19 Februari 2013

Menghadapi Sejarah yang Berulang

Oleh: Zulfikhar*

Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

“Those who cannot learn from history are condemned to repeat It”*

-George Santayana, Filsuf Spanyol-

dzulDalam periodisasi sejarah klasik sampai modern, umat manusia sering berjumpa dengan siklus kebangkitan dan kematian peradaban. Sejarah selalu berulang, sejak peradaban Lemuria (75.000 SM – 11.000 SM)[1] sampai dengan negara bangsa di zaman modern. Perjumpaan manusia dengannya kebanyakan terjadi karena alasan kemajuan peradaban tersebut dan kontribusinya untuk kebangkitan peradaban manusia.

Atas alasan itulah banyak para sejarawan, antropolog dan arkeolog menyelidiki situasi dan keadaan peradaban masa lampau (history/sejarah).


Keberadaan manusia dalam peradaban-peradaban tersebut menjadi prasyarat untuk membangun sejarah manusia sampai era modern. Manusia mengonstruksinya sedemikian rupa sehingga memenuhi obsesi material kemanusiaan. Sejarah masa lalu ternyata membuat manusia menambah referensi hikmah untuk membangun masa depan.

Upaya untuk mengetahui kondisi masa lalu terkadang membuat manusia tidak cepat puas. Apalagi fakta sejarah itu tak mendukung atau membenarkan tindakan dan obsesi manusia yang ingin tahu terhadapnya. Oleh sebab itu, banyak manusia melakukan manipulasi terhadap fakta-fakta sejarah, lantas mengolahnya (baca: manipulasi) sedimikian rupa sehingga menjadi sebuah kisah sejarah yang seolah-olah benar. Terutama untuk mendukung tindakan manusia yang memanipulasinya.

Sejarah yang dibangun oleh  manusia dijumpai tidak jauh dari akar filosofis manusia-manusia tersebut. Betapa pun sulitnya bangunan sejarah yang sedang diarsitekinya itu secara gradual akan bangkit dari kekosongannya juga. Kecerdasan sebagai modal sosial manusia acapkali berperan banyak mendukung obsesi itu.

Belajar dari Sejarah Klasik

Bangsa Mesir dahulu 30 abad sebelum Masehi terpecah menjadi dua kerajaan di hulu dan hilir sungai Nil. Yaitu Mesir Hulu dan Mesir Hilir. Dua kerajaan ini sering berperang antara satu dengan lain. Sampai kepada suatu momentum ketika Menes dari salah satu kerajaan memenangkan peperangan atas yang lain dan mempersatukan kedua kerajaan pada tahun 3200 SM[2].

Lantas, terjadi peledakan peradaban. Mesir menjadi salah satu bangsa di dunia yang menguasai bidang matematika, sastra, seni, militer, pertanian, perdagangan dan lain-lain. Daerah delta sungai Nil menjadi pemasok pangan seperti gandum untuk membuat roti dan bir.[3] Sedangkan, daerah padang pasir disulap menjadi kota-kota layaknya Roma dan Athena. Raja Ramses membangun Piramid sebagai makamnya di kemudian hari. Mulai tahun 47 SM perlahan Mesir mulai mengalami kemunduran.

Sejarah peradaban Islam yang dapat bertahan selama 15 abad –terhitung sejak perluasan Islam sampai runtuhnya Kerajaan Turki Ustmani tahun 1924- banyak memberikan sumbangan bagi kemajuan peradaban dunia, khususnya Barat. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam pada waktu itu terbukti dengan adanya dengan proses transferensi dan anotasi (pencatatan) ilmu pengetahuan dari Yunani ke Arab oleh para sarjana-sarjana muslim. Saat itu Barat sedang memasuki periode Skolastisisme (abad ke-8 M – Abad ke-14 M)[4].

Dengan menggunakan periodisasi peradaban Islam, masa skolastik dalam filsafat Kristen yang terjadi dari abad ke-8 hingga abad ke-14 M adalah masa keemasan kita (Islam) yang terjadi pada abad ke-2 hingga abad ke-7 Hijriyah[5]. Filsafat Kristen mulai muncul pada abad ke-9 di tangan Johannes Scotus Eriugene (815-877 M) yang hidup semasa dengan al-Kindi (801-873 M),[6] penemu filsafat Islam.

Karya Aristoteles –misalnya sebagai representasi karya-karya filsafat Yunani saat itu- mendapat tempat yang khusus bagi sarjana-sarjana muslim. Posisinya di hati sarjana muslim mengalahkan sosok Plato yang notabene adalah guru Aristoteles. Al-Farabi dan Ibnu Rushd buktinya banyak menganotasi karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Sebab, di dalam aliran pemikiran Aristoteles telah terjadi sinkronisasi melalui jalan transedensi yang didalamnya ditemukan seluruh aspek subjektivitasnya, yaitu penelitian yang direpresentasikan oleh konsepsi Islam di dalam keutamaan moderasi tanpa ifrath maupun tafrith.[7]

Demikian pula bahwa aliran Aristotelian, sebagaimana diketahui dalam sejarah pemikiran, didominasi oleh ruh realisme dan berpegang pada pengalaman empirik, padahal di balik setiap gelombang empiris itu terdapat realitas ilmiah tenang pemikiran humanistik. Ini adalah elemen Islam yang lahir secara khusus berkaitan dengan landasan kaum muslimin tentang penelitian (induksi) dan investigasi mereka terhadap paradigma-paradigma argumentasi, serta tentang pendapat mereka terhadap al-mashalih al-murshalah.[8]

Fenomena peristiwa sejarah diatas menunjukkan siklus periodisasi maju-mundurnya peradaban. Bahwa setiap peradaban akan mengalami pasang dan surut, kehidupan dan kematian, kejayaan dan kemunduran. Betatapun sebuah peradaban (baca: kerajaan) bertahan sedemikian kuat terhadap zaman yang akan menggilasnya –tanpa proses adaptatif. Jika itu sudah merupakan tabiat zaman maka kerajaan itu akan pasti berakhir.

Ibnu Khaldun di dalam masterpiece-nya, Muqaddimah, jauh-jauh hari sudah menuliskan siklus peradaban itu. Kondisi kerajaan dan fase-fase yang harus dilaluinya biasanya tidak lebih dari empat fase.

Pertama, fase pemantapan kekuasaan dengan cara penggulingan dan penguasaan terhadap para pembela dan pendukungnya, serta merebut kekuasaan dari tangan penguasa sebelumnya. Kedua, fase otoriter dan kesewenang-wenangan terhadap kaumnya dan bersikap individual dalam menjalankan pemerintahan dengan cara mengekang, mengebiri, membungkam, dan membatasi peran mereka dalam urusan pemerintahan.

Ketiga, fase stabilitas dan ketenangan karena manfaat dari kekuasaan telah berhasil diperoleh, dimana karakter manusia memang cenderung demikian: mengumpulkan kekayaan, melanggengkan pengaruh, dan melebarkan popularitas. Keempat, fase kepuasan dan mudah menyerah dan pasrah dan kelima, fase pemborosan dan hidup berlebih-lebihan.[9]

Dinasti Umayyah berperan besar dalam menyebarkan agama Islam ke pelosok bumi tengah sampai ke timur jauh (Indonesia, China). Di bawah pemerintahan Umayyah, doktrin Islam diuraikan, dituliskan, dan disahkan ke dalam kitab-kitab hukum.[10] Proyek besar itu berdampak kepada kestabilan dunia yang beradab. Umayyah bersinar dalam kodifikasi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Proses transferensi dari pengetahuan Yunani ke Arab terus dilakukan dan berkembang pesat. Akibatnya, Umayyah mengalami masa keemasan mulai abad ke 7 sampai 10 Masehi –atau 2 sampai 5 Hijriah.

Tiga abad bertahan dalam pusaran kompetisi peradaban-peradaban mutakhir menjelang abad pertengahan. Umayyah lambat laun mengalami kemunduran. Heterogenitas bangsa-bangsa yang memeluk Islam mulai memunculkan masalah baru dan semakin membesar. Konsep ummah  yang menempatkan kedudukan umat Islam egaliter –baik Arab maupun non Arab- kontras dilakukan pada praksisnya –bangsa Arab tetap masih diistimewakan. Etnosentrisme terjadi di dalam kerajaan. Akhirnya, kerajaan (dinasti) yang didominasi orang Arab tidak bisa memenuhi janjinya –untuk netral kepada semua suku bangsa di dalam kerajaan- tersebut[11].

Ketidakpuasan pun bermunculan diantara kaum muslimin non Arab. Dan berujung kepada manuver politik Abu Muslim (Abu al-Abbas) menghancurkan sendi-sendi pilar Umayyah, Dinasti Abbasyiah pun lahir.

Abbasyiah yang melakukan program-program pembersihan orang-orang Umayyah berhasil membangun dinastinya tanpa fasilitasi dari kelompok lain. Ashobiyah (fanatisme) yang diinternalisasikan oleh imperium baru ini berhasil membangun kerajaan yang hegemoninya menghujam kuat. Sehingga, perluasan Islam terus massif menjorok ke barat dan timur. Wilayahnya memanjang mencapai perbatasan Cina di sebelah timur dan Perancis Selatan di sebelah barat, termasuk Andalus (Spanyol).[12]

Pesatnya peradaban Abbasyiah mulai surut ketika khalifah Mu’tashim memimpin. Pada masa kepemimpinannya, ia memasukkan orang-orang Turki ke istananya.[13] Kebijakan yang banyak tidak disetujui orang-orang Arab –karena pengaruh etnosentrisme- itu tidak digubris Mu’tashim. Akibatnya, orang-orang Turki semakin berani dan klimaksnya mereka membunuh khalifah Mutawakkil, anak Mu’tashim.

Di sinilah awal kemunduran Abbasiyah bermula. Mulai muncul kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh para Gubernur khalifah yang membangkang.  Puncak kemunduran Abbasyiah terjadi pada saat serangan tentara Salib dan bangsa Tartar. Pada tahun 1219 M tentara Tartar melakukan invasi ke kerajaan-kerajaan Islam. Pada tahun 1220 M/617 H bangsa Tartar berhasil menguasai seluruh kerajaan Islam.[14] Tartar pada akhirnya memasuki ibukota, Baghdad, dan memusnahkan ribuan penduduk termasuk ribuan buku di perpustakaan-perpustakaan. Akibat invasi besar itu Abbasyiah perlahan mundur dan berakhir.

Belajar dari Sejarah Modern

Periode bangkit mundurnya peradaban Islam dan pagan di zaman klasik juga terjadi di zaman modern[15]. Kerajaan/kekaisaran (monarki) yang bertahan berabad-abad lamanya mundur perlahan karena perubahan zaman. Tampaknya zaman kebangkitan (renaissance) pada abad 5 dan pencerahan (aufklarung) pada abad 17 menjadi penyebab diakronis. Sinkronisnya adalah kebosanan para sarjana dan intelektual zaman itu terhadap dominasi raja yang membonceng gereja untuk menindas upaya pengembangan dan pembaharuan (tajdid) ilmu pengetahuan.

Zaman modern (baca: modernisme) untuk selanjutnya membawa Barat ke periode kemajuan zaman yang liberal dan mengakomodasi kepentingan individual. Kapitalisme sebagai produk sejarah modernisme membawa kebangkitan bagi Barat.

Sebagai sebuah proyek, modernisme tidak bisa dilepaskan dari asumsi-asumsi filosofis yang membentuk padanagan-dunia dan menjadi fondasi dasar dari seluruh bangunan epistemologisnya. Antara lain, asumsi bahwa pengetahuan senantiasa bersifat objektif, netral, bebas-nilai (free-valued); bahwa manusia merupakan subjek, sementara alam menjadi objek; bahwa pengetahuan kita terhadap realitas adalah positif, gambling, dan jelas (distinctive); bahwa rasio dan akal budi merupakan sumber dan satu-satunya otoritas yang memiliki kebenaran tak tergugat; bahwa manusia adalah pelaku dan penggerak sejarah dan karenanya memegang kendali (dan monopoli) atas berbagai perubahan social, politik, ekonomi, dan aspek kehidupan lainnya.[18]

Transformasi struktural dari negara monarki ke demokrasi yang sarat terjadi di Eropa, Timur Tengah dan Asia tidak saja mewakili pergantian sejarah. Yang terjadi ternyata tidak saja pada perubahan bentuk negara, Akan tetapi, terjadi pula perubahan pada aspek kebudayaan masyarakat, khususnya persoalan Teologi di Eropa.  Artinya, di sana terjadi juga sebuah proses transformasi kultural yang beroperasi melalui jalur-jalur kebudayaan.


Terjadi disposisi dari tren religius menuju tren sekular bahkan atheis dalam masyarakat Eropa. Disposisi kultural ini menjadi semakin merata, terutama pada beberapa negara seperti Rusia dan negara-negara Eropa Timur yang mengalami pengeringan nilai-nilai agama oleh dominasi sistem sekular-komunis. Tampaknya, atheisme telah bergerak dari bentuk asosiasi (gesselschaft) menuju komunal (gemenschaft).

Pengaruh filsafat Eksistensialisme dan Nihilisme pada abad 19 berperan cukup besar dalam transformasi ini. Ajaran sosialisme Marx yang terpraksiskan dalam model negara komunis yang dicetuskan VI Lenin dan kaum Bolshevik Rusia menjadi salah satu representasi untuk mendongkrak proyek transformasi ini, setidaknya secara struktural. Sedangkan peran filsuf-filsuf eksistensialisme seperti Sartre dan Camus di Perancis barangkali mempengaruhi masyarakat pada lanskap filsafat, kebudayaan dan sastra.

Peristiwa-peristiwa pada zaman klasik dan modern menunjukkan telah terjadi pengulangan-pengulangan sejarah. Perubahan bentuk negara monarki menjadi demokrasi atau monarki menjadi fasis dan demokrasi menjadi sosialisme. Problemnya, apakah pengulangan tersebut berdampak baik dengan terjadinya perubahan menuju kebaikan bersama, stagnan atau sebaliknya involusi (kemunduran).

KAMMI dan Pengulangan Sejarah

Bagi KAMMI, sejarah tidak boleh terlupakan. Kata Soekarno, “jangan sekali-kali melupakan sejarah,” (Jas Merah). Sejarah yang secara empiris berputar mengisahkan kondisi dan tabiat zaman pada momentum perubahan itu. Setidaknya fenomena itu menjadi fokus diskusi dan analisis KAMMI sebagai gerakan Intelektual Profetik.

Perputaran sejarah yang terjadi begitu cepat itu merupakan sunnatullah (hukum alam) zaman. Ia merupakan mekanisasi positif. Seharusnya dipandang sebagai proses dinamika yang terus berlangsung tanpa akhir yang bisa direbut dan dikapitalisasi menjadi instrumen-instrumen kebaikan.

Fakta sejarah yang terus terjadi dan berulang-ulang itu harus diperhatikan serius oleh KAMMI. Jika ingin meretas momentum pada transisi sejarah itu. Betapa pun transisi itu sarat dengan turbulensi dan friksi-friksi beresiko. Buktinya, dalam setiap momentum itu hampir selalu mahasiswa bisa merebutnya. Pengulangan sejarah itu harus dipandang positif dan dicari alat untuk mengubahnya menjadi kemanfaatan komunal.

Revolusi (baca: kemerdekaan) 1945 yang merupakan momentum hasil rebutan para revolusioner pada interval masa-masa transisi kependudukan Jepang dan Belanda merupakan momentum sejarah yang mungkin hanya satu-satunya terjadi di dunia. Sebab, para revolusioner-revolusioner itu bisa menghimpun semua suku bangsa –yang terpisah oleh batas geografis (lautan), ras, bahasa dan budaya- untuk bernaung dalam satu negara bangsa. Meskipun pada peristiwa selanjutnya momentum revolusi ternyata tidak mudah dipertahankan.

Mimpi-mimpi untuk menikmati kemerdekaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Rupanya momentum itu sudah disengaja oleh Belanda untuk kembali menanamkan hegemoninya. Sebab toh Belanda tidak perlu bermandi keringat untuk membersihkan dan menyiapkan kepulangan serdadu Jepang.

Baik pihak Belanda maupun pihak revolusioner Indonesia sama-sama menganggap Revolusi Indonesia sebagai suatu zaman yang merupakan kelanjutan dari masa lampau[19]. Akan tetapi, Belanda melihat momentum itu sebagai katalis untuk kembali menanamkan hegemoninya. Sementara itu, pihak revolusioner memandangnya sebagai momentum hasil dari kebangkitan dan kesadaran nasional.

Rencana Belanda itu pun gagal lima tahun berikutnya, tahun 1950. Pada bulan Februari, Westerling[20] meninggalkan negeri ini dengan menyamar yang sekaligus mengakhiri hegemoni bangsa itu untuk selama-lamanya.

Momentum reformasi Mei 1998 adalah salah satu peristiwa revolusi yang gagal. Sebab mahasiswa sebagai aktor utama dalam momentum itu faktanya memberi kesempatan kepada aktor-aktor lama didikan Orde Baru untuk menjalankan roda reformasi. Itu menunjukkan ketidaksiapan mahasiswa untuk menjalankan hasil revolusi[21]. JJ Rizal mengatakan, “Dia (generasi muda 1998) itu telah mengkhianati cita-citanya sendiri."[22]

Seharusnya kedua angkatan 1998 belajar dari revolusi Amerika oleh koloni-koloni Inggris pada tahun 1776, revolusi Perancis pada tahun 1789 dan 1799, revolusi Cina tahun 1911, Rusia tahun 1917 dan revolusi Kuba oleh gerilyawan Castro bersaudara beserta Guevara tahun 1959. Revolusi-revolusi  itu telah berhasil merubah bangsa mereka secara holistik-sistemik menjadi bentuk yang baru. Begitu pun revolusi (baca: proklamasi) 17 Agustus 1945.

Idealnya, reformasi dan revolusi itu harus berubah signifikan dari zaman prarevolusi dengan termanifestasikannya peningkatan perbaikan dan pengurangan ketidakadilan di segala aspek.

KAMMI harus belajar dari peristiwa-peristiwa itu. Sebab KAMMI juga yang menurunkan Soeharto dalam aksi-aksi pra hari 21 Mei sampai demonstrasi-demonstrasi itu mereda. Aksi-aksi KAMMI yang sudah sedemikian massif sejak “Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat Indonesia” di lapangan Masjid Al-Azhar, Jakarta pada 10 April 1998 yang dihadiri sekitar 20 ribu massa aksi,[23] sampai pada tanggal 22 Mei 1998 harus dievaluasi kembali.

Sampai sejauh mana pengawalan mahasiswa pasca jatuhnya rezim ke tangan rakyat? Apakah mahasiswa hadir hanya untuk mengkritik dan menurunkan rezim tanpa megawalnya?

Mahasiswa angkatan '98 rupanya belum bisa mengambil pelajaran dari kegagalan angkatan '66 yang menggulingkan Soekarno. Revolusi yang dimenangkan mahasiswa tersebut belakangan diserahkan kepada militer –sebab saat revolusi banyak mahasiswa bekerja sama dengan militer untuk menumbangkan Soekarno, Soe Hok Gie misalnya.

Saat terjadi perubahan parlemen tahun 1966 oleh Orde Baru. Belasan eksponen mahasiswa mendapat kursi di dalam parlemen sebagai anggota perwakilan mahasiswa.  Mereka mampu membeli mobil gaji mereka itu dan beberapa diantara mereka telah memperkaya diri. Idealisme mereka di dalam kuasa baru itu luntur perlahan diganti pragmatisme seperti politisi-politisi DPR-GR[24].

Soe Hok Gie mengkritik mereka dengan menulis di Kompas, “Akhir daripada revolusi ini juga memperlihatkan kemampuan mereka sebagai generasi. Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI[25] pada akhirnya menjadi pencolong-pencoleng politik. Agen Opsus[26], makelar Pintu Kecil atau paling politikus kelas tiga. Regu-regu KAPPI[27] yang kerjanya memeras penduduk biasa atas nama perjuangan. Mereka adalah korban-korban daripada demoralisasi masyarakatnya.”[28]

Keresahan Soe Hok Gie secara implisit menjelaskan kepada kita bahwa revolusi tahun 1966 telah gagal melakukan revolusi. Rezim Orde Lama yang digulingkan kembali muncul dengan format berbeda tetapi secara substansial sama –korupsi, tendensi diktator, rezim Orde Baru.

Apa yang Harus Dilakukan?

KAMMI dengan nalar profetiknya jelas menganggap fenomena-fenomena itu adalah suatu kontradiksi. Bias proses-proses perjuangan seharusnya dihilangkan. Idealisme mahasiswa seharusnya dijaga dan dipertahankan dari awal sampai akhir. Maka tidak salah Milan Kundera, seorang sastrawan Slovenia, mengatakan, “perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah melawan lupa.”

Sejarah perjuangan angakatan 98 dan 66 yang gagal itu harus terus diingat. Kegagalan/kesalahan itu tidak boleh dilupakan. Sehingga dapat menjadi bahan evaluasi untuk menciptakan masa depan. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman, “hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[29]

Prinsip gerakan yang menyematkan kebathilan adalah musuh abadi KAMMI,[30] harus konsisten dilaksanakan secara komprehensif. Adagium yang sangat idealis dan terlihat tampak sulit dilaksankan itu harus diyakini oleh kader dan menjadi kesadaran reflektif untuk diaktualisasikan.[31] Artinya, kesadaran yang sudah dipahami baik-baik, harus pula melibatkan penggunaan nalar kritis.

Jangan sampai, kader hanya menerima adagium itu sebagai anasir elan vital tanpa didahului oleh epoche (penangguhan fenomenologis) untuk memeriksa struktur dan isi yang sebenarnya dari adagium tersebut sebelum menerima interpretasi apapun.[32] Kader harus paham mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan musuh abadi KAMMI itu? Sehingga adagium itu menghujam dalam keyakinan kader untuk diamalkan secara kolektif dalam gerakan-gerakan massa yang KAMMI rancang.

KAMMI harus menyiapkan dirinya untuk menghadapi perubahan momentum yang sewaktu-waktu bisa terjadi. ‘Momentum’ yang muncul itu diambil, direkayasa dan dikawal dengan ‘nilai-nilai KAMMI’ menjadi momentum yang mengakomodasi kepentingan semua orang, yaitu ‘demokrasi’ -visi kebangsaan kita. Seperti pada formula di bawah ini:













M+N=D

Keterangan:

M         = Momentum

N         = Nilai

D         = Demokrasi

Formula diatas menggambarkan tentang rekayasa KAMMI menghadapi perubahan momentum. Momentum yang sudah terjadi direkayasa dengan nilai-nilai visi perbaikan KAMMI. Nilai-nilai sebagai representasi paradigma KAMMI sebagai gerakan politik ekstraparlementer, selanjutnya mengejewantah dalam dua opsi tawaran KAMMI:

Pertama, momentum reformasi 1998 –sebagai contoh- ditindaklanjuti dengan mengusulkan pendirian perwakilan mahasiswa -perwakilan BEM yang bersifat ad hoc- di parlemen –seperti pasca revolusi tahun 1966 dengan format yang tetap menempatkan mahasiswa sebagai elemen ekstraparlementer. Perwakilan ini berfungsi sebagai alat mahasiswa untuk mengawali perjalanan pemerintahan.

Perwakilan ini harus secara berkala melaporkan perkembangan kebijakan-kebijakan di parlemen ke mahasiswa dan menganalisisnya. Jika kebijakan itu baik untuk demokratisasi maka direkonstruksi dan didukung. Sebaliknya, jika merugikan dan mengkhianati reformasi maka didekonstruksi dan dihentikan.

Kedua, mahasiswa bekerja sama dengan pemerintah membuat agenda bersama. Mahasiswa  bersama pemerintah sebagai konseptor juga sebagai eksekutor. Seperti proyek-proyek pemberdayaan sosial. Mahasiswa mengandalkan massa untuk bergerak sedangkan pemerintah dengan kuasanya menggunakan anggaran memfasilitasi. Wallahu alam bis shawab.







* Ketua KAMMI Komisariat UMY 2010-2011, sekarang menjadi Ketua Bidang Kaderisasi KAMMI Daerah Bantul. Penggiat diskusi KAMMI Kultural




* Mereka yang tidak dapat belajar dari sejarah dikutuk untuk mengulanginya




[1] Lemuria/mu merupakan peradaban kuno yang muncul terlebih dahulu sebelum Atlantis. Para peneliti menempatkan era peradaban Lemuria/mu disekitar 75.000 SM – 11.000 SM. Jika kita lihat dari periode itu, Bangsa Atlantis dan Lemuria/mu seharusnya pernah hidup bersama selama ribuan tahun lamanya.

Gagasan Benua Lemuria/mu seharusnya terlebih dahulu eksis dibanding peradaban Atlantis dan Mesir Kuno dapat kita peroleh penjelasannya dari sebuah karya Augustus Le Plongeon (1826-1908), seorang peneliti dan penulis pada abad ke-19 mengadakan penelitian terhadap situs-situs purbakala peninggalan bangsa Maya di Yucatan. Informasi tersebut diperoleh setelah keberhasilan menerjemahkan beberapa lembaran catatan kuno peninggalan bangsa Maya. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Lumeria




[2] Shaw (2002) hal. 78–80. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno




[3] Nicholson (2000) hal. 510. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno




[4] Skolastisisme adalah nama sebuah periode di Abad Pertengahan yang dimulai sejak abad ke-9 hingga abad ke-15.[1] Masa ini ditandai dengan munculnya banyak sekolah (dalam bahasa Latin schola) dan banyak pengajar ulung.[1] Selain itu, skolastik juga menunjuk pada metode tertentu, yakni metode yang mempertanyakan dan menguji berbagai hal secara kritis dan rasional, diperdebatkan, lalu diambil pemecahannya.[1] Ciri dari metode skolastik adalah kerasionalan dari apa yang dihasilkan. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Skolastisisme.




[5] Hassan Hanafi,  Oksidentalisme: Sikap Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 221




[6] Ibid., hlm. 220




[7] Ifrath adalah melampaui batas dalam beribadah dan beramal tanpa ilmu. Sedangkan tafrith adalah kebalikannya, yaitu melalaikan dan meremehkan ibadah bahkan menentang Kebenaran yang telah diketahui. Dikutip dari http://quranpetunjukjalan.blogspot.com/2008/09/tafrith-dan-ifrath.html




[8] Hassan Hanafi, Islamologi 2: Dari Rasionalisme ke Empirisme, (Yogyakarta: LKis, 2007), hlm. 63-64




[9] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 2011, hlm. 301




[10] Tamim Anshari, Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta: Zaman, 2009), hlm. 146




[11] Ibid., hlm. 149




[12] Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam: Dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hlm. 62




[13] Ibid., hlm. 72




[14] Al-Wakil, Op.cit, hlm. 237




[15] Hassan Hanafi mengklasifikasikan zaman modern sebagai periode peradaban manusia yang dimulai sejak abad 17 (pencerahan) sampai abad 20. Lihat Hassan Hanafi,  Oksidentalisme: Sikap Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 40




[17] Lihat Buletin Mocopat Syafaat, 17 Februari 2013




[18] Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: Lkis, 2012), hlm. 9-10




[19] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 351




[20] Raymond Westerling adalah komandan pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Raymond_Westerling

[21] JJ Rizal dalam Swara Indonesia Bersama Irma Hutabarat di TVRI, 13 Februari 2013




[22] Tribun Jambi, 27 Oktober 2012




[23] Mahfudz Sidiq, KAMMI dan Pergulatan Reformasi: Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi, (Solo: Era Intermedia, 2003), hlm. 122




[24] Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong.




[25] Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia




[26] Operasi Khusus




[27] Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia




[28] Soe Hok Gie, Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima”, Kompas, 17 Agustus 1969. Dalam Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, (Jakarta: LP3ES, 2008), hlm. 19




[29] Al-Qur’an, Surah Al-Hasyr (59) ayat 18




[30] Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO), Pasal 5, ayat 2




[31] Donald D. Palmer, Sartre untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 38




[32] Ibid., hlm. 35 dan 149



Tidak ada komentar:

Posting Komentar