Oleh: Rijalul Imam*)
Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” [QS. al-An’am: 44]
Tulisan ini mencoba mengelaborasi sedikit profil intelektual profetik. Dimungkinkan ada padanan kata intelektual profetik yang dimaksud KAMMI dengan apa yang sudah digariskan al-Qur’an. Biasanya istilah intelektual disamakan dengan istilah pemikir (thinker) atau ilmuwan (scientic) padahal ada perbedaan mendasar antara intelektual dengan pemikir dan ilmuwan.
Intellectus dalam kaidah filsafat Islam biasa diartikan hati yang paling dalam (fu’ad). Sedangkan saintis dimaksudkan sebagai pemikir pada disiplin tertentu secara mendalam dan dibatasi dalam kerja-kerja berpikir dan praktek eksperimentasi saja. Saintis bekerja dari ilmu untuk ilmu. Sedangkan pemikir (mufakkir/thinker) sering dinisbatkan untuk menelaah peristiwa-peristiwa sosial yang memiliki nilai lebih dari sekedar seorang ilmuwan, ia lebih dekat dengan isu-isu kemanusiaan. Adapun filosof, ia bekerja dalam dunia idea, nilai kebenaran, dan—dalam bahasa al-Farabi—hikmah (kebijaksanaan-kebijaksanaan).
Intelektual versi Barat adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang mudah dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah. Dengan kata lain, intelektual adalah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, intelektual lebih tepat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan cendekiawan. Orang yang terlibat dalam data dan gagasan analitis adalah ilmuwan; orang yang bergelut dalam penerapan praktis adalah teknokrat; orang yang berjuang untuk menyebarkan dan menegakkan gagasan normatif adalah moralis. Sedangkan cendekiawan adalah orang yang menggabungkan ketiganya. Cendekiawan muslim yaitu gabungan antara ilmuwan, teknokrat, moralis dan filosofis yang berlandas dan bertolak dari al-Qur’an dan Sunnah.
Kaitannya dengan peran-peran kenabian maka seorang cendekiawan atau intelektual memiliki nilai lebih yang bersifat transenden dan berdampak profan. Istilah yang tepat untuk intelektual profetik dalam al-Qur’an adalah Ulil Albab. Jalaluddin menerjemahkannya dengan istilah intelektual plus. Yakni plus ketakwaan, plus keimanan, dan plus nilai-nilai perjuangan yang menjadi kewajiban agama akan hal itu.
Ali Syari’ati memiliki istilah unik memaknai intelektual versi di atas, yaitu rausansfekr. Dia adalah pemikir tercerahkan. Ia bukanlah seorang pemikir yang merenung seorang diri di perpustakaan atau peneliti di laboratorium dengan tanpa kepedulian sosial untuk melakukan sebuah perubahan. Yang dimaksud dengan pemikir tercerahkan menurut Ali Syari’ati adalah pemikir yang sekaligus mencerahkan umatnya, membimbingnya untuk meretas sejarah dalam sebuah rangkaian transformasi gerakan.
Dalam bahasa Ziauddin Sardar, seorang intelektual bukanlah seorang yang ahli dalam disiplin studinya an sich, tanpa aksi real di masyarakat, melainkan ia seorang pakar yang sekaligus memimpin perubahan di masyarakatnya.
Ali Syari’ati menyebut dua orang pintar di dunia yakni ilmuwan dan intelektual. Ilmuwan bersifat universal dan dapat diterima di belahan bumi mana pun. Newton dan Einstein di barat dapat diterima kaidah keilmuannya di timur. Sedangkan intelektual bersifat lokal. Soekarno itu intelektual, seorang pakar sekaligus pemimpin perubahan bangsa Indonesia. Namun ia tidak cocok diterapkan di Timur Tengah. Intelektual adalah orang yang berhasil menangkap dan memahami realitas bangsanya dengan berpijak pada nilai-nilai yang dianut bangsanya.
Yang dimaksud intelektual profetik adalah intelektual universal, ia berpijak pada nilai-nilai Islam universal (syumuliyatul Islam) dalam proses perubahannya. Perubahan yang terjadi pun bukan semata-mata karena kemampuan intelektualnya, melainkan lebih banyak karena tindakannya. Dengan kata lain, intelektual profetik adalah “man of actions” lebih dari “man of thoughts” dalam bahasa Thomas Carlyle.
Makna-makna intelektual di atas menunjukkan peran strategis KAMMI dalam mencerahkan masyarakatnya dan hal ini bukan berarti mudah menjalankannya atau murah membayarnya. Peran-peran itu justru memakan ongkos yang mahal, bahkan menelan korban yang tidak sedikit. Jika KAMMI merekonstruksi gerakannya menjadi gerakan intelektual profetik maka KAMMI tidak akan terlepas dari realitas sejarah bangsa yang belum tercerahkan ini.
Kelahiran KAMMI tidak terlepas dari situasi yang melingkupinya saat itu. Bahkan hal itu pula yang menjadi worldview gerakannya hingga sekarang, bahwa KAMMI terlahir dari krisis hebat yang terjadi di masyarakat dan KAMMI ikut bertanggung jawab memperbaiki kondisi tersebut. “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” [QS. al-An’am: 44]
Krisis multidimensional ini menjadi dasar pemikiran titik tolak perbaikan yang akan dilancarkan KAMMI. “Sesungguhnya muka bumi ini akan diwariskan pada hamba-hamaba-Ku yang shalih.” [Al-Anbiya’: 105]
KAMMI sebagai entitas sosial di masyarakat Islam tentu tidak akan terlepas dari ideologi Islam. Dengan demikian KAMMI bertanggung jawab atas sejarah lukisan masa lalu dan masa kininya, melainkan juga pada rangkaian perencanaan masa depannya dalam upaya memperbaiki masyarakat [Indonesia].
Dalam manhaj perjuangan KAMMI, gerakan intelektual profetik didefinisikan sebagai berikut: (a) Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. (b) Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal. © Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan, perlawanan, pembelaan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
Jika diamati, ketiga definisi tersebut berangkai dan berurutan, oleh karenanya ia saling melengkapi. Namun. masing-masing definisi di atas belum selesai, masih perlu alat khusus untuk menurunkannya dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik gerakan. Pertama, definisi pertama merupakan kerangka umum cara berpikir KAMMI dalam memandang berbagai persoalan, bahwa wahyu dan iman adalah sumber tertinggi untuk nalar akal. Maka untuk menghindari kekeliruan cara pandang (ru’yatul mawjud) dan kesalahan berpikir (fallacy of thinking) perlu dirumuskan aksioma-aksioma dalam berpikir Islami yang bersumber dari al-Qur’an.
Kedua, definisi kedua mencoba menarik dialektika wacana dan gagasan yang bersifat idealis pada ranah prinsip kemanusiaan universal (syamil) secara praktis dan aplikatif. Sebagai organisasi dakwah, prinsip-prinsip yang dimaksud perlu dijelaskan dalam perspektif dakwah. Ketiga, definisi ketiga menjadi landasan cara bergerak organisasi yang lebih praktis. Sebagai gerakan dakwah cara bergerak KAMMI harus mampu menjaga keistimewaannya (tamayyuz) di tengah-tengah keterlibatannya dalam proses perbaikan di masyarakat. Untuk itu diperlukan formulasi manhaj perjuangan gerakan yang menjadi pola interaksinya (ta’amul). Manhaj interaksi ini diperlukan untuk membingkai kerja dan melindungi gerakan KAMMI dari penyimpangan internal dan bahaya eksternal.
***
Bahasan di atas menyoroti terminologi Intelektual Profetik secara ontologis, karenanya ia multi-interpretatif. Terbukti di setiap definisi masih membutuhkan alat bantu untuk eksis di tingkat praksis. Dengan demikian ia menyimpan persoalan pelik, siapakah sesungguhnya intelektual profetik itu. Hendak dibawa ke mana seseorang dengan mengacu pada penafsiran-penafsiran orang-orang lain. Di sinilah kemudian terjadi kehampaan tujuan, motif dan spiritual sang intelektual profetik. Untuk itu definisi terminologi tersebut perlu dikembalikan pada penafsir otoritatif.
Namun masalahnya siapakah penafsir otoritatif IP itu. Sebelum menentukan siapakah penafsir otoritatif itu, kita perlu meletakkan terminologi tersebut secara proporsional. Pertama masalah itu adalah masalah nomenklatur (penamaan). Karenanya, kedua, nama itu dapat dimengerti dari sisi esensi dan substansi di balik istilah tersebut.
Pertama, karena hal ini menyangkut nama dan pengertian maka perlu dilacak sumber penamaan tersebut. Sebuah nama tidak terlepas dari realitas budaya masyarakat yang melahirkan nama tersebut. Dengan demikian hal ini berkaitan erat dengan worldview (pandangan hidup) masyarakat tersebut.
Intelektual Profetik adalah frase berbahasa Inggris. Masyarakat Barat dalam penamaan tidak terlepas dari keyakinan umum yang dimilikinya. Setiap manusia memiliki keyakinan. Seorang yang tidak meyakini sesuatu pada hakekatnya ia meyakini ketidakadaan sesuatu. Faktor keyakinan ini berimplikasi pada sistem pengetahuan. Jika ia berpikir bahwa Tuhan sudah selesai menciptakan dunia, maka manusialah yang berkuasa penuh mengelola bumi ini tanpa campur tangan Tuhan. Sistem berpikir sekular seperti ini menjadikan seseorang memiliki pandangan hidup yang terbatas, ia hanya berpikir hidup untuk sebatas di dunia saja dan segalanya akan musnah dimakan waktu.
Satu kasus cara pandang Barat pada konsepsi politik. Karena Barat tidak memiliki panduan otoritatif maka satu-satunya sumber yang dapat dipercaya adalah tingkah laku (behavior). Sedangkan tingkah laku manusia berbeda-beda dan setiap waktu mengalami perkembangan, maka konsepsi dan teori politiknya pun mudah berubah-ubah, dengan demikian nilai yang dianut ikut berubah. Perubahan nilai bagi suatu komunitas atau personal rentan eksploitasi, karena sangat tergantung pada siapa yang memiliki kepentingan.
Pandangan hidup Barat yang terlalu duniawi ini tercermin dari pilihan kata worldview, seolah tidak ada istilah lain selain pandangan sebatas di dunia (worldview). Atau istilah akhirat dalam kamus diterjemahkan dengan afterday. Jadi kosa kata sangat tergantung pada sistem pengetahuan. Oleh karena itu istilah Intelektual Profetik menjadi rancu ketika diterapkan pada terminologi Islam.
Sistem pengetahuan Islam berangkat dari keyakinan penuh secara tauhidik, ia berimplikasi pada moral dan spiritual kehidupan muslim individual dan sistem sosial. Keyakinan ini bersumber bahwa Allah-lah yang Mencipta sekaligus Memelihara alam semesta ini secara detil dan tidak lalai sedetik pun pada makhluknya yang terkecil terlebih yang terbesar, karenanya seorang muslim meyakini ada campur tangan Allah dalam segala hal. Keyakinan seperti ini berimplikasi pada cara pandang umat Islam terhadap realitas kehidupan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang muslim tidak memandang realitas kehidupan hanya dalam perspektif hic et nunc yang bersifat profan, tetapi dalam visi hic et posthac yang bersifat profan sekaligus sacred. Oleh karena itu seorang muslim dalam memandang realitas kehidupan tidak cukup akurat jika hanya berdasarkan fenomena praktek keagamaan di masyarakat, tetapi memerlukan juga realitas ajaran Islam yang menjadi anutannya.
Kedua, konsepsi intelektual profetik ditinjau dari sisi esensi tergantung pada siapa yang mendefinisikan. Definisi dalam kajian ilmiah ini penting, tanpanya akan kabur pengertian sesungguhnya, terjadi kesalahpahaman dan eksploitasi pemikiran. Dalam kajian Islam Al-Qur’anlah yang mengawali pendefinisian tersebut, seperti definisi profil orang-orang bertakwa, berjihad, beriman, profil masyarakat, hikmah, dll. Nabi sendiri telah memulainya ketika ditanya konsepsi islam, iman dan ihsan. Definisi dalam kaidah pemikiran Islam dibagi dua, yakni hadd (batasan) dan rasm (deskriptif). Hadd berfungsi untuk membedakan satu hal dengan lainnya. Seperti manusia adalah hayawanun-natiq, manusia adalah binatang yang pandai berbicara, artinya ia memiliki kualitas pikir. Sedangkan rasm berfungsi untuk menjelaskan hakekat konsepsi secara utuh atau mendeskripsikan sisi lain yang dimiliki. Seperti manusia adalah hewan yang suka tertawa.
Persoalannya terletak pada siapa pendefinisi yang otoritatif. Jika sebuah nama itu lahir dari worldview dengan seperangkat budaya masyarakatnya maka yang berhak untuk mendefinisikan adalah masyarakat setempat. Namun dalam kasus umat Islam, pengertian suatu nilai dan konsepsi tidak serta merta diserahkan pada umatnya, melainkan dikembalikan pada Pembuat Ajaran (Khithab Syari’).
Di sini kemudian ditemukan perbedaan yang mendasar bahwa masing-masing definisi membawa konsekuensi tersendiri. Jika umat Islam mengikuti pengertian ’orang lain’, kemungkinan ia akan gagal memahami konsepsinya sendiri dan berimplikasi pada reduksi konsepsional. Untuk itu pengertian-pengertian tentang intelektual profetik harus dicari padanan katanya dalam al-Qur’an. Hal ini bukan berarti menyamakan tingkat nilai masing-masing pengertian, karena al-Qur’an lebih tinggi dalam hal ini, melainkan lebih bertujuan untuk melakukan komparasi konseptual untuk disadari mana pilihan yang lebih baik dan lebih tepat. Bahkan menyadarkan mana konsepsi yang harus ditinggalkan dan mana yang harus diterapkan.
Mencari padanan kata dari pengertian-pengertian yang mirip itu dalam Islam harus bersumber dari bahasa Arab (QS. Yusuf: 2). Secara normatif bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an. Tapi secara empirik, bahasa Arab dapat mencerdaskan seseorang (la’allakum ta’qiluun), satu contoh susunan kata dalam bahasa Arab mencerminkan susunan logika yang teratur. Secara dominan lafadz-lafadz bahasa Arab berakar dari tiga huruf. Perubahan-perubahan memiliki ritme yang sama dengan memberikan pengertian deskriptif lain yang saling melengkapi. Seperti istilah Islam tidak cukup jika dimengerti dengan aslama (menyerah), melainkan mencakup pengertian dari variabel kata lainnya, seperti salim (selamat), taslim (mendamaikan), sullam (tangga), dll.
Jika intelektual profetik dimengerti sebagai kegiatan intelektual (kognitif) an sich maka al-Qur’an menyebut orang-orang tersebut sebagai generasi Rabbani. Definisi kader Robbani begitu jelas diungkapkan, yakni ia mengajarkan al-Kitab dan mempelajarinya dengan seksama (bima kuntum tu’allimuunal kitaab wa bimaa kuntum tadrusuun).
Bahkan pengertian rabbani sendiri lebih komprehensif, bersifat Ilahiyah (trasenden) di satu sisi, tapi pada saat yang sama bersifat profan dan imanen. Istilah tu’allimuuna dalam al-Qur’an disandingkan dengan aktivitas mencari dan mendapatkan sesuatu yang baru (QS al-Baqarah: 151). Hal ini menunjukkan bahwa proses intelektual mencakup aktivitas konsepsional dan praktis.[]
*) Rijalul Imam, Ketua Umum KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta 2004-2006; mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar