tulisan ini disampaikan pada diskusi rutin LDK Universitas Negeri Jakarta
Oleh : Andriyana S.T *)
AWAL tahun 2011, dunia di kejutkan oleh sebuah peristiwa tumbangnya rezim ototriter Tunisia dalam waktu yang sekejap. Hanya sepekan pemimpin otoriter Zinedin Ben Ali ini tumbang karena demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Tunisia. Peristiwa ini bermula ketika seorang pedangan buah dan sayuran di rampas dagangannya dan dia melakukan protes terhadp pemerintah Tunisia,karena tidak di gubris maka pedagang ini membakar dirinya hingga tewas sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Sontak kejadian ini menjadi pemicu terjadinya demonstrasi besar-besaran di Tunisia dan menyebabkan dictator Ben Ali melarikan diri dari Tunisia dalam waktu sepekan.
Laksana belantara kerontang disirami bensin, maka tinggal menunggu waktu pula datangnya pemantik untuk menyulut api perlawanan terhadap pemerintahan diktator di Timur Tengah. Tak perlu menunggu lama api perlawan itu berkobar di hampir seantero dunia Arab,yang kemudian pergolakan perlawanan di Timur Tengah ini oleh sebagian orang di sebut dengan “arab spring”.
Perlawan itu pun bergeser dari Tunisia ke Mesir, Libya, Yaman, Maroko, Suriah dan Negara arab lainnya. Baik secara revolusi,reformasi atau pun lipservis belaka. Tapi yang pasti, pergolakan yang bermula di Tunisia ini memberikan dampak yang luar biasa terhadap perubahan peta politik timur tengah dan masa depan gerakan kebangkitan islam.
Peta Politik Baru
Pasca kejatuhan pemerintahan Turki Usmani pada tahun 1924 yang merupakan kekhilafahan umat islam terakhir. Menjadikan Negara-negara muslim terpecah pecah menjadi Negara sendiri berdasarkan kesukuan arab yang begitu kuat. Selain itu penajajahan yang di lakukan oleh inggris, perancis, italia dan negeri eropa lainnya menjadikan daerah umat muslim sebagai makanan yang di bagi-bagi diantara para colonial itu. Setelah masa penjajahan itu berakhir Negara-negara muslim yang terpecah itu di kuasai oleh rezim tiran yang menindas rakyat. Ada diktaor ben ali di Tunisia,hosni Mubarak di mesir, Khadafy di Libya, basyar assad d suriah dll.
Setelah berhembusnya “arab spring” serta Tumbangnya rezim dictator di tumor tengah dan munculnya kekuatan gerakan islam. Maka peta politik dunia arab pun berubah. Di Tunisia setelah tumbangnya rezim ben Ali dalam waktu delapan bulan setalah itu mampu menyelenggarakan pemilu yang demokratis dan menjadikanHizbul Harakah An Nahdah yang berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin ini menjadi pemenangnya.
Berikutnya adalah Mesir. pasca menumbangkan rezim Hosni Mubarak, yang di kenal dengan “Revolusi 25 Januari 2011” setahun berikutnya pada bulan januari 2012 mesir melakukan pemilu yang demokratis dan menjadikan Hizbul Hurriyah wal ‘Adalah ( partai pembebasab dan keadilan )yang berafiliasi kepada ikhawnul muslimin mendapatkan 40% suara dan Hizbul Annur ( partai annur ) yang berafiliasi kepada salafy mendapatkan 20 % suara di parlemen.
Pada pemilu presiden putaran pertama di mesir digelar pada tanggal 23-24 Mei lalu. Menurut data, calon dari Ikhwanul Muslimin, Muhammad Mursi meraih 24,8 persen suara, diikuti mantan Menteri Penerbangan Untuk Sipil, Ahmed Shafiq dengan 23,7 persen suara. Sedangkan, tiga calon lainnya yakni pemimpin Sosialis Hamdin Sabbah, hanya meraih 20,7 persen suara, tokoh Islam moderat Abdel Moneim al-Futuh dengan 17,5 persen suara, dan terakhir, tokoh Liberal dan mantan diplomat, Amr Moussa dengan 10,9 persen dukungan pemilih.
Di Maroko secara diam-diam angin reformasi juga berimbas pada amandemen undang-undang yang dilakukan pada bulan Juli lalu. Di antara klausul amandemen itu menyebutkan bahwa Raja mengangkat Perdana Menteri dari partai yang paling banyak kursinya di parlemen. Dan partai Islam, Hizbul Adalah Wat Tanmiyah memenangi hajat demokrasi itu, November 2011.
Di Libya, meski berdarah-darah dan kehancuran ada di mana-mana, akhirnya rakyat meraih kebebasannya dan sekarang meretas jalan transisi menuju demokrasi yang damai. Di Yaman presidennya sudah menyerahkan kekuasaannya dan dibentuklah pemerintahan rekonsiliasi nasional. Dan pada hari selasa, 21 Februari 2012 Yaman menyelenggarakan pemilu presiden dan di menangkn oleh wapres nya.
Yang masih ‘ngotot’ adalah pemerintah Suriah, Assad masih bersikeras melanggengkan kekuasaannya, membunuhi warga sipil tak berdosa, tidak mengindahkan seruan Liga Arab dan seruan Dunia Internasional, namun lambat laun tapi pasti rakyatnya akan mendapatkan hak kebebasannya.
Di Kuwait, negara kaya minyak itu juga meretas perubahan. Awal Februari 2012 ini diadakan pemilihan anggota parlemen. Hasilnya duapertiga dari total 50 kursi p arlemen dimenangkan kelompok Islam –Ikhwan dan Salafi-, kali ini kalangan Sekuler bertekuk lutut (dakwatuna). Pada era “arab spring” ini gerakan islam memiliki andil yang cukup besar dalam menggerakan perlawanan untuk menumbangkan rezim tiran di negaranya. Kemenangan partai islam yang mderat atupun konservatif itu menunjukan bahwa gerakan islam memiliki basis masa dan tingkat kepercayan kepada partai islam.
Peta perpolitikan dunia arab kini telah berubah, gerakan islam yang selama berpuluh-puluh tahun mengalami penindasan dan ketidak adilan kini mendapatkan momentumnya di “arab spring” . Selain peta perpoilitikan yang berubah kini dunia sedang menunggu kontribusi dari gerakan islam dalam menciptakan kondisi Negara yang lebih baik dan kondusif. Seperti halnya yang di tunjukan oleh partai AKP yang berafiliasi kepada ikhwanul Muslimin di turki yang telah membawa turki pada peningkatan ekonomi dan kestabilan ekonomi di saat negeri eropa dilanda krisis yang luar biasa.
Kebangkitan Umat Islam
Selain itu momentum “Arab Spring” ini merubah paradigma atau pemahaman sebagian orang tokoh salafy tentang politik. Fenomena ini menarik sekaligus menjadi kejutan dan menjadi kekhawatiran kelompok liberal. Munculnya partai An-Nur yang berafiliasi kepada salafy di mesir menjadi perbincangan hangat terkait berubahnya pandangan salafy terkait dengan aktivitas politik.
Pada tahun 1984 kelompok salafy ini mengkafirkan ikhwanul muslimin yang memilih untuk berpolitik praktis pada waktu itu. Kelompok salafy memandang siapa pun yang berpartisipasi dalam perebutan kekuasaan melalui jalur demokrasi adalah haram dan sikap yang tidak di benarkan dalam kacamata kelompok salafy. Akan tetapi kini 180 derajat berubah. Pada pemilu legislative di mesir meraih 20 % suara di parlemen. Mungkinkah fenomena ini menunjukan bahwa telah ada perubahan dalam pola fikir dan pemahaman kelompok salafi terkait dengan aktivitas politik?.
Ada perubahan pandangan terhadap aktivitas politik kelompok salafy terhadap demokrasi,Salah satu tokoh “Dakwah As Salafiyah”, Dr. Yasir Burhami menyatakan, “Walau kemungkinan adanya kerusakan dalam pemilu, namun partai ini akan menempuh beberapa kerusakan demi untuk menolak kerusakan besar yang bertentangan dengan Islam.” Demikian lansir Yaum As Sabi’ [islamedia.com]. Yasir juga mengakui bahwa demokrasi mengandung perkara yang bertentangan dengan Islam, salah satunya bahwa hukum milik Allah.
Namun, menurutnya, partai An Nur yang didirikan oleh para aktivis komunitas Salafy hanya akan mengikuti demokrasi yang sesuai syariat. ”Adapun partai An Nur maka ia bersama demokrasi yang terikat dengan syariat Islam dan tidak terikat dengan dasar yang dimiliki Barat.” Pernyataan itu disampaikan Yasir di acara Muktamar I Hizb An Nur, yang dilaksanakan pada hari Selasa (13/9) sore di Damanhur Mesir, di hadapan 3000 massa dari pengikut komunitas ini. [hidayatullah/thoriq].
Ada semacam perubahan cara pandang dalam mengaktualisasikan cita-cita keislaman antara pemahaman islamisme lama ( konservatif ) dengan Pos-Islamisme. Dimana islamisme lama mempunyai paradigma “ bagaimana islam memandang tentang sekularisme” sedangkan Pos-Islamisme memandang “ bagaimana islam berkontribusi dalam sekularisme”.
Cara pandang islamisme lama terhadap demokrasi sebagai bagian dari sekularisme menghasilkan produk yakni halal dan haram demokrasi itu.sedangkan cara pandang Pos-Islamisme menghasilkan pemahaman bahwa sekularisme itu hanya istitusi saja bukan pengejawantahan nilai dalam pribadi. Sehingga setiap muslim dapat berkontribusi dalam bangsa dan negara yang sekuler sambil membawa nilai-nilai keislaman yang ada dalam dirinya.
Apa pun latar belakang dan motif pendirian partai politik oleh kelompok salafy kita harus memandang positif,paling tidak sudah ada kesatuan padangan dan keinginan umat islam yang menjungjung tinggi nilai syariat untuk memimpin negeri,selain itu kesadaran bahwa perjuangan untuk melembagakan islam dalam bentuk sebuah Negara bisa di lakukan dengan berpartisipasi dalam kancah politik di negaranya.
Ketika Eropa dilanda krisis ekonomi yang sangat parah, justru di Dunia Islam, Partai Islam mulai menggeliat dan menuju anak tangga pemerintahan, lewat pemilu yang demokratis. Boleh jadi inilah masa perubahan peradaban dunia –tadawul hadharah alamiyah- menuju kebangkitan Islam dan umatnya.
Dunia Barat tidak perlu khawatir dengan naiknya Partai Islam di pusaran kekuasaan. Hendaknya semangat yang dibangun sekarang ini adalah semangat ‘Dialog Peradaban’ antar umat manusia, bukan lagi kecurigaan dan permusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar