Catatan Penyunting: *makalah ini saya temukan di tumpukan file Kamda Yogya edisi lama. Dokumen ini awalnya dibuat untuk diskusi dengan aktivis HMI MPO (Muhiddin M. Dahlan dkk.) dan diterbitkan ulang di Majalah Alaf terbitan KAMMI IAIN Sunan Kalijaga. Melihat dokumen ini, sepertinya ditulis pada awal tahun 2000 oleh penulisnya, ketika KAMMI IAIN Sunan Kalijaga baru saja diterbitkan.
Oleh : Yusuf Maulana*)
Menempatakan tipologi gerakan massa ( baca: mahasiswa ) tidak terlepas dari ontologi, epistemologi dan aksiologi gerakan tersebut. Artinya, paradigma tentang hakikat ada / realita, kebenaran dan sistem nilai, bersumber pada sebuah refleksi-bahkan interpretasi-doktrin. Ideologi, doktrin atau dogma menjadi pegangan dalam menyusun visi dan miisi gerakan. Puncak “keemasan” dari sebuah gerakan adalah tahapan menuju praksis-sebuah revolusi nilai.
Falsafah Nilai
Seperti halnya polemik pemasupan nilai sebagai peripta dari ilmu, begitu pula “pencairan” agama ke praksis dalam wujud ide, masih disangsikan prospek “keabsahannya.” Adanya “penyekatan” dalam ruang agama, membuat para ideolog (cendekiawan ) tidak puas melihat posisi agama dalam ruang sel, yang-bahkan-sebuah labirin! Hegemoni, sebagai variabel yang menempatkan agama hanya sebagai komplemen.
Dominasi negara atas masyarakat dan masyarakat atas masyarakat, membuka jalan atas tafsir monolitik kebenaranm. Proyek membuka sumbatan limbo sejarah, oleh gerakan massa akan sulit apabila tidak diilhami sebuah “nilai.”
Ide Profetik
Adanya tiga pemikiran tentang peran agama, dimaksudkan untuk memetakan peranan “nilai.” Agama dalam pemikiran pertama, merupakan alternatif ideologis. Berbeda dengan pemikiran kedua yang vis a vis the age of religion ( istilah Andre Malraux ), pemikiran ketiga “hanya” meletakkan agama sebagai landasan spiritual, etik dan moral ( M.Masyhur Amin, Dinamika Islam:173-177).
Terakomodirnya agama, tidak berarti menyusutkan perdebatan baru. Fragmentasi yang muncul menjadi benang kusut meskipun masih pada satu “nilai.” Khusus Islam, M.Syafi’I Anwar membagi corak pemikiran dan aksi Islam di Indonesia menjadi enam-formalistik, substantivik, transformatik, totalistik, idealitik dan realistik.
Menempatkan gerakan massa dari corak pemikiran dan aksi, tidak hanya inheren tetapi juga aksiomatik. Gerakan massa Islam-baik formal asasnya, atau massa pendukungnya-belum menemukan fokus dispersi ideologi. Memang, tiap-tiap gerakan mengklaim otentitas interpretasi doktrin ilahi. Masih “dilematis”, substansialis atau skripturalis; akomodatif atau monolitik; heterogen atau homogen; bahkan pluralis atau holisme ?
Doktrin yang pasif memerlukan aksi nyata untuk membumikannya. Tidak sekedar membunyikan, atau melihat literer. Al-quran sebagai kerangka berpikir dan bergerak, secara massif akan menyeruak menjadi paradigma emansipatoris dan humanistik, apabila muslmin membuat proposal interpretasi secara konsekuen. Jalan-jalan menuju peradaban baru sudah (dan akan ) tersirat dan tersurat dari aura paradigma tersebut.
Janin Profetik
Akankah gerakan massa masih bersikukuh dengan penguatan ide, sementara di internal terjadi pseudophoby. Ketakutan yang tidak “tergambarkan!” Dari mana, untuk apa dan mau kemana’ pertanyaan-pertanyaan tersebut masih aktual dalam meneropong fenomena disonansi kognitif pada gerakan massa.
“Sayangnya”, pertanyaan-pertanyaan itu bermuara pada agama. Dan, posmodernisme yang mengingikan kematian agama, ironisnya melahirkan anarkisme dan fundamentalisme (baca:ekstrimisme ). Wadah untuk mengkomodasi pemikiran ramah, secara sepihak telah terdistorsi dengan stereotip negatif. Nilai-nilai normatif (Istilah Ernest Gellner, sebagai high tradition ) kadang disudutkan sebagai diskatalisator sivilisasi pemikiran.
Kehadiran sebuah gerakan massa, seperti KAMMI, bukan karena histeria ideologis akibat hegemoni kekuasaan. Lebih jauh dari itu, gerakan massa yang bervisi ke depan dan akan tetap keep the faith; merupakan keniscayaan sejarah. Gerakan-gerakannya berusaha mengelaborasi dan mendilektikakan normativisme dan historisme, menempatkan KAMMI tidak bisa diekstrimkan berada pada salah satu jalur di tesis M.Syafi’i Anwar.
Menarik untuk melakukan kontinuitas pendapat Arnold Toynbe, bahwa peradaban Barat ( sekuler ) akan digantikan dengan peranan agama, dengan Marcel A.Boisard-bahwa Barat telah kehilangan rasa supranatural ( alam gaib ) secara besar-besaran. Bisa dipahami apabila KAMMI dalam “nilai dasar-“nya ( sebagai pijakkan gerakan ), Ah-Shaff ayat pertama, perintah transenden yang tidak mungkin terparalelkan apabila terjadi pemalingan (atas kebenaran ) bahkan renegade.
Fungsi tasbih, tidak saja menjadi epistemologi yang sakral, tetapi mendudukan seorang insaniah dalam posisi human. Dualisme atau ambiguitas tasbih secara transenden tidak hanya berakibat tertolaknya amal, tetapi juga melahirkan hipokritisme dan pseudophoby. Kasat terlihat adalah disonansi kognitif dalam pemikiran dan aksi. Secara esensi, dualisme tasbih akan mendekonstruksi pilar-pilar fundamental agama. Gerakan massa tersebut pada akhirnya akan melakukan reorientasi paradigma. Apabila tidak ada self-confident-akibat pseudophoby, perubahan yang disusun dan dijalankan hakikatnya”fenomena”, bukan realitas. Dan itu ad interim, tidak permanen atau abadi.
Konsistensi atau istiqomah dalam peneguhan idealita berseri dengan kesesuaian das sein dan das sollen, dalam makna pergerakan. Tidak ada ambigutas, totalistik, komprehensif dalam melihat realitas empirik. Penguatan tersebut dilakukan secara massif dengan membuka cakrawala, baik horizontal maupun diagonal. Yang utama bagi KAMMI adalah penyatuan “visi”, visi yang tidak sekedar bernuansa politis-imanen, melainkan transendental-esensial, bermuara dari wahyu ilahi.
Totalitas tersebut tidak berarti melahirkan fanatisme atau “fundamentalisme”. Ide-ide yang secara esoteris selaras dengan visi KAMMI, walaupun dari gerakan yang berbeda locus, tidak menjadi tabu atau bid’ah. Kesadaran akan kontinuitas historis dan otentitas doktrin, tidak mengurangi esensi untuk menginterpretasikan idealitas. Namun, sejauh menjangkau wilayah asasi, kewenangan human diorientasikan-dalam istilah Kuntowijoyo-refleksi aktual dan empiris.
Tesisi Anwar di atas, dalam kontekstualisasi KAMMI, “tidak tepat” meletakkan KAMMI pada salah satu distrik corak. Sementara dua kutub, substansialis dan skripturalis, oleh sebagian cendekiawan tidak dipandang relevan didiametralkan ( Husin M.Al Banjari, Republika, 11/02 ). Secara esensial, dialektika totalistik-formalistik dapat dilekatkan pada KAMMI ( sebagai contoh, demonstrasi mendukung amandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 ). Dalam konteks-historis, sejauh mungkin benturan dengan peradaban lokal dihindar; membentuk lenturan dakwah ( amar ma’ruf nahi munkar ) dalam / sebagai tahapan menuju Islam ideal. Posisi demikian dikatakan KAMMI sebagai poros tengah dilema idealistik-realistik.
Hal yang krusial untuk melihat jantung KAMMI, bukan pada corak pemikiran dan aksi, melainkan kesatuan transenden massanya. Dalam bahasa pure-nya, tak lain ada sinkronisasi aqidah, fiqrah dan manhaj. Tidak berarti kreativitas atau ruang ijtihadiyyah tersubordinasikan.
Profetik: sebuah ideologi ?
Meskipun masih menjadi perdebatan, momentum posmodernisme melahirkan tantangan baru, berupa aktualisasi dan –tentunya-kontekstualisasi doktrin. Dalam hal ini apakah yang tepat refleksi normatif atau refleksi aktual-empiris, KAMMI tidak memasuki diskursus tersebut, melainkan mengisi pada ruang kosong -yang “dilupakan” tiap pihak, antara lain penyatuan teoritis-praksis, wacana dan aksi.
Cita-cita profetik dapat dikatakan sebuah derivasi atas kalam ilahi. Pengukuhan epistemologinya menurut Kuntowijoyo, diinterpretasikan melaui antara lain penafsiran sosial (daripada penafsiran individual ) dan mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis ( Paradigma Aksi:283-284 ). Tantngan ini bukan hanya ditujukan pada cendekiawan melainkan juga gerakan massa. Kendala islamisasi sekarang ini boleh dikatakan tidak ada handikap struktural. Tafsir yang dilakukan KAMMI, selain menghilangkan dikotomis teoritis-praksis, juga menyusun ( memperkuat dan memassalkan ) ideologis aksi yang linier-tidak kontradiktif.
Islam equilibrium ( istilah penulis ) sebagai rekayasa corak pemikiran dan aksi, menempatkan Islam pada ideologi romantis. Gerakan Salafiyah menjadi kontinuitas KAMMI dalam rasionalisme dan puritanisme Islam. Pengukuhan atas idealistik dalam penerapan Islam totalistik ( kaffaah ), dilakukan secara gradual / bertahap ( realistik ). Baju formalistik akan diperjuangkan dalam sekuen dakwah, seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat.
Bangunan Kokoh
Bunyaanun Marsuus, bangunan kokoh dalam kolektivitas tidak sekedar sebuah citra yang tampak melainkan juga alam ide yang memadukan dua matra. Kolektivisme itu tidak mungkin tersusun tanpa tiga landasan, yakni aqidah ( teologi ), fiqroh ( interpretasi teks ) dan manhaj, sebagai interpretasi aksi. Nuansa supranatural-lebih tepat metafisika-membingkai peradaban yang dilahirkan.
Alam metafisika inlah yang mengikat dan memunculkan spartan dalam menuju alam abadi. Rumusan-rumusan di atas tidak hanya untuk perniagaan ( tijaroh ) komunitas eksklusif, tetapi dalam rangka universalisasi nilai-nilai transenden. Dalam hal ini, KAMMI tidak menampailkan suatu gerakan yang menonjolkan satu sisi kebutuhan ( materi / fisika dan metafisika ).
Mengenai kolektivitas, Dermenghem menggambarkannya sebagai katedral, bukan tumpukan batu-batu yang terpisah –pisah. Atau, dalam pandangan Boisard, dalam kehidupan sosial, Islam menekankan pentingnya kehidupan kolektif. Kolektivisme ini tidak dibiarkan hanyut dalam kesepian; diperlukan senarai berantai dalam berbagai aspek.
Penyadaran identifikasi umat dalam kolektivitas, setelah diawali fundamen yang radikal dilanjutkan dengan vitalisasi teologi-dalam makna luas. Berikutnya, untuk bertahannya ideologi, perlu internalisasi nilai. Fase yang dilalui adalah takwinul ummah; sebuah proses absorpsi nilai tanpa indoktrinasi. Penggugahan kesadaran dalam absorpsi nilai dilakukan dalam medium tazkiyatun nafs ( takwinul ummah, tazkiyatun nafs dan amar ma’ruf nahi munkar oleh Banjari disebutkannya sebagai ciri gerakan profetik).
Identitas yang jelas, tidak semata untuk visualisasi dalam berkompetisi. Hall transformasi dan akulturasi budaya, tidak cukup di-counter dengan apologi. Pemikiran totalistik-formalistik pada satu sisi berwajah egaliterian-liberal. Humanisme yang diusung-tetapi sering dijadikan el capitano dalam perang terminologi dengan “mereka”-pada kalangan ini terabaikan ( bukan prioritas ). Artikulasi untuk menjadikan rahmatan lil ‘alamin, dipandangnya memiliki agenda tersembunyi. Muncullah tuduhan berupa wajah totalitarian.
Pemakaian idiom-idiom bernuansa “nilai” tidak semata dalam mengokohkan kontinuitas historis. Sebuah pilot proyek besar dalam kancah ideologi adalah bagaimana melebarkan pengaruh. nInternalisasi, oleh Salim As-Segaf Jufrie, akan diikuti infiltrasi ideologi.
Menjadi tantangan besar, manakala skripturalis menjadi simbol khas KAMMI, sementara penyuaraan pluralisme dan humanisme bergaung nyaring. Bukan kekhawatiran, akan tetapi bagaimana menyusun kerangka beramal ( bukan sekedar berpikir ) dari legitimasi doktrin. Penafsiran Quran ( dan Hadist ) tidak sekedar untuk diwacanakan ,tetapi perlu dilakukan pergerakan massif. Massif dalam arti mengerahkan segenap kemampuan dengan dilandasi spirit agung.
*) Saat menulis naskah ini. penulis adalah Kabid Internal KAMMI Komisariat IAIN Sunan Kalijaga, Yoggyakarta. Kuliah di Fakultas Tarbiyah angkatan 1999. Makalah ini pernah dimuat di Buletin Alaf yang diterbitkan KAMMI Komisariat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar