Oleh: Yusuf Maulana*)
Apa yang membedakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dengan gerakan-gerakan mahasiswa lainnya, baik yang bercorak nasionalis ataupun islamis?
Bila ditanyakan ke masyarakat, jawaban atas pertanyaan di atas barangkali akan lebih banyak memunculkan hal-hal yang lebih tampak dalam diri aktivis KAMMI—cara berbusana, bergaul, atau selera konsumsi makanan dan hiburannya. Bagi masyarakat yang sering menyimak media massa, KAMMI dilekatkan dengan demonstrasi. Jawaban dari kalangan aktivis, baik yang berasal dari mahasiswa, partai ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), KAMMI adalah wakil gerakan Islam puritan; perpanjangan politik sebuah partai; masif dalam berdemonstrasi; kurang menguasai dunia intelektual.
Budaya KAMMI
Suka atau tidak, benar atau salah, komprehensif atau parsial—semua penilaian tadi pada akhirnya memang tidak menuntaskan pertanyaan di awal tulisan ini. Seperti apa KAMMI sebenarnya—pertanyaan ini memasuki wilayah abstrak, yang bisa saja aktivis KAMMI sendiri saat ini kebingungan mendefinisikannya. Penyebabnya adalah organisasi KAMMI berjalan secara rutin namun di dalam perkembangannya gagal menemukan dan mengembangkan budaya organisasi. Padahal KAMMI, secara teoretis, akan berkembang pada masa mendatang apabila budaya organisasinya telah solid dan kohesif.
Sebenarnya pemahaman keislaman KAMMI yang kemudian dirumuskan ke dalam ideologi dan indeks jati diri kader (IJDK) merupakan cikal bakal budaya KAMMI. Sayangnya, dalam pelaksanaannya, baik ideologi ataupun IJDK masih belum solid dan kohesif untuk disebut sebagai budaya KAMMI. Justru di situlah akan ditemukan pembeda KAMMI dengan gerakan mahasiswa lainnya. Karenanya tidak mengherankan bila pencarian budaya KAMMI sejauh ini sering buntu—misalnya saat menggagas KAMMI sebagai gerakan intelektual profetik.
Kebuntuan itu sayangnya tidak segera diatasi. Sementara di KAMMI tengah buntu meningkatkan kapasitas diri aktivisnya, di luar organisasi telah, tengah, dan akan berlangsung pelbagai tantangan baru. Di sinilah respon KAMMI selalu tertinggal setengah, satu langkah atau lebih persoalan yang ada di masyarakat. Ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan mendatangkan beras impor, aktivis KAMMI bisa bersepakat menolaknya. Persoalannya adalah bagaimana setelah KAMMI bersikap menolak? Apakah hanya terus berdemo, tanpa mencoba membuat terobosan kebijakan—kendatipun ini barangkali bukan tugas KAMMI (dalam paradigma lama), tapi lembaga pemerintah, LSM, akademisi, atau pemerhati. Lalu, ketika ‘mitra’ mereka di partai ternyata mendukung kebijakan pemerintah (kasus kenaikan harga BBM), bagaimana KAMMI tetap menjalankan praktik beroposisinya? Di sinilah tergelar bukti bahwa aktivis KAMMI belum mampu menjawab dua pertanyaan terakhir ini.
Yang kemudian muncul justru polarisasi pandangan. Meskipun berbeda sikap di antara aktivis KAMMI merupakan hal positif, namun perbedaan yang tampak bersifat mendasar dan seharusnya tidak perlu terjadi, yakni kebingungan dalam berpijak pada metodologi gerakan. Seharusnya bila KAMMI konsisten sebagai gerakan oposisi, mereka tidak segan untuk mengatakan ‘tidak’ kepada ‘mitra’ mereka di partai. Selain itu, bila mereka ingin menjadikan gerakannya sebagai gerakan bertradisi intelektual, mau atau tidak mau mereka harus mengonsisteninya: bagaimana merespon kasus BBM atau beras impor tidak hanya apalagi cara teroptimal dengan berdemonstrasi.
Lalu dimana tawaran ide bila KAMMI konsisten sebagai gerakan pengusung intelektual profetik. Bahkan ‘profetik’ dalam perjalanannya lebih bernuansa agar ada kesan islami; sementara praksisnya sendiri masih belum tampak. Bila telah memahami intelektual profetik, banyaknya persoalan masyarakat tentu dengan mudah akan direspon aktivis KAMMI. Ambil contoh dalam soal pertanian; tanpa harus menunggu ada kasus seperti beras impor, sebenarnya telah banyak kasus-kasus dalam dunia pertanian nasional kita. Aktivis KAMMI yang berlatar belakang pendidikannya pertanian, sayangnya, belum tergerak.
Perubahan Global dan Tradisi Apologi
Di sisi lain, seiring dinamika konstelasi global, Islam kini menjadi agama yang tersorot tajam. Kiprahnya tidak saja melahirkan pujian, namun juga cacian. Di luar khazanah masa lalunya yang dikagumi, sering kali pemahaman dan praktik keislaman dari pemeluknya melahirkan penilaian-penilaian distortif. Munculnya isu terorisme dalam sisi ini berandil memetakan KAMMI berada pada kutub gerakan yang mana. Memang selalu sering terjadi kesalahpahaman, sering berlangsung pemanipulasian, yang semuanya tidak hanya akibat ketidaktahuan tapi juga proses rekayasa.
Dalam posisi disorot itulah KAMMI seharusnya menampilkan wajah Islamnya secara cerdas. KAMMI dalam hal ini jangan sampai terjebak pada radikalisasi berekspresi. Bahwa bersikap militan merupakan sebuah pilihan, memang ini sebuah hak asasi setiap orang. Siapa pun tidak bisa menyalahkan pilihan untuk meyakini sebuah sistem nilai secara totalitas dan puritan. Walaupun demikian, militansi ini jangan sampai menjebak aktivis KAMMi untuk menjadi figur apologetik. Ia mampu membantah setiap tuduhan dari luar tentang stereotip-stereotip tertentu, namun tidak dalam bahasa yang berjarak dengan partisipan bicaranya.
Yang sering dijumpai di kalangan gerakan Islam literer, mereka rajin membantahi penilaian dari luar Islam, namun mereka sendiri belum berhasil menjalankan dimensi Islam yang paling bisa dimengerti kalangan luar Islam itu. Banyak gerakan Islam berteriak tentang keunggulan syariat Islam. Tapi bagaimana konsep mereka dalam memberantas kemiskinan, sampai saat ini gagasan mereka lebih merefleksikan ‘gagasan langit’; atau bagi yang politis akan menjawab: Islam belum diberi kesempatan berkuasa di negeri ini.
Saya teringat pernyataan seorang tokoh gerakan Islam yang berupaya menegakkan syariat Islam, yang menolak kesimpulan Nurcholis Madjid (Cak Nur), yakni bahwa Islam telah gagal di Indonesia. Alasan si tokoh gerakan Islam itu, Islam belum pernah diberi kesempatan berkuasa; jadi, bagaimana bisa disalahkan. Sebenarnya kalau tokoh ini sedikit bisa jernih memahami maksud Cak Nur, maka ia akan tahu bahwa kegagalan umat Islam tidak harus ketika Islam dijadikan sistem kekuasaan. Saat ini ketika pelbagai persoalan bangsa amat banyak, umat Islam sebagai pribadi-pribadi seharusnya bisa mengaplikasikan hakikat syariat Islam itu sendiri. Ia misalnya menjadi warga negara yang sadar antikorupsi. Kalangan Islam syariat biasanya lebih melihat totalitas pengaplikasian sistem daripada kesadaran individu. Karena bercorak strukturalis kekuasaan, mereka pun akan melihat kegagalan umat Islam dalam berislam di Indonesia sebagai sebuah kesalahan tidak diterapkannya syariat Islam itu sendiri. Bila ada kesalahan mereka akan dengan mudah menyebutkan kesalahan dari luar pihaknya. Pendek kata, mereka menjadi kalangan yang rajin berapoligi tentang keagungan Islam.
Imbas berikutnya, mereka akan mudah bereaksi manakala ada persoalan di tengah masyarakat yang langsung bersinggungan dengan hal-hal tampak keislaman. Misalnya, mereka akan rajin menyuarakan antiperjudian.Sementara untuk kemunkaran yang bersifat sistemik dan terselubung, seperti pemiskinan dan korupsi, reaksi mereka tidak saja kurang bahkan solusi yang ditawarkan lebih ‘melangit’ dan tidak memberikan kontribusi dalam penyelesaian persoalan.
Dengan corak seperti itu tentu saja Islam di Indonesia akan selalu kehilangan identitas otentiknya. Islam yang dipraktikkan ternyata justru menutupi kemuliaan Islam sendiri. Dan di sinilah awal KAMMI untuk bisa menentukan budaya organisasinya. KAMMI harus mampu membaca zaman, tanpa terjebak menjadi organisasi oportunis yang selalu ingin mendapatkan manfaat dari kesempatan atau menjadi organisasi puritan yang lebih mengedepankan apologi pada saat masyarakat membutuhkan penjelasan atau jawaban yang membumi.
Baik ideologi KAMMI ataupun IJDK sebenarnya memiliki keinginan untuk menginikan dan mendisinikan aktivis KAMMI di tengah-tengah masyarakat. Persoalannya, mengapa yang masih berlangsung umumnya lebih mencerminkan iklim apologi; atau kalaupun tidak, lebih bercorak oportunis. Alumni yang ada di dalam pemerintahan menjadi individu yang mengikuti arus yang berkembang; mengabaikan kredo gerakan alamamaternya. Yang masih idealis di luar sistem, rajin berteriak-teriak namun tanpa membawa kerangka berpikir yang komprehensif; kritikannya tidak lebih sebagai wajah apologi pula. Sehingga dua kutub ekstrem aplikasi ideologi dan IJDK KAMMI ini tidak satu pun yang mewakili budaya KAMMi yang solid dan kohesif.
Fundamentalisme-Rasional
Dalam bukunya, Islam: The Alternative (1999)—diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Menengok Kembali Islam Kita—Murad
Wilfried Hofmann menyebutkan dua jenis fundamentalisme: fundamentalisme literer, dan fundamentalisme rasional. Hofmann membedakan keduanya dari cara mereka menghidupkan kembali sumber-sumber asli (al-Quran dan al-Hadits). Kecenderungan fundamentalisme literer adalah secara eksklusif menetapkan susunan kata-kata asli dari sumbernya, sedangkan kecenderungan fundamentalisme rasional adalah berusaha untuk kembali kepada sumbernya tanpa batasan-batasan metodis. Fundmentalisme literer tidak bermaksud melakukan konstruksi; berbeda dengan fundamentalisme rasional. Syaikh Wali Allah, Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, Muhammad ibn ‘Ali as-Sanusi, Ikhwan al-Muslimin, dan Jamaat-i-Islami—semua ini contoh-contoh pihak yang masuk kategori pertama. Sedangkan Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Syaikh ibn Badis, Al-Ibrahimi, dan Muhammad Asad—mereka ini adalah contoh kategori kedua.
Di Indonesia, pembagian Hoffman di atas bukanlah hal baru. Biasanya diskursus yang sama membagi dua kelompok: kalangan Islam literer/skripturalis, dan Islam substansialis. Yang diambil dari gagasan Hoffmann tidak lebih pada istilah yang dikemukakannya, sebagai pembeda KAMMI dengan gerakan mahasiswa (Islam) lainnya. Karena itu upaya memopulerkan Fundamentalisme-Rasional hanya merujuk pada istilah yang sama dengan yang disampaikan Hoffman, namun dengan pemahaman yang berbeda.
Fundamentalisme-Rasional (dengan penulisan huruf kapital) merupakan jalan tengah, moderasi, dari praktik ekstrem literer dan juga substansialisme literer. Satu sisi pemahaman keislaman terjebak pada teks-teks sehingga melahirkan apologi yang berlebihan. Di sisi lain, pemahaman yang mengedepankan aspek substantif dari keislaman juga bukannya tanpa persoalan. Pada titik ekstremnya, pemahaman terakhir ini malah melahirkan anarkisme: mengapriorikan bahkan mengapatisi teks-teks sumber Islam.
Fundamentalisme-Rasional mengingini aplikasi Islam tidak tercerabut dari akar tradisional, namun tidak ingin terjebak pada aspek bernostalgia. Sehingga bila KAMMI ingin menjadikannya sebagai budaya organisasi, maka aktivisnya harus berani memerluaskan pemahaman tentang sejarah. Sejarah tidak hanya tentang aspek normatif sebagaimana banyak dijalankan sekarang ini oleh aktivis KAMMI. Sejarah juga harus disadari sebagai persoalan kemanusiaan, sehingga bisa membaca masa lalu tidak sebagai fakta yang sakral. Dari sini diharapkan timbul etos untuk proporsional meletakkan sejarah dan mengapresiasi sejarah.
Dengan pemahaman kesilaman itu Fundamentalisme-Rasional tidak dimaksudkan sebagai metode berpikir yang ahistoris dan diskontinu dengan kekinian dan kemasadepanan serta kedisinian. Lalu apa yang memadu agar ada kesinambungan gerakan itu? Tidak lain keilmuan. Di titik inilah wacana pengilmuan Islam menemukan relevansinya. Artinya, setiap kader KAMMI sebenarnya diharapkan memiliki kemampuan mengaplikasikan kemampuan keilmuannya. Kader KAMMI bukan lagi mahasiswa yang berhenti pada tingkatan pencari gelar atau kerja. Lebih dari itu, ada fungsi-fungsi profetik yang melekat dalam dirinya berkaitan sebagai pembelajar. Pembelajaran yang dimaksudkan agar aktivis KAMMI bisa merangkaikan setiap dimensi waktu.
Dengan pembelajaran itu antusiasme mengkaji keilmuan tidak lagi sebagai sebuah jargon, tetapi juga modus operandi untuk menjelaskan Islam kepada masyarakat. Tentu penjelasan ini tidak lagi dalam ranah apologi. Keilmuan tidak lain jalan agar tradisi berapologi, sebagaimana kerap dicirikan pada gerakan Islam literer, tidak berulang kembali. Selain menghindari apologi, pengilmuan dimaksudkan agar setiap aktivis KAMMI nantinya bisa membaca setiap indikator-indikator zaman. Dari sini mereka kemudian mampu mengantisipasi dengan bekal keilmuannya.
Dengan bobot keilmuan yang lebih, maka tidak bisa dihindari bila kapasitas intelektual aktivis KAMMI bisa dirumuskan sebagai aktivis bernalar ekspektatif secara humaniora, kalkulatif secara eksak, akrab secara futurolog. Kosmopolitanisme berpikir dengan demikian menjadi keniscayaan bagaimana seorang aktivis KAMMI masuk dalam kategori Fundamentalisme-Rasional.
Dengan bekal keilmuan dan kosmopolitan berpikir tersebut, diharapkan aktivis KAMMI menjadi generasi pendialog. Tradisi eklektik dikembangkan alih-alih menerima taken for granted setiap pemikiran. Elaborasi, dialektika, sintesis, semuanya tidak lagi hal asing bagi aktivis KAMMI. Sekali lagi, karena tradisi pembelajaran dikembangkan. Semuanya zaman yang bukan miliknya, dalam tempurung masa yang seharusnya dijauhi. Dan Fundamentalisme-Rasional menjadi salah satu tawaran agar kekosongan dalam tradisi intelektual direkatkan lagi ke dalam sebuah budaya organisasi. Tegasnya, Fundamentalisme-Rasional bukanlah sebuah dekonstruksi nilai lama, melainkan rekonstruksi agar pemahaman keislaman KAMMI makin berilmu, makin sadar zaman, makin holistik, makin kosmopolit, makin adaptif, tidak apriori, tidak apologi, dan kritis.[]
*) Yusuf Maulana, Ketua Departemen Humas KAMMI DIY 2000-2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar