oleh: Diyah Kusumawardhani *)
Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama lain. Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika ‘pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ‘kekuasaan’ sebagaimana mustahil ‘pengetahuan’ tidak mengandung ‘kekuasaan’.
(Michel Foucault)
BAGIAN pembuka tulisan ini saya kutipkan dari buku Michael Foucault yang berjudul Archaeology of Knowledge (1969). Dalam pencariannya, Foucault menemukan bahwa pengetahuan dan kekuasaan memegang peranan penting dalam pembentukan pengetahuan manusia, dan diskursus mempunyai peranan penting dalam pembentukan pengetahuan manusia.(Michel Foucault)
Foucault berpendapat bahwa diskursus berarti apa yang ditulis dan dikomunikasikan sebagai tanda. Sedangkan writing (menulis) merupakan sebuah wilayah pengetahuan yang sifatnya teknis. Sehingga saat mendefinisikan kata normal, Foucault mengeluarkan argumen bahwa diskursus tentang kegilaan yang dihasilkan oleh para psikiater, psikolog, dan ahli-ahli lainnya-lah yang pada akhirnya mendefinisikan apa yang disebut normal tadi. Kesimpulannya, diskursus sama dengan pengetahuan, dan pengetahuan sama dengan kekuasaan. Ini semata-mata tentang diskursus, dan betapa hebatnya diskursus dalam menciptakan sebuah definisi, mengkonstruksi wacana, dan kemampuannya dalam merekayasa sebuah citra.
Apa yang terpikir oleh teman-teman pertama kali ketika disebut kata HUMAS? Kalau saya pasti akan langsung menjawab: CITRA. Ya, pekerjaan Humas selalu berhubungan dengan citra sebuah lembaga/organisasi/perusahaan. Bahwa Humas adalah sebuah wajah dari lembaga/organisasi/perusahaan.
Seorang Public Relation (PR/Humas) pasti akan bekerja keras demi mengkonstruksi citra dari lembaga/organisasi/perusahaan tempat ia bernaung. Berbagai cara dilakukan. Mulai dari melebarkan sayap-sayap jaringan, membangun dan mempertahankan komunikasi dan hubungan baik dengan relasi (baik lembaga/organisasi/perusahaan lain maupun media massa), sampai memasarkan ‘produk’ yang bisa dijual dari lembaga/organisasi/perusahaannya.
Ketika upaya-upaya tersebut sudah dilancarkan, seorang Humas yang baik seharusnya mampu melakukan proses evaluasi terhadap kerja pencitraannya. Banyak cara bisa dilakukan. Bisa dengan metode polling dengan menyebarkan angket kepada masyarakat, ataupun dengan melakukan analisa media massa. Lalu apa fungsi evaluasi tersebut? Ya tentunya untuk melihat imej dari lembaga/organisasi/perusahaan yang bersangkutan. Lalu diharapkan dari hasil evaluasi tersebut dapat dilihat sejauh mana penerimaan masyarakat terhadap lembaga/organisasi/perusahaan tersebut. Kemudian Humas juga diharapkan mampu mengolah hasil evaluasi tersebut dan menciptakan upaya-upaya baru untuk mencitrakan lembaga/organisasi/perusahaannya, dan mungkin sedikit mendongkrak popularitasnya.
Hasil diskusi dengan teman-teman Humas KAMMI Pusat, kami ingin mengajak teman-teman mendalami semiotika, khususnya semiotika sosial, untuk membantu Humas menganalisa pemberitaan media. Semiotika itu ilmu membanca tanda dan bagaimana memberi makna dari tanda. Dalam proses lahirnya ‘Semiotika Barat’, ilmu tentang tanda ini menurut Todorov, dibangun dari empat tradisi disiplin ilmu, yakni semantik (filsafat dan bahasa), logika, retorika, dan hermeneutika. Kajian semiotika ini sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Plato. Aristoteles, dan juga pada ahli-ahli skolastik abad petengahan.
Semiotika termasuk ke dalam pemikiran post-strukturalis. Pemikiran post-strukturalis memang tidak terlepas dari andil pemikiran filosof terdahulu seperti eksistensialisme Nietzsche, terutama dengan penolakannya pada ‘ilusi’ kebenaran dan konsep makna yang statis, keyakinannya pada kehendak untuk berkuasa, dukungannya pada gaya hidup Dionysian, dan pemusuhannya dengan egaliterianisme. Hal yang paling terkesan dari aktivitas pembacaan tentang pemikiran post-strukturalis dan postmodern, bahwa wacana marxisme dan psikoanalisa benar-benar menunjukkan pengaruh akan progresivitas dari pemikiran postmodern dan posstrukturalis yang ada terutama telaah tentang kebudayaan pascamodern.
Bagaimanakah ciri-ciri pemikiran posstrukturalis itu? Pertama, melontarkan kritik. Kritik pertama adalah tentang ‘subjek manusia’. ‘Subjek’ di sini dibedakan dengan pemahaman zaman Renaisans yang bermaksud ‘individu’, dan mengandaikan manusia sebagai agen intelektual yang bebas, dan proses berpikir tidak dipengaruhi kondisi sejarah atau pun budaya. Ini memperlihatkan perbedaannya dengan pemikiran Cartesian tentang “Aku berpikir, maka aku ada”. “Aku” pada Descartes melihat diri merupakan entitas yang sepenuhnya sadar, dan oleh karena itu, dapat memahami dirinya sendiri. Para pemikir posstrukturalis berusaha menghancurkan ‘subjek’ tadi.
Kedua, posstrukturalis mengkritisi historisme, yang antipati terhadap pernyataan bahwa sejarah memiliki pola umum. Hal ini terlihat misalnya dari pandangan Michel Foucault bahwa sejarah tanpa konsep kemajuan (progress), dan Jacques Derrida yang mengatakan bahwa sejarah tidak memiliki titik akhir.
Ketiga, adanya kritik makna. Seperti konsep makna dalam linguistik Saussure bahwa hal itu dapat dipahami karena adanya posisi diferensial dalam struktur bahasa, dan sifat bahasa yang arbitrer, yang berarti tanda memperentasikan sesuatu berdasarkan kesepakatan dan kebiasaan penggunaan, bukan berdasarkan keharusan. Dalam konsep Saussure, keseimbangan antara penanda dan petanda senantiasa berada pada posisi genting. Ini berbeda dari konsep posstrukturalis. Secara umum, petanda direndahkan dan penanda diposisikan dominan. Ini berarti tidak ada hubungan satu-satu antara proposisi dan realitas. Ini seperti konsep Jacques Lacan tentang “selalu terpelesetnya petanda di bahwa penanda”.
Keempat, posstrukturalisme menekankan interaksi pembaca dan teks sebagai produktivitas. Dengan kata lain aktivitas membaca kehilangan status sebagai tindakan konsumsi suatu produk secara pasif dan diubah menjadi tindakan aktif.
Oke, balik lagi ke Humas dan Semiotika. Ketika Humas menyentuh ruang semiotika adalah saat Humas mencoba melakukan terobosan-terobosan sebagai salah satu upaya untuk mencitrakan lembaga/organisasi/perusahaannya. Bahwa pada akhirnya, hasil analisa media dengan metoda semiotika tadi bisa membantu para Humas membaca citra dari lembaga/organisasi/perusahaan yang bersangkutan. Caranya bagaimana? Pertama, ambil media massa yang memuat pemberitaan mengenai aktifitas lembaga/organisasi/perusahaan kita. Kemudian coba analisa dengan pisau analisa semiotika sosial (seperti yang dicontohkan Akh Ipunk). Simpulkan hasilnya, lalu coba baca makna yang berusaha ditampilkan pemberitaan tersebut. Nah, dari situ kita akan menemukan penilaian masyarakat yang diwakili media massa tersebut, mengenai lembaga/organisasi/perusahaan kita. Setelah mengetahuinya, berinovasilah untuk pencitraan selanjutnya.
*) Diyah Kusumawardhani, akrab disapa 'Meniek' adalah Humas PP KAMMI dan redaktur Majalah Sabili
Tidak ada komentar:
Posting Komentar