oleh: Ali Akbar Hasibuan *)
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural
Tan Malaka: seorang putra kandung pribumi yang telah berhasil menorehkan sejarah perjuangan. Ia bermodalkan nusantara dan berwatakkan sosial sebagai simbol kemuliaan kaum buruh dan tani. Jujur, hati saya tak bisa membayangkan, seorang pribumi Indonesia berdarah minang yang kebanyakan masyarakatnya buta huruf. Tetapi, pada tahun 1922, beliau telah berhasil melampaui sejarah ketika menjadi orang Indonesia pertama yang berpidato pada kongres Komunis Internasional (Komintern) keempat di Moskow, Uni Sovyet.
Pidato pada 12 November 1922 itu menolak tesis yang didraft oleh Pemimpin Partai Komunis Rusia, Vladimir Lenin, dan diadopsi pada kongres kedua. Draft Lenin tersebut menekankan betapa pentingnya perjuangan melawan Pan-Islamisme bagi kelas pekerja. Tan tak bisa menerima itu. Karena, bagi Tan, antara Komunis dan Pan-Islamisme tak perlu dibenturkan. Mereka bisa bekerja sama pada bidang-bidang tertentu.
Tan beranggapan bahwa Pan-Islamisme sekarang telah kehilangan arti sebenarnya dalam kerangka historis. 400 tahun setelah meninggalnya baginda Nabi, kaum muslimin terpisah menjadi tiga negara besar. Khalifah spanyol mengatakan “aku adalah benar-benar khalifah sesungguhnya”. Khalifah Mesir juga mengatakan hal yang sama, serta khalifah baghdad berkata “aku adalah khalifah yang sebenarnya, karena ku berasal dari suku Arab Quraish”.
Menurut beliau, Pan-islamisme dalam prakteknya sekarang ialah perjuangan untuk pembebasan Nasional, karena bagi kaum muslimin, Islam adalah segalanya. Islam tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan dan segalanya. Dengan demikian, Pan-Islamisme saat ini adalah persaudaraan antara sesama muslim, dan perjuangan kemerdekaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga untuk Hindia yang sedang dijajah oleh bangsa Belanda.
Tan dan KAMMI
Berbicara tentang KAMMI tentu berbicara tentang pergerakan mahasiswa. Pertanyaan yang mengambang dalam samudra pikiran saya, apa yang telah KAMMI gerakkan? Dan jika boleh saya kerucutkan, apa yang telah disumbangkan kader bagi sejarah perjalanan ibu pertiwi> Kalau memang itu ada, sudahkah layak bersanding di mahligai sejarah bangsa ini bersama Tan Malaka, yang berpeluh darah untuk kemerdekaan bangsa?
Malu rasanya jika saya masih mencium bau-bau caci dan makian segelintir kader terhadap Tan Malaka. Hanya dengan alasan “Tan adalah Komunis, Tan adalah anti agama sebagaimana Marxis”. Padahal, dari bibir Tan Malaka juga pernah terucap “Ketika saya berdiri didepan tuhan saya adalah seorang muslim, tetapi ketika saya berdiri didepan orang banyak saya buka seorang muslim”. Belum pernah saya temukan sebuah buku atau dokumen yang menafsirkan maksud dan tujuan Tan Malaka berkata seperti itu.
Terlepas dari salah atau benarnya perbuatan beliau itu menurut pandangan Islam, seharusnya nilai yang kita ambil ialah semangat dan cita mulia beliau dalam melepaskan kaum proletar dari jeratan capitalism. Dan tentu itu merupakan salah satu ajaran Islam. Jadi, bukan hanya sebatas bahwa beliau adalah seorang PKI yang disebut-sebut sebagai golongan kiri. Sempit sekali rasanya pemikiran seperti itu.
Ketika kita berbicara ‘dapur’ pada proses pencarian hikmah, kita hanya selesai pada fase itu. Sesumbar-sesumbar kotor akan lahir bahwa dia bukan jama’ah kita, dia anti agama, tidak sholeh dan berbagai cibiran yang tidak mencerdaskan lainnya. Sehingga yang terjadi hanyalah kemalasan dan ke-ogah-an kita untuk menerima kebaikan yang datang dari watak kesosialisannya.
Padahal, sebuah kata nan indah telah berucap bahwa “Hikmah adalah milik muslim yang hilang, dimana saja dia menemukannya, maka ia berhak mengambilnya”. Sebagai seorang intelektual yang dibingkai oleh kerangka profetik, semestinya sebagai kader KAMMI, kita sudah selesai pada 'keadilan' dalam menempatkan posisi seseorang.
Kita harus adil dalam menempatkan posisi Tan Malaka. Yang perlu kita pelajari dari beliau adalah kepiawaiannya dalam memobilisasi masa, mendesain wacana hingga membentuk partai politik kiri (Murba). Biarlah keimanan menjadi urusan beliau dengan Allah, yang jelas nanti akan beliau pertanggungjawabkan sendiri. Karena, jikalau kita berbicara spritualitas, Tan Malaka tentu bukanlah makhluk pribumi yang layak. Nabi dan sahabatnya lebih tepat.
Mari adil sedari dalam pikiran dan tetap mencintai KAMMI dengan sederhana.
*) Penulis adalah Aktivis KAMMI UIN Sunan Kalijaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar