Oleh: Rifadli Kadir[2]
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural
Tidak dapat dipungkiri, kampus adalah tempat bersemayamnya cadangan pemimpin masa depan. Banyak pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh berpengaruh dunia yang lahir dan digembleng dari kampus. Kampus sebagai miniatur negara mempunyai peranan penting dalam kaderisasi pemimpin masa depan.
Mahasiswa sebagai entitas kampus menjadi objek dan subjek dalam kaderisasi pemimpin masa depan. Keberhasilan masa depan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh seberapa besar mahasiswa peduli terhadap kondisi bangsanya. Kesadaran mahasiswa sebagai modernizing agent, meminjam istilah Ardhi Rahman ("Strategi Kebudayaan KAMMI") mendorong kepedulian mahasiswa terhadap bangsa dan negaranya. Kepedulian inilah yang kemudian mendorong sebagian mahasiswa untuk berkumpul dengan patron ideologi maupun tidak membentuk komunitas-komunitas mahasiswa.
Dalam sejarah mahasiswa, kita mengenal sejarah gerakan mahasiswa. Di Indonesia, tahun 1950-1966 adalah masa dimana tumbuh suburnya gerakan mahasiswa. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah gerakan mahasiswa yang lahir pasa masa itu tentunya dengan patron ideologi yang berbeda
Dalam gerakan mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi luar biasa. Praduga bahwa di kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transformasi sosial berupa label-label penuh amarah, tetapi juga ada kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa ini terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas.
Ekspresi kepedulian gerakan mahasiswa terhadap kondisi bangsanya membuat kewalahan pemerintah. Untuk membelenggu gerakan mahasiswa agar tidak sporadis-kritis atas kondisi bangsa, pemerintah membuat kebijakan NKK/BKK. Mahasiswa kemudian disibukkan dengan semata-mata kegiatan akademik. Baru memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Pencabutan NKK/BKK bukan berarti gerakan mahasiswa pada saat itu sudah bebas mengekpresikan aspirasinya. Gerakan mahasiswa tetap dibungkam agar tidak melakukan aksi diluar kampus. Pembungkaman ini membuat geram gerakan mahasiswa. Hingga akhirnya klimaks kegeraman gerakan mahasiswa terekspresikan dengan penuntutan Reformasi pada tahun 1998. Pada saat itu gerakan mahasiswa berserta mahasiswa menuntut dihapuskannya KKN dilingkaran elit keluarga pemerintah. Pada saat ini pula atas pertemuan beberapa aktivis lembaga dakwah kampus pada Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) X yang dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) diseluruh Indonesia dengan jumlah peserta kurang lebih 200 orang[3], akhirnya medeklarasikan KAMMI sebagai entitas politik gerakan mahasiswa yang berpatron pada Ideologi Jemaah Tarbiyah.
KAMMI adalah gerakan mahasiswa yang beranggotakan individu-individu yang punya basis kultur religius. Basis kultur religius dibangun sejak aktivis gerakan ini banyak berkecimpung dalam kegiatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) diberbagai kampus. Pada fase ini ada dua faktor yang dibangun yaitu kesadaran berislam mahasiswa dan kemampuan mahasiswa menyeruakan aspirasinya melauli keterbukaan ruang publik (public sphere). Dua faktor inilah yang mampu memobilisasi gerakan mahasiswa ini dalam aksi-aksi besar dalam penumbangan diktatorisme orde baru.
KAMMI dan Realitas ke-kinian Mahasiswa
Membaca sejarah 98 ada kebanggan tersendiri bahwa pada saat itu KAMMI dengan usia balitanya sudah mampu menumbangkan diktatorisme represif orde baru. Realitas sejarah ini tidak dibangun dari ruang hampa. Ada sejarah panjang pembangunan basis massa, intelektual,dan jaringan aktivis KAMMI pada saat itu. Menurut Yusuf Maulana misalnya, salah satu cara membangun basis gerakan pada saat itu dengan menyemarakan budaya baca dan kritis terhdap keadaan sekitar.
Jamak diketahui depolitisasi gerakan mahasiswa saat ini tidak se-represif orde baru dengan NKK/BKK-nya. Realita saat ini mahasiswa dilemahkan dengan aturan 75% kehadiran dan batas usia akademik, terlepas dari kontroversi manfaat dan kekurangannya. Selain itu, mahasiswa disibukan dengan kehidupan hedon akibat trans-budaya global yang mulai masuk perlahan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi KAMMI sebagai entitas gerakan mahasiswa dalam penetuan arah geraknya.
KAMMI dan Kesadaran Kelas
Pada masa kolonial menurut Kuntowijoyo akibat industrialisasi masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga kelas “priyai”, “santri”, dan“abangan”. Pembagian ini merujuk pada etos kerja, struktur budaya, ilmu dan kelas ekonomi pada saat itu.[4] Menariknya strata kelas seperti ini masih relevan jika digunakan sekarang untuk menilai siapa saja yang masuk kedalamnya.
Marx membagi 'kelas' berdasarkan relasi-relasi produksi (yang ia sebut sebagai 'basis') yang kemudian menentukan superstruktur negara, ideologi, politik, budaya, agama, dsb. Dalam seting sosial kapitalisme, pembagian ini menghendaki adanya pertentangan kelas vis-a-vis antara kaum borjuis dan proletariat. Pembagian kelas menurut Marx ini kemudian dinilai oleh Gramsci dan pemikir-pemikir pasca-Marxis lain terlalu ekonomistis.[5] Kecenderungan ekonomistis ini mereduksi pertimbangan politik pada cita-cita perubahan masyarakat dan lebih menitik beratkan pada perubahan struktur ekonomi masyarakat.
Pembagian kelas dalam strata masyarakat kampus (mahasiswa, birokrasi, dosen, satpam, dll) juga dapat diklasifikasikan. Kalau dapat membagi kelas masyarakat kampus dengan struktur kelas menurut Kuntowijoyo, maka –menurut penulis- yang dimaksud dengan “priyai” adalah birokrasi, dosen, satpam dan pemerintahan mahasiswa, sedangkan “santri” adalah seluruh gerakan mahasiswa dan UKM, dan “abangan” adalah mahasiswa yang berafiliasi hedonnisme.
Kesadaran akan kelas ini menentukan bagaimana logika relasi KAMMI sebagai gerakan mahasiswa di kelas “santri” dengan kelas “abangan” dan “priyai”. Sebaliknya, ketidaksadaran akan hal ini membuat KAMMI tidak bisa diterima didua kelas tersebut, bahkan dikelasnya sendiri. Tetapi relasi ini tidak konstan, pada saat-saat tertentu KAMMI bisa berada pada posisi sebagaimana kaum proletar melawan kaum borjuis.
Strategi Kebudayaan: Sebuah Rekonstruksi Kesadaran
KAMMI sebagai gerakan mahasiswa yang berasaskan Islam, dalam membangun budaya geraknya haruslah berdasarkan pada prinsip dasar islam. Kebudayaan yang dibangun haruslah berorientasi pada pembentukan peradaban Islam dikampus tempat KAMMI berada. Peradaban sebagaimana konsepsi Ibnu Khaldun, ia megkategorisasi peradaban dengan Tamadun. Tamadun dalam terminologi Ibnu Khaldun adalah sekumpulan manusia yang tinggal kekal di sesuatu tempat atau kota atau wilayah dan tanah pertanian yang akhirnya merintis kemajuan, kemakmuran dan pencapaian yang bersumberkan agama.[6]
Sebagai entitas politik kampus, dalam upaya pembangunan peradaban KAMMI haruslah berangkat dari kesadaran arah geraknya. Kesadaran arah gerak diperlukan sebagai modal untuk merekonstruksi perubahan sosial. Dengan kesadaran ini pula perluasan-perluasan gerakan (muamalah) KAMMI bisa lebih efektif. Kesadaran yang dimaksud terdiri dari enam macam kesadaran; (1) kesadaran tentang perubahan, (2) kesadaran kolektif, (3) kesadaran sejarah, (4) kesadaran tentang fakta sosial, (5) kesadaran tentang masyarakat abstrak, (6) kesadaran tentang perlunya objektifikasi.
Pertama, kesadaran tentang perubahan. Pada tataran ini kesadaran masih pada tingkat individu. Ada kesadaran bahwa fasisme pemerintahan kampus cenderung tidak signifikan memberikan solusi terhadap permasalahan mahasiswa. Karena perlawanan terhadap fasisme harus terus dikampanyekan, sebagaimana Gramsci yang tetap kokoh melawan fasisme Mesoulini di Italia. Kedua, kesadaran kolektif. Kesadaran individual elit organisasi belum cukup untuk melaukan perubahan sosial, harus ada kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif akan perubahan haruslah merata sampai pada tingkatan grass roat. Ketidakmerataan kesadaran akan perubahan membuat ketidakefektivan perubahan yang ingin dilakukan.
Ketiga, kesadaran sejarah. Ada continuum dari kesadaran individual ke kesadaran kolektif ke kesadaran sejarah. Kesadaran akan sejarah memudahkan bagaimana menilai kondisi sosial terdahulu untuk mengkonstruk perubahan sosial dimasa depan. Sebagai contoh jika KAMMI ingin menjadi first leader dipemerintahan kampus, maka kesadaran sejarah bagaimana para pendahulunya menghadapi tribulensi politik kampus haruslah menjadi bahan pertimbangan.
Keempat, kesadaran tentang fakta sosial. Bila seseorang hanya sampai pada fakta individual pastilah sistem pengetahuannya hanya sampai pada fakta individual. Karena itu perlu ada format pemahaman kesadaran tentang fakta sosial secara kolektif. Kesadaran sosial individual haruslah tereksternalisasi menjadi kesadaran sosial kolektif. Kelima, kesadaran tentang masyarakat abstrak. Dalam membangun peradaban dimasyarakat kampus, KAMMI haruslah punya abstraksi masyarakat yang ingin dibangun. Peradaban haruslah tetap berdasar pada prinsip dasar Islam, sebagaimana konsep Tamadun (peradaban) dalam konsepsi Ibnu Khaldun.
Keenam, kesadaran tentang Perlunya Objektifikasi. Perlunya objektifikasi dapat menghadirkan ketepatan kebijakan arah gerak bisa diterima di eksternal organisasi. Di satu pihak KAMMI harus melakukan eksternalisasi ke dalam, dan di lain pihak harus melakukan objektifikasi keluar. Objektifikasi dimaksudkan agar KAMMI bisa diterima diseluruh lapisan masyarakat kampus.
********
Kesadaran ini dibutuhkan sebagai modal dasar seluruh yang terlibat di KAMMI dalam melakukan musyarakah ijabiyah banna-ah (partisipasi positif konstruktif). Internalisasi kesadaran ke dalam tubuh KAMMI menentukan efektivitas gerakan dimasa depan. Arah gerakan haruslah diarahkan pada pencapaian target politik kampus secara gradual, tentunya harus membangun kesadaran ini terlebih dahulu sebelum melakukan ekspansi dakwah. KAMMI UIN Sunan Kalijaga sebagai bagian dari dakwah KAMMI dan dakwah kampus secara keseluruhan tidak terlepas dari pembenahan kesadaran ini.
Allahu ‘alam. []
Catatan Kaki
[1] Tulisan ini untuk menyadarkan kembali fungsi perubahan sosial yang diampu oleh KAMMI untuk mewujudkan cita-cita politik dakwah kampus.
[2] Ketua Rumpun Darunnajah (DN) KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[3] Amin Sudarsono, Mengapa KAMMI Harus Lahir?, Artikel, hlm. 1
[4] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan2001).
[5] Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 6
[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011).
Sumber Bacaan
Amin Sudarsono, Mengapa KAMMI Harus Lahir?, Artikel.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, 2001.
Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar