"..Adapun perbedaan semisal kita shalat tanpa qunut atau tidak, menggerakkan jari atau tidak, kesemuannya tak bisa menutupi keutamaan shalat berjamaah..."
Lahir dalam konstelasi sosial politik yang tak menentu, KAMMI justru menyedot perhatian publik diawal kemunculannya. Ya, KAMMI telah menemukan momentumnya dikala itu. Saat-saat dimana tribulasi kekuasaan begitu kencang terasa, KAMMI tampil mendobrak status quo dalam sejumlah agenda reformasinya.
KAMMI yang “mencemplungkan” dirinya dalam percaturan sosial politik di Indonesia, sungguh tak disangka-sangka sebagian kalangan. Mengingat genealogi KAMMI berasal dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang dikenal 'ketat' dalam ber-Islam, dan cenderung apolitis. Maka semakin menjadi tidak logis ketika KAMMI juga turut mengafirmasi sistem politik yang berlaku (demokrasi).
Orang salah mengira tentang apolitisnya LDK. Apolitisnya LDK bukan karena apatisme politik sebagai manifestasi ideologi, tapi lebih karena tertutupnya keran kebebasan politik di zaman orde baru. Kemungkinan lain apolitis memang bagian dari tahapan strategi. Seperti yang pernah dituliskan Rijalul Imam (2008), bahwa mihwar/fase tahun 1980-1998 adalah fase ideologisasi. Menginternalisasi Islam kedalam cara pandang dan paradigma kader, untuk selanjutnya memasuki sistem sosial masyarakat.
Internalisasi Islam tapi terpisah dari aktivitas riil sosial politiknya, ibarat shalat tanpa ucapan salam (taslim) di akhir. Begitulah embrio KAMMI kira-kira belum sempurna mengaktualisasikan ideologinya. Dalam era reformasi ini KAMMI dibukakan jalan untuk dapat shalat secara sempurna. Khusyu’ dalam berinteraksi vertikal terhadap sang Khaliq, tapi tak lupa untuk mengucapkan salam (mendedikasikan keselamatan dan kesejahteraan) kepada lingkungan sosial horizontalnya.
Shalat Kita di Shelter Pengungsi dan di Jalanan
Kesalahan klise banyak orang ketika peribadatan transendental dipisahkan dari aspek sosialnya. Apalagi ibadah Shalat yang sarat akan implikasi sosial. Dalam Al Qur’an surat Al Ankabut ayat 45, Allah SWT menegaskan shalat dalam fungsinya sebagai self defense, mencegah dari kenistaan sosial “dirikanlah Shalat sesungguhnya Shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” Juga dalam surat Al Ma’un yang menjadi legitimasi dalam kepedulian sosial. Allah mengancam orang yang shalat tapi masih lalai terhadap lingkungan sosialnya.
Di sinilah kader KAMMI harus bisa memaknai shalat dengan spektrum lebih luas. Prof. Dien Syamsuddin (ketua PP Muhammadiyah) dalam khutbahnya bahkan mendefinisikan aktifitas sosial bagian dari ibadah shalat itu sendiri. Ucapan salam (taslim) menjadi indikasinya, dari interaksi vertikal menuju orientasi horizontal.
Semakin tinggi kualitas Shalat seseorang, maka semakin tinggi pula kontribusinya ditengah masyarakat. inilah yang seharusnya diamini dan menjadi pegangan. Tak ada shalat tanpa pengabdian di masyarakat, dan sebaliknya tak sah pengabdian kita tanpa dilandasi ketundukan pada Allah SWT. Tegasnya Ketika KAMMI Daerah Sleman berupaya meningkatkan kualitas shalat, artinya KAMMI ingin mengambil peran lebih banyak dalam kesejahteraan sosial, mencakup makna religius-ideologis sekaligus makna social-praksisnya.
Saya merujuk pada ketetapan Musyawarah Daerah dan Musyawarah Kerja Daerah yang banyak mendorong KAMMI dalam kerja-kerja sosial. KAMMI ingin kita terlibat dalam beberapa kebijakan seperti penanganan pasca-bencana merapi, pengawasan dana BOS Sekolah, pemberantasan korupsi di daerah. Maka, jelas KAMMI tidak bisa hanya sebatas shalat lalu terlena di masjid, tapi shalat (baca: kerja sosial) KAMMI harus juga banyak dilakukan di lokasi-lokasi pengungsian, ditempat orang-orang tertindas, juga ditempat para pemegang otoritas publik.
Kerja sosial butuh ditupang SDM memadai. Disinilah realisasi program kerja “Jam Sosial kader” menjadi relevan dicanangkan. Kesadaran sosial kader harus digenjot agar militansi terbentuk. Kader KAMMI akan dihadapkan pada realitas social, minimal 3 jam dalam sepekan. Semakin sering kader berinteraksi dengan kaum papa dan tertindas, semakin besar “libido” pembelaannya terhadap mereka.
Militansi Orang Mabuk atau Rasional?
Bukan maksud untuk menafikkan urgensi militansi kader. Tapi jangan-jangan militansi kita selama ini lebih karena kita “mabuk”? Orang yang mabuk itu nekat atau dalam bahasa saya militan melakukan sesuatu. Maka apa yang dilakukan orang mabuk itu diluar kesadarannya. Nah yang perlu kita pertanyakan apakah militansi kita atas pilihan rasional dengan kesadaran Ilmu dan Ideologi, atau karena kita sedang mabuk alias tidak sadar? Maka tepat ketika Rasulullah SAW melarang orang mabuk mengerjakan shalat, harusnya kita juga katakan, orang tidak sadar dilarang bekerja Sosial!
Menyadari bahayanya beramal sosial tanpa adanya kesadaran Ilmu dan Ideologi, harusnya kita introsepeksi diri. Maka menjadi penting kesadaran Ilmu dan Ideologi digalakkan kembali dalam pengkaderan. Beberapa treatment akan dilakukan KAMMI Daerah Sleman kedepan, terutamanya dalam peningkatan ideologi dan kompetensi intelektual kader. Selain memaksimalkan aplikasi manhaj kaderisasi, KAMDA Sleman juga akan merealisasikan pembentukan komunitas diskusi lintas komisariat per basis kompetensi Ilmu.
Shalat Berjamaah Lebih Utama
Jika shalat dalam makna harfiah lebih utama untuk dilaksanakan secara berjamaah, maka begitupun shalat sosial. Tentu akan lebih afdhol dijalankan secara berjamaah. Sadari betul dalam arena perjuangan tidak selalu sendiri. Dalam pluralitas ini akan selalu ada elemen gerakan lain yang akan melaksanakan “shalat” dalam waktu berbarengan ditempat yang sama. Jika sama-sama mau shalat (aktivitas sosial), mengapa enggan berjamaah?
Adapun perbedaan semisal kita shalat tanpa qunut atau tidak, menggerakkan jari atau tidak, kesemuannya tak bisa menutupi keutamaan shalat berjamaah. Perbedaan nilai perjuangan, perbedaan dalam metodologi perjuangan, tidak lantas tidak bisa kita pertemukan dalam arena perjuangan. Gerakan KAMMI harus bisa mengkompromikan yang bersifat furu’iyah itu dan mengutamakan kepentingan bersama.
Berangkat dari itu KAMMI Daerah Sleman ingin menjalin relasi dengan berbagai gerakan, ormas, LSM, terutama yang berhaluan Islam. Agar kerja-kerja sosial politik KAMMI berjalan efektif, juga paling utama menjaga persatuan ummat dan bangsa ini.
Wallahu ‘alam Bish shawwab
**) Ketua Umum KAMMI Sleman 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar