Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun Cetak : 2010
Tebal : 539 Hal
Panjang : 20 cm
Peresensi: Dharma Setyawan, SEI *)
*******
PADA kesadaran yang paling dalam, kita semua akan kembali pada nurani kemanusiaan. Pemahaman kita terhadap sebuah bangsa seringkali terlihat gelap dan samar. Bentuk kejahatan yang paling biadab selalu kita teriakkan atas nama bangsa. Kolonialisme, feodalisme, imperialisme sejatinya jika telisik lebih dalam bukanlah produk dari bangsa. Kejahatan yang saling membentur pada dunia manusia adalah bentuk keserakahan atas jiwa kotor manusia yang selalu ingin menindas, sebagaimana Plato sebut homo homini lupus (sikap saling memangsa).
Secara fundamental teriakan kita sebagai bangsa korban kolonialisme tertuju pada bangsa Eropa yang dengan fakta dan data yang telah terjadi dalam museum kekejaman kolonial. Jamak kita rasakan dalam tiap getiran pahit kolonialisme Negara dunia ketiga selalu memandang Eropa secara keseluruhan sebagai bangsa penindas. Lebih jauh dalam nurani humanisme, kita diajarkan untuk mengerti tentang etika, moral dan yang penting bagaimana memahami keadilan bentuk kemanusiaan secara inheren.
Manusia menemukan titik jalan hidupnya pada sebuah gesekan peristiwa. Perlahan dan pasti, manusia mengeja tenunan lembaran hidup yang membunuh keangkuhan dan kerakusan. Rintihan panjang, zaman yang tidak ramah, sikap nir sosial, melumuri darah, kebrutalan melebihi spesies hewan terjadi pada dunia manusia. Jika pernah kita mendengar Multatuli pada kebesaran Humanisme, maka Pram adalah Humanisme jenial yang pernah terlahir di bumi Nusantara. Sebuah zaman dimana keberpihakan terhadap keadilan begitu sunyi, sebuah kehidupan yang dipenuhi dengan kerakusan kapitalisme, sebuah era dimana manusia saling memangsa,
Pram dengan karyanya muncul dengan humanisme yang begitu genial. Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Humanisme).
Tentang Pram
Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan besar dunia yang lahir di Blora, Jawa Tengah tahun 1925. Pram adalah humanis Indonesia dari sekian banyak para humanis di dunia. Multatuli, Abraham Maslow, Para filsuf seperti Socrates, Plato bahkan para Nabi dan tokoh agama adalah humanis pejuang keadilan bagi dunia manusia. Pram bukan siapa-siapa, dia adalah orang biasa yang memiliki pemikiran luar biasa. Karena pribadinya yang biasa itulah nama Pram begitu santer ditelinga Barat dan Timur. Kehidupan yang begitu suram dialaminya, umurnya habis dalam jeruji besi akibat kediktatoran rejim. Pram 3 tahun dalam penjara colonial, 1 tahun di penjara zaman orde lama, dan 14 tahun pada orde baru.
Tubuh Pram menua di dalam penjara tapi buah fikirnya hingga hari ini menjadi anak-anak rohani yang terus tumbuh dan tumbuh awet muda. Pram mengalami siksaan fisik hingga telinganya tuli akibat hantaman popor arogansi militer rejim orde baru. Tuduhan komunis, dan lainnya adalah dalih Orde Baru untuk merobohkan narasi Pram yang terus berjuang tentang kemanusiaan.
Naluri dan narasi humanisme itu, kemudian muncul dari dirinya yang hidup menderita sejak zaman kolonial hingga Indonesia merdeka. Dalam Tetralogi Buru ke dua “Anak Semua Bangsa” humanisme Pram muncul menginspirasi para generasi selanjutnya. Bagaimana kita antar bangsa-bangsa harus hidup berdampingan tanpa ada penindasan. Kita dapat membaca bagaimana humanisme yang dibangun dalam dialog-dialog tokoh yang ada dalam cerita tersebut. Humanisme Pram berlaku pada konsistensi membela keadilan dan kemanusiaan. Pram memberi pesan damai pada semua peradaban baik yang dimiliki pada setiap bangsa.
Dalam roman “Anak Semua Bangsa” Nyai Ontosoroh bertutur pada Minke “Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Dimanapun ada yang mulia dan jahat. Dimanapun ada malaikat dan iblis. Dimanapun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka Iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu Iblis. Kau hidup dalam alam kolonial. Kau tak dapat menghindari. Tak apa, asal kau mengerti dia iblis sampai akhir jaman, dan kau mengerti dia memang iblis”. (Pramoedya A.T, ASB : 110)
Minke adalah anak priayi dari seorang Bupati. Minke mendapat pendidikan Belanda dan begitu mengagungkan peradaban Barat sebagaimana jauh dari peradaban pribumi yang miskin dan tidak terpelajar. Anak Priayi adalah hasil dari perkawinan Kolonialisme dan Feodalisme. Keturunan priayi juga mendapat tempat kasta yang lumayan tinggi dari pada pribumi yang terjajah. Para Priayi adalah kepanjangan dari pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda saat itu.
Dalam dialog dengan mertuanya Nyai Ontosoroh mengingatkan pada Minke akan kajahatan kolonialisme yang sama seperti Iblis. Pada zaman kolonialisme itu orang berbondong-bondong mengagungkan peradaban modernism yang sejatinya telah menggilas budaya bangsa lain. Eropa menjajah Asia, Jepang menjajah Cina, sebagaimana Negara kuat menjajah yang lemah. Dalam roman “Anak Semua Bangsa”, Pram menyuguhkan sebuah peristiwa dimana bangsa satu dan bangsa yang lain dibenturkan pada sebuah kebobrokan masal. Di balik kejahatan kolonialisme itu Pram telah membuka tabir modal yang selalu ada dibelakang peristiwa keji masa lalu dan masa kini.
Akibat kolonialisme, bangsa yang dijajah telah memberikan seluruh kekayaan modalnya kepada Eropa. Dan hingga kini eropa membangun imperium kejayannya. Kehendak modal itu kemudian menjadikan bangsa yang dijajah sengsara, kelaparan, beerlumuran darah dan mati mengenaskan. Modal yang didapat pada pemerintahan kolonialisme digunakan untuk membangun kejayaannya di negeri asal.
Hampir semua negara Eropa telah memiliki dalih untuk menjajah Asia yang memiliki kekayaan alam melimpah. Berbagai macam hasil bumi, tambang dan rempah-rempah di angkut untuk menyenangkan para pemilik modal Eropa dan semakin menguasai ekonomi. Bangsa-bangsa yang tidak berdaya bertekuk lutut dan dalam penjajahan itu manusia tiada arti. Manusia menjadi alat untuk mengumpulkan modal. Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol dan lainnya membangun gedung-gedung dan bendungan-bendungan besar dari darah bangsa Asia.
Membicarakan "Anak Semua Bangsa"
Membicarakan modal Pram begitu nyaring dan berenergi dalam bahasa sastranya. Definisi modal diracik dalam dialektika yang ranum. Ter Har sebagai tokoh yang mencerca Minke dengan tema modal membukakan arti penting bahwa kapitalisme adalah gejolak perih berabad-abad lamanya.
“Yang dikatakan modal lebih dari pada hanya uang, Tuan. Sesuatu yang mujarad, abstrak, punya kekuasaan gaib atas benda-benda nyata. Semua yang menyebabkan segala yang berpencaran berkumpul, yang berkumpul berpencaran, yang cair jadi beku, yang beku dicairkan. Segala berubah bentuk dalam genggamanya. Yang basah dia bikin kering yang kering jadi basah. Dewa baru yang mengepal seluruh dunia. Membosankan memang, tapi nyata. Produksi, dagang, tetesan keringat, angkutan, hubungan, saluran dan tak ada satu orang pun dapat bebas dari kekuasaan, pengaruh dan perintahnya. Dan, Tuan Minke, cara berpikir, cita-cita, dibenarkan atau tidak, direstui atau tidak olehnya juga.” (Anak Semua Bangsa : 395).
Bangsa-bangsa memang akan saling mempengaruhi soal makanan, fashion, budaya, dan cara kekuasaan yang cenderung melibas. Pada suatu kondisi normal peradaban adalah suatu yang dihargai sebagai sebuah karia bangsa-bangsa. Namun era dimana orang dapat pergi dengan berbagai macam alat. Laut dapat diseberangi, komunikasi digapai dengan canggih sejak itu arus modal menjadi kolonialisme yang abadi. Jika dengannya keadilan tercapai,
Pram tidak akan berteriak keras sebagaimana tertuang pada “Anak Semua Bangsa”. Pram lebih memilih Revolusi Prancis dimana, kebebasan, persaudaraan dan persamaan bukan hanya untuk diri sendiri tapi untuk semua bangsa yang ada di bumi ini. Roman “Anak Semua Bangsa” adalah sebuah gejolak jiwa manusia yang ingin menghargai bangsa apapun di atas kerja usahanya yang jauh dari kapitalisasi asset manusia itu sendiri.
“Maka berdasarkan semua itu, mari kita bekerjasama melakukan apa saja yang baik untuk Jawa, Hindia, Eropa dan dunia. Kita perangi bersama-sama kejahatan Eropa, Jawa, Hindia dan dunia sekaligus. Mari kita memberikan pengertian-pengertian yang sehat pada Eropa, Jawa, Hindia dan dunia bersama-sama, sebagaimana telah dilakukan oleh para humanis besar sebelum kita”. (Pramoedya A.T, ASB : 145).
Spirit untuk membangun tatanan dunia yang baik tanpa adanya kejahatan kolonialisme, gempuran modal dan pelanggaran kemanusiaan adalah humanisme Pram yang disuguhkan dalam roman tersebut. Pram sengaja menghadirkan kemanusiaan yang utuh dengan tidak menuduh siapapun, bangsa apapun tapi menuding dirinya dan diri kita masing-masing untuk melihat lebih jauh kehidupan untuk menghargai kemanusiaan. Pram yang tersiksa di tiga zaman tidak mengutuk nama tapi mengutuk manusia yang bersenyawa dengan iblis kolonial.
Untuk itu Pram dengan sangat menarik mendeklarasikan hakikat kemanusiaannya kepada semua bangsa. “Dengan rendah hati aku mengakui : aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan suatu yang keramat”.
Pram ingin menegaskan bahwa kita dilahirkan bukan menjadi malaikat atau iblis. Mari berproses untuk menjadi manusia yang sebenarnya!
*) Direktur Eksekutif Adzkiya Centre, Aktivis KAMMI Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar