Tulisan ini adalah catatan Forum Diskusi KAMMI Kultural di KAMMI UGM, 3 Maret 2013.
oleh: Inong Malasari *)
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural
Setiap organisasi tentunya memiliki perangkat dalam menjalankan organisasinya tersebut. Tak hanya berhenti pada selesainya visi misi yang dibawa. Organisasi ekstrakampus seperti KAMMI memiliki perangkat lain yang menjadi ruh dalam geraknya. Ada prinsip gerakan yang dipunya sebagai semangat gerakan. Ada paradigma yang menjadi mata dalam melanggengkan geraknya.
Pertemuan rutin sabtu sore, diskusi kultural yang telah diadakan beberapa kali, kini membahas tentang “Paradigma Gerakan KAMMI”. Diskusi ini dipantik oleh kader KAMMI Komsat UII, Ahada Ramadhana. Peserta diskusi juga diberi handout sebagai pegangan dalam menanggapi opini yang telah dibuat oleh koordinator Humas UII tersebut. Dalam pembahasan ini penulis memberi judul “Membaca Paradigma Gerakan KAMMI” dengan memaparkan tafsiran operasional yang tertera dalam GBHO serta ulasan opini yang dibuatnya.
Berikut intisari catatan Ahada Ramadhan;
Tafsir Operasional Paradigma
Pertama, KAMMI adalah gerakan dakwah tauhid. Bahwa dakwah tauhid pada hakikatnya bermisi ‘kemerdekaan’, yaitu melepaskan segala bentuk penghambaan kepada makhluk. Dalam dakwah tauhid termanifestasi dalam Konsep Islam. Bahwa Islam adalah universal. Universal dalam segala bentuk urusan (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan hukum) juga dalam kebermanfaatannya bahwa Islam bisa diterima oleh semua kalangan.
Kedua, KAMMI adalah gerakan intelektual profetik. Semua kegiatan intelektual dilandasi dengan nilai –nilai yang dicontohkan nabi. Keimanan dijadikan dasar mengeksplorasi dalam berproses menjalankan aktivitas intelektual. Artinya, kecerdasan yang dimiliki nantinya justru semakin mendekatkan diri kepada-Nya.
Ketiga, KAMMI adalah gerakan sosial independen. Bahwa gerakan KAMMI gerakan yang independen, bertidak tanpa intervensi dari luar. Sosial independen berarti bergerak secara sukarela dalam melakukan pembenahan dalam masyarakat apabila terjadi suatu hal yang timpang.
Keempat, KAMMI adalah gerakan politik ekstraparlementer. Ekstraparlementer berarti kita memposisikan diri diluar parlementer. KAMMI tidak menentang sistem, yang ada hanya oposisi. Bahawa ekstra dan intra adalah sesuau yang bertentangan dan tidak saling mendukung. Apabila terjadi dualisme kader maka paradigma ini hanya bersifat terbatas.
Sudah mampu diprediksikan bahwa poin 3 dan 4 menjadi pembahasan panas yang wajib di kritisi. Bukan berati poin 1 dan 2 tidak menjadi prioritas. Untuk sebagian orang poin ini tidak mengalami banyak hal yang bersifat debatable. Namun, lain ceritanya jika sebagian orang menganggap aqidah dan intelektual menjadi urusan sendiri – sendiri. Malah ini menjadi penyakit baru. Ya penyakit baru, manakala kader KAMMI dalam agenda kesehariannya hanya berfokus pada hal yang teknis dan tidak memperioritaskan agenda keilmuan baik ilmu diniyah maupun ilmu umum. Untuk itu poin 1 dan 2 perlu dikaji dengan melihat fenomena apakah kader KAMMI telah menjalankan poin 1 dan 2 baik dalam agenda keseharianya maupun agenda KAMMI secara lembaga.
Selanjutnya pertanyaan yang menyinggung poin 4; bagaimana dengan dualisme yang sebelumnya pernah terjadi? Bahwa ada kader salahsatu partai merupakan kader KAMMI. Menurut sebagian orang ini tidaklah menjadi sebuah masalah manakala ia mampu profesional.
Tentu ini akan menjadi masalah karena kader tersebut menyalahi paradigma yang telah dibuat. Tentu ini akan menjadi masalah jika partai yang dimasuki oleh salahsatu kader men-drive gerak KAMMI. Bisa saja ini mencoret nama baik KAMMI sebagai gerakan sosial Independen. Mengafirmasi pendapat Ahada, bahwa bila seperti ini maka dapat disimpulkan ekstraparlementer setengah hati dan ekstraparementer terbatas tidak bisa diterapkan.
Perspektif kedua muncul yang menyatakan bahwa, bagaimana bisa kita menjalankan demokrasi tanpa harus masuk ke sistem? Karena nilai – nilai KAMMI seharusnya menginternal dalam hati setiap kadernya. Meski ia menjadi anggota salah satu partai ia tetap mengartikulasi ruh KAMMI dalam parlementer.
Fachry, menambahkan tiga bentuk tawaran apabila terjadi dualisme kader. Pertama, kode etik. Kode etik dimiliki oleh setiap profesional. Bisa saja organisasi sekaliber KAMMI memiliki kode etik manakala ia terjun ke dunia yang bersinggungan dengan nial – nilai ke-KAMMI-an. Sebagai anggota salahsatu partai, kader KAMMI diminta untuk menjalankan hal yang bertentangan dengan prisnsip dan paradigma, maka kode etik akan bermain disini. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah jika KAMMI memiliki kode etik maka akan menambah sederet pekerjaan rumah baru. Ketika kode etik telah dibuat maka perlu adanya badan controling apakah kader KAMMI melanggar ataukah taat pada kode etik.
Kedua, perlu adanya tradisi intelektual. Bahwa kader KAMMI harus diberi asupan ilmu apapun, sedini mungkin sedari ia mengingjakkan kakinya dan memilih KAMMI sebagai rumah geraknya. Diharapkan kader mengerti apa yang menjadi gerak KAMMI sehingga nantinya seorang kader tidak kebingungan apakah KAMMI ekstraparlementer ataukah intraparlementer atau kah tidak keduanya? Atau setengah hati.
Ketiga, melihat demokratisasi sekarang ini baik dari karakteristik mahasiswa dan dari kondisi parlemen sekarang ini. Dengan karakteristik mahasiswa yang seperti ini maka sikap seperti apa yang perlu KAMMI ambil dalam konteks keparlementeran.
Selain pembahasan poin 4, poin 3 juga menjadi sorotan terkait gerakan sosial independen. Bahwa KAMMI “.. gerakan pembebasan yang tidak memiliki ketergantungan pada hegemoni kekuasaan ..” ini memperjelas bahwa KAMMI lahir dari entitas mandiri bukan dari sebuah struktur.
Dalam tafsiran operasional ayat 1, bahwa “KAMMI gerakan kritis yang menyerang sistem peradaban materialistik..” maka cocoklah jika KAMMI lahir tahun 1998 saat kondisi kejayan orde baru kian diambang batas. “KAMMI hadir karena kesadaran untuk merespons kondisi material objektif yang ada saat itu, yaitu kapitalisme yang represif dan memarjinalkan umat Islam. Dan hal itu bersesuaian secara global, mengikat KAMMI dalam sebuah diskursus tentang Islam Politik yang waktu itu dimarjinalkan Orde Baru", mengutip kata peserta diskusi kultural Yogykarta tanggal 23 Desember 2012.
Diskusi kultural sesi pembahasan paradigma gerakan KAMMI belum usai karena masih menyisakan tanda tanya mengenai penerapan paradigma serta bangunan gerak KAMMI yang seperti apa yang sesuai sekarang ini. peserta juga meminta apakah penafsiran dan maksud dari pembuat dari paradigma tersebut. Untuk itu diskusi kultural selanjutnya akan mendatangkan saksi sejarah pembuatan konsep paradigma gerakan KAMMI.
Diskusi kultural adalah bentuk ikhtiar kita dalam mencintai KAMMI dengan sederhana.
Jabar Nuur, Thaaha
*) Inong Malasari, Kepala Departemen Humas KAMMI Komisariat UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar