oleh: Edo Segara Gustanto1 dan Fatma M. A.2
Saat ini kita melihat perkembangan GM kurang memiliki posisi yang signifikan dalam proses penyelenggaraan good governance. Hal ini disebabkan para pelaksana pemerintahan kita yang semakin cerdik dan licik untuk melakukan treatment yang cukup cerdas terhadap gerakan mahasiswa (GM). Ini terbukti selama Pemerintahan ini dipimpin oleh SBY-Kalla kebijakan-kebijakan tidak populis dan tidak pro-rakyat bisa berjalan dengan mulus.
Ada upaya dari banyak kalangan pemerintahan yang paham betul dengan gerakan mahasiswa untuk membusukkan aksi-aksi gerakan dengan cara membiarkan saja teriakan mahasiswa di jalanan. Maka sudah selayaknya KAMMI sebagai salah satu instrumen demokrasi yang cukup penting dalam membangun proses good governance (tata pemerintahan yang lebih baik) harus melakukan upaya menata ulang kembali arah gerakan yang selama ini telah ada. Hadirnya tulisan ini mencoba menjawab tantangan KAMMI saat ini.
Realitas Kebangsaan
Hampir 60 tahun usia Republik ini, namun kita belum melihat adanya goodwill dari para pemerintah untuk melakukan upaya perbaikan. Walaupun keberhasilan reformasi 1998 telah menghantarkan kita pada era demokratisasi, akan tetapi tidak juga membawa republik ini dalam keadaan yang lebih baik. Perjalanan reformasi bangsa terhenti pada pemimpin yang tidak membawa amanah mulia dari reformasi sehingga justru reformasi membawa ironi. Kebijakan-kebijakan yang yang dilakukan tidak berorientasi pada perbaikan kesejahteraan rakyat, akan tetapi justru menindas rakyat. Pemimpin kita lebih senang berfikir untuk dirinya sendiri dan golongannya ketimbang berfikir untuk rakyat kebanyakan serta keadaan ini diperparah dengan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada pihak-pihak asing.
Evalusi berjalannya pemerintahan dapat diukur dari penafsiran pada Pembukaan UUD 1945 yang memuat peranan utama pemerintahan yang melingkupi empat hal, diantaranya: Pertama, menjaga wiayah NKRI. Kedua, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, mencerdaskan kehidupan masyarakat. Keempat, turut dalam ketertiban dunia. Komitmen pemerintah melingkupi empat hal ini terbukti gagal.
Kesalahan sejarah dimulai sejak kepentingan politik dominan daripada kepentingan bangsa dan ini membawa luka sejarah. Berbagai kendala kepentingan individu menghadang proses demokrasi di Indonesia. Walau era demokrasi sudah berlangsung lebih dari 8 tahun, namun sulit untuk mengatakan telah terjadi perubahan substansial dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi.
Realitas bangsa kita terlanjur jatuh kejurang kejahatan dalam berbagai bentuknya. Hampir setiap komponen bangsa ini, setiap anggota masyarakat pada semua lapisan, eksekutif, legislatif, yudikatif, ekonom, seniman, guru, dosen, petani, telah melakukan kejahatan yang sistemik. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, bangsa ini sedang mengalami kebangkrutan hati nurani. Kepingan-kepingan realitas yang tidak saling bersinggungan, itu merupakan bukti nyata kebangkrutan tersebut.
Saat ini pemimpin kita tidak lagi mendengar jeritan rakyatnya yang semakin menderita. Pemerintah tidak lagi mendengar kritikan dari para mahasiswa yang turun ke jalan bahkan para ahli sekalipun. Pemimpin tidak lagi punya nurani. Benar apa yang diungkapkan oleh seniman Butet Kertaradjasa bahwa, “Dikritik memang sakit, akan tetapi lebih sakit ketika kritik tidak didengarkan.”
Pandangan KAMMI, krisis kepemimpinan di tingkat nasional dan bobroknya seluruh komponen bangsa ini adalah minimnya sosok manusia Indonesia yang memiliki mentalitas dan sikap negarawan. Sikap yang mengutamakan kepentingan individu atau kelompok daripada kepentingan bangsa merupakan indikasi dari tidak adanya mentalitas negarawan. Maka KAMMI harus harus hadir di tengah-tengah tantangan ini.
Posisi Pergerakan KAMMI
Agar dapat menata pergerakannya dengan baik maka KAMMI perlu mengambil ibrah sejarah masa lalu serta memahami realitas kekinian sehingga mampu memproyeksikan pergerakannya di masa yang akan datang. Kita perlu menyadari dimana saat ini posisi KAMMI berpijak, sudah sampai mana fase KAMMI. KAMMI saat ini terbagi menjadi tiga fase masa: masa pergerakan bawah tanah, masa revolusi sosial dan masa pembangunan masyarakat Islami.
Pertama, masa pergerakan bawah tanah. Hal ini dapat dilacak dari statement Haryo Setyoko (Sekjend KAMMI era Fahry Hamzah) yang menyatakan KAMMI beranggotakan individu yang memiliki basis kultur religius yang beraktivitas di LDK kemudian terjadi penguatan-penguatan visi keagamaan, intelektual, dan juga politik. Ketika melihat situasi kian memburuk komunitas tersebut mentransformasikan dan meneguhkan siapa jati dirinya yaitu KAMMI yang kemudian berperan dalam mendorong proses reformasi Indonesia.
Kedua, masa revolusi sosial. KAMMI menangkap isyarat masyarakat yang menghendaki perubahan dan mengorganisir masyarakat untuk bergerak bersama. Ada yang mengatakan KAMMI mendapat berkah dari proses reformasi sehingga mendapat tempat dalam panggung pergerakan mahasiswa, namun jika kemunculan KAMMI tidak terjadi, barangkali proses reformasi tidak akan pernah terjadi.
Ketiga, masa pembangunan masyarakat Islami. Reformasi sebagai agenda perubahan di Indonesia terlanjur berjalan. Enam visi reformasi telah menjadi isu nasional dan mengikat seluruh komponen bangsa, termasuk mereka yang ‘reformis gadungan’. Kiprah aktivis KAMMI secara organisatoris mengalami kebingungan dalam patronase gerakan dan kebingungan lain terkait pengelolaan organisasi dan pembinaan kader. Dengan kondisi seperti ini maka formulasi yang tepat adalah menempatkan diri sebagai kekuatan oposisi ekstra-parlementer yang bersinergi dengan oposisi intra-parlementer. Namun tetap mngendalikan kekuatan ini agar sesuai dengan ideologi gerakan.
Selain itu KAMMI perlu menguatkan basis pergerakan di masyarakat, terutama simpul-simpul pergerakannya. Sehingga KAMMI sebagai kelas menengah dalam masyarakat tidak beralih fungsi menjadi kelas elit namun justru mengakarkan basis pergerakannya pada masyarakat.
Mahasiswa sebagai salah satu elemen sosial yang secara politis mempunyai kebebasan, karena relatif belum terbebani oleh jabatan politis. Secara sosiologis, mahasiswa mempunyai kesempatan yang besar untuk mengakses informasi dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Yang perlu dipikirkan KAMMI adalah mengartikulasikan idealisme mahasiswa dalam masyarakat. KAMMI ke depan harus mengedepankan argumentasi dalam membuat perubahan.
Modifikasi Strategi KAMMI
KAMMI sebagai salah satu instrumen demokrasi yang cukup penting dalam membangun proses good governance perlu menyiapkan strategi yang tepat untuk menjalankan fungsi kontrol dan kekuatan penyeimbang (balancing power). KAMMI yang bercita-cita ingin melakukan perubahan besar dan membangun peradaban baru perlu berinstropeksi terhadap strategi perjuangannya. Modifikasi perjuangan dalam strategi pergerakannya menjadi suatu keniscayaan agar mampu menjadi kekuatan perubah yang efektif. Maka sudah seharusnya KAMMI perlu memikirkan strategi yang lebih tepat sasaran. Modifikasi yang perlu dilakukan KAMMI antara lain:
Pertama, gerakan moral force ke political force. KAMMI sudah masanya tidak menempatkan diri sebagai moral force, yang bergerak hanya sebagai kekuatan pendobrak ketika terjadi kemacetan sistem politik. Yang selanjutnya menjadi tugas kekuatan politik yang lebih mapan semisal partai politik di dalam parlemen untuk melakukan pembenahan. Paradigma baru menekankan peran politik tidak sebatas gerakan moral namun mengembangkan aksi-aksi politiknya melalui kerjasama dengan berbagai unsur kekuatan oposisi untuk melanjutkan proses perubahan.
Kedua, pressure groups ke interest groups. KAMMI sudah bukan masanya lagi sekedar menempatkan dirinya sebagai pressure groups yang membelenggu KAMMI dalam ranah jalanan dan mengerdilkan daya intelektualitasdan sikap kritis KAMMI. Konsep pressure group akan menempatkan KAMMI sebagai pihak luar yang tidak banyak memiliki jangkauan atas proses perubahan yang disuarakan. Maka tanpa meninggalkan meninggalkan peran pressure groups-nya, KAMMI harus mulai meningkatkan intensitas peranannya sebagai interest groups. Konsep interest groups akan membawa KAMMI untuk mengkonsep, merekayasa, mengawal dan mengontrol proses perubahan. Perjuangan KAMMI akan menjadi pergerakan yang sangat variatif—di mana pressure groups hanya akan menjadi salah satu cara perjuangan KAMMI. Perubahan yang dihasilkan lebih signifikan dan berjangka waktu lama. Maka dengan sendirinya rumusan perjuangan bersifat lebih kompleks. KAMMI harus mampu menerjemahkan rumusan ideologis kedalam tataran praktis, dari hal yang normatif kepada hal yang faktual, dari tataran strategis sampai hal yang konseptual.
Ketiga, gerakan kultural ke gerakan struktural. Tidak bisa dipungkiri, semua gerakan mahasiswa di Indonesia memiliki akar gerakan kultural yang lebih besar, termasuk KAMMI dengan komunitas tarbiyah sebagai identitas gerakan kulturalnya. Basis gerakan kultur ini lebih bisa mendekatkan dengan rakyat, yang mensyaratkan pola interaksi yang intensif berjangka waktu lama, modal serta berbagai pemanfaatan organisasi yang unggul.
Namun GM tidak akan mampu melakukan perubahan kultural, gerakan mahasiswa merupakan gerakan struktural yang memfokuskan pada perubahan aspek kepemimpinan, institusi dan kebijakan. Dengan paradigma ini maka perubahan dalam aspek sosial dan kultur kemasyarakatan adalah multiplier effect yang ditimbulkan dari perubahan kepemimpinan, institusi dan kebijakan. Untuk itu KAMMI perlu bersinergi dengan basis gerakan kulturalnya atau mengorganisir ormas bentukan KAMMI, dimana bentuk gerakan kulturalnya untuk mewujudkan basis gerakan di masyarakat agar ‘suara’ yang diperjuangkan lebih memiliki daya tawar yang tinggi.
Keempat, aksi individual ke aksi jaringan. Pada awal kelahirannya, KAMMI telah mampu membangun jaringan yang cukup mapan dan solid dengan berbagai elemen pergerakan. Salah satu faktor kuncinya adalah kesamaan isu dan agenda, namun kini hal itu sudah berubah. Maka sangat sulit membangun sinergi yang konstruktif dengan elemen gerakan yang lain. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena gerakan ekstra kampus memiliki corak ideologi yang beragam. Hasilnya KAMMI lebih sering tampil sendirian. Meskipun demikian hal ini membuat publik menilai KAMMI sebagai salah satu gerakan mahasiswa yang konsisten terhadap pergerakannya.
Pendekatan jaringan akan semakin meningkatkan posisi tawar KAMMI dan agenda yang diusungnya. KAMMI juga akan semakin ‘terdewasakan’ dengan menimba berbagai pengalaman pergerakan. Jika KAMMI mengalami hambatan ideologis terhadap GM yang lain maka jaringan dengan LSM, ormas, partai, kelompok studi dan akademisi sebenarnya memiliki posisi strategis dalam memback-up perjuangan dan memiliki daya dorong pergerakan yang lebih kuat.
Permasalahan dalam konteks gerakan jaringan, adalah KAMMI lebih sering sebagai organ yang diorganisir. Dalam jangka panjang dan dalam konteks pergerakan, hal ini merupakan permasalahan besar yang menempatkan KAMMI hanya sebagai aktor lapangan. Memanfaatkan dan dimanfaatkan atau antara menunggangi dan ditunggangi menjadi dikotomi yang cukup serius, hal ini mencerminkan independensi gerakan dan kejelian intelektual KAMMI. Nah ini terkait dengan strategi yang selanjutnya.
Kelima, aktor lapangan ke aktor intelektual. Gerakan mahasiswa merupakan komunitas pemuda yang terpelajar. Dengan karakter intelektual dan komunitas terorganisir merupakan asset yang perlu dikelola dengan baik untuk mengasah pisau analisis pergerakannya lebih ilmiah, dengan dasar argumentasi yang kuat, mengakar dan dapat dipertanggungjawabkan serta menganalisa realitas dinamika kondisi bangsa ditataran lokal maupun nasional bahkan dalam membaca konspirasi global, hal ini akan membuat KAMMI tampil elegan dan cerdas dalam manuver pergerakannya.
Seperti mendesakkan RUU tentang kode etik pengusaha agar perekonomian Indonesia tidak berpihak pada pengusaha yang sedang menduduki jabatan kekuasaan merupakan bentuk aksi cerdas KAMMI. Untuk mendesakkan ini KAMMI tidak bisa sekedar mengandalkan aksi dengan membawa round-text dan spanduk ke jalan. Upaya yang bisa dilakukan KAMMI mendesakkan gagasan dalam bentuk draft tandingan, agar pemerintah merumuskan peraturan yang berpihak kepada rakyat.
Pada kondisi yang seperti itu KAMMI menempatkan dirinya sebagai aktor intelektual, dan bukan sekedar aktor lapangan. Jika KAMMI adalah anak panah yang terbujur, yang siap dilepaskan dari busur, maka KAMMI sendirilah yang akan jadi pemanahnya atau minimal memberi arah sasaran (dan bukan “tak peduli siapa pemanahnya”).
Perubahan tidak terjadi dengan sendirinya, namun harus ada yang merekayasa dan memperjuangkannya. KAMMI sebagai creative minority harus mampu mentransformasi gerakannya pada silent mayority sehingga KAMMI benar-benar mampu menjadi kekuatan perubah yang efektif karena KAMMI sebagai basis operasional pergerakan memiliki akar yang kuat dan ditopang oleh basis sosial kemayarakatan yang kokoh, dimana “suara KAMMI adalah suara rakyat.”
Partisipasi Politik Rakyat
Keberadaan struktur atau institusi-institusi politik di tingkatan masyarakat seperti partai politik, interest group, pressure group, dan media massa yang kritis dan aktif, merupakan indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik. Dengan dilandasi keadaan, bahwa aktivitas politik pemerintah dengan serta merta, secara langsung maupun tidak langsung akan memiliki dampak terhadap kehidupan rakyat secara keseluruhan, maka keterlibatan rakyat adalah sesuatu yang wajar. Fungsi-fungsi yang dilakukan oleh perangkat-perangkat tersebut merupakan wujud keikutsertaan rakyat dalam proses polittik dalam sistem politik.
Begitupun KAMMI, pergerakannya yang harus dapat menjaga berjalannya system agar tetap mengakomodir kepentingan rakyat. Potensi paradigma ekstra parlementer tidak semata-mata dipandang sebagai gerakan perlawanan rakyat terhadap dominasi negara yang begitu kuat, namun cara untuk mengontrol, menekan, mempengaruhi dan mensosialisasikan serta menyuarakan apa yang menjadi kehendak rakyat banyak dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Mempengaruhi kebijakan proses pembuatan kebijakan publik, mengontrol pelaksanaanya, mengevaluasi dampaknya serta membela pihak yang menjadi korban dalam hal ini rajyat adalah tugas mulia politiasi ekstra-parlementer. Tugas yang cukup berat dan melelahkan. Untuk bisa menjalankannya diperlukan daya tahan pergerakan (konsistensi), didukung militansi para kader KAMMI, mobilisasi yang solid dan yang paling utama dibutuhkan intellectual organic suatu komunitas yang sekarang menjadi barang langka. Sistem organisasi KAMMI harus dapat menjawab kebutuhan pergerakannya dan menjawab realitas kebangsaan yang terjadi.
Jika KAMMI mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi, maka KAMMI tidak hanya sekedar menjadi agent of change, namun lebih dari itu, bahkan mungkin menjadi director of change. Itulah KAMMI di saat ini dan di masa depan.Wallahua’lam. []
Tentang Penulis
2 Staff Departemen Kebijakan Publik KAMDA Semarang Periode 2004-2006, Mahasiswi Fakultas Ekonomi UNDIP Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar