oleh: Bowo Sugiarto *)
GLOBALISASI, kisah Amer Al Roubaie, memang jargon yang tidak mudah untuk ‘ditangkap’. Ia setuju dengan Giddens bahwa Globalisasi “…merupakan proses yang rumit dan bukan merupakan suatu proses tunggal. Proses-proses ini juga berlangsung dalam model yang berlainan dan berlawanan.” Tapi tampaknya ia berusaha ‘menangkapnya’.
Dalam artikelnya ‘Globalisasi dan Peradaban Islam’, Al Roubaie menjelaskan globalisasi dalam konteks budaya dan ekonomi-politik sekaligus. Ia kelihatan begitu pesimistik dengan globalisasi ketika ia mendapatinya ‘…telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi (swastanisasi) pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang.’ Mungkin inti pesimisme Al Roubaie dapat kita temukan lewat pendapat Malcolm Waters yang ia kutip, yaitu ‘globalisasi adalah konsekuensi langsung dari ekspansi budaya Eropa yang melintasi seluruh planet ini..’
Kemudian Doktor Ekonomi lulusan McGill University ini khawatir dengan kondisi umat Islam yang terserak di banyak ‘negara dunia ketiga’ yang miskin itu. Globalisasi, menurut Al Roubaei, tidak sesederhana soal pemanfaatan kemajuan teknologi, tapi ia mencemaskan ketimpangan pemanfaatan teknologi di antara negara-negara Barat yang maju dan negara-negara miskin. Lebih dari itu, globalisasi di level budaya telah mengancam identitas budaya lokal dan Islam, ketika ‘…budaya global telah dibentuk melalui dominasi politik dan ekonomi dunia oleh Amerika Serikat…’
Bisa jadi Al Roubaie memang benar. Dan kita sebagai umat Islam patut waspada terhadap apa pun yang mengancam agama kita. Tapi tampaknya ‘kecurigaan’ dan ‘penolakan’ kita terhadap globalisasi adalah wajah lain dari sikap penolakan kita terhadap apa yang kita sebut sebagai ‘Barat’. Dan apa yang kita sebut sebagai Barat adalah sesuatu yang lain dari kita. Dalam kata ‘Barat’, lalu kita bisa memasukkan istilah-istilah seperti demokrasi, kapitalisme, sekulerisme, dan semua yang kita anggap negatif.
Bagi sebagian umat Islam ‘Barat’ bisa berarti Yahudi dan Nasrani. Selanjutnya muncullah serangkaian kisah tentang Zionisme Israel yang konon katanya telah ‘menggenggam dunia’. Mereka percaya bahwa kejadian-kejadian monumental dalam sejarah manusia tidak bisa dilepaskan dari ‘tangan kotor’ Yahudi. Mulai dari lahirnya Komunisme—konon katanya Karl Marx dan Engel adalah kader Freemasonry, organisasi bentukan Yahudi, munculnya Ahmadiyah, revolusi Mustafa Kemal di Turki, Soekarno yang katanya adalah seorang keturunan Yahudi suku Dunamah, sampai Pancasila yang konon mirip dengan azaz-azaz Zionisme.
Saya jadi teringat dengan novel yang bikin petinggi Vatikan naik pitam: The Da Vinci Code. Novel itu berbasiskan teori konspirasi—meski buru-buru Dan Brown, sang penulis, menyatakan bahwa data dalam novelnya adalah hasil riset. Yang menggelitik adalah konon katanya teori konspirasi memang mengasyikkan. Di Amerika sendiri sudah terlalu banyak teori konspirasi yang laris digunakan untuk menjelaskan fenomena yang sukar ‘ditangkap’ nalar, mulai dari terbunuhnya Kennedy sampai UFO.
Sejauh pengamatan saya, teori konspirasi yang mengasyikkan itu memang lahir ketika kita sukar menemukan jawaban yang memuaskan atas suatu fenomena. Bagaimanapun manusia adalah makhluk yang selalu berupaya menjelaskan semua hal, dan ketika nalarnya mandek diperlukan penjelasan lain. Bagi nalar Barat modern yang tidak bisa dijangkau nalar bukanlah pengetahuan. Masyarakat ‘tradisional’ punya senjata pamungkas yang bernama mitos. Mitos lahir ketika manusia tidak mampu menaklukan alam. Kini kita pun mempunyai mitos baru yang bernama teori konspirasi.
Dalam ilmu-ilmu sosial, teori konspirasi mungkin bisa dibandingkan dengan teori-teori struktural yang ‘menindas’ individu. Mengandaikan dunia ini disetir oleh segelintir manusia sama saja menasbihkan dia menjadi Tuhan. Lalu kita pun berlakon sebagai wayang yang tidak berdaya di hadapan sang dalang. Bukankah ada sebagian kita yang menjelaskan krisis moneter Asia dan khususnya Indonesia tahun 1997 sebagai hasil dari konspirasi Barat untuk melemahkan Asia/Indonesia/umat Islam?
Saya pikir demi kepentingan aksi, kita harus memahami globalisasi tidak dalam kerangka kekuasaan yang berpusat pada satu pihak. Adalah terlalu optimis bila kita melihat dunia sebagai satu kesatuan. Padahal sangat mungkin dunia sebenarnya kacau balau, tidak pernah terekat dalam satu sistem, penuh kontradiksi dalam dirinya, apalagi sampai dikendalikan oleh ‘the men behind the scene’. Meski kita tidak memungkiri segala ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam globalisasi, namun atas nama masa depan yang lebih baik kita tetap punya alasan untuk bisa menikmati globalisasi.[]
*) Bowo Sugiarto, S.IP., mantan pegiat Departemen Hubungan Masyarakat di KAMMI DIY periode 2002-2004. Pernah menjadi wartawan Pikiran Rakyat Bandung, saat ini tengah menempuh studi pasca sarjana Ilmu Politik di UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar