Assalamu’alaykum Warahmatullahu Wabarakatuh.
Bismillah. Kata itu memang mengandung sebuah kekuatan spiritual yang mampu mencipta sebuah ledakan besar. Kata itu juga menjadi sebuah deklarasi penyandaran total sisi kelemahan manusia pada kemahakuasaan Tuhan, sebuah pernyataan pasrah sekaligus penuh optimisme. Tuhan memerintahkan saat menurunkan ayat pertama Quran: Iqra, bismi Rabbikalladzi khalaq! Dengan asma Rabb, maka manusia tahu hakikat kemanusiaannya.
Dengan menyebut kata itu pula, kami (berani untuk) mencoba melangkahkan kaki saat akan menerbitkan (semacam) jurnal ilmiah ini. Kami yakin bahwa, perjalanan sejauh apapun selalu harus dimulai dengan sebuah langkah mantap. Jurnal ini semoga bisa menjadi sebuah langkah awal membangun dialektika intelektual dalam tubuh gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang disinyalir memiliki kelemahan dalam hal konsepsi intelektual. Sekaligus melanjutkan—dan menajamkan—salah satu Paradigma Gerakan KAMMI, yaitu Intelektual Profetik.
Sebagai sebuah edisi perdana, jurnal ini akan banyak bicara mengenai diri KAMMI sendiri. Edisi ini akan memuat enam tulisan dan dua featur dari redaksi. Tulisan pertama membedah sisi historis kelahiran KAMMI. Konteks keislaman (baca: keummatan) dan konteks kemahasiswaan menjadi pijakan tulisan tersebut. Harapannya, tulisan ini bisa berfungsi sebagai pengantar untuk memahami peta gerakan KAMMI di kemudian hari. Tulisan kedua oleh Rijalul Imam mengurai profil intelektual profetik. Tentunya ada hubungan antara paradigma gerakan dengan tarkiz ‘ammah (titik tekan umum) dari gerakan KAMMI saat ini yang ingin membangun kultur profetis dalam intelektualitas yang memang secara alami sudah melekat dalam diri mahasiswa.
Tulisan ketiga dan keempat membahas tentang tantangan budaya dan tawaran strategi budaya bagi KAMMI. Tulisan pertama untuk bagian kedua ini ditulis oleh Yusuf Maulana—seorang kolumis di berbagai media—yang mengantarkan pemahaman pada strategi KAMMI sebagai Fundamentalis Rasional. Ideologi dan cara-baca terhadap realitas masyarakat tanpa tercerabut dari khazanah klasik Islam. Hal ini dipertegas oleh Ardhi Rahman dengan paparannya mengenai turats dan tajdid yang perlu dipertimbangkan oleh KAMMI sebagai alternatif gerakan.
Dua tulisan terakhir, adalah refleksi intelektual dari Muthia Esfands dan Akbar Tri Kurniawan. Muthia mengawali refleksinya dengan mencoba berlepas diri dari ‘sejarah emas’ KAMMI. Karena itu, senthong suwung (Jawa: kamar kosong) menjadi simbol bagi permenungan berlepas dari masa lalu. Semata untuk mendapatkan KAMMI yang membumi dan sesuai dengan zamannya, KAMMI yang mampu mengangkap api zamannya. Dan terakhir, tulisan Akbar yang mencoba merenungi film Soe Hok Gie yang nampaknya habis ditontonnya. Gie menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa yang netral dan ekstra-parlementer. Akbar akan menunjukkan bahwa Gie—yang Tionghoa sekalipun—lebih mengindonesia dan bisa dicontoh dalam beberapa sisi.
Terakhir, terserah pada para pembaca terhormat untuk meruntutkan alur logika atas hidangan sederhana kami ini. Semoga ada hal yang bermanfaat bisa kita ambil dari (semacam) jurnal ini. Matur nuwun...!
Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Amin Sudarsono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar