18 Februari 2013

Strategi Kebudayaan KAMMI

Oleh: Ardhi Rahman Y.A*)

Sekjen KAMMI DIY 2006-2008




GambarDalam
 gerakan mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa di kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, tetapi juga ada kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa ini terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas.

Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan “menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal” lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal.


Pelbagai cara  yang mahasiswa gunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan, seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa—jika dibandingkan dengan intelektual profesional—lebih punya keahlian dan efektif, jaringan komunikasi antar mahasiswa lebih aktif (teori snow bowling).

Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya, lantaran kepeloporannya sebagai “pembela rakyat” serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktivitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya.

Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Pakistan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.

Gerakan Mahasiswa sebagai Gerakan Identitas Kelas

Ruang dan waktu ketika menjadi mahasiswa adalah sebuah media pemilihan, pencarian dan pembelajaran yang total terhadap teori atau keyakinan-keyakinan ideologis. Mahasiswa telah memanifestasikan dirinya sebagai gerakan ideologis sekaligus penisbahan terhadap gerakan idealisme visioner.

Keberagaman ideologi yang dianut oleh mahasiswa, menjadikan mahasiswa sebagai klien dari sebuah patron gerakan ideologi tertentu yang sudah dioprasikan secara politis oleh kekuatan mesin-mesin politik tertentu. Sehingga walaupun mahasiswa tidak mempunyai hubungan secara fisiologis atau struktur dengan kekuatan ideologi tertentu, pola hubungan yang semacam ini adalah hubungan antara patron dengan kilen secara ide-ide (ideologis) itu sendiri yang mempunyai gesekan atau irisan secara langsung atau tidak langsung dengan kekuatan politik tertentu. Maka dari itu, nilai independensi mahasiswa sebenarnya adalah mitos sejarah. Apakah ini salah? Tentu bukan masalah salah atau benar, ini adalah keniscayaan, yang kita tegaskan adalah sekedar nilai independensi dalam konteks itu sendiri.

Gerakan politik nilai (value political movement), istilah idealis lain yang dikaitkan dengan gerakan mahasiswa. Idealis karena gerakan yang dibangun bukan gerakan politik kekuasaan (power political movement) yang berorientasi kekuasaan seperti partai politik, namun berorientasi terciptanya nilai-nilai ideal kebenaran, keadilan, humanisme (kemanusiaan), profesionalitas dan intelektualitas dalam seluruh aspek pengelolaan negara.

Perpaduan antara gerakan moral dan gerakan politik nilai inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang murni (genuine), unik, luas, lintas sektoral, anti kekerasan dan kontrol sosial yang teramat sulit dikooptasi oleh kepentingan politik kekuasaan an sich.

Hariman Siregar dalam bukunya Gerakan Mahasiswa, Pilar Kelima Demokrasi menjelaskan ciri Gerakan Mahasiswa, yaitu: Bersifat spontanitas, bercorak non struktural, bukan agen politik di luar kampus, mempunyai jaringan yang luas. Jaringan yang terbentuk biasanya luwes, sehingga memudahkan untuk bermanuver serta tidak mudah untuk dikooptasi oleh kelompok kepentingan yang bertentangan dengan gerakan moral, termasuk pemerintah.

Apakah gerakan mahasiswa adalah gerakan ideologis-politis? Jawabannya adalah tidak! Gerakan mahasiswa (GM) adalah gerakan yang khas pada kelasnya. Apapun ideologinya, kita akan sepakat jika GM adalah kelas dimana yang sangat khas dengan idealisme, cita-cita utopia, hati nurani, rasionalitas dan kritis, sehingga motivasi GM adalah motivasi yang bersifat khas kelasnya. Keterujian idelogi mahasiswa justru akan teruji jika sudah bersentuhan dengan sisi-sisi pragmatisme, inilah yang dilakukan oleh gerakan ideologi yang sudah dioprasionalkan pada gerakan politik itu sendiri. Akhirnya kita meyakini bahwa GM adalah gerakan yang idealis dan khas identitas kelasnya.

Kelahiran KAMMI yang Dipaksakan Sejarah

Sejarah adalah goresan kemampuan dan takdir kita di dalamnya, ia akan datang jika kita mengundangnya datang, demikian ungkap Prof. Gayatri Spivak, seorang budayawan pos-kolonial India. Ketika penulis sedang mengisi diskusi di Fakultas Sastra UI (Universitas Indonesia) tahun 2002, Secara sengaja kawan penulis yang seorang aktivis PRD, berkata kepada saya, bahwa sejarah KAMMI adalah sejarah yang ‘mencuri’ dari perjuangan kaum pro-demokrasi. Mubazir jika saya memperdebatkan hal itu.

Sejarah pergerakan mahasiswa 90-an, adalah gerakan yang sarat dengan pola hubungan yang mengglobal. Gerakan mahasiswa seperti HMI, PMII, GMNI dsb, mengalami reduksi-reduksi ketika rezim memberlakukan penghancuran infrastruktur ideologi politik di kampus-kampus melalui NKK/BKK, SKS, penghancuran DEMA, dll. Kita akan lebih menemukan gerakan-gerakan yang terafiliasi secara fisiologis dan genologis dengan trend gerakan internasional, PRD yang terafiliasi dengan gerakan sosdem internasional, KAMMI yang terafiliasi oleh gerakan dakwah internasional. Sebab gerakan global-lah yang telah melakukan katalisasi ideologi.

Sekitar tahun 94-an, memang setiap gerakan sedah memulai sebuah pengorganisasian masa-rakyat dan juga melakukan pe-lokus-an gerakan. Bagi kalangan dosen ada lokus tersendiri, aktivis dan sebagainya. Akhir tahun 96-an, kalangan pro-demokrasi (prodem) juga sedang melakukan konsolidasi yang massif, sayangnya justru diakhir kekuasannya, Suharto mulai dekat dengan kalangan muslim, sehingga kalangan aktivis muslim politis yang konvensional, suasana ini sangat ‘membius’, di sisi lain kalangan muslim yang selama ini berjalan di lorong-lorong ‘kesunyian’ juga belum massif. Sekitar awal 97-an baru mulai ada konsolidasi dikalangan beberapa aktivis muslim.

KAMMI secara menyeluruh (baca: ideologi) hadir dalam proses yang teramat panjang, sekitar tahun 80-an. Gerakan ini adalah manifestasi dari genelogis sejarah perjuangan kaum muslimin Indonesia yang mengambil aras sebagai gerakan pembaharu (tajdid) yang dimulai sekitar tahun 1905 dan secara fisiologis ini adalah gerakan yang sistematis sekitar tahun 80-an. Kehadiran KAMMI sebagai organlah yang lebih terlihat sebagai faktor resultan sejarah.

Menuntaskan Perubahan dalam Diri KAMMI

Gerakan KAMMI adalah gerakan dakwah yang mempunyai kekhasan secara global. Gerakan KAMMI adalah gerakan yang tidak mempunyai kemandirian secara metodologis. Gerakan KAMMI adalah gerakan politik yang terjebak pada mekanisme praksis. Gerakan KAMMI adalah gerakan massa bukan gerakan kader (harakatut tajnid). Hal-hal diatas mempunyai sebuah konsekwensi logis dan coba kita eksplor disini.

KAMMI adalah gerakan global yang secara fisiologis mempunyai sebuah pola hubungan patron dan klien dengan ideologi Islam kontemporer. Konsekwensi ini adalah—keberpijakan KAMMI di Indonesia sebagai sebuah keniscayaan tanahnya—sedikit mengalami pergeseran. Pola hubungan yang demikian sebenarnya pada tataran manhaj harokiyahmasih menjadi eksperimen sendiri, maksudnya ini bukanlah hal yang tsawabit tetapi mutaghayyirat. Artinya dalam struktur yang dimainkan pada pusat-pusat kuasa harokah da’wah di sana bukanlah hal yang final.

Kader KAMMI adalah kader yang tercerabut dari khazanah klasik Nusantara (khazanatul aqdam), tradisi klasik (thurats al-qadim) dan khazanah Islam klasik. Kader-kader KAMMI datang sebagian besar dari budaya ‘pesisir’ dan abangan, yang secara pemahaman keagamaan masih terbatas, disinilah kita akan melihat, mengapa wacana-wacana keagamaan khas kota yang diusung harokah-harokah Islam kontemporer menjadi cukup ramai bagi kalangan ini, dikarenakan adanya keterputusan secara spiritual dengan agamanya hal ini makin lengkap jika mereka tersosialisasi dalam ruang publik (public sphare—istilah Habermas) yang sangat educated dan kritis (rasional). Di sinilah akhirnya kita melihat terjadinya mutasi genetika sosial, sebuah perubahan secara genelogi sosiologis masyarakat terpelajar pesisir—urban.

KAMMI adalah gerakan politik yang menjebakkan dirinya pada ruang-ruang mekanis yang sangat praksis, sehingga sebagai gerakan politik-intelektual menjadi kering. Yang menggerakkan aksi-aksi politik KAMMI masih sedikit dipengaruhi oleh pilihan-pilihan diskursus wacana atau dialektika keilmuan, tetapi lebih pada pilihan-pilihan emosional-ideologis.

KAMMI adalah gerakan massa (kuantitatif) bukan kader. Terbukti dengan tidak adanya sistem pengkaderan yang khas secara metodelogis dan metode. Dia hanyalah sebuah cover dari kelas tertentu dalam gerakan ideologi yang lebih besar, sehingga posisinya sebagai klien secara fisiologis dari gerakan ideologi itu sendiri. Hal ini mengakibatkan ketidakmandirian metodelogi gerakan pada KAMMI.

Adanya kolektivitas yang dibangun, secara soliditas adalah baik, tapi jika hal itu hanya menyandera kesadaran individu setiap kader tentunya kurang bijak, sebab mobilisasi kesadaran yang dilakukan di KAMMI selama ini masih pada tataran kesadaran naïf kolektif. Dalam istilah Amien rais adalah powerlessness (menikmati ketertindasan) atau dalam istilah sayashadow anarkus.

Hegemoni inilah yang terjadi secara psikologis terjadi dikarenakan sistem pembinaan di luar KAMMI yang lebih mendominasi secara perlahan hingga memenuhi apa yang distandarkan (muwashafat). Secara umum, memang anggota KAMMI bisa dikatakan homo-character. Satu karakter dan satu pemahaman terhadap—hampir—segala sesuatu. Sistem yang dibuat diorentasikan pada ketaatan dan keteraturan. Perbedaan pendapat diminimalisir secara rasional, kesatuanfikrah dan manhaj diutamakan.

Dalam kacamata pandang seorang kader, apakah pola pendidikan seperti itu adalah hegemonik yang menindas (dan menyakitkan) ? Ternyata tidak semuanya, bahkan persoalannya bukan di sana. Masalah ada pada individu kader dalam memaknai seluruh doktrin, stigma dan kultur yang ada dalam “komunitas” ini. Bagaimana dia mencapai kesadaran kritis sebagai sebuah capaian strategis seorang da’i—sebagaimana impian Abdul Halim Mahmud dalam buku Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin.
***

Berikut ini, beberapa strategi kebudayaan yang harus KAMMI perhatikan untuk proses rekonstruksi ideologi gerakan secara omprehensif, holistik, tanpa tercerabut dari akar budaya dan historis.

Siyasatus Tsaqofah (Politik Peradaban)

Berarti sebuah gerakan politik yang tidak menjebakkan dirinya pada mekanisme teknis dan birokrasi praksis dari politik itu sendiri. Politik perdaban adalah sebuah budaya politik yang berorentasi pada pembentukan budaya ummat yang luas, tidak terkotak oleh kepentingan kelompok, mampu bersikap toleran, setia pada cita izzul islam wal muslimun dan menuju wihdatul ummah. Ahmad Badawi, Perdana Menteri Malaysia mengistilahkan sebagai Islam Hadhirah atau Islam yang hadir secara nyata di tengah masyarakat yang beradab (madani).  

Gerakan Intelektual Profetik (Ulul Albab) Sebagai Sebuah Keberpihakan

Kejayaan Islam dalam peradaban ilmu terjadi ketika masa kekhalifahan Abu Ja’far al-Mansyur (755-758), Harun al-Rasyid (786-809) dan al-Makmun (813-833), di sini dimulai penerjemahan karya-karya Yunani—yang nantinya menjadi dasar Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sina, Ibnu Majjah dan ulama lain dalam melakukan metodologisasi Islam.

Dalam al-Quran ada beberapa pengertian tentang ulul albab yang tergantung pada penggunaan kata dan konteksnya. Dalam A Concordance of the Qur’an (Hanna E. Kassis, 1983), kata ini bisa mempunyai beberapa arti, yaitu; mind, heart, intellect, insight, understanding dan wisdom. Istilah  al-‘aql sendiri dalam al-Quran mengandung pengertian tentang kemampuan berpikir atau penggunaan nalar. Istilah intelektual sendiri berasal dari Rusia, sehingga padanan yang pas dari istilah ulul albab dalam al-Quran (cendekiawan) adalah intelektual organis, yaitu kegiatan intelektual yang menisbahkan diri pada kerja-kerja organik yahg profetik, bukan seperti istilah intellectual yang dari pensimbolan bahasa lebih mendekati padanan kata akademisi.

Gerakan intelektual profetik adalah gerakan yang tidak menghamba pada teori-teori atau diskursus wacana saja, teks-teks itu tidak hanya berhenti di sudut-sudut perpustakaan atau lorong-lorong kesunyian akademisi. Dengan kemuliaan ilmu, kita gerakan teks-teks itu untuk berdialektika seecara organis dengan kenyataan, kita hadirkan teks-teks itu di tengah-tengah masyarakat. Profetik sebagai sebuah paradigma (ideologi) yang dapat dimaknai sebagai manifestasi tugas abadi ‘abdullah dan khalifatullah. Kenabian adalah tugas sejarah yang digerakkan oleh nilai-nilai wahyu, maka kenabian sebagai basis paradigma yang menggerakan dan keberpihakan kepada kaum yang lemah (kulutural) dan tertindas (struktural).


Kepemimpinan Organis (Khilafah) Sebagai Sebuah Penyikapan

Khalifah dalam al-Quran disebut sebanyak 127 kali, dalam 12 kata jadian. Dalam A Concordance of the Qur’an (Hanna E. Kassis, 1983) istilah khalifah berasal dari akar kata kh-l-f, yang membentuk beberapa kata jadian, antara lain; sebagai pengganti, wakil dan sebagainya. Dalam surat al-Baqarah dikatakan bahwa sifat ke-khalifahan adalah melekat pada fitrah manusia.

Ibnu khaldun dalam kitab Muqaddimah banyak berbicara tentang khilafah, khalifah dan imamah. Bahwa sifat dasar manusia adalah memimpin, maka ada istilah khilafah yang bearti kepemimpinan, Ibnu khaldun melihat bagaimana perilaku politik kaum Badui yang cenderung tidak bisa diatur. Sehingga kemanunggalan dari khilafah dan khalifahtermanifestasikan dalam sebuah institusi, jika khalifah lebih pada keberpihakan terhadap kaum lemah dan yang dilemahkan, maka khilafah adalah penyikapan.

Kebudayaan (Tamaddun) dan Turats Sebagai Sebuah Kearifan

Turats (tradisi) menurut Hassan hanafi adalah lingkaran piramida peradaban: bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga akar pijakan berfikir: kemarin (al-madli) esok (al-mustaqbal) dan sekarang (al-hali). Dalam perdebatan tentang Islam dan Arab, ternyata tokoh-tokoh yang selama ini cukup dikatakan liberal-pun tidak bisa melepaskan dirinya dari diskursus Arabian sebagai kultur yang dominan dalam Islam, contoh: Abid al-Jabiri (Maroko), Arkoun (Aljazair) dan lainnya.

Eksperimen yang cukup unik justru terjadi ketika Walisongo (minus Sunan Kalijaga) bisa melakukan akulturasi budaya, padahal mereka justru dari kalangan Salafiyyun, sayangnya dakwah mereka belum tuntas karena secara sejarah terpotong oleh kehadiran kaum kolonial.

Ketika kita sedang menghadapi apa yang dinamakan oleh Gramsci suatu budaya global yang hegemonik—kompleksitas superior (murakah al-udzma), di mana kita mengalami kompleksitas inferior (murakah an-naqish, maka kita mencoba menempatkan turats dan tamaddun sebagai metodologi bukan sekedar metode. Al turats wa tajdid sebuah proyek pembaharuan yang berbasis kearifan lokal.

Ikhtitam

Inilah keberanian kita diuji, sejauh mana kita mampu bergerak menempuh jalan-jalan sunyi dan kerja-kerja peradaban. Gerakan kita bisa jadi menjadi gerakan revisionis terhadap gerakan serupa yang sama-sama mengambil ideologi harakah dakwah islamiyah. Pertanyaannya sederhana, sejauh mana kita mau?


Berlindung kepada Allah

dari samudra kekhilafan

Berjalan di kesunyian

yang hening, tertutup dan tersembunyi.[]

Referensi

Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, 1986.  Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa Orde Baru.  Bandung:  Mizan.

Ahmed, Akbar, 1993. from Samarakand to Strornoway: Living Islam. London: BBC books limited.

Ali, Fauzi (editor), 1994. Mencari Islam: kumpulan otobiografi intelektual muda muslim Indoinesia angkatan 80-an.Jakarta: Mizan.

Azra, Azyumardi, 2000.  Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.

Berger, Peter L & Hansfried Kellner, 1985. Sosiologi ditafsirkan Kembali, Essay tentang Metode dan Bidang Kerja.  Jakarta: LP3ES.

————– & Thomas Luckmann, 1990.  Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan.  Jakarta: LP3ES.

Feith, Herbert & Lance Castle, 1996.  Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.  Jakarta: LP3ES.

Giddens, Anthony, 1985. Capitalism and Modern Social Theory: an analysis of writing Marx. London: Cambridge University  Press.

.Siregar, Hariman. 2001., Gerakan Mahasiswa, Pilar Kelima Demokrasi

Habermas, Jurgen. 1985. The Structural Transformation of Public Sphere. MIT Press.

Hanafi, Hassan, 2003. Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam. Yogyakarta: Islamika Press.

Mahmud, Abdul Halim, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin.

Raharjo, Dawam, 1996. Ensiklopedi Al-qur’an. Jakarta: Paramadina.

Rasyid, Muhammad, 1987. Muassasah Ar-risalah. Beirut: Lebanon University Printing.

Spivak, Gayatri, 1999. A Critique of Postcolonial Reason. Harvard: Harvard University Press.

Dan beberapa buku dan kitab serta referensi lainya.
*) Ardhi Rahman Y.A., Ketua Korps Instruktur KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta 2004-2006; pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM

**) Artikel ini pernah diterbitkan di Jurnal Ibhar KAMMI DIY, Vol. 1, Januari 2006. Diterbitkan kembali sebagai arsip.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar