oleh: Adhe Nuansa Wibisono, SIP *)
Pegiat Komunitas Kultural di Jakarta
-Al-Hizb huwa al-jama'ah; al-jama'ah hiya al-hizb- (Partai adalah Jama'ah; dan Jama'ah adalah Partai)
Habitus Jamaah Tarbiyah
Independensi KAMMI menjadi wacana yang selalu saja ramai diperbincangkan. Perdebatannya kembali kepada perdebatan klasik yaitu melihat peran KAMMI yang dibatasi dalam sekat habitus sosial Jamaah Tarbiyah ataukah KAMMI yang mampu menembus sekat itu dan kemudian berkhidmat kepada ummah dan bangsa Indonesia. Permasalahan klasik ini selalu muncul dalam benak setiap kader KAMMI dikarenakan posisi KAMMI yang selalu dilihat sebagai bagian dari Jamaah Tarbiyah. Ketika berbicara realitas, Jamaah Tarbiyah di Indonesia telah bertransformasi menjadi Partai Keadilan (1998) dan kemudian Partai Keadilan Sejahtera (2003) sehingga persepsi yang selalu muncul adalah KAMMI merupakan sayap politik mahasiswa dari PKS.
Padahal, secara konstitusional, tidak ada aturan tertullis yang menyatakan bahwa KAMMI merupakan sayap politik mahasiswa PKS. Paradigma gerakan KAMMI menyatakan konsepsi Gerakan Sosial Independen dan Gerakan Politik Ekstraparlementer. Sehingga, jika ada opini yang mengatakan bahwa KAMMI merupakan underbow dari partai politik tentu saja ini mencederai konsepsi dari gerakan KAMMI itu sendiri.
Saya mencoba untuk melihat KAMMI dari basis analisa historis Jamaah Tarbiyah yang selama ini belum terlalu sering diangkat dalam berbagai penulisan. KAMMI sebagai suatu gerakan yang lahir dari Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus Nasional (FSLDKN) X di Malang pada tahun 1998, memang tidak dapat dilepaskan dari habitus sosial Jamaah Tarbiyah, suatu gerakan sosial-politik yang terpengaruh dengan pemikiran Ikhwanul Muslimun Mesir.
Jamaah Tarbiyah berkembang di Indonesia diperkirakan sejak periode tahun 1970-an melalui para aktivis dan mahasiswa Indonesia yang kuliah ke luar negeri khususnya negara-negara Timur Tengah seperti Mesir dan Arab Saudi dan berinteraksi dengan para aktivis Ikhwanul Muslimun di sana.[1]
Pertemuan mahasiswa Indonesia dengan aktivis Ikhwanul Muslimun ini kemudian menjadi sarana penyebaran pemikiran dan ideologi Ikhwan di Indonesia. Kemudian Jamaah Tarbiyah ini berkembang memanfaatkan semaraknya gerakan kebangkitan Islam di universitas melalui rekrutmen dan ideologisasi mahasiswa muslim di masjid-masjid kampus di universitas-universitas negeri di seantero Indonesia. Diawali dari aktivitas-aktivitas keislaman Latihan Mujahid Dakwah di Masjid Salman ITB, kemudian menyebar di berbagai kampus besar lainnya seperti UI, UNPAD, UGM, UNAIR dkk.[2]
Aktivitas-aktivitas keislaman yang tersebar di seantero kampus inilah yang kemudian menjadi embrio bagi kelahiran Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di berbagai universitas yang ada di Indonesia. Misalnya terdapat Jamaah Shalahuddin UGM Yogyakarta, Jamaah Mujahidin IKIP Yogyakarta, LAI UNDIP Semarang, Lpisat USAKTI Jakarta, Karisma Salman ITB Bandung, UKKI UNAIR, BDM Al-Hikmah Malang, Jamaah Masjid ARH UI dan lainnya.[3] Kemudian berbagai embrio LDK ini mulai mengadakan koordinasi kelembagaan antara satu dengan lainnya yang dimana koordinasi bersifat lintas kampus dan bahkan hingga sampai pada koordinasi tingkat nasional yang disebut dengan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus Nasional (FSLDKN).
Dari sini, ada benang merah sederhana bahwa kelahiran KAMMI tidak bisa dipisahkan dari FSLDKN X di Malang, walaupun masih terdapat pro-kontra mengenai kelahiran KAMMI, apakah KAMMI diakhirkan dari forum formal FSLDKN ataukah KAMMI lahir dari forum informasl di luar FSLDKN? Ini masih menjadi perdebatan hangat diantara delegasi FSLDKN yang hadir kala itu.
Doktrin Al Hizb huwal Jamaah
Permasalahan yang kemudian menjadi titik dilemma bagi KAMMI adalah ketika Jamaah Tarbiyah yang bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera kemudian menerapkan doktrin Al Hizb Huwal Jamaah wal Jamaah hiyal Hizb yang dapat diartikan secara bebas sebagai Partai adalah Jamaah dan Jamaah adalah Partai[4], dengan menerapkan doktrin ini kemudian seluruh entitas yang berada pada naungan Jamaah Tarbiyah harus terikat secara strukturatif dengan Partai Keadilan Sejahtera, termasuk para aktivis KAMMI yang berasal dari Jamaah Tarbiyah.
Titik inilah yang kemudian menjadi problem terbesar bagi masalah independensi KAMMI, dalam opini saya, karena dengan adanya doktrin ini kemudian munculnya dua kesadaran dalam setiap aktivis Jamaah Tarbiyah yang berada di KAMMI, yaitu kesadaran KAMMI dan kesadaran PKS yang seringkali campur aduk dalam pemahamannya. Sebenarnya hak untuk berafiliasi dengan partai politik merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap warganegara, sehingga jika ada aktivis KAMMI yang secara personal memiliki afiliasi politik dengan partai politik tidak dapat disalahkan dan juga itu legal secara hukum. Masalahnya adalah ketika melihat KAMMI, beberapa kawan yang berafiliasi dengan PKS ini kemudian tidak melihat KAMMI sebagai suatu organ yang independen, tetapi melihatnya dengan cara pandang bahwa KAMMI adalah milik PKS, inilah cara pandang yang penulis kritik dan gugat keberadaannya.
Keberadaan doktrin tadi membawa dampak yang cukup besar bagi semangat independensi yang ingin dibangun dalam tubuh organisasi KAMMI, dampaknya adalah KAMMI secara sistematik terhegemoni oleh kebijakan-kebijakan PKS yang mendapatkan justifikasi melalui doktrin Al Hizb huwal Jamaah. Sehingga seringkali kita mendapati berbagai kebijakan yang ada dalam tubuh KAMMI tetapi kita tidak mendapati nalar organisasi atau nalar konstitusinya.
Pada puncak tertinggi, ada kasus Muktamar Luar Biasa KAMMI pada tahun 2009 merupakan salah satu ekses nyata dari hegemoni yang terjadi dalam tubuh KAMMI, ketika Ketua Umum KAMMI dilengserkan karena dianggap melakukan transaksi politik dengan salah seorang Calon Presiden yang tidak direstui oleh PKS[5]. Dalam kasus-kasus yang lain bisa dilihat pada terpilihnya Ketua DPD PKS menjabat sebagai Ketua KAMMI Daerah tertentu atau diberlakukannya surat rekomendasi PKS sebagai syarat dalam training pengkaderan KAMMI. Sebagai aktivis KAMMI yang menghargai nalar konstitusi KAMMI, tentu saja semua contoh kasus di atas adalah bentuk bagaimana nalar organisasi KAMMI telah dilanggar. Sudah saatnya semua praktik pelanggaran konstitusi ini digugat dan diluruskan kembali.
Logika Wajihah Amal Am
Logika lain yang juga kemudian cukup dikenal di kalangan aktivis Tarbiyah dalam melihat posisi KAMMI adalah logika Wajihah Amal Am. Logika ini kemudian menjelaskan bahwa organisasi kepemudaan seperti KAMMI dalam posisinya pada Jamaah Tarbiyah adalah organisasi yang didirikan dan dibesarkan oleh Jamaah, tetapi kemudian organisasi ini kemudian diwaqafkan kepada publik sehingga organisasi ini menjadi milik publik yang dikelola dengan logika dan nalar publik.
Organisasi ini kemudian menjadi organisasi publik Wajihah Amal Am yang mekanisme pengambilan keputusannya dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ada pada organisasi tersebut. Jamaah Tarbiyah mengelola kepentingannya pada organisasi tersebut melalui kader-kader Jamaah yang ditempatkan pada organisasi tersebut dan bukannya melakukan pengaturan secara strukturatif kepada organisasi tersebut.
Melalui pengertian logika inilah kemudian saya melihat KAMMI sebagai ruang yang lebih merdeka, dimana semuanya bisa dipertarungkan, didialektikakan dan didiskusikan. Artinya Wajihah Amal Am ini adalah sebuah ruang terbuka yang dimana orang-orang yang berada di luar Jamaah Tarbiyah pun bisa masuk dan mengisinya. Kemudian apabila Jamaah Tarbiyah memiliki kepentingan dengan Wajihah Amal Am ini maka merekapun harus menyesuaikan kepentingannya ini dengan nalar publik dan mekanisme organisasi yang telah disepakati secara bersama.
Terlebih lagi jika mengingat bahwa Wajihah ini telah diwaqafkan kepada publik maka sudah seharusnya organisasi ini kemudian menjadi organisasi yang terbuka.
Pada titik inilah penulis melihat logika Wajihah Amal Am sebagai titik moderat Jamaah Tarbiyah dalam memosisikan KAMMI. Hal yang dimiliki oleh Jamaah Tarbiyah bukanlah KAMMI secara organisasi melainkan kader-kader Tarbiyah yang berada di KAMMI. Sehingga keberadaan aktivis-aktivis KAMMI yang dia tidak memiliki afiliasi dengan Jamaah Tarbiyah pun menjadi sangat memungkinkan. KAMMI memiliki nalar organisasinya sendiri, memiliki tafsir paradigmanya sendiri, memiliki mekanisme pengkaderan sendiri.
Konsekuensinya, jika logika Wajihah Amal Am ini kemudian digunakan, seluruh nalar konstitusi yang ada di KAMMI sudah seharusnya ditegakkan dengan setingginya. Jika ada proses pemilihan ketua KAMMI dalam tingkatan apapun, Jamaah Tarbiyah tidak memiliki hak untuk mengintervensi proses pemilihan dan kemudian memenangkan kandidat yang dipersiapkan Jamaah dengan cara apapun. Semua dikembalikan kepada nalar organisasi KAMMI.
Katakanlah, semisal, Jamaah Tarbiyah telah menetapkan suatu nama kandidat, kemudian muncul nama kandidat lain yang didorong dari akar rumput dan tidak berasal dari keputusan Jamaah, maka kompetisi yang adil dan bersih harus diberikan kepada para kandidat ini, baik yang berasal dari Jamaah maupun tidak. Jika Jamaah kemudian melakukan pemaksaan struktural untuk memenangkan kandidat yang berasal dari Jamaah dan kemudian mengalahkan kandidat independen, bisa dikatakan logika Wajihah Amal Am telah dicederai sendiri oleh Jamaah, dibuat sendiri kemudian dilanggar sendiri.
Epilog
Melalui nalar Jamaah Tarbiyah, kita bisa melihat dilema yang terjadi dalam tubuh KAMMI. Pertanyaannya kemudian, KAMMI akan berada di mana? Apakah akan berada pada posisi terikat melalui doktrin Hizb huwal Jamaah atau diposisikan lebih bebas melalui logika Wajihah Amal Am?
Sebagai aktivis KAMMI, saya menggugat keberadaan doktrin Hizb huwal Jamaah yang kemudian melakukan sub-ordinat kepada entitas publik yang dahulu pernah bernanung di bawah Jamaah Tarbiyah. Keberadaan doktrin ini memberikan dampak sistemik kepada seluruh entitas Tarbiyah termasuk entitas KAMMI sebagai entitas gerakan mahasiswa yang secara absolut menjunjung independensi politik ekstraparlementer.
Logika Wajihah Amal Am adalah logika moderat yang lebih dapat diterima oleh banyak entitas Tarbiyah termasuk KAMMI. Logika ini kemudian tidak memberikan efek sub-ordinat dan juga tetap memberikan ruang gerak yang lebih bebas kepada organ mahasiswa seperti KAMMI untuk berkembang. Dengan catatan, logika ini dijalankan secara fair dan adil dimana intervensi Jamaah terhadap wajihah juga diminimalisir dan kemudian mekanisme organisasi bisa dijalankan secara sehat.
Sebagai penutup, ada kutipan pernyataan menarik dari Ustadz Abu Ridho, salah seorang muassis dakwah Tarbiyah mengenai pendapatnya mengenai posisi KAMMI dalam Jamaah, “Saya mempercayai idealisme anak muda, tidak selayaknya KAMMI ini terlalu diikat secara strukturatif. Biarkanlah KAMMI ini berkembang secara wajar. Apa yang kemudian akan mengikat KAMMI dengan Jamaah bukanlah ikatan yang dipaksakan tetapi manhaj Islam, inilah yang akan menjaga kemurnian KAMMI”.
Wallahu’alam bis Shawab.
*) Penulis adalah Staf Bidang Hubungan Luar Negeri PP KAMMI
[1] Mahfudz Sidiq, “KAMMI dan Pergulatan Reformasi : Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi”, (Era Intermedia : 2003), hal 83
[2] Mahfudz Sidiq, “KAMMI dan Pergulatan Reformasi : Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi”, (Era Intermedia : 2003), hal 69
[3] Mahfudz Sidiq, “KAMMI dan Pergulatan Reformasi : Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi”, (Era Intermedia : 2003), hal 72
[4] Arief Munandar, “Antara Jemaah Dan Partai Politik : Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004”, (Universitas Indonesia : 2011), hal 3
[5] Detik News Online, http://news.detik.com/read/2009/06/18/141509/1150104/700/ketum-dan-sekjen-digusur-kammi-dikudeta-salah-satu-capres, diakses pada 3 Maret 2013
Reblogged this on Catatan Kecil yang Klasik and commented:
BalasHapuswajib baca, wajib paham dan ingat ^_^
Kalau "KAMMI yang dependen" adalah habitus, artinya -sejalan dengan maksud tulisan di atas- Indepedensi KAMMI merupakan transformasi habitusnya. Secara pribadi saya memprediksikan, pun terjadi sebuah lompatan habitus (menjadikan KAMMI yang Independen), namun masih dalam tataran yang ortodox, atau sebatas upaya memunculkan dan merepresentasikan diri sebagian golongan di KAMMI yang memang ingin melihat KAMMI dengan Wajihah Amal Am sebagai logikanya. Modal simbol berupa label/anggapan KAMMI sebagai afiliasi politik PKS, di dalam ranah sosial-politik sulit untuk dipatahkan. Habitus itu struktur-mennstrukturkan / diciptakan-menciptakan, sehingga ketika pendekatan ini digunakan, dapat kita simpulkan bahwa KAMMI sejatinya adalah PKS. Hanya saja, sebagian generasi KAMMI saat ini ingin mengubah struktur itu.
BalasHapus