMMI tidak ada forum diskusi seperti ini.

“Ini sudah seperti MLB Ideologis”, kata seorang peserta sarasehan. Mungkin nadanya terlalu berlebihan. Tetapi ada kritik dan semangat di sana, untuk ‘menyudahi’ tradisi konflik berkepanjangan yang terjadi pada beberapa kepengurusan KAMMI di tingkat pusat. Sudah saatnya MLB Struktural diganti menjadi MLB Intelektual, yang berarti ada koreksi, revisi, tajdid atas visi peradaban KAMMI yang selama ini dicita-citakan, tak sekadar berebut kursi kekuasaan di ruang sempit bernama KAMMI.

Forum membahas beberapa hal yang selama ini dianggap sensitif di KAMMI: kaderisasi, relasi KAMMI-PKS, ideologi KAMMI, sampai sejarah KAMMI. Peserta masing-masing memberikan argumennya. Tak perlu takut di-’blacklist‘ karena memang tidak ada kepentingan politik apa-apa yang ingin dicapai di sini. Murni, untuk memikirkan kembali arah gerak KAMMI selama ini.

Di Yogya, forum-forum diskusi seperti ini sebenarnya sudah sering dilakukan. Saya dan beberapa kawan sering melakukannya dulu di sebuah komunitas kecil bernama Lingkar Studi Bulaksumur. Pun juga dengan komunitas ‘Everything Studies’ yang dibuat oleh saya dan beberapa kawan dosen dan peneliti di UGM yang kebanyakan alumni PMII (kecuali saya yang dari KAMMI). Tetapi, lagi-lagi, forum seperti ini cukup langka terjadi di KAMMI.

Persoalannya, mengapa forum ini menyulut perbincangan hangat di media sosial? Di sarasehan, ulasan semacam ini sempat muncul dan dibahas: ada semacam kelesuan tradisi intelektual yang mewarnai langkah gerak KAMMI selama ini. Tradisi diskusi yang egaliter seakan tergantikan oleh syuro yang elitis dan hierarkis. Tradisi baca buku digantikan oleh pertarungan politik. Tradisi nulis yang agak serius terpinggirkan oleh komentar saling serang di BBM, Media Sosial, hingga forum-forum struktural. Kita krisis intelektual. Dan jalan untuk menghidupkannya, lagi-lagi, tidak bisa hanya dilakukan di ranah struktural, melainkan perlu juga semacam ijtihad kultural.

Untuk merespons masalah yang ada di KAMMI ini, menurut Yusuf Maulana di forum sarasehan kemarin, ada tiga jalan utama. “Pertama, jalan struktural. Cara yang dilakukan adalah keluar dari struktur dan ambil posisi secara vis-a-vis. Jalan seperti ini bisa dilakukan dengan cepat, gegap-gempita, tapi tak menghasilkan apa-apa secara jangka panjang. Kedua, jalan intelektual, melakukan kerja-kerja pengetahuan. Cara ini sering disebut sebagai cara ‘korektif’, masuk ke dalam dan memperbaiki dengan pengetahuan. dan Ketiga, jalan kultural, melakukan koreksi di luar struktur tanpa harus mengganggu kerja-kerja kolektif di luar struktur”, kata senior Humas KAMMI DIY ini.

Forum kemarin malam mengisyaratkan sebuah hal penting: kritik itu tidak terlarang di KAMMI. Dengan dihadirkan di ruang kultural, mengutip Ragil Nugroho, kritik itu menjadi seperti humus bagi tanah: menyuburkan. Kritik menjadikan gagasan-gagasan di KAMMI lebih kaya. dengan kritik, kita bisa mempertanyakan, menggugat, mendekonstruksi asumsi-asumsi dasar yang terlanjur bersarang di benak kader-kader KAMMI, untuk kemudian melahirkan gagasan baru yang lebih cemerlang, lebih bervisi peradaban, dan lebih mencerminkan watak zaman. KAMMI adalah anak zaman yang hadir dan tumbuh berkembang bersama zamannya, begitu kira-kira pikiran para peserta yang hadir di sarasehan.

Yang paling penting adalah kerja-kerja pengetahuan kita, kerja perubahan yang akan dirumuskan. “Biarlah orang-orang yang punya kepentingan mendiskusikan siapa yang akan jadi Ketua KAMMI di Muktamar. Tapi kita pikirkanlah mau dibawa ke mana KAMMI ke depan, agar bisa membuat agenda peradaban sendiri ke depan”, Yusuf Maulana dan Imron Rosyadi mengingatkan kita kemarin.

Dalam sedikit ikhtiar itu, membongkar asumsi-asumsi lama yang mengganggu itu akhirnya jadi penting sekali. Seperti, misalnya, asumsi bahwa KAMMI itu ‘agensi’ dari tarbiyah. Apa benar? Kalau memang itu terjadi dulu, seberapa tepat sekarang? Seorang peserta sempat bertanya-tanya, “Ketika untuk Daurah Marhalah harus ada surat rekomendasi dari perkaderan yang bukan berasal dari KAMMI, apa jadinya KAMMI? Kan ada dualisme identitas jadinya?”

Dan ada yang sedikit mengejutkan: dari perbincangan-perbincangan menarik ini, akhirnya terungkap juga sebuah fakta bahwa ternyata, oleh kelompok yang bernama Tarbiyah itu, KAMMI sudah diwakafkan oleh publik. “Lalu selesaikanlah logika di dalam KAMMI dengan logika publik”, tukas seorang tokoh tarbiyah top nasional seperti ditirukan seorang narasumber di forum kemarin.

Ya, KAMMI adalah organisasi publik. Maka, hal-hal mendasar sebagaimana telah dijadikan polemik di awal, soal KAMMI-PKS, dan lain sebagainya, harusnya terjawab. Relasi-relasi struktural yang membelenggu KAMMI, atas dalih sejarah, sudah harusnya diputus. KAMMI adalah dirinya sendiri. entitas yang sudah harus dewasa menentukan masa depan dan sikapnya sendiri tanpa harus diintervensi oleh struktur kekuasaan manapun. Jika memang ada yang mencoba mengaitkan KAMMI dengan tarbiyah, cukuplah KAMMI menjadi Post-Tarbiyah. “KAMMI adalah KAMMI”, kata seorang teman peserta Sarasehan menirukan seorang senior di Yogya.

Tapi tentu saja jawaban itu tidaklah final. Dan menjadi tugas kita, sebagai bagian kultural dari entitas yang bernama KAMMI, untuk menyelesaikan itu. Kotak Pandora tak sekadar menyisakan keresahan dan kegelisahan yang tak terjawab. Ia juga menyisakan setetes air bernama harapan. Persoalannya, bagaimana kita memperlakukan harapan itu ke depan? Dengan menjadikannya sebagai arena perebutan kekuasaan-kah? atau melampaui itu, untuk merumuskan agenda-agenda peradaban yang akan KAMMI hadirkan selama tahun-tahun Indonesia ke depan?

“Jika porsi pembicaraan di Muktamar lebih banyak soal Ketua daripada merumuskan ideologi dan konstitusi, ini artinya KAMMI belum dewasa untuk diwakafkan kepada publik”, begitu pesan Yusuf Maulana yang diingat oleh para peserta di Sarasehan kemarin. Ya, Muktamar menjadi begitu penting. Masa Depan KAMMi dipertaruhkan, sekali lagi, tidak hanya pada kerangka struktural-organisasional, tetapi juga pada kerangka struktural-intelektual.

Forum Sarasehan sepakat untuk menjadikan forum ini sebagai forum KAMMI Kultural. “Kami tidak butuh pengakuan berlebihan dari struktural. Kita ingin gagasan KAMMI yang lebih baik”, kata seorang peserta. Menjadi KAMMI tidak perlu mengharap terlalu banyak kekuasaan atau posisi struktural. Cukuplah menjadi KAMMI, secara kultural, itu berarti menjadi seperti yang diikrarkan kredo KAMMI: “Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak merdeka…”

Dan menjadi penting untuk dipikirkan lagi: mau apa KAMMI ke depan? bangun peradaban seperti apa yang ingin KAMMI hadirkan? atau yang lebih mendasar: untuk apa KAMMI dilahirkan? Semoga nanti, di pertemuan manapun, struktural atau kultural, kita bisa menjawab itu semua.

Nasrun Minallah wa Fathun Qariib.

*) Penulis adalah peserta Sarasehan Nasional Intelegensia KAMMI, sekarang warga biasa di KAMMI Komisariat UGM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar