18 Februari 2013

KAMMI sebagai Komunitas Kreatif

Oleh: Fachry Aidulsyah*

Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

”Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat rela ’berjoang’, ’berjoang’ mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri" -Soekarno-

Membicarakan KAMMI: Membicarakan Kaum Muda

GambarBerbicara tentang Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), tentu kita tidak akan pernah terlupa dengan romantisme perjuangannya ditengah-tengah pergulatan reformasi. KAMMI mampu menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa yang berbasiskan pada masjid kampus telah mampu menjadi kekuatan yang dahsyat untuk menggerakkan atau membelokkan roda sejarah kala itu. Hal ini semakin mengukuhkan sebuah tesis bahwa; seluruh peradaban di dunia, kaum mudalah yang menjadi lokomotif perubahanya.  Tidak terkecuali di Indonesia, sejarah telah mencatat bahwa kaum muda selalu menjadi inisiator peradaban. Ikrar sumpah pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, Reformasi 1998 merupakan bukti bahwa pemuda selalu menjadi ujung tonggak peradaban.

Dalam hal ini, KAMMI memiliki dua variabel penting dalam pembentukan identitas dirinya, yaitu: Gerakan yang berbasiskan Islam, dan gerakan kemahasiswaan yang pastinya berasal dari segolongan kaum muda.


Di dalam ajaran Islam sendiri, pemuda dianggap memiliki peran penting untuk memobilisasikan kesadaran masyarakatnya. Dalam catatan sejarah, bagian terbesar kelompok pertama yang menerima ajaran Islam terdiri dari para pemuda. Dari sudut ini dapat dilihat betapa kehadiran pemuda sebagai penggerak perubahan di dalam masyarakat merupakan hal yang sangat mendasar dalam Islam. Hal ini tidak hanya sekedar sebuah tuntutan yang semata-mata bersifat sosiologis. Lebih dari itu, hal ini memiliki landasan ideologis yang sangat kuat.[1]

Berkaitan dengan pemuda, Hasan Al-Banna juga mengungkapkan; generasi muda pada setiap bangsa merupakan tiang kebangkitan, pada setiap kebangkitan, mereka adalah rahasianya, dan pada setiap gagasan, mereka adalah pembawa benderanya. Menurut Al-Banna, gagasan apapun yang berhasil hanyalah apabila keyakinan pada gagasan itu kuat, terdapat ketulusan dalam menempuh ke arah sana, semangat yang bertambah, kesiapan berkorban, dan bekerja keras untuk mewujudkannya. Keempat unsur pokok itu; keyakinan, ketulusan tekad, kesiapan berkorban, dan kerja keras merupakan karakteristik kaum muda. Al-Banna menambahkan, “Dasar keyakinan adalah hati yang suci, dasar ketulusan adalah jiwa yang bersih, dasar kemauan yang keras adalah cita rasa yang kuat, dan dasar kerja keras adalah kemauan keras. Ini semua hanya dimiliki kaum muda”.[2]

Yudi Latif menyatakan; pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind). Selanjutnya ia mengutip pernyataan, Abdul Rivai -yang mendefinisikan ”kaum muda” sebagai rakyat Hindia (yang muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno, tetapi berkehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan.

Dari risalah definitif diataslah, kita dapat mengambil benang merah bahwa KAMMI terlahir sebagai ”Gerakan Intelektual Pemuda” yang identik dengan gerakan pembangun peradaban. Sebagai element pengikatnya, kaum muda dimaknai secara subtansif sebagai sebuah ruh yang selalu menggelorakan jiwa dan raga kita untuk tetap berdiri di medan perjuangan dalam membangun peradaban, -baik dimasa kini hingga akhir hayat nanti-.

Berbicara tentang peradaban, salah satu konsep kunci dari pembangunan peradaban adalah adanya orang yang memikirkan dan memperjuangkannya, sebagaimana terungkap dalam sajaknya;

"Pikiran itu seperti parasut para penerjun. Dia bekerja dengan sempurna ketika sang penerjun, atau pemilik pikiran itu sendiri, mau membukanya. Kian besar pikiran manusia terbuka, kian besar pula manfaat dan sudut pandang yang bisa diambil olehnya. Kian terbuka pikiran manusia, kian besar pula sumbangan dan kontribusi yang akan diberikannya.

"Seperti juga parasut, pikiran yang tak siap akan membuat pemiliknya hancur berkeping. Parasut yang terbuka, hanya beberapa saat setelah sang penerjun dimuntahkan dari perut pesawat, hanya akan mengundang tamat untuk riwayat. Pikiran tanpa bekal yang cukup lalu melalang buana, mengembara di alam terbuka, hanya akan membuat pemiliknya terkubur dalam pemikiran lain yang lebih kuat dan bisa jadi sesat.

Sungguh, hidup akan lebih mudah jika kita menjalaninya dengan pikiran tertutup dan tak boleh berubah. Tak ada yang mesti dipertimbangkan atau dijadikan rujukan. Lebih mudah menganggap bahwa tanah yang kita injak adalah pusat semesta dari pada anggapan bahwa kita hanyalah satu titik kecil dari semesta yang tak terukur jaraknya. Lebih mudah berpikir setiap orang salah, kecuali kita, daripada menganggap semua orang punya kemungkinan benar melebihi diri sendiri. Tapi sebaliknya, hidup akan terasa begitu berat jika manusia menjalaninya dengan pikiran terbuka. Sebab, we’re living in the changing world. Kita hidup dalam dunia dan juga isinya yang sedang dan selalu berubah.

Menjadi cerdas, tak kehilangan arah atau fokus, dengan pikiran yang terbuka akan membuat kita menjadi manusia-manusia pilihan dengan berjuta manfaat untuk kehidupan. tapi sekali lagi, menjadi itu semua lebih berat dari memindahkan gunung dari tempatnya.

Namuni hasil itu semua bisa jadi kita akan menerima bergunung-gunung kebaikan dan seluas-luasnya samudra kearifan yang tak akan pernah didapatkan orang-orang yang menutup diri dan memilih kemudahan. Semoga kita tak tertipu dan salah mengambil pilihan. [3]

Melalui sajak itulah, kita berikrar untuk tetap berada dalam naungan dakwah yang selalu menjadi parameter perjuangan kita. Semua langkah ini kita ambil sebagai tanda kecintaan kita akan hakikat kehidupan ini yang harus berjibaku untuk mendapatkan cinta-Nya  dengan menaburkan berbagai macam kemanfaatan untuk seluruh alam semesta dan seisinya.

Merefleksikan Romantika Peradaban

Dalam membicarakan peradaban, Hamid Fahmy Zarkasyi menyatakan; kemampuan berpikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemampuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun yang menyatakan; peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berpikir yang menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.[4]

Dalam pandangan Ibnu Khaldun, faktor terpenting dari hancurnya suatu peradaban adalah rusaknya sumber daya manusia, baik secara moral maupun secara intelektual. Merosotnya moral penguasa akan mengakibatkan menurunnya kegiatan keilmuan dan kepedulian masyarakat terhadap kepentingan ilmu –karena berorientasi pada kekuasaan semata-. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun setidaknya menggambarkan 10 penyebab jatuhnya peradaban, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan, 3) depotisme atau kezaliman, 4) orientasi kemewahan masyarakat, 5) egoisme, 6) opportunisme, 7) penarikan pajak secara berlebihan, 8) keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat, 8) rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan, 10) penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.[5]

Dari pandangan Ibnu Khaldun itulah, kita diajak untuk merenungkan ‘apakah semua itu telah terjadi diantara kita?’ hingga membuat peradaban umat Islam hari ini mengalami kemandegan? Pertanyaan ini harus kita jawab dengan hati nurani kita yang paling dalam.

Memaknai Pergerakan ”Komunitas Kecil”: Sebuah Konsepsi

Ketika kita merenungi romantika peradaban diatas, maka kita akan mengambil benang merah bahwa kemunduran peradaban akan terjadi berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan yang berkembang. Kemunduran peradaban yang dijelaskan oleh Ibnu Khaldun pun terjadi karena perubahan orientasi masyarakat yang lebih memprioritaskan kekuasaan dan menegasikan keilmuan yang melandasinya. Ibarat bangunan, kita ingin membuat sebuah rumah namun tanpa pondasi kuat yang melandasinya akan berakibat fatal. Begitu pun politik, tanpa dilandasi ilmu yang menjadi pondasinya makan akan berakibat fatalistik dan anarkis yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin congkak. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa subtansi maju mundurnya peradaban ditentukan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak akan hidup jika tidak ada ”komunitas aktif” yang mengembangkannya.

Dari perihal diatas, maka kita akan mengambil kesimpulan bahwa dalam pembangunan peradaban harus dimulai dari suatu ”komunitas kecil” yang aktif dalam pengembangan keilmuan dan pergerakan. Dari komunitas kecil yang konsisten dan berkembang akan melahirkan peradaban yang besar dengan menjamahnya ”komunitas aktif” yang besar pula. Dari komunitas itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai macam kegiatan kehidupan yang akan menciptakan sistem kemasyarakatan. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Cairo, dll adalah kota yang terlahir dari suatu ”komunitas kecil” aktif yang kemudian menciptakan sistem kemasyarakatan hingga berujung pada penciptaan suatu Negara.

Sebagai penutup, kita akan mengambil konsep kunci bahwa KAMMI adalah ”komunitas kecil” yang mencoba untuk mengaktifkan kembali tradisi keilmuan Islam maupun tradisi keilmuan profesi yang disinergikan dengan tradisi pergerakan kemahasiswaan. Pengembangan tradisi keilmuan dan pergerakan akan dimuarakan pada konteks ”adab” yang menekankan pada pandangan hidup seorang muslim yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan(tawhid), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebaga khalifah Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan perintahNya (syariat).[6]

Dari tradisi inilah, diharapkan KAMMI mampu menciptakan manusia-manusia profetik selanjutnya yang selalu meneladani Rasulullah SAW dalam setiap aktivitas kehidupannya yang berikhtiar dalam membangun sebuah peradaban.

”Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat rela ’berjoang’, ’berjoang’ mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri. Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat membentuk dan membangun negara. Dan, manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat Sumpah Pemuda itu.” (Soekarno)

Catatan Kaki

[*] Penulis adalah Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Komisariat UGM, Mahasiswa Sosiologi UGM.

[1] Lihat Abdullah Nashih Ulwan. Pesan Kepada Pemuda Islam (Jakarta: Gema Insani Press,1994) hal. 16. Dalam Mahfudz Siddiq. KAMMI dan Pergulatan Reformasi. (Solo: Penerbit Era Intermedia, 2003) hal. 67

[2] Lihat Kepada Para Pemuda dalam Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun, jilid 1, (Solo: Penerbit Intermedia, cetakan keenam, 2002). Dalam Mahfudz Siddiq. KAMMI dan Pergulatan Reformasi. (Solo: Penerbit Era Intermedia, 2003) hal. 67

[3] Lihat Herry Nurdi. Perjalanan Meminang Bidadari. Chapter Sayyid Quthb

[4] Ibn Khaldun, ‘Abd al-RahmAn Ibn Muhammad, The Muqaddimah: an Introduction to History, Penerjemah Franz Rosenthal, 3 jilid, editor N.J. Dawood. (London, Routledge & Kegan Paul, 1978, hal.54-57. Dalam Hamid Fahmy Zarkasyi. Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya.(Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies, 2010) hal. 16

[5] Hamid Fahmy Zarkasyi. Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya.(Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies, 2010) hal. 39

[6]Dikutip oleh Muhammad Abdul Jabbar Beg, dalam The Muslim World League Journal, edisi November-Desember,1983, hal. 38-42. Dalam Hamid Fahmy Zarkasyi. Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya.(Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies, 2010) hal. 11
*) Catatan ini adalah pengantar Forum Diskusi Epistemik yang digagas oleh KAMMI Komisariat UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar