Keputusan untuk mendirikan gerakan senantiasa membutuhkan syarat yang berat. Syarat yang pertama ia harus mempunyai ideologi yang jelas. Ideologi adalah ruh bagi sebuah organisasi. Ideologi merupakan gambaran bagaimana tampilan organisasi tersebut bagi pihak lain, dan bagaimana ia berbeda dengan organisasi yang lain.
Syarat yang kedua adalah punya penggerak yang visioner. Penggerak—sang pencipta dan pengejawantah ideologi—adalah sebuah jaminan bahwa gerakan (dan ideologinya) adalah layak untuk hidup dan dipandang. Sehingga orang yang nekad mendirikan sebuah gerakan harus menyediakan diri dan hidupnya, serta menahan diri untuk tetap bertahan dan tegar, plus satu lagi memberikan energi bagi gerakannya.
Membangkitkan semangat jihad dan semangat gerak memang bukan persoalan sederhana. Dibutuhkan sebuah kompor yang harus senantiasa menyala entah untuk menerangi entah untuk memanasi, dan harus bertahan sampai akhir. Lalu, muncullah orang-orang bercita-cita besar dan orator ulung yang menyediakan dirinya sebagai kompor sejarah. Pada tempat itulah Hasan Al Banna meletakkan dirinya, sebagai kompor.
Ikhwanul Muslimin lahir dari sebuah semangat jihad yang menggelora dari sebuah kondisi masyarakat yang berantakan untuk menegakkan Islam di muka bumi. Sehingga ada tiga tema besar yang kemudian dikemukakan Hasan Al Banna dalam Risalah Muktamar Keenam tahun 1459 H ini: semangat jihad dan bergerak, paparan berantakannya masyarakat Mesir dan dunia, dan obsesi penegakan Islam.
Halaman-halaman awal risalah ini, adalah halaman yang penuh semangat. Hasan Al Banna menunjukkan bagaimana Ikhwanul Muslimin sesungguhnya (dan seharusnya). Kalimat-kalimat yang mungkin sloganistis bertebaran dimana-mana. Lihat saja paparannya ..
“Kalian adalah ghuraba’ yang mengadakan perbaikan di tengah kerusakan manusia.”
“Kalian adalah kekuatan yang membedakan yang haq dan yang bathil.”
“Kalian adalah da’i-da’i Islam, pembawa risalah al-Qur’an, penghubung langit dan bumi.”
“Kalian adalah orang yang berkomitmen pada dakwah, paham pada Islam, ukhuwwah yang kuat, penegak jihad, jamaah yang ikhlas dan senantiasa penuh pengorbanan.”
Dan beginilah cara beliau menggerakkan Ikhwan. Cara dari seseorang, yang menurut Robert Jackson (lihat sampul belakang buku), “terkumpul dalam dirinya kecerdasan politisi, kekuatan para panglima, hujjah para ulama, keimanan kaum sufi, ketajaman analisa para ahli matekmatika, analogi para filosof, kepiawaian para orator, dan keindahan susunan para sastrawan.”
***
Minimal ada dua syarat munculnya gerakan sosial; kerusakan sistem sosial, dan seorang pemimpin yang kharismatis. Syarat kedua sudah terpapar di atas. Sehingga kerusakan sistem sosial di Mesir adalah salah satu alasan kenapa Ikhwanul Muslimin harus ada dan bergerak. Beliau memaparkan deretan data yang menunjukkan bobroknya Mesir saat itu. Deretan data (dan persoalan) yang menjadikannya sebagai ladang dakwah Ikhwan. Sehingga Ikhwan tidak saja meluruskan moral (akhlak), tetapi juga menyediakan lapangan kerja, membuat koperasi, mendirikan sekolah, mengelola rumah sakit—yang menyebabkan mereka disebut negara dalam negara.
Pilihan Ikhwan untuk menyelesaikan semuanya adalah dengan usaha-usaha integral dan komprehensif—termasuk secara kultural maupun struktural—pada semua lini yang memungkinkan penyelesaian.
Adapun sarana dan cara yang kita pakai secara umum adalah memberikan kemantapan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai sarana, sehingga bisa dipahami oleh opini umum dan didukungnya atas dasar aqidah dan iman.
Sehingga tuntutan kemudian dari hal ini, adalah Ikhwan harus membuat sebuah garis penjelas antara Dakwah dan Politik (Ikhwan dan Partai Politik) – ketika Ikhwan harus berpolitik, antara Ikhwan dan Pemerintah—ketika Ikhwan harus mendekati penguasa, dan Ikhwan dengan Organisasi (Islam) lain—ketika langkah Ikhwan berbeda. Sedangkan bagian terakhir dari paparan beliau adalah sebuah kesimpulan besar bahwa: Islam adalah solusinya.
Risalah Muktamar keenam ini menyisakan beberapa hal yang layak diperhatikan. Pertama, adalah strategi perjuangan Ikhwan saat itu. Ikhwan memposisikan dirinya mengambang secara politik. Terlihat dari pernyataan Al Banna,
Wahai saudaraku ...., kami bukan politikus yang mendukung satu partai dan menentang partai yang lain ... (dari subbab Ikhwan dan Parlemen)
Adapun sikap kami terhadap pemerintah Mesir dengan berbagai coraknya, bagaikan sikap seorang penasehat yang menginginkan kebaikan dan kelurusan... (dari subbab Ikhwan dan Pemerintah)
Adapun sikap kami terhadap partai-partai politik, kami katakan bahwa kami tidak memihak dan tidak berjuang untuk salah satunya ... (dari subbab Ikhwan dan Partai Politik)
Pilihan ini relatif aman secara politis, karena Ikhwan tidak akan diidentifikasikan sebagai gerakan politik. Ikhwan memungkinkan dekat dengan siapa saja sesuai kebutuhan. Tetapi akan lemah dari pencapaian tujuan dan pilihan gerak. Ikhwan dituntut untuk harus kompromis terhadap kepentingan politik yang ada agar ‘tetap berada di tengah’. Sehingga karena itu, pencapaian target Ikhwan menjadi melambat.
Menarik untuk diperhatikan bahwa pada kurun masa tertentu, Ikhwan justru bekerja sama dengan partai politik (Partai Wafd). Pada kurun waktu yang lain, Ikhwan justru berposisi frontal dengan pemerintah. Layak untuk kemudian dikaji apakah perubahan ini adalah strategi yang terencanakan secara panjang dan matang? Apakah justru merupakan konsistensi Ikhwan terhadap ideologi, sehingga ketika terjadi represi Ikhwan menjadi mengeras ?
Kedua, adalah belum jelasnya garis perjuangan Ikhwan. Jujur saja, apa yang diantarkan oleh Hasan Al Banna masih sangat global dan terasa sangat sloganistik. Sebuah perubahan sosial membutuhkan sebuah turunan langkah yang sistematis. Ada pembelaan yang mungkin bisa diberikan adalah bahwa Risalah Muktamar Keenam justru merupakan antaran kepada pembahasan yang lebih sistematis dalam Muktamar itu sendiri, dan pada kenyataannya formulasi Ikhwan tentang perubahan juga dapat dilihat melalui struktur pembinaan diri – keluarga – masyarakat – negara.
Ketiga, yang sangat layak untuk didiskusikan adalah strategi perubahan sosial oleh Islam. Tema ini menjadi sangat menarik karena banyak sekali pihak yang berkompeten. Spektrum pembahasan ini dapat dilihat sebagai berikut: Tauhid Sosial-nya Amin Rais, Ilmu Sosial Profetik-nya Kuntowijoyo, Islam Transformatif-nya Muslim Abdurrahman, Sosialisme Religius, Teologi Pembebasan sampai Kiri Islam-nya Hassan Hanafi.
Persoalannya sama; bagaimana Islam (baca: Kaum Muslimin) mampu merubah dan membumi. Ikhwan sudah memulainya dengan Islam dan Keadilan Sosial – masterpiece-nya Sayyid Quthb (meski dibuat sebelum beliau masuk Ikhwan). Mari berfikir, bagaimana agar slogan tidak menjadi sekedar slogan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar