Penulis : Jean Paul Sartre
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tahun Cetak : 2002
Tebal : 148 Hal
Panjang : 19 cm
Peresensi: Zulfikhar*
JIKA mendiskusikan filsafat eksistensialisme, sebenarnya kita sedang akan mendiskusikan pemikiran Jean Paul Sartre. Seorang filsuf besar Perancis yang berpengaruh pada dua dekade 50 dan 60-an. Kontribusinya dalam mengembangkan aliran filsafat moderen ini sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan sampai saat ini belum ditemui filsuf-filsuf besar Perancis yang bisa menggantikan kedudukan Sartre.
Sartre lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905.[1] Pada masanya; ia juga dikenal sebagai seorang novelis, dramawan dan aktivis politik yang berpengaruh. Pikiran-pikirannyamenjadi referensi oleh banyak orang di Perancis. Tetapi ia tidak pernah puas dengan pandangan-pandangan intelektualnya.[2]
Uniknya dalam menjelaskan gagasan fisafatnya, Sartre mengejewantakannya ke dalam novel. Hal ini senada dengan inisiatif Albert Camus (1913-1960) untuk menjelaskan filsafatnya melalui novel-novelnya: L’Etranger (1942), La Peste (1947), La Chute (1956). Barangkali hal ini dilakukan Sartre –dan Camus- agar filsafatnya ini mudah dicerna dan dipahami. Misalnya pada tahun 1938 saat menjadi dosen muda di Lycée du Havre, ia menulis novel berjudul La Nausée yang berisi ide-ide eksistensialisme dan menjadi salah satu karya Sartre yang terkenal. Nausée bercerita tentang seorang peneliti yang patah semangat, Roquentin, di sebuah kota yang jika diamati memiliki kemiripan dengan Le Havre. [3]
Selain La Nausée, Sartre juga menulis novel Le Mur. Le Mur menekankan pada aspek kesadaran di mana manusia mengenali dirinya sendiri dan absurditas dari usaha-usaha mereka untuk menghadapi diri mereka sendiri secara rasional.[4] Tidak heran berkat novel-novelnya itu Sartre pernah dianugerahi nobel sastra pada tahun 1964, namun ditolak olehnya.
Eksistensialis merupakan istilah yang diciptakan Sartre untuk menamai pandangan filsafat yang sebagian berasal dari filsuf abad ke-19, Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Nietzsche (1844-1900). Juga dari Heidegger (1889-1976). Pandangan ini mengatakan kehadiran manusia di dunia adalah absurd. Tidak ada maksud yang absolut keberadaan manusia di dunia. Semuanya berputar di dalam relativisme pendapat. Absurditas berarti mengenali dunia tanpa konsep-konsep yang telah kita terapkan padanya.[5]
Kehadiran buku ini oleh Sartre dimaksudkan untuk menjelaskan tentang eksistensialisme secara eksplisit. Sebab, belakangan banyak hadir interpretasi-interpretasi dari para sarjanawan dan awam yang bertentangan dengan definisi eksistensialisme.
Tujuan buku ini seperti disampaikan Sartre pada awal tulisan adalah untuk mengajukan pembelaan pada eksistensialisme untuk melawan beberapa kritik yang ditujukan pada aliran filsafat ini. [6] Sartre tampaknya ingin meluruskan pemahaman yang keliru terhadap filsafat ini.
Pemahaman yang keliru tersebut mengemuka ketika beberapa kritik yang mengatakan eksistensialisme menagajak manusia untuk berlepas diri terhadap keadaannya dirinya yang abdurd. Manusia –menurut para komentator itu- diamini untuk berputus asa terhadap hidupnya karena tujuan keberadaannya yang tidak jelas.
Pada kasus yang lain eksistensialisme di klaim sebagai aliran yang identik dengan keburukan. Seperti kisah seorang wanita yang sedang mengalami kenervousan sehingga menyumpah, “aku yakin aku sedang menjadi seorang eksistensialis.”[7] Eksistensialisme dimaknai wanita itu sebagai aliran yang mendatangkan ekses negatif bagi manusia.
Dengan tegas Sartre menolak interpretasi dan kritik itu sebagai suatu phobia terhadap eksistensialisme. Eksistensialis sebaliknya sebenarnya mengkonstruksi keberadaan manusia dalam kehidupan agar bermakna. Manusia dalam pandangan eksistensialisme menghendaki untuk menjadi berarti bagi dirinya sendiri. Manusia seharusnya menemukan dan menentukan arah hidupnya. Bagaimana obsesi keberadaannya dan bagaimana ia menjadi di masa depan.
Makanya eksistensialisme menuntut manusia untuk menjadi bebas (free). Bebas menentukan makna (esensi) dan alur kisah hidupnya. Eksistensialisme menolak determinasi apapun dalam hidup manusia. Tidak berhak intervensi dan kekuatan asing menentukan keberadaan manusia. Oleh karena itu Sartre mengatakan, "manusia dikutuk untuk menjadi bebas” (L'homme est condamné à être libre). Manusia secara alamiah bebas, pada dasarnya dan sepenuhnya bebas.
Karena kebebasan yang menjadi modal dasar dari eksistensialisme, sehingga doktrin aliran ini adalah eksistensi mendahului esensi. Artinya, karena keberadaan (eksistensi) manusia di dunia, menghadapi hidup, mencari jalan untuk menemukan dirinya sendiri, menjadi sesuatu karena kehendak dirinya sehingga pada akhirnya ia berhasil mendefinisikan dirinya. Mendefinisikan tujuan (telos) bagi keberadannya. Artinya manusia pada level tersebut mafhum akan kehadirannya di dunia (esensi).
Dokstrin eksistensi mendahului esensi merupakan doktrin yang meminjam metafor Emha Ainun Najib adalah sesuatu yang padat. Artinya ‘yang padat’ ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dikompromikan. Meskipun memungkinkan dapat didekonstruksi oleh filsuf-filsuf yang berseberangan atau ketika periodisasi zaman telah berubah. Doktrin ini tidak dapat dibalik menjadi esensi mendahului eksistensi. Sebab, dalam filsafat ini campur tangan Tuhan dinegasikan.
Manusia yang berTuhan tentu tidak akan sepakat dengan doktrin tersebut. Sebab keberadaan asal-usul (archia) manusia di dunia –dalam Islam misalnya- untuk beribadah kepada Allah.[8] Oleh karenanya dalam teologi, konstruksi maksud dan tujuan kehadiran manusia sudah diformulasikan sejak semula oleh Allah. Jadi, esensi manusia sudah ada sejak dahulu meskipun masih dalam dimensi metafisik –tetapi dijelaskan dalam kitab suci: Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Sehingga selanjutnya manusia akan dituntun oleh agama untuk menemukan dirinya. Manusia tidak perlu mencari kebenaran dengan memeras nalar kritisnya. Sebab kehadiran manusia sudah ada maksud dan tujuannya (esensi) oleh logosenstrisme[9] ajaran agama.
Dalam buku ini Sartre menarasikan doktrin ini dalam kisah Abraham (panggilan dari bahasa ibrani untuk nabi Ibrahim). Abraham dalam mimpinya mendapat perintah dari malaikat –menurut cerita Sartre- untuk menyembelih putranya. Singkat cerita Abraham mengikuti perintah malaikat itu untuk menyembelih putranya. Sartre menyikapi peristiwa itu sebagai sebuah kejadian yang absurd. Bagaimana mungkin seorang Abaraham yang cerdas itu bisa terpengaruh oleh perintah malaikat bahkan hanya dalam mimpi? Bukankah mimpi itu tidak nyata, imajiner dan relatif? Dan kalaupun benar itu adalah perintah, apakah benar itu adalah perintah malaikat? Jangan-jangan perintah itu datang dari setan atau makhluk yang lain atau hanya imajinasinya sendiri. Peristiwa itu merupakan contoh determinisme logosentris transenden terhadap Abraham, bukan eksistensialisme.
Determinisme logosentris ini barangkali yang harus dinegasikan. Sehingga manusia menjadi dirinya sendiri. Maka baru manusia bisa menjadi seorang eksistensialis. Berpikir dan bersikap independen dalam merespon keabsurditasan dunia.
Dalam eksistensialisme, manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri. Itulah prinsip pertama eksistensialisme.[10] Oleh karena itu disini diakui “subyektifitas.” Subyektifitas inilah yang diakui di dalam eksistensialisme sebagai sumber kebenaran. Sebab bagi seorang eksistensialis tidak ada kebenaran absolut. Kebenaran yang diakui hanya berasal dari pilihan manusia itu sendiri. Otoritas subyektif manusia untuk memilih menjadi seorang guru, politisi, dokter, atau pengacara itulah kebenarannya. Aneh sebenarnya jika mencoba memahami ontologi filsafat ini. Tetapi inilah eksistensialisme itu. Khususnya versi Sartre sebagai salah satu mainstream.
Tentang subyektifitas ini Sartre kembali menarasikan –semata-mata untuk meluruskan pengertian konsep ini- dalam sebuah cerita singkat. Seorang mahasiswa datang kepada Sartre mengeluhkan masalah yang menimpanya. Mahasiswa itu untuk melayani negaranya berniat untuk pergi berperang membela Perancis dalam Perang Dunia II. Oleh karenanya ia menyiapkan dirinya untuk bergegas memenuhi panggilan patriotis itu. Tetapi disitu justru muncul masalah. Mahasiswa itu tidak tega meninggalkan ibunya hidup sendiri. Ia merasa bersalah jika harus meninggalkan sang ibu. Ia bertanya kepada Sartre apa yang pilihan yang tepat terhadap masalahnya itu. Sartre tidak memberikan jawaban apapun. Ia justru mengarahkan mahasiswa itu untuk berpikir sendiri memecahkan masalahnya. Akhirnya, pemuda itu pergi tanpa kejelasan apapun. Belakangan ia memilih untuk tetap bersama ibunya.
Inilah salah satu kisah yang mencerminkan kehidupan seorang eksistensialis. Berani memutuskan untuk memilih dan memecahkan masalahnya sendiri. Sartre tidak memberikan jawaban sebab ia adalah seorang eksistensialis. Ia mencoba tidak bersikap determinis dan sebaliknya bersikap netral dalam ambiguitas itu.
Sartre dalam filsafatnya tidak membawa otoritas Allah untuk memperkaya subyektifitas. Sebab jamak diketahui Sartre menjadi atheis sejak pernikahan kedua ibunya dengan seorang Kristen yang taat. Tetapi dalam bukunya ini Sartre tak terduga membagi eksistensialisme ke dalam dua golongan: Eksistensialis Kristen dan Eksitensialis Atheis.[11] Filsuf eksistensialis Kristen misalnya Jaspers, Gabriel Marcel dan tentunya Kierkegaard. Sisanya filsuf-filsuf atheis seperti Camus, dll. Artinya Sartre tidak memaksakan bahwa eksistensialisme ini hanya untuk seorang atheis.
Kierkegaard yang alim dimasukkan sebagai filsuf eksistensialis justru karena kealimannya sebagai seorang Kristen. Ia mengkritik realitas kehidupan orang Kristen pada zamannya hidup (abad ke 19). Di Denmark saat itu agama yang dianut penduduk adalah Kristen Lutheran. Sisanya orang-orang Yahudi. Tetapi orang-orang Kristen saat itu tidak hidup sebagai seorang Kristen. Mereka diperbudak oleh dunia dalam keborjuisan hidup dan sekularisme. Hal ini dikritik Kierkiegard tidak sesuai dengan ajaran bible dan harus dinegasikan. Seperti yang disaksikan sendiri oleh Kierkigaard, orang Kristen modern tidak memandang rendah dunia tapi malah menyukainya; ia tidak lagi menghindar dari ukuran-ukuran materialistik, kehilangan perasaan untuk berkorban seperti yang telah diminta oleh Kristus dan sekarang bahkan memandang kekecewaan dan penderitaan –simbol dari ajaran Kristen- sebagai kejahatan besar.[12]
Kritik Kierkegaard juga pada filsafat Hegel. Filsafat ini populis dianut oleh banyak menteri yang dulunya pernah mempeljarinya di universitas-universitas di Jeman dan negara-negara Skandinavia. Hegelianisme dikritik olehnya karena mulai menafsirkan Kristen dalam terma-terma pemikiran Hegel. Baginya Hegel telah melakukan suatu kesalahan mendasar mengenai iman karena ia menganggap iman Kristen sebagai suatu yang rendah dibanding filsafat.[13]
Dengan adanya klasifikasi eksistensialisme itu, secara implisit memosisikan eksistensialisme tidak selamanya analog dengan atheisme. Bahwa benar buku ini secara garis besar menjelaskan tentang eksistensialisme atheis. Tetapi tidak menjadi padat (absolut) bahwa seorang eksistensialis itu adalah seorang atheis. Sehingga eksistensialisme bisa saja diperluas dan diredefinikan ke dalam konsep teologi-teologi yang lain seperti Islam. Suatu saat bisa saja lahir “Eksistensialisme Islam” oleh peran para eksistensialis muslim. Meskipun secara gradual harus mendekonstruksikan doktrin eksistensi mendahului esensi atau barangkali dengan metode yang lain –seperti Kierkegaard misalnya.
Tabiat zaman post-modernisme yang sedang dijalani filafat sekarang ini suka merelatifkan segala hal. Bahkan posmodernisme memang antithesis modernisme dan kemapanan-kemapanan sistem bahasa kontemporer. Maka bisa saja eksistensialisme akan memasuki periode pos-eksistensialisme. Tentu saja Islam kemudian dapat direformulasi ke dalam eksistensialisme. Baik itu dengan proses adaptif, adaptatif atau adoptif. Prioritasnya, reformulasi itu tidak boleh menciderai nilai-nilai Islam yang padat (ushuliyah/pokok).
Eksistensialisme yang sarat dengan nilai-nilai kerelatifan tampaknya analog dengan gagasan “dekonstruksi” dari Derrida. Dekonstruksi ini mensyaratkan tidak adanya konsep epistemologis yang absolut. Seperti pesan-pesan posmodernisme. Dekonstruksi memandang semua ide atau teori itu bisa dikritik dan dipertanyakan ulang kevaliditasannya. Derrida lebih jauh mengajak kita berpikir “tanpa konsep tentang kehadiran atau absensi, tanpa sejarah, tanpa tujuan, tanpa archia ataupun telos, berpikir tentang suatu tulisan yang akan mengacaukan dialektika, teologi, teknologi ataupun ontologi.[14]
Derrida disini mengajak kita untuk berpikir menegasikan determinisme dalam segala hal.Tidak ada lagi dikotomi benar dan salah, baik dan buruk, pahala dan dosa, subyektif dan obyektif, ilmiah dan tidak ilmiah. Bahwa tidak ada sesuatu yang absolut di dunia ini. Senada dengan Derrida, Sartre lebih awal sudah memulainya dalam filsafatnya (eksistensialisme).
Tetapi sekali lagi penulis mengaksentuasikan bahwa eksistensialisme bukan anti-Allah. Eksistensialisme hanya tidak menarik peran Allah sebab manusia tahu apa yang dibutuhkannya sendiri. Maka eksistensialisme sekular tetapi theistik.
Manusia yang ber-Tuhan boleh saja menjadi seorang eksistensialisme. Tidak ada syarat tertentu untuk menjadi eksistensialis. Hanya diperlukan keberanian berpikir dan bersikap mandiri. Oleh karena itu Immanuel Kant berpesan untuk, “mandiri dalam berpikir” (sapere aude).
Keberanian berpikir dan bersikap mandiri itu sebenarnya bisa dilakukan oleh semua orang. Tetapi, subyektifitas seperti itu tidak mungkin bisa lahir dengan sendirinya tanpa kausa formal, material dan esensialnya. A priori (rasionalitas) nalar dalam subyektivitas dibentuk karena eksistensi manusia. Eksistensi itu akhirnya mengkristal. Tetapi dalam proses menuju pengkristalan itu pasti tanpa disadari terjadi pencampuran ide atau gagasan dari luar. Termasuk agama, seperti Islam. Sehingga bisa saja kristalisasi yang selanjutnya bertransformasi menjadi tabiat eksistensialis itu dikonstruksi dari ide-ide transenden Islam. Sehingga dalam proses pencarian kebenaran itu, seorang eksistensialis akan menggunakan Islam sebagai sumber rujukan. Dan bisa saja filsafat eksistensialisme yang positivis-atheistik itu berangsur berubah menjadi metafisik bernafas Islam.
Sedangkan humanisme dalam buku ini menjelaskan tentang respon sistemik dari eksistensialisme. Humanisme menurut Kuntowijoyo berarti memanusiakan manusia. Artinya menjadikan manusia itu seperti manusia adanya. Manusia yang bebas dari segala bentuk hegemoni dan determinasi yang ditentangnya.
Humanisme disini dalam tataran aplikasinya mirip dengan humanismenya Kuntowijoyo, yaitu dengan misi pembebasannya. Humanism disini merupakan efek panjang dari eksistensialisme. Sebab ia merupakan wujud aplikatif dari eksistensialisme. Eksistensialisme bukan aliran yang hanya berkutat pada tataran filosofis-teroritis. Aliran ini sengaja dilahirkan untuk diaplikasikan. Oleh karena itu Sartre menyebut eksistensialisme adalah sebuah doktrin tindakan nyata.[15]
Humanisme dalam buku ini dihadirkan sebagai efek dari hasil dari penemuan manusia atas dirinya sendiri (esensi). Pada awalnya manusia hidup bergentayangan di luar dirinya. Ia hidup berdasarkan tren dan populisme lingkungan sekitarnya. Tanpa tahu dan sadar akan atas kebenaran apa sesungguhnya dirinya itu hadir. Manusia hidup dalam keambiguan dirinya dalam genangan kepalsuan di tengah kehidupan yang asing. Akhirnya oleh kesadaran terhadap absurditas itu, manusia mulai mencari, menggunakan kehendak bebasnya (free will) dan berakhir menemukan dirinya sendiri. Manusia tahu akan urgensi keberadaannya dan obsesi akan masa depan. Sehingga akhirnya kesadaran-kesadaran itu membentuk karakter dan filsafat hidupnya sendiri. Kebebasan atas subyektivitas itulah sebenarnya kunci daripada penemuannya itu (menjadi eksistensialis).
Manusia dengan modal kesadarannya itu selanjutnya mencoba menyiarkan ide-ide kebebasannya itu kepada manusia yang lain (humanisasi). Ia tidak mendeterminasi manusia, tetapi mencoba merangkul dan mengarahkan manusia untuk sadar betapa dirinya itu berharga, bebas, dan cerdas. Inilah humanisme itu. Ajaran yang mengajarkan manusia bahwa dirinya itulah sang legislator. Sosok bebas yang berhak memutuskan arah hidupnya sendiri. Tentunya tidak hanya berdiam, merenung, dan menalar. Tetapi mencari dirinya itu pada semua tempat dan keadaan. Singkatnya humanisme adalah pengaruh manusia kepada dunia pasca menjadi eksistensialis.
Akhirnya, ‘ala kulli haal, seorang manusia darimana saja bisa menjadi seorang eksitensialis. Apakah ia atheis, Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha tidak ada pengecualian. Sebab, eksistensialisme tidak berdiri vis a vis dengan agama (Allah). Eksistensialisme hanya menuhankan subyektivitas manusia. Padahal subyektivitas manusia sebenarnya dikonstruksi oleh proses interaksi manusia dengan alam. Dan karena interaksi dengan alam itulah nilai-nilai transenden agama masuk karena keterbukaan interaksi itu. Meskipun kalau itu disebut determinasi agama atas manusia bisa ditepis. Sebab determinasi itu terjadi tanpa kehendak pembenaran dari manusia. Tetapi jika dari kehendak pembenar manusia, maka itulah yang disebut sebagai ideologi. Yaitu konstruksi atas nalar berpikir manusia (subyektivitas) menjadi kesadaran dan kepercayaan. Sehingga subyektivitas itu bisa benar secara material dan immaterial. Pada akhirnya, menjadi eksistensialis adalah kehendak manusia untuk bebas. Menjadi seorang eksistensialis bagi manusia berarti mengafirmasikan dirinya untuk meretas kebermanfaatan kemanusiaan universal mulai dari dirinya.
Referensi
- Al-Quran
- Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
- Donald D. Palmer, Sartre untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
- Eric Lemay dan Jennifer A. Pitts, Heidegger untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
- Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKis, 2005)
- Vincent Martin, O.P., Filsafat Eksistensialisme: Kierkegaard, Sartre, Camus, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
- Fajar Muhammad Nugraha, Gagasan Filosofis Jean Paul Sartre dalam “Les Mouches,”Artikel, Maret 2012
- id.wikipedia.org/wiki/Jean-Paul_Sartre
* Ketua Kaderisasi KAMMI Daerah Bantul, Instruktur KAMMI DIY
[1] id.wikipedia.org/wiki/Jean-Paul_Sartre
[2] Donald D. Palmer, Sartre untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius,2003), hlm. 3
[3] Fajar Muhammad Nugraha, Gagasan Filosofis Jean Paul Sartre dalam “Les Mouches,”Maret 2012, hlm. 2
[4] Ibid, hlm. 2
[5] Eric Lemay dan Jennifer A. Pitts, Heidegger untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 61
[6] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 33
[7] Ibid., hlm. 36
[8] Lihat Al-Qur’an (51:56)
[9] Logosentrisme adalah sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendetal dibalik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dalam dunia fenomenal. Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKis, 2005) , hlm. 16.
[10] Sartre, Op.Cit., hlm. 45.
[11] Sartre, Op.Cit., hlm. 40.
[12] Vincent Martin, O.P., Filsafat Eksistensialisme: Kierkegaard, Sartre, Camus, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 5.
[13] Ibid., hlm. 6.
[14] Jean Jacques Derrida, Margins of Philosophy, terj. Dan anotasi Alan Bass, (Chicago: University of Chicago, 1982), hlm. 67, dalam Al-Fayyadl, Ibid., hlm. 25.
[15] Sartre, Ibid., hlm. 107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar