oleh: Rijalul Imam, S. Hum *)
Dalam selaksa pengetahuan kita tentang demokrasi, di dalamnya terdapat ajaran yang menjadi tradisi politik dalam kancah nation-state yang demokratis, yakni istilah trias politika. Kita diajarkan untuk mengetahui, memahami, dan bahkan dulu disuruh untuk menghafalkan tugas, pokok dan fungsinya. Seakan-akan perubahan sosio politik ditentukan oleh tiga kekuatan: legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu.
Kenyataannya selalu berkata lain, bahwa perubahan dalam sebuah bangsa tidak selalu bermuara dari tiga poros tersebut. Apa yang terjadi saat ini di negeri kita, tiga institusi itu tidak lebih hanya sebagai wujud dari formalisme berdemokrasi. Sehingga kita akan dikecewakan dengan ketidakoptimalan atau penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan, bahkan pikiran dan perasaan kita disibukkan untuk memikirkan tiga institusi itu. Sebenarnya ada yang lebih signifikan yang harus kita cermati, bahkan hal inilah yang semestinya diwaspadai jika tidak diambil alih.
Jika kita menelaah al-Qur’an, maka akan ditemukan bahwa di dalamnya juga berbicara mengenai trias politika. Namun trias politika yang dimaksud berbeda daripada umumnya. Jika al-Qur’an berbicara politik, akan kita temukan betapa realistisnya Allah menyingkap siapa saja para pemain yang melakukan perubahan dalam konstelasi kekuasaan ketimbang konseptual. Isyarat ini membawa kita ke alam pikiran untuk mengambil sikap dan langkah yang lebih strategis. Bahkan hal ini juga yang diprioritaskan lawan peradaban umat, yang kini tengah merajalela, tidak sekedar di level internasional, tetapi juga Indonesia.
Di beberapa ayat akan kita temukan bahwa ketiga kekuatan itu selalu disandingkan. Jadi ini menunjukkan satu sama lain saling bekerjasama, berjalan berkelindan, bersatu secara harmoni, hingga sangat tidak mungkin satu sama lain dilerai. Pertanyaannya, siapa sajakah ketiga kelompok itu?
Ketiga kelompok itu adalah penguasa, pengusaha, dan militer. Dengan ekstrem al-Qur’an mentamsilkannya, bahwa ketiga kekuatan itu telah mencapai puncaknya pada tiga orang: Fir’aun, Qarun, dan Hamman.
Pertama, Fir’aun, seorang penguasa absolut, hingga mengklaim dirinya sebagai Tuhan dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kedua, Qarun, seorang pengusaha yang kaya raya, hingga manusia zaman ini pun jika menemukan harta (peti) terpendam akan menyebutnya “ini harta karun.” Puncak kekayaannya digambarkan al-Qur’an bahwa anak kunci gudangnya tidak bisa diangkat kecuali oleh 10 orang algojo. Jika anak kuncinya sebesar itu, apalagi ukuran gudang dan jumlah kekayaannya.
Ketiga, Hamman, seorang panglima militer yang tangguh. Kekuatan militer yang dimilikinya ini menjadikan kerajannya kokoh dan nyaris tidak ada isu-isu perlawanan dari kerajaan yang lain.
Tidak ada power tandingan yang berani dengan pemerintahan Fir’aun, selain dari gerakan profetik. Yang cukup unik dari Fir’aun ini adalah dwifungsinya. Al-Qur’an mengkisahkan, bahwa Fir’aun setelah didakwahi oleh Nabi Musa, memerintahkan Hamman dan tentaranya untuk membuatkan Piramida agar dia bisa melihat Tuhannya Musa. Jadi, disamping sebagai pemimpin militer, Hamman juga seorang arsitek.
Apa yang harus kiita pikirkan disini adalah bahwa jika kita korelasikan dengan konstelasi perpolitikan Indonesia dan dunia, maka ketiga poros inilah yang paling menguat ke permukaan. Pemerintah menjadi adidaya karena di balik itu semua langkahnya didukung oleh para saudagar. Pemerintahan akan berjalan ‘efektif’ jika ditopang oleh kekuatan militer yang handal. Begitu pula negara dikatakan maju jika nampak bangunan-bangunan pencakar langit di kota-kota besarnya. Sehingga menjadi pertarungan gengsi antar negara.
Mengapa pornografi dan pornoaksi terus berlajut dan proses pengaturannya tersendat. Tiada lain karena masalah ‘pekerjaan,’ masalah keterusikan para pemodal, sebab mereka rugi besar, berapa banyak barang ‘mini’ itu tidak laku jika peraturan itu menjadi undang-undang. Pemodal- pemodal itu terancam bangkrut jika bisnis pariwisata dan klub malamnya ditutup hingga tidak ada ruang bernapas bagi mereka untuk hidup.
Begitu pula dengan kemenangan Exxon Mobil dan rencana dibuatnya bandara di dekat Cepu. Tiada lain karena kepentingan kapitalis yang saat ini sedang terancam kehabisan stok minyak cadangan. Kekuatan militer mereka tidak terlihat berwibawa jika belum terbang memantau negeri-negeri tak berdaya itu.
Keterancaman hegemoni kekuasaan mereka di dunia ketiga lebih menakutkan, oleh karenanya mereka dengan gencar mengoptimalkan tiga proses itu: lobi-lobi dan dukung mendukung antar kekuasaan dunia, penjarahan kekayaan alam di negeri-negeri timur dan selatan dengan jeratan investasi dan hutang, serta kerjasama niliter dengan negara-negara tertentu yang dekat dengan pengkalan perang dunia ke-4 esok hari.
Tiga poros yang disebutkan al-Qur’an tadi cukup menyentak kita ketika Huntington menyebut tiga faktor kunci yang membuat Barat menghegemoni dunia Islam.
Pertama, faktor demografis dan territorial. Penguasaan Barat dengan ekspansi budaya liberalnya serta pencaplokan wilayah dibawah pengawasan dan penguasaan Barat -apapun alasannya, baik itu demokratisasi di Timur tengah misalnya, atau yang disebut ‘modernisasi.’
Kedua, faktor ekonomi melalui kerja sama bisnis dan penyaluran bantuan (hutang) yang pada akhirnya membuat negara peminjam tercekik dan akhirnya mudah diintervensi secara poltik.
Ketiga, faktor militer melalui penaklukan-penaklukan atas negara-negara yang dianggap memiliki kekuatan militer canggih -yang memiliki reaktor nuklir misalnya. Mengintervensi dan mengkooptasi langkah kemajuan mereka itu. Atau kalau tidak, menyudutkan mereka dengan kerjasama militer bersama negara-negara dunia ketiga atau dengan propaganda media melalui film-film perang. Yang membuat negara-negara lain merasa inferior atas kemajuan militer Barat.
Hal itu juga yang menyentak saya, ketika Condy -penggilan akrab Condeleeza Rice- datang ke Indonesia. ‘Aura’ kehadirannya tampak membawa intervensi politik pada negeri yang tengah berdebat tentang operator blok Cepu ini. Di saat kunjungannya, dia menawarkan kerja sama ekonomi dan pelatihan militer bersama, serta dukungan Indonesia pada ‘perdamaian’ dunia atas kemenangan Hammas, nuklir dan geliat Cina.
Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita sebagai aktivis dakwah dan umat Islam pada umumnya adalah mengambil alih kepemimpinan atas tiga poros itu, atau ‘memuslimkan’ para pekerja ketiga poros itu secara ideologis –meretas fanatisme, atau mengisi ketiganya dengan sumber daya muslim yang bercita-cita memenangkan islam. Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar