“Sejarah Indonesia adalah sejarah tirani, penindasan, dan kedzaliman atas rakyatnya yang mustadh’afin, termiskinkan, dan terpinggirkan…”
—Muqaddimah Anggaran Dasar KAMMI—
Setiap gerakan mahasiswa pasti memiliki nilai-nila dasar yang menjadi acuan pergerakan. HMI memiliki NDP (Nilai Dasar Pergerakan), PMII punya Nilai Dasar Perjuangan, Muhammadiyah punya Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup, atau orang-orang komunis punya Manifesto Partai Komunis. Nilai Dasar ini akan merumuskan strategi, taktik, sikap, hingga pedoman kerja organisasi untuk mencapai cita-cita dan tujuannya.
Begitu juga KAMMI. Sebagai gerakan yang lahir dari ‘rahim’ reformasi dan bertransformasi menjadi sebuah kekuatan sendiri, KAMMI tentu memiliki nilai dasar yang dipahaminya dalam bergerak. Nilai inilah yang kemudian disebut sebagai ‘Ideologi KAMMI’ yang dipaparkan setiap kali Daurah Marhalah I. Nilai-nilai ini terangkum dari paket filosofi gerakan KAMMI yang telah membersamai KAMMI sejak tahun 2004.[3]
Pengantar: Ideologi KAMMI
Sebelum memaparkan muqaddimah tersebut secara lebih detil, Muhammad Ismail menyatakan bahwa ideologi (mabda’) merupakan ‘aqidah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anha an nidzam, yang berarti: seperangkat kaidah berfikir yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (nizham).[4] Saya akan mereproduksi bahasa Ismail dalam kerangka ilmu sosial, yaitu dengan menempatkan ideologi dalam dua prakondisi, yaitu memiliki ‘aqidah ‘aqliyyah sebagai fikrah (epistemologi) dan memiliki kerangka dasar sebagai thariqah (metodologi).
Dengan menggunakan konseptualisasi Ismail ini, kita bisa menempatkan kerangka definisi ideologi dalam relasi filosofis: epistemologi-metodologi-praxis. Setiap ideologi memiliki basis ideas (gagasan) yang merupakan representasi dari posisi sosialnya. Akan tetapi, ideas tersebut harus memiliki pendasaran material agar bisa diimplementasikan, alias punya kerangka metodologis yang jelas. Sehingga, kerangka metodologis tersebut memandu kesadaran subjek dalam mengaplikasikan gagasannya pada ranah praksis sosial.
Oleh karena ideologi memiliki dimensi metodologi di dalamnya, maka secara otomatis kita dapat menyebut bahwa ideologi bersifat ilmiah. tetapi, sifat ilmiah ideologi berbeda dengan sifat ilmiah pengetahuan, dimana sifat ilmiah dari ideologi menghidupkan kesadaran.[5] Amin Sudarsono menyebutnya sebagai “sistem pembenaran” yang menghidupkan dan menggerakkan kesadaran kritis kader. Oleh sebab itu, ideologi itu dilihat dari penghayatannya pada artikulasi praktis.[6]
Ideologi akan memandu kader-kader KAMMI dalam merumuskan strategi dan taktik gerakan, mengkonseptualisasi ide-ide dan cara pandang (worldview) KAMMI terhadap realitas. Sehingga, ideologi gerakan menempati posisinya yang sangat penting bagi aksentuasi gerak KAMMI, dan secara otomatis harus dimiliki secara paripurna oleh kader-kader KAMMI.
Ideologi KAMMI harus memuat setidaknya tiga hal: (1) basis ideas –gagasan yang merepresentasikan KAMMI secara menyeluruh; (2) basis metodologis –materialisasi atas ideas sebagai “pisau” dalam membedah realitas sosial, atau alat kritik sosial; dan (3) basis praxis –acuan strategi dan taktik yang merupakan alternatif solusi serta implikasi gerak dari kritik sosial KAMMI.
Prinsip idelogi gerakan KAMMI tersebut sebenarnya sudah termuat dalam Muqaddimah Anggaran Dasar KAMMI yang dirumuskan di Muktamar KAMMI IV, Samarinda, Tahun 2004. Muqaddimah AD KAMMI berisi empat paragraf, di mana paragraf pertama berisi penegasan atas kerangka epistemologis KAMMI, paragraf kedua dan ketiga meletakkan 3 basis metodologi perjuangan KAMMI. Adapun paragraf keempat merupakan penegasan atas eksistensi jati diri KAMMI (Visi Gerakan) yang kemudian dijelaskan secara lebih komprehensif melalui empat paradigma gerakan KAMMI.
Bagaimana Konstruksi Muqaddimah Anggaran Dasar KAMMI tersebut memberikan ruang aksentuasi bagi ketauhidan dan keislaman KAMMI? Saya akan coba membahasnya secara detil paragraph per paragraf.
Basis Ideasional: Tauhid Epistemologis
“Bahwa sesungguhnya hakekat penciptaan manusia adalah untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi. Peradaban di muka bumi akan tegak dan sempurna manakala amanah itu ditunaikan dalam kerangka penyembahan dan pengabdian kepada Allah sebagai pribadi muslim. Kaum muslimin adalah pemegang hak atas peradaban dunia yang dibangun atas nilai-nilai tauhid. Oleh karena itu, seorang muslim memiliki kewajiban asasi untuk berda’wah amar ma’ruf nahi munkar menegakkan kalimat tauhid. Da’wah tauhid adalah tugas suci seorang muslim untuk menyadarkan, membebaskan, dan memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia dan materi menuju penghambaan yang sejati yaitu kepada Allah yang Maha Pencipta, dengan mengajak kepada kebenaran, menegakkan keadilan, dan mencegah kebathilan dengan cara yang ma’ruf”
Hakekat manusia adalah menjadi khalifatullah fil ‘ardli (khalifah Allah di muka bumi). Ini sesuai dengan Firman Allah (QS. 2: 30-33). Secara kebahasaan, ‘khalifah’ berasal dari kata kha’, lam, dan fa, mempunyai tiga makna pokok, yaitu mengganti, belakang, perubahan (holafa- yakhlifu/yakhlufu-khalfan- wa khilafatan). Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid menempatkan ‘khalifah’ pada makna ‘pengganti’ atau wakil di muka bumi.[7] KAMMI berkeyakinan bahwa manusia hidup di dunia dengan mengemban misi ‘kekhilafahan’, yang artinya manusia punya tanggung jawab (amanah) untuk memimpin bumi ini.
Fungsi kekhilafahan tersebut dibingkai di atas pengabdian kepada Allah (QS. 51: 56). Artinya, fungsi kepemimpinan manusia pada dasarnya adalah pengabdian hanya kepada Allah. Di sinilah KAMMI mengenal tauhid: mengesakan Allah sebagai fondasi dasar setiap aktus manusia. Dalam bahasa psikoanalisis, Tauhid adalah ‘master signifier’ (penanda utama) bagi setiap muslim yang merujukkan semua kehendak dan aktivitasnya kesna.
Ideologi KAMMI berakar pada Tauhid –Laa Ilaaha Illallah. Tauhid adalah kerangka dasar dalam memandang realitas sosial. Epistemologi yang dibangun dari Tauhid bersifat relasional, karena semua akan dikembalikan pada sebuah dzat, realitas yang tunggal, bersifat uniaksial dan unilinear.[8] Ini sesuai dengan firman Allah, inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un (QS. 2: 156).
Penjelasan Tauhid tersebut secara gamblang dinyatakan di atas: menyadarkan, membebaskan, dan memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia dan materi menuju penghambaan yang sejati yaitu kepada Allah yang Maha Pencipta. Tauhid telah menjadi kerangka aksiomatik bagi KAMMI. Semua ditujukan pada paradigma tauhid yang tunggal. Paradigma tauhid tersebut kemudian dimaterialisasi dengan mengajak kepada kebenaran, menegakkan keadilan, dan mencegah kebathilan dengan cara yang ma’ruf”. Inilah yang kemudian dimaknai oleh Amien Rais sebagai “Tauhid Sosial”[9].
Paragraf ini menjadi sebuah penanda bahwa ‘tauhid’ menjadi centre dari setiap aktivitas KAMMI. Konsep tauhid secara epistemologis, yang berarti menjadi sumber dari ‘kebenaran’ yang diproduksi dan direproduksi oleh kader-kader KAMMI. Tetapi, konsepsi Tauhid tidak cukup hanya berada pada wilayah keyakinan. Sebagaimana definisi iman –‘aqd bil qalb, ikraar bil lisaan, dan ‘amalu bil arkan— ketauhidan KAMMI juga mesti dinyatakan dalam bentuk penyadaran, pembebasan, pemerdekaan manusia dari penindasan sesama manusia menuju penghambaan tunggal (yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai semangat profetik)[10] melalui aktivitas amar ma’ruf dan nahyi munkar sebagai manifestasi dakwah.
Pada titik inilah, KAMMI me-nawaitu-kan semua aktivitasnya dalam mewarnai Indonesia. Inilah basis epistemologi gerakan KAMMI.
Basis Metodologis: Materialisasi dan Historisasi Tauhid
- Mahasiswa adalah entitas intelektual yang menempati posisi strategis dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mahasiswa adalah agen-agen pengubah, pilar-pilar keadilan dan kebenaran, teladan perjuangan, dan aset masa depan bangsa Indonesia.
- Kaum muslimin adalah bagian terbesar bangsa Indonesia, sehingga masa depan bangsa Indonesia akan ditentukan oleh peran-peran sejarah kaum muslimin.
- Sejarah Indonesia adalah sejarah tirani, penindasan, dan kedzaliman atas rakyatnya yang mustadh’afin, termiskinkan, dan terpinggirkan.
Dengan mendasarkan “Tauhid” sebagai basis epistemologis-fondasional, maka KAMMI telah memiliki pijakan ideas yang kokoh. Lantas, bagaimana pijakan ideas tersebut ditransformasikan ke dalam sebuah struktur metodologis yang juga kokoh, alias punya pendasaran material yang benar-benar berpijak pada realitas?
Paragraf kedua dan ketiga telah memberikan pijakan material atas “tauhid” tersebut dalam tiga pandangan mengenai sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pertama, sejarah perjuangan bangsa Indonesia bertumpu pada posisi strategis mahasiswa sebagai agen perubahan sosial. Kedua, sejarah perjuangan bangsa Indonesia ditentukan oleh peran-peran strategis kaum muslimin. Ketiga, sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejatinya adalah sejarah perjuangan kelas, antara rakyat yang “mustadh’afin, termiskinkan, dan terpinggirkan” melawan “tirani, penindasan, dan kedzaliman”.
Pemahaman sejarah perjuangan bangsa Indonesia tersebut mengaksentuasikan metodologi perjuangan KAMMI sebagai berikut: berbasis pada nalar intelektual untuk melakukan perubahan sosial, berporos pada perjuangan umat Islam, dan berpihak pada kelas yang tertindas.
Aksentuasi tersebut memberikan basis material atas tauhid, bahwa tauhid tidak hanya dimaknai sekadar sebagai deklarasi keesaan Tuhan, tetapi juga dimaknai ke dalam praksis sosial, sebagai semangat melakukan perubahan sosial atas nalar intelektual, sebagai semangat pemersatu dalam “bergerak bersama umat”, dan sebagai semangat memperjuangkan kelas tertindas.
Pada titik ini, KAMMI bersepakat dengan logika Marxian bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas,[11] akan tetapi KAMMI mendasarkan perjuangan kelas tersebut sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah. KAMMI menolak premis dasar Marx bahwa “agama adalah candu”[12], dan dengan kerangka metodologis ini mendeklarasikan bahwa “agama adalah basis pembebasan umat manusia”!
Dengan pendasaran ini pula, KAMMI bersepakat dengan gagasan kiri Islam yang dibawa oleh Hassan Hanafi, bahwa Islam memiliki dimensi taharrur (pembebasan, liberasi) yang memungkinkannya untuk digunakan sebagai alat perubahan sosial. Basis perubahan sosial adalah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
KAMMI melihat ada 3 basis ketertindasan: mustadh’afin, miskin, dan peminggiran. Mustadh’afin dalam pandangan Kuntowijoyo adalah mereka yang terserabut hak-hak sosial politiknya,[13] sementara miskin adalah mereka yang terserabut hak-hak ekonominya. Peminggiran dilakukan pada basis budaya. Akan tetapi, pada gagasan tersebut, KAMMI juga melontarkan kritik: Identitas umat Islam tetap menjadi poros utama dalam melakukan perjuangan pembebasan umat manusia dari ketertindasan.
Basis Praxis
“KAMMI dengan potensi keimanan, keislaman, intelektual, dan kecendikiawanan sebagai anugerah Allah SWT meletakkan dirinya sebagai kawah candradimuka untuk menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia masa depan yang tangguh dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara yang Islami di Indonesia sehingga terbentuk bangsa dan negara Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur dalam lindungan ampunan Allah SWT.”
Dengan tiga pendasaran material di atas, KAMMI kemudian menjelmakan dirinya sebagai: kawah candradimuka untuk menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia masa depan yang tangguh dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara yang Islami di Indonesia sehingga terbentuk bangsa dan negara Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.
Visi KAMMI, dengan bahasa yang lebih sederhana, menyatakan KAMMI sebagai “Wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami”. Visi tersebut diperkuat oleh prinsip gerakan KAMMI:
- Kemenangan Islam adalah jiwa perjuangan KAMMI
- Kebathilan adalah musuh abadi KAMMI
- Solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI
- Perbaikan adalah tradisi perjungan KAMMI
- Kepemimpinan umat adalah strategi perjuangan KAMMI
- Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI
Visi KAMMI tersebut menjelaskan bahwa “kemenagan Islam” adalah jiwa perjuangan KAMMI. Dalam bahasa Ardhi Rahman, kemenangan Islam berarti sebuah budaya politik yang berorentasi pada pembentukan budaya ummat yang luas, tidak terkotak oleh kepentingan kelompok, mampu bersikap toleran, setia pada cita izzul islam wal muslimun dan menuju wihdatul ummah.[14].
Kemenangan Islam berarti mendasarkan perjuangan pada poros keumatan, tidak ashabiyah pada jamaah atau gerakan dakwah tertentu saja. KAMMI memiliki identitas yang embedded dengan perjuangan umat Islam Indonesia. Begitupun dalam konteks kebangsaan. Bangsa dan negara Indonesia yang Islami didasarkan atas tujuan mewujudkan bangsa dan negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
Dengan demikian, Islam tidak dimaknai sekadar sebagai simbol, tetapi substansi. Dan kerangka Islam yang dipahami oleh KAMMI adalah kerangka Islam yang berada pada ranah keindonesiaan. Untuk mewujudkan visi tersebut, KAMMI menyatakan dirinya ke dalam empat paradigma gerakan: (1) Gerakan Dakwah Tauhid; (2) Gerakan Intelektual Profetik; (3) Gerakan Sosial Independen dan (4) Gerakan Politik Ekstraparlementer.
Empat paradigma gerakan ini memiliki tafsirnya masing-masing dan menjadi basis acuan dalam membuat strategi dan taktik gerakan guna mengaksentuasikan basis ideologi gerakan KAMMI di lapangan. Basis ideologi ini juga menjadi acuan kaderisasi untuk membuat kader dapat mengkonstruksikan identitasnya secara cermat.
Ikhtitam
Dengan melihat pada kerangka ideologi KAMMI ini, kita bisa memberikan pembeda antara KAMMI dan gerakan lain, terutama gerakan yang berafiliasi formal di bawah tarbiyah PKS. Relasi yang dibangun oleh KAMMI adalah relasi berbasis nilai dengan memperhatikan tiga basis material di atas: berporos pada kepentingan umat, berorientasi pada perubahan sosial, serta memihak pada kaum lemah dan tertindas. Basis ini kemudian dijabarkan dalam beberapa Paradigma, Visi, Misi, Prinsip, kredo, hingga posisi gerakan KAMMI.
Dengan basis identitas ini, bolehlah KAMMI memiliki pertautan dengan gerakan-gerakan yang setipe dengannya –Tarbiyah, Muhammadiyah, PKS, FKP, Hizbullah, Ikhwanul Muslimin, dll. Tudingan bisa saja diarahkan bahwa KAMMI adalah ‘underbouw’ yang lain. Tetapi, dengan memahami ideologi gerakan KAMMI, kita akan tetap dapat menjawab bahwa “KAMMI adalah KAMMI, bukan yang lain!”
Billahi fie Sabilil Haq.
Catatan Kaki
[*] Makalah untuk disampaikan dalam Forum Diskusi KAMMI Kultural, Sabtu 16 Februari 2013 di sekretariat KAMMI UIN Sunan Kalijaga.
[2] Pernah bergiat sebagai Ketua Bidang Kajian Strategis, KAMMI Komisariat UGM, 2010-2011. Sekarang menjadi pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural. Dapat dihubungi via rizky_mardhatillah@yahoo.co.id dan @analispolitik di twitter.
[3] Paket filosofi gerakan tersebut dirumuskan oleh Tim Steering Committee Muktamar KAMMI 2004 yang diketuai oleh Imron Rosyadi, MSc (Ketua KAMMI Teritorial V)
[4] Dikutip dari Amin Sudarsono. Ideologi KAMMI. Makalah pemantik diskusi dalam Daurah Marhalah Ula KAMMI Komisariat Universitas Islam Negeri [UIN] Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada hari Sabtu, 16 April 2005. Lihat pula Ijtihad Membangun Basis Gerakan.
[5] Muhammad Mustafied. “Merancang Ideologi Gerakan Islam Progresif-Transformatif: Mempertimbangkan Islam Kiri Hassan Hanafi” dalam Muhiddin M. Dahlan (ed). Sosialisme Religius. Yogyakarta: Tiara Wacana.
[6] Amin Sudarsono. “Ideologi KAMMI” Makalah disampaikan dalam Daurah Marhalah Ula KAMMI, 2005.
[7] http://sangrevolusi.blog.com/2011/04/14/abc/
[8] Kazuo Shimogaki. Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme:Telaah atas Pemikiran Hassan Hanafi. Terjemahan Imam Aziz dan Jaddul Maula. Yogyakarta: LKiS, 1992.
[9] Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. Mari Benahi Tauhid Kita. Banjarmasin Post, Juni 2008.
[10] Yusuf Maulana. “KAMMI dan Gerakan Profetik”. Alaf, edisi 1 tahun 2000.
[11] Karl Marx dan Frederich Engels. Manifesto of The Communist Party. Marxist Internet Archives.
[12] Karl Marx. A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Rights. Marxist Internet Archives.
[13] Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.
[14] Ardhi Rahman, “Strategi Kebudayaan KAMMI” Ibhar, Vol. 1 (2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar