oleh: Yusuf Maulana *)
ASPIRASI untuk menurunkan Susilo Bambang Yudhoyono dari kursi presiden bukan hanya lantang disuarakan para politisi, namun juga gerakan mahasiswa (GM). Memang masih dini untuk menyimpulkan bahwa aspirasi GM murni berasal dari keprihatinan mereka atau berasal dari titipan para politisi. Meski demikian, ada yang lebih penting ketimbang merunut apakah aspirasi GM murni atau tidak, yakni mengukur kekonsistenan GM dalam memperjuangkan aspirasinya itu.
Kumulasi berbagai persoalan—terutama kinerja pemerintah dalam mengantisipasi dan menangani bencana alam akhir-akhir ini—mengakibatkan mudahnya masyarakat secara luas kecewa. Jadi, kekecewaan terhadap pemerintahan SBY selama dua periode bukan hanya monopoli politisi atau aktivis GM. Belum lagi sebagian masyarakat sering menolak ekspresi beroposisi terhadap pemerintah apabila hanya diwujudkan dalam gerakan-gerakan politik praktis, padahal saat yang sama jaminan perbaikan yang ditawarkan justru terlewatkan. Akibatnya, baik pemerintah ataupun pengkritiknya dipandang sebagai pihak-pihak yang lebih mementingkan dirinya dibandingkan mementingkan masyarakat.
Dengan latar belakang seperti itulah GM mengalami penurunan wibawa di mata masyarakat. Jadi, bukan saja karena kini masyarakat sudah bi(a)sa mengartikulasikan aspirasinya secara mandiri, namun juga karena masyarakat menilai mahasiswa (GM) memiliki patologi sosial yang belum mereka atasi. Sayangnya keadaan ini tidak menjadikan GM untuk sadar. Mereka lebih sering memosisikan gerakannya seperti periode sebelumnya. Bahkan mereka tidak bisa mengelak untuk mengimajinasikan peran atau kejayaan di masa lalu. Konsekuensinya, ahistorisitas dan diskontinuitas gerakan pada masa sekarang ini menjadi hal yang lumrah terjadi.
Kasus KAMMI
Imajinasi kejayaan meruntuhkan kekuasaan Orde Baru sejauh ini masih dialami aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Masih terngiang kuat di benak aktivisnya pada masa sekarang posisi mereka pada masa lalu, yang sebenarnya tidak mereka rasakan langsung seperti apa perjuangan mendapatkannya. Lima belas tahun kemudian, tanpa disadari, sindrom kejayaan ini masih menginternal sebagai sebuah identitas kolektif. Lebih dari sekadar ingatan bersama organisasi.
Saat ini, imajinasi kejayaan KAMMI itu mudah dibuktikan keberadaannya. Saya menjumpai dalam forum diskusi daring yang melibatkan aktivis (struktural) KAMMI sebentuk kekecewaan para aktivisnya terhadap SBY, terlebih dengan adanya kasus penahanan Presiden Partai Keadilan Sejahtera oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kekecewaan tersebut memang sebatas kekecewaan; belum sampai mengikuti pola sebelumnya: tuntutan untuk melengserkan SBY.
Soal upaya pelengseran memang kerap dilontarkan gerakan mahasiswa. Tampaknya isu melengserkan menjadi pola rutin begitu GM tidak lagi memercayai sebuah pemerintahan, tanpa memedulikan bahwa dukungan masyarakat pada pemerintahan tersebut masih tinggi.
Kekritisan yang muaranya pada pelengseran kekuasaan barangkali pada masa lalu memang efektif untuk menggerakkan massa. Akan tetapi, pola ini perlu dikritisi lagi bila ingin kompatibel dengan masa sekarang. Sebagian GM saat ini gagal mempraktikkan teori konfliknya karena saat yang sama masyarakat justru punya cara pandang tersendiri atas konflik yang dialaminya dengan pemerintah. Alih-alih memusuhi pemerintah, masyarakat justru lebih berharap adanya perhatian pemerintah. Dengan demikian, faktor pengondisi perubahan sosial berupa keresahan masyarakat juga mutlak untuk ditinjau.
Di sisi lain, GM secara tidak sadar mematoki keberhasilan atau kegagalan perjuangannya hanya berdasarkan turun atau bertahannya rezim; seolah-olah tidak ada ruang untuk memunculkan tolok ukur selainnya. Padahal, masyarakat sendiri kini tidak lagi peduli dengan tolok ukur seperti ini. Bukankah pertanyaan masyarakat sendiri amat pragmatis dan sederhana saja: akankah pihak yang menggantikan lebih baik dibandingkan pemerintah sekarang?
Agenda Perbaikan
Oleh karena itu, alih-alih merebut kekuasaan secara instan dalam target tempo yang cepat, yang lebih dibutuhkan untuk konteks saat ini adalah memunculkan solusi-solusi taktis sekaligus strategis dalam membersamai masalah masyarakat. Di sisi inilah GM semisal KAMMI perlu merefleksikan dirinya dalam berpikir agar mereka bisa mengisi ruang publik dengan ide-ide kreatifnya; bukan lagi ide tanpa pijakan apalagi ide titipan. Sayangnya, selama ini KAMMI—seperti halnya GM yang lain—banyak menghabiskan energi bukan untuk berefleksi, melainkan habis untuk kerja-kerja minimalis: rutinitas tampil di publik agar bisa dicatat sebagai demonstran aktif. Sebagai GM yang terbilang muda, tentu memprihatinkan apabila KAMMI mati muda hanya karena dibebani imajinasi kejayaan di masa lalu. Mati mudanya KAMMI bukan sebagai akibat bertarung dengan rezim beserta ideologi dan aparaturnya, melainkan sebagai akibat habisnya energi untuk mengerjakan agenda-agenda minimalis.
Hingga kini KAMMI termasuk GM yang masih ekstensif merekrut anggota baru di kampus. Ekstensivikasi anggota KAMMI merupakan kabar baik mengingat minat mahasiswa untuk memasuki dunia aktivis menurun drastis. Hanya saja yang perlu dilakukan berikutnya adalah membenahi kualitas intelektualismenya agar pada masa selanjutnya KAMMI tidak lagi berpikir simplistis ketika kecewa dengan pemerintah; akan tetapi, sebaliknya, mereka bisa memunculkan agenda taktis dan strategis sebagai cara masuk ke ruang publik. Melewatkan pembenahan ini, KAMMI harus bersiap-siap menjadi massa diam betapapun massa mereka banyak.
Pada sisi inilah dibutuhkan kebesaran jiwa KAMMI untuk mengakui adanya ketidakmerataan kapasitas di antara anggota mereka, terutama antara Jawa dan luar-Jawa, kota besar dan kota kecil di Jawa. Agar terjadi perbaikan, asumsi yang harus dibangun sejak awal adalah membayangkan keadaan anggota-anggotanya di seluruh Indonesia sebagai entitas dengan kapasitas beragam.
Fakta tersebut kemudian ditindaklanjuti sebagai agenda bersama dan terus-menerus untuk memperbaiki posisi KAMMI. Bila tidak, kemungkinan besar KAMMI akan tetap membayangkan kejayaannya pada masa lalu. Seraya asyik mengkritisi kekuasaan yang korup, posisi mental KAMMI ada pada masa lalu: ketika tidak puas dengan pemerintah, agenda yang ditawarkan ke publik hanya pelengseran penguasa.[]
*) mantan pegiat dan masih bergiat di luar untuk KAMMI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar