…KAMMI benar-benar harus menjadi dirinya sendiri, dan ini harus dilakukan dengan memeriksa teks-teks ideologi secara lebih kritis…
YOGYAKARTA (23/12) — Wibisono (24) tampak serius mengikuti perdebatan di ruangan itu tadi malam. Sesekali ia membaca makalah yang dibagikan panitia dan memberikan tanggapan terhadap komentar peserta lain. “Sudah lama saya tak melihat suasana dialektis semacam ini di KAMMI”, tukas mahasiswa pascasarjana di Universitas Indonesia ini.
Perasaan yang sama dirasakan pula oleh peserta lain, Dharma (24). Alumnus STAIN Metro ini berpendapat, forum ini harus bisa membongkar sesuatu yang selama ini dianggap ‘mapan’ di KAMMI. “Ini jadi semacam ‘MLB Ideologis’ menurut saya. Konsep-konsep seperti “Muslim Negarawan” bukan konsep yang sakral dan perlu dikritik”, kata Dharma yang sekarang melanjutkan studi di UGM.
Suasana seperti inilah yang terjadi pada Sarasehan Nasional Intelegensia KAMMI di Yogyakarta, Sabtu (22/12) malam. Bertempat di Ruang Pelatihan, Balai Kota Yogyakarta, sarasehan ini dihadiri oleh puluhan aktivis KAMMI dari berbagai daerah di Indonesia. “Pertemuan ini adalah forum kultural yang diharapkan bisa melahirkan gagasan-gagasan baru untuk KAMMI”, jelas salah satu inisiator kegiatan.
Berawal dari diskusi yang cukup hangat di dunia maya, gagasan untuk membuat forum kultural akhirnya bergulir ke dunia nyata. Menurut para inisiator, pertemuan ini pertama kali dihelat di Pancoran, satu bulan silam yang akhirnya mengeluarkan Manifesto Pancoran. “Desakan Forum Kultural ini semakin menguat untuk mengembalikan KAMMI pada khittah ideologinya”, jelas Arif, seorang inisiator yang hadir du Pancoran. Akhirnya, terjadi kesepakatan untuk melakukan pertemuan di Yogyakarta, yang selama ini dianggap sebagai basis intelektual KAMMI.
Pertemuan dimulai pada pukul 15.30 dan secara resmi sesi pertama dibuka pada pukul 20.00 dan berakhir pada pukul 03.00. Sesi Pertama mendiskusikan ”Mengapa KAMMI Terpuruk Hari Ini”. Pemetaan yang difasilitasi oleh Andriyana, Sekjen PP KAMMI ini mengerucut pada dilema dualisme identitas KAMMI. “Di satu sisi, kader KAMMI berada di KAMMI, dan pada saat yang bersamaan, dia juga menjadi kader PKS. Hal ini kan bermasalah”, kata salah seorang peserta.
Peserta lain menanggapi statement tersebut. “Bagaimana mungkin kader KAMMI bisa mengalami dualisme jika ia tahu dan paham identitas dirinya sendiri? Artinya permasalahannya adalah kader KAMMI tidak tahu siapa dirinya sendiri dong“, kata peserta tersebut. Ia berpendapat, kehadiran PKS di tubuh KAMMI adalah buah kegagapan kader KAMMI dalam mengidentifikasi dirinya sendiri. “Kita harus menegaskan KAMMI sebagai KAMMI, bukan sebagai PKS atau Tarbiyah yang menghegemoni kesadaran kader KAMMI”, tambahnya.
Polemik sampai pada sistem pengkaderan KAMMI. “Apakah selama ini KAMMI mengkader seseorang untuk menjadi kader KAMMI, atau justru kader tersebut adalah kader PKS? Ini kan dualisme identitas namanya”, kata seorang peserta.”Tapi, persoalannya, bagaimana kalau yang dikader KAMMI itu adalah kader PKS yang sudah ikut pada pola perkaderan lain?” Peserta lain menanggapi dengan mempertanyakan balik. “Itulah sebabnya, kaderisasi KAMMI benar-benar harus disetting sebagai kaderisasi KAMMI. Jangan sampai untuk ikut Daurah Marhalah, yang diminta adalah surat rekomendasi dari perkaderan lain. ‘Kan sudah ada MK Khos”, jawab peserta tersebut.
Polemik ini sampai pada kesimpulan bahwa kaderisasi KAMMI harus berlandas pada ideologinya sendiri yang khas. “Masalah seperti ini sudah pernah diperdebatkan di KAMMI DIY tahun 2007, tetapi sayangnya tidak ada taurits yang memadai sehingga konsep yang diperdebatkan tadi hilang begitu saja”, tanggap peserta lain yang hadir.
Dari kaderisasi, forum mengerucut pada kesimpulan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan KAMMI mengalami split identitas: kesadaran ideologis yang tidak muncul, basis pengetahuan yang belum mencukupi, dan masalah hegemoni kekuatan-kekuatan politik tertentu pada praksis di lapangan. “Dan ini muncul karena belum adanya rumusan final dari konsepsi ideologi KAMMI itu sendiri”, simpul fasilitator.
Perdebatan yang sama terjadi pada sesi kedua, yang memperdebatkan Mengapa KAMMI (harus) Lahir. Mengacu pada teks Amin Sudarsono (2006), terjadi perdebatan apakah KAMMI itu adalah agen dari sebuah struktur besar tertentu atau justru struktur itu sendiri. “Kita tidak bisa menampik fakta bahwa pada tahun 1998 KAMMI adalah agensi dari kelompok besar bernama tarbiyah”, tukas seorang peserta.
Pernyataan itu dibantah peserta lain. “KAMMI hadir karena kesadaran untuk merespons kondisi material objektif yang ada saat itu, yaitu kapitalisme yang represif dan memarjinalkan umat Islam. Dan hal itu bersesuaian secara global, mengikat KAMMI dalam sebuah diskursus tentang Islam Politik yang waktu itu dimarjinalkan Orde Baru”, kata peserta ini seraya mengutip analisis Vedi Hadiz.
Perdebatan berlanjut pada sebuah pertanyaan, apakah benar ada hegemoni diskursus Tarbiyah -yang kemudian bertransformasi menjadi PKS- di tubuh KAMMI. ”Kita tidak bisa menafikan fakta bahwa hal itu pernah terjadi pada KAMMI tahun 1998. Kesadaran diskursif yang melatarbelakangi kader KAMMI pada waktu itu kan adalah kesadaran sebagai bagian dari jamaah Tarbiyah“, kata seorang peserta. Pernyataan itu segera memicu perdebatan.
“Selama ini, pemahaman sejarah yang melihat Tarbiyah hanya sebagai variabel tunggal dalam pembacaan sejarah KAMMI menjadi wacana hegemonik. Ia kemudian meng-governmentalisasi setiap aktivitas dan kesadaran kader KAMMI. Padahal, jika kita baca sejarah secara kritis, Tarbiyah kan tidak lahir hanya dari ruang kosong, tetapi perlawanan atas struktur yang menindas juga”, kata peserta lain kurang setuju. Menurutnya, KAMMI secara struktural adalah gerakan perlawanan atas kondisi yang menindas pada waktu itu.
Pertanyaannya, bagaimana dengan keterkaitan dengan fakta bahwa Tarbiyah pernah mendominasi KAMMI di awal pembentukannya? Perdebatan akhirnya berkutat di wilayah tersebut. Argumennya, Tarbiyah mendominasi format kesadaran kader KAMMI secara diskursif pada satu waktu tertentu. “Pertanyaannya, apakah itu harus dipertahankan hanya atas argumen sejarah tersebut? Tahun 2004 kan ada perubahan besar-besaran pada AD/ART KAMMI, yang akhirnya memosisikan KAMMI sebagai entitas yang mandiri”, tambah peserta lain.
Perdebatan soal sejarah KAMMI ini kemudian mengerucut pada apakah KAMMI itu agensi atau struktur. Forum kemudian sampai pada kesimpulan bahwa perlu adanya pembacaan ulang mengenai sejarah KAMMI yang lepas dari intervensi kekuasaan tertentu yang ingin mengukuhkan dominasinya di KAMMI.
“Selama ini, sejarah KAMMI dibaca hanya sebagai sebuah agen dari kekuatan politik yang berbasis pada kelompok keagamaan tertentu. Akibatnya, sejarah KAMMI dibaca secara tunggal dan disempitkan pada kesimpulan bahwa KAMMI bagian dari jamaah tertentu. Ini kan jelas ada yang berkepentingan untuk menancapkan pengaruh kekuasaannya di KAMMI”, jelas salah seorang peserta. Artinya, perlu membaca ulang sejarah KAMMI secara lebih kritis, tandasnya.
Forum ini kemudian berlanjut pada diskursus yang hampir sama tentang ideologi gerakan KAMMI. Selama ini, tidak ada tafsir yang otoritatif mengenai ideologi KAMMI. Misal, di KAMMI, beberapa konsep dialektika yang dipahami Sosialisme juga dikenal, seperti di Muqaddimah Anggaran Dasar dengan beberapa istilah tertindas, mustadh’afin, dan sebagainya. “Jadi, bagaimana sebenarnya rumusan ideologi KAMMI itu?” tanya fasilitator memantik diskusi.
Dari pantikan tersebut, perdebatan muncul pada pengaruh Ikhwanul Muslimin di KAMMI. “Kok dari dokumen Filosofi Gerakan, terlihat kedekatan yang erat antara KAMMI dan Ikhwanul Muslimin ya“, kata seorang peserta memulai perdebatan. Peserta lain menambahkan, “Kita lihat saja, misalnya, visi KAMMI selalu berubah sampai tahun 2004. bagaimana mungkin visi sebuah organisasi berubah kalau ia tidak punya keterkaitan dengan diskursus lain?”
Namun, argumen ini juga didebat oleh peserta lain. “Kalau kita perhatikan, KAMMI sebetulnya tidak hanya mengambil inspirasi ideologinya hanya dari IM semata, tetapi juga dari wacana-wacana lain dalam dunia Islam”, sanggah peserta tersebut.
Menurutnya, ada beberapa hal yang berbeda antara IM dan KAMMI. “Kita bisa lihat bahwa ada pengaruh IM di KAMMI misal pada prinsip gerakan. Tetapi, kalau kita lihat di kredo gerakan, misalnya, menjadi tidak mungkin IM mengenal istilah “berpikir dan berkehendak merdeka”, padahal IM saklek dengan Qiyadah wal Jundiyah. Kita bisa lihat konsep lain seperti ‘ilmu sosial profetik’-nya Kuntowijoyo yang ada di Paradigma, dan jelas diskursus itu berasal dari Muhammadiyah. Seharusnya, kita bicara yang lebih besar, yaitu diskursus mengenai ‘Islam Modernis”, papar peserta ini panjang lebar.
Forum akhirnya menyimpulkan bahwa perlu memeriksa kembali teks ideologi KAMMI. “Jangan terlalu naif mengesampingkan Ikhwan dari KAMMI, karena pada sejarahnya, IM pernah menjadi wacana dominan di KAMMI”, tambah peserta lain. Pernyataan ini segera didebat oleh peserta lain. “Seharusnya, KAMMI tidak bisa mengesampingkan diskursus lain di luar Ikhwan yang mewarnai KAMMI dalam perdebatan soal ideologi sampai ke praksis. Hal ini bisa mengakibatkan Ikhwan-centrism“, katanya bersemangat.
Ikhwan sebagai referensi gerakan menjadi polemik hangat. “Kita tidak bisa melupakan bahwa Ikhwan memiliki porsi yang besar dalam membangun identitas KAMMI. Ini harus dihargai ketika kita bicara soal ideologi gerakan KAMMI”, kata seorang peserta. Argumen ini ditanggapi oleh peserta lain dengan menggambarkan sebuah peta. “Kalaupun Ikhwan menjadi inspirasi dan referensi gerakan KAMMI, relasi itu sebetulnya hanya satu fragmen dan bersinggungan pula dengan diskursus lain di luar Ikhwan”, jelas peserta tersebut. Peserta lain menambahkan, “diskursus lain pun harus dihargai setara juga di KAMMI”.
Pertanyaan sampai pada ‘siapa’ yang berhak mendefinisikan KAMMI. “KAMMI benar-benar harus menjadi dirinya sendiri, dan ini harus dilakukan dengan memeriksa teks-teks ideologi secara lebih kritis agar KAMMI lepas dari dualisme identitas”, simpul fasilitator.
Perdebatan akhirnya harus dihentikan pada pukul 03.00 dini hari dan disepakati akan dilanjutkan keesokan harinya. Diskusi berjalan dinamis dan hangat, tak melulu serius, tetapi juga diselingi candaan dan beberapa kejadian kecil yang menghadirkan tawa peserta. Beberapa fungsionaris PP KAMMI yang hadir mengapresiasi positif forum ini “Jujur, fenomena seperti ini mengingatkan saya pada suasana di KAMMI DIY 6-8 tahun silam, ketika perdebatan tidak lagi harus dibatasi oleh sesuatu yang bersifat “sakral”, tetapi benar-benar dialektis”, papar Okta, pengurus PP KAMMI yang mengikuti forum ini sejak malam. [maru]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar