19 Februari 2013

Tak Sekadar Turun ke Jalan

Artikel opini di Banjarmasin Post, 29 Januari 2013. Diakses via http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/01/29/mahasiswa-tak-sekadar-turun-ke-jalan

Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

maruMasih relevankah gerakan mahasiswa setelah reformasi menapaki usianya yang ke 15? Memasuki 2013, pertanyaan tersebut semakin penting untuk dijawab dan direfleksi bersama oleh para aktivis mahasiswa.

Selama lima tahun terakhir, ada satu catatan besar yang perlu dievaluasi dari gerakan mahasiswa saat ini: tidak adanya wacana besar yang mengikat dan mempersatukan perjuangan gerakan mahasiswa.

Harus diakui, setelah Suharto jatuh  pada tahun 1998, gerakan mahasiswa seperti kehilangan ‘lawan’. Banyak gerakan yang mencoba beragam pilihan gerak, dari mulai gerakan sosial, gerakan politik, gerakan massa, hingga gerakan intelektual yang lebih kreatif.


Pilihan gerakan itu, apapun bentuknya, sah-sah saja. Tetapi, ada satu hal yang terlupakan: pembentukan wacana. Apapun bentuknya, selama berada dalam satu wacana besar, akan memberi nafas yang lebih panjang dan gerak yang lebih teratur bagi gerakan mahasiswa.

Mari berkaca pada sebuah ‘kekuatan’ yang mampu memanfaatkan transisi demokrasi dengan begitu hebatnya: Bank Dunia. Berbicara Bank Dunia pasti takkan lepas dari sebuah terminologi yang akrab di telinga mahasiswa: neoliberalisme.

Setelah krisis Asia tahun 1997-1998, terlihat ada perubahan strategi yang cukup mendasar di Bank Dunia. Sebelum krisis Asia, Bank Dunia beroperasi dengan ‘negara’ sebagai klien utamanya, ‘finansial’ sebagai kekuatan utama, dan good governance sebagai ‘wacana’ utama yang ditawarkan.

Namun, di penghujung tahun 90an, konsep mereka gagal total. Resep-resep buatan mereka, digugat di mana-mana. Beberapa intelektual seperti James Ferguson dan Ben Fine melancarkan kritik tajam tajam atas proyek-proyek Bank Dunia di Asia dan Afrika.

Pada 2001, mulailah diluncurkan program baru Bank Dunia yang lebih menitikberatkan pembangunan pada modal sosial, dengan ‘melampaui’ peran negara. Di Indonesia, mereka memulai dengan program pembangunan kecamatan, yang oleh pemerintah sendiri dianggap sukses pada era transisi demokrasi.

Beberapa tahun kemudian, program tersebut dilanjutkan dengan apa yang kita kenal sekarang dengan PNPM Mandiri. Dengan sokongan dana penuh di bawah supervisi Tim Nasional Pengentasan Kemiskinan, program ini menjadi ujung tombak Bank Dunia di Indonesia.

Tak cukup hanya menghegemoni wacana ‘pemberantasan kemiskinan’, Bank Dunia juga masuk di wilayah reformasi pendidikan tinggi. Juga dengan sokongan beberapa proyek, kerja-kerja  mereka melahirkan sebuah format yang kita kenal sekarang dengan PT BHMN dan UU BHP yang kemudian dianulis Mahkamah Konstitusi.

Senjata Bank Dunia yang paling ampuh adalah pengetahuan. Dengan kekuatan ide-ide seperti ‘reformasi pendidikan tinggi’, mereka mampu menciptakan sebuah rantai kekuatan yang saling berkorelasi satu sama lain. Ide-ide tersebut ditopang oleh penguasaan informasi dan pendanaan yang kuat sehingga mampu menjadikan ide mereka diterima pemerintah.

Mereka mampu memenangkan persetujuan dari kantor-kantor pemerintahan dan masyarakat sipil untuk ‘mengisi’ makna pembangunan di Indonesia yang ditinggalkan oleh rezim Orde Baru. Dampaknya, Bank Dunia mampu menghegemoni makna mengenai pembangunan dan menyingkirkan kekuatan-kekuatan sosial lain, termasuk mahasiswa.

Para aktivis mahasiswa boleh mencaci Bank Dunia dan kawan-kawannya sebagai ‘produk neoliberal’ atau semacamnya. Tetapi, harus diakui, gerakan mahasiswa tertinggal jauh dari organisasi yang mengajukan wacana ditolak oleh mahasiswa.

Setelah 1998, mahasiswa dihadapkan pada satu pertanyaan sulit: setelah Suharto jatuh, apa yang harus dilakukan? Gerakan mahasiswa seperti ragu-ragu: ingin memilih ‘revolusi’ dengan jalur massa tetapi sumber daya tidak cukup, atau berkecimpung dalam ‘reformasi’ tetapi dengan konsekuensi harus bisa membangun dari dalam sehingga sesuai keinginan mahasiswa.

Parahnya, tak semua orang berpikir strategis. Sebagian kawan mahasiswa memang memilih ‘jalan lurus’ dengan melakukan pembasisan gerakan di akar rumput dan mengadvokasi masyarakat pada isu-isu yang lebih partikular. Namun, sebagian lagi ‘terhempas’ dalam gelombang reformasi dan akhirnya memilih menjadi pekerja politik praktis di ibukota.

Hal ini semakin diperparah oleh kepentingan oknum elit gerakan yang menjadikan medan perjuangan sebagai alat memenuhi hajat finansial. Akibatnya, gerakan mahasiswa tak lepas dari politik patron-klien yang menjebak gerakan mahasiswa ke level yang lebih praksis.

Akhirnya, hingar-bingar demonstrasi yang digelar mahasiswa kini menjadi terasa kering. Mahasiswa tidak tahu persis apa yang sedang mereka tuntut dan langkah apa yang akan dilakukan jika tuntutan tersebut diterima atau ditolak.

Oleh sebab itu, perlu ada introspeksi dari gerakan mahasiswa. Kata kunci dari semua hal itu ialah pembangunan wacana baru yang diperkuat oleh basis pengetahuan. Gerakan mahasiswa, perlundai masuk ke ranah perjuangan hegemonik, yang tidak hanya pa memobilisasi massa, tetapi juga mampu merumuskan dan memenangkan suatu tuntutan secara politis.

‘Memenangkan’ wacana, berarti merumuskan satu tuntutan partikular yang bisa menarik kekuatan-kekuatan lain untuk mendukung tuntutan tersebut. Tuntutan tersebut bisa saja bersifat partikular, namun mampu mengikat kekuatan-kekuatan yang punya kepentingan sama untuk masuk pada tuntutan yang lebih universal.

Cerita di Chile dan Montreal bisa jadi renungan. Di dua negara ini, aktivis mahasiswa mampu menjadikan isu anti-komersialisasi pendidikan sebagai arena pertarungan wacana melawan rezim neoliberal. Dari sekadar menolak kenaikan uang kuliah yang diikuti dengan demonstrasi ratusan ribu massa mahasiswa, isu bergulir menjadi perdebatan soal rezim politik.

Sehingga, perjuangan mahasiswa tidak lagi sekadar ‘turun ke jalan’ rasionalisasi tuntutannya secara jelas. Sudah saatnya gerakan mahasiswa merumuskan tuntutan dan wacananya sendiri. Mungkin, dengan cara itu, kita akan lebih optimis untuk menjawab bahwa gerakan mahasiswa masih relevan di tahun 2013. (*)

rizky_mardhatillah@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar