M. Sadli Umasangaji
Aktivis KAMMI di Ternate
“Kekanglah
luapan perasaan dengan pandangan akal dan terangilah kecemerlangan akal dengan
gelora perasaan” (Imam
Hasan Al-Banna)
Jika
melihat rentang sejarah, kita akan mempelajari bahwa dinamika perubahan sosial
merupakan interaksi dari empat elemen utama: manusia, ide, ruang dan waktu.
Manusia adalah pusat dari perubahan karena ia adalah pelaku atau aktor dimana
ruang dan waktu merupakan panggung pertunjukkannya. Ide menjadi penggerak
manusia dalam seluruh ruang dan waktu. Setiap kali ada perubahan yang penting
dalam ide-ide manusia, maka kita akan menyaksikan perubahan besar dalam
masyarakat mengikutinya. Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara
dialektis, antara tantangan dan respon terhadap tantangan tersebut. Ide atau
gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika
dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena ia merespon
tantangan di sekelilingnya. Hasil respon baru itu selanjutnya melahirkan
tantangan-tantangan baru yang menuntut respon-respon baru. (lihat Anis Matta, 2014).
Tentunya
yang penulis sadari bahwa yang membuat daya hidup KAMMI dan terus berkembang
adalah ranah Dakwah Tauhidnya. Disisi lain KAMMI dalam perjalanannya maka KAMMI perlu reposisi sebagai tambahan daya
hidupnya. Karena jika kecemasan merupakan kekuatan utama yang menggerakkan para
pahlawan kebangkitan, maka kekuatan apakah yang paling agresif menggerakkan
para pahlawan di jaman kejayaan? Jawabannya adalah obsesi kesempurnaan (lihat Anis Matta, 2013).
Homo Islamicus dan Intellectual
Freedom
KAMMI sendiri
memiliki output pengkaderan yaitu Muslim Negarawan. Karakter Muslim Negarawan,
yakni memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan dan
pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan
problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada
upaya perbaikan. Selain Muslim Negarawan, ada sebuah frasa yang pernah
didiskusikan dalam Jurnal KAMMI Kultural, yakni Homo Islamicus. Karena Muslim Negarawan yang terkesan mengandung
makna bentuk perjuangan yang melalui ranah politik dan kekuasaan Negara. Maka Homo Islamicus, yang dituliskan Dharma
Setyawan yang dikutipnya dari Seyyed Hossein Nasr, Homo Islamicus adalah
bentuk konsistensi manusia sebagai makhluk ber-Tuhan. Dia meramu segala bentuk
kebaikan-kebaikan yang hadir pada nalar dan wahyu untuk menciptakan maslahah
(manfaat). Homo Islamicus membuat
kader bisa berdiaspora dimana saja sesuai kompetensinya dengan bersandar pada
nilai-nilai keislaman.
Homo Islamicus
adalah intelektual profetik dalam arti yang lebih makro (Setyawan, 2013).
Intelektual Profetik sendiri dalam GBHO KAMMI, Gerakan Intelektual Profetik
adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar
akal. Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara
tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal.
Kemampuan
manusia yang diandalkan itu ialah rasionya. Rasionalisme adalah suatu paham
yang mengakui kemutlakan rasio. Maka seorang rasionalis adalah seorang yang
menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan
bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran sampai yang merupakan
kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas,
yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan
kebenaran-kebenaran (Madjid, 2013).
Maksud sikap rasional ialah memperoleh
daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia.
Oleh karena manusia dengan karena keterbatasan kemampuannya tidak dapat
sekaligus mengerti seluruh alam ini melainkan sedikit demi sedikit dari waktu
ke waktu, menjadi rasional adalah juga berani progresif dan dinamis. Jadi tidak
dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada, dan karena itu bersifat merombak
dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang tidak benar, tak sesuai dengan
kenyataan yang ada, tidak diterima akal, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain
juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan warisan
generasi sebelumnya yang mengandung nilai kebenaran. Maka sekalipun bersikap
rasional itu suatu keharusan yang mutlak, rasionalitas itu sendiri relatif
sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu
Sebagaimana Idea Of Progress dan Intellectual Freedom yang dituliskan
Nurcholish Madjid (2013), Idea Of Progress bertitik tolak dari konsepsi atau
doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada
kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan oleh Allah dalam fitrah dan
berwatak hanif). Manifestasi
dari adanya idea of progress ialah
kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Konsistensi
idea of progress ialah kesediaan “sikap terbuka” kepada menerima dan mengambil
nilai-nilai dari mana saja, asalkan mengandung “kebenaran”.
Di antara kebebasan perseorangan,
kebebasan berpikir, dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga. Seharusnya
kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide
betapapun aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk
dinyatakan. Tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula
dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan
pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan maupun organisasi, di mana
saja di muka bumi ini. Selanjutnya, di dalam pertentangan pikiran-pikiran dan
ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia
akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat.
Jadi, sejalan dengan Intellectual
Freedom, harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan
dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang, menurut
ukuran-ukuran objektif, mengandung kebenaran. Harus mendengarkan ide-ide dan mengikuti mana
yang paling baik.
Rasionalitas yakni dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh
manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran, proses penemuan
kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak. Nurcholis Madjid (2013) menempatkan bahwa Islam memerintahkan rasionalitas,
tetapi tidak rasionalisme. Islam menuntut agar setiap orang itu rasional tetapi
tidak rasionalis.
Pikiran-pikiran
itu betapun salahnya kelak, merupakan kulminasi pemikiran manusia tentang
kehidupan dirinya sendiri dalam bermasyarakat, sebagai hasil penelaahan yang
realitis dan penuh keuletan berpikir atas gejala sosial dan historis.
Intelektual Kolektif
Untuk mengembalikan otonomi intelektual
yang kian terancam oleh kekuatan ekonomi dan politik serta untuk memperbarui
modus tindakan politik, Bourdieu mengajukan gagasan apa yang disebut dengan
intelektual kolektif. Intelektual kolektif merupakan gerakan intelektual dari
beragam bidang ilmu atau kompetensi sekaligus bersifat lintas negara dan
budaya. Gerakan ini menjadikan kemandirian intelektual dan keterlibatan politik
sebagai fondasi utamanya (Sugiarto, 2013). Intelektual
kolektif berupa gerakan lintas budaya, bangsa, negara dan multidisipliner.
Gerakan ini memiliki struktur bebas, jaringan informal, dan tidak
terkonsenterasi di satu pusat. Beragam aliran pemikiran, perspektif dan
cita-cita juga diakomodasi
(Safitri, 2014).
Maka Intelektual
Kolektif untuk memelihara opini umum yang akarnya adalah Dakwah Tauhid dan
Intelektual Profetik. Dalam GBHO KAMMI, Gerakan Dakwah Tauhid merupakan gerakan
yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada
nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (Ilahiyyah) yang mewujudkan Islam sebagai
rahmat semesta (rahmatan lil ‘alamin). Dan Gerakan Intelektual Profetik adalah
gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan
perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
Hingga ujung dari Dakwah Tauhid adalah kita akan membina diri,
sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah
tangga, sehingga menjadi rumah tangga muslim. Kita akan membina bangsa kita,
sehingga menjadi bangsa yang muslim. Kita akan berada di tengah-tengah bangsa
Muslim ini dan akan berjalan dengan langkah pasti menuju akhir perjalanan,
tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kita, bukan tujuan yang kita
tetapkan untuk diri kita. Dan, dengan izin dan pertolongan Allah, kita akan
sampai ke tujuan. Karena Allah SWT, tidak menghendaki, kecuali menyempurnakan
cahaya-Nya (al-Banna, 2012).
Maka tantangan
intelektual KAMMI adalah semakin menjamurnya pemikiran kader dan tokoh-tokoh
KAMMI. Baik dalam ranah-ranah pemikiran maupun dalam bentuk karya dan
lembaga-lembaga intelektual. Dengan tradisi kader, membaca, berdiskusi, dan
menulis. Menghidupkan dialetika wacana dalam budaya literasi dan dalam
perspektif Islami. Sebagaimana masa-masa kejayaan Islam. Kepahlawan zaman kejayaan
didominasi oleh semangat perfeksionisme dan inovasi. Ini menjelaskan tipikal
kepahlawan zaman kejayaan, biasanya terjadi paling banyak pada bidang
pemikiran, kebudayaan, bahasa, seni, dan ilmu pengetahuan, dan pembangunan
fisik, serta berorientasi pada spesialisasi yang rumit dan detil sebagai simbol
kesempurnaan. Seperti kreativitas Imam Syafi saat beliau merumuskan
kaidah-kaidah Ushul Fiqih, atau temuan dan inovasi Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd
dalam bidang kedokteran, atau kedalaman Imam Ghazali, Ibnu Jauzi, Ibnu Qayyim
dalam bidang akhlak atau Al-Jahiz dalam bidang sastra, dan seterusnya (Matta,
2013).
Atau
sebagaimana ungkapan Syekh Said Hawa (2014), penelitian harus dihadapi dengan
penelitian, institusi harus dihadapi dengan institusi, penerbitan harus
dihadapi dengan penerbitan, dan sloganpun harus dihadapi dengan slogan. Semua
harus dilihat dalam perspektif Islam. Prinsip dasar ini didapatkan dalam
kehidupan Rasulullah, beliau menghadapi syair dengan syair, pidato dengan
pidato, dan perang juga dengan perang. Maka tantangan dan tradisi intelektual
KAMMI adalah ledakan karya sebagai reposisi dan daya hidup KAMMI yang baru. Mengutip bahasa KAMMI Kultural, hanya upaya sebagai “memenangkan
kekuasaan pada tingkat berpikir kader”, inilah tradisi intelektual KAMMI.
Tradisi Kultural
Tidak seorang pun manusia berhak mengklaim
suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat
tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan.
Sebaliknya, karena menyadari kerelatifan kemanusiaan, setiap orang harus
bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari
orang lain. Dengan demikian, terjadilah proses kemajuan yang terus-menerus dari
kehidupan manusia, sesuai dengan fitrahnya, dan dengan sejalan dengan watak
hanifnya (merindukan kebenaran). Seharusnya seorang “Muslim” adalah seorang
yang paling mendalam kesadarannya akan kemanusiaan yang relatif. Seorang
“Muslim” adalah seorang yang dengan ikhlas mengaku bahwa dirinya adalah makhluk
yang lemah dan tidak berdaya di hadapan Tuha. Sebab itu, seharusnya pula
seorang “Muslim” adalah seorang yang paling tidak bersedia untuk mempertahankan
kebenaran-kebenaran insani sebagai sesuatu yang mutlak, menantang segala
perubahan nilai-nilai kemanusiaan. (Madjid, 2013).
Dalam
gagasannya, Bowo Sugiarto (2013), menguraikan bahwa Gerakan
mahasiswa dapat mengambil inspirasi dari gagasan Bourdieu tentang intelektual
kolektif ini. Semangat tentang pentingnya kemandirian intelektual, keterlibatan
politik, dan penggabungan intelektual dari beragam bidang ilmu dapat
direplikasi ke tubuh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang anggotanya
terdiri dari mahasiswa dengan latar belakang bidang ilmu dapat membumikan
gagasan Bourdieu itu dalam skala yang lebih kecil.
Agar
dapat mengadopsi gagasan Bourdieu tentang intelektual kolektif, gerakan
mahasiswa harus mengakumulasi modal kultural dengan cara mengembangkan
kompetensi yang dimiliki anggotanya yang berasal dari beragam bidang ilmu
tersebut. Pengembangan kompetensi itu tidak melulu hanya berkisar di
ruang-ruang perkuliahan, tetapi juga melalui forum-forum diskusi dan penerbitan
tulisan-tulisan yang sedapat mungkin merupakan kajian ilmiah.
Dalam ranah ini, saya menyebutnya sebagai “tradisi
kultural”. Tradisi Kultural bagi saya terdiri atas kesetaraan dan keikhlasan
dan terejawantahkan melalui tulisan (berbagi gagasan). Tradisi Kultural inilah
yang bagi saya mirip dengan slogan Jurnal KAMMI Kultural, “Bergerak Tanpa
Kasta, Berjuang Tanpa Nama”. Dan setahu saya slogan ini tanpa tafsiran yang
pasti, maka semuanya “berwenang” memberikan asumsi.
Ahmad Rizky Mardatillah Umar (2015) kiranya
mendefenisikan “Bergerak Tanpa Kasta” dengan membawa semangat egalitarian. Mendorong setiap anggota biasa KAMMI,
tak peduli apapun status perkaderan ataupun posisi 'struktural'-nya di KAMMI,
untuk menjadi generasi pembelajar. Untuk belajar kepada siapapun dan mampu
menarik hikmah dari apapun. Banyak tempat untuk belajar di dunia pergerakan
maupun di luar. Bergeraklah, oleh karenaya, tanpa kasta, dengan semangat
pembelajaran.
Sedangkan “Berjuang Tanpa Nama”,
menurut Umar (2015), adalah konsekuensi untuk menciptakan
perubahan tanpa harus terbebani dengan label atau nama. Terlebih-lebih menurut Umar (2015), Berjuang tanpa nama
menyiratkan satu pesan: apapun perjuangan kita, hendaknya ikhlas lillahi ta'ala, mengajarkan kita untuk mencipta tanpa
mengharap balas jasa. Juga mengajarkan
kita satu hal lain: konsistensi dalam perjuangan, untuk setia di garis massa.
Bahwa tak selamanya perjuangan dilakukan di atas panggung yang hiruk-pikuk
dengan pengeras suara dan tabuhan gendang. Perjuangan kadang kala dilakukan di
balik panggung, di bawah tempat penonton menikmati hiburan, atau mungkin di
ruang-ruang yang selama ini terlupakan oleh para politikus. Tempat yang kadang
sunyi, penuh onak dan duri, dan sering juga terabaikan. Tapi dengan semangat
keikhlasan, insya Allah hal-hal semacam itu bisa dilalui sebagai
pembelajaran. Umar mengidentikan “Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama”
sebagai generasi “Muslim Pembelajar”.
Sedangkan Dharma Setyawan (2013), menafsirkan, gerakan
kultural sebagai sebuah gerakan ‘kehendak bebas’ yang bertujuan memberi ruang kepada seluruh kader KAMMI untuk memberikan sumbangsih berfikir secara dialektis ruang-ruang kultural –bergerak tanpa
kasta dan berjuang tanpa nama. Bisa saja, seorang kader KAMMI dalam wilayah struktural bukan
siapa-siapa. Ia hanya seorang jundi
komisariat yang tidak menempati posisi atau jabatan
struktural yang
strategis. Akan tetapi, di jagad pemikiran, ialah yang paling baik amal ibadahnya, lebih luas membaca
bukunya, tinggi pemahaman ilmu dan pengetahuannya, serta lebih progresif dalam
berkarya.
“Bergerak Tanpa
Kasta, Berjuang Tanpa Nama” terpatri dalam kesetaraan, keikhlasan, dan
bentuk manifestasinya adalah menulis (berbagi gagasan). Kesetaraan dapat
diidentikkan dengan totalitas dan persaudaraan. Menurut Hasan al-Banna (2012)
totalitas adalah bahwa engkau harus membersihkan pola pikir dari prinsip nilai
dan pengaruh individu yang lain, sebab ia adalah seutama-utama,
selengkap-lengkap, dan setinggi-tinggi fikrah. Sedangkan persaudaraan, menurut
Hasan al-Banna, bahwa hendaknya berbagai hati dan ruh berpadu dalam ikatan
akidah. Akidah adalah ikatan yang paling kokoh dan paling mahal. Ukhuwah
merupakan saudara keimanan. Kekuatan pertama adalah persatuan, tiada persatuan
tanpa cinta kasih, sedangkan cinta kasih yang paling lemah adalah lapang dada
dan puncaknya adalah itsar
(mengutamakan orang lain dari diri sendiri).
Imam Hasan al-Banna juga berkata, “Terus terang saya bangga dengan kesatuan
ikhwan yang tulus ini, sangat senang dengan ikatan rabbani yang kokoh ini, dan
sangat optimis menatap masa depan selama kalian tetap bersaudara karena Allah,
saling mencintai, dan saling tolong-menolong. Karena itu jagalah persatuan ini,
sebab ia merupakan senjata dan bekal utama kalian”. Inilah “Bergerak Tanpa
Kasta”.
Keikhlasan. Hasan al-Banna mendefinisikannya, bahwa
seorang al-akh hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan
perjuangannya hanya kepada Allah SWT, mengharap keridhaan-Nya, dan memperoleh pahala-Nya,
tanpa mempertimbangkan aspek kekayaan, penampilan, pangkat, gelar, kemajuan,
atau keterbelakangan. Dengan itulah ia menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan
tentara kepentingan dan yang hanya ambisi pribadi. Keikhlasan tentu berkawan
dengan pengorbanan. Pengorbanan menurut pandangan Hasan al-Banna, mengorbankan
jiwa, harta, waktu, kehidupan, dan segala sesuatu yang dipunyai seorang untuk
meraih tujuan. Tidak ada perjuangan tanpa disertai pengorbanan. Selain
pengorbanan, maka pendamping dari keikhlasan adalah keteguhan. Keteguhan
menurut Imam Hasan al-Banna, adalah bahwa hendaknya senantiasa bekerja sebagai
pejuang di jalan yang mengantarkan oada tujuan, meski masa amat jauh dan
tahun-tahun terasa panjang hingga bertemu dengan Allah. Inilah “Berjuang Tanpa
Nama”.
Manifestasinya adalah berbagi gagasan. Pada hakikatnya bagi saya setiap kader memiliki benih untuk
menulis. Saya mengatakan seperti ini karena saya menyakini setiap kader
memiliki kebiasaan membaca yang baik. Saya percaya bahwa kader harus menulis adalah karena Goethe berasumsi bahwa “Manusia pada hakikatnya adalah penulis. Apa
yang ia dengar, apa yang ia lihat dan alami, ia jadikan pola. Ia percaya apa
yang dapat dipikir, akan dapat pula ditulis, lambat atau cepat. Dalam setiap
perjalanan dan dalam setiap peristiwa ia memperoleh bahan baru untuk ditulis
atau dikarangnya”.
Kader harus menulis karena pada dasarnya, “Membiasakan diri,
membuat catatan, apa yang dipelajari setiap hari. Itulah ciri seorang
pembelajar”. Menulis merupakan suatu tradisi baik untuk mahasiswa, pegawai
kantor, wiraswasta, dan pengusaha karena dengan adanya tulisan sendi kehidupan
akan terus berlangsung. Menulis juga berarti mengasah ketajaman otak dan
menyeimbangkan dengan tangan sehingga menghasilkan sebuah karya. Menulis
merupakan proses kreatif seseorang dalam mencari jati diri. Menulis akan
memberi kekuatan pikiran menjadi segar dan bersemangat. Dengan mengekspresikan
segala yang terekam dari dalam otak dengan menyeleraskan kata-kata hingga
menjadi sebuah tulisan. Bukankah Pramoedya Ananta Toer mengatakan “Menulislah selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam
masyarakat dan dari pusaran sejarah”.
Hasan al-Banna dalam “Kewajiban Aktivis (Pejuang)” menuliskan “Hendaklah
engkau meningkatkan kemampuan baca tulis. Hendaklah engkau banyak mengkaji
risalah-risalah, surat-surat kabar, majalah-majalah Ikhwan, dan yang
sejenisnya. Hendaklah engkau berusaha memiliki perpustakaan pribadi, meskipun
sekecil apapun. Bila engkau memiliki spesialisasi, maka hendaklah menekuni
keilmuan dan keahlianmu. Dan hendaklah mengenal persoalan Islam secara umum
yang dengannya dapat membangun persepsi yang baik untuk menjadi referensi bagi
pemahaman terhadap tuntutan fikrah”.
Demikian juga dengan Sayyid Qubth, seorang pembaca “kelas berat” dalam
waktu yang lama. Seorang sastarawan yang piawai dalam menguraikan kata indah
dan seorang aktivis harakah yang jujur dalam beropini. Bahkan Sayyid
Quthb dapat dijadikan contoh ril, dimana ia adalah seseorang yang telah
menghabiskan waktunya, selama kurang lebih 40 tahun, untuk membaca. Selama itu,
ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk menelaah dan meneliti hampir semua
bidang ilmu pengetahuan manusia, beberapa ilmu memang menjadi spesialisasinya
dan sebagian lainnya karena hobi (membaca). Kemudian ia kembali membaca
sumber-sumber akidah dan ideologi Islam. Tak disangka, sedikit demi sedikit
dari apa yang pernah ia pelajari di Barat, ternyata ia menjumpainya dalam
perbendaharaan Islam yang kaya, memang demikian adanya.
Demikianlah,
“Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa
Nama” adalah kesetaran dan keikhlasan dalam berkarya. Karena dengan itu,
kita merindu dengan sederhana, mencintai dengan karya. Itulah tradisi kultural,
dengan karya, kita mencintai KAMMI dengan sederhana. Begitulah ledakan karya. Dan
bukankah Muhammad Natsir
mengungkapkan, “Mulailah dari apa yang
ada. Sebab, yang ada itu lebih dari cukup untuk memulai”.
Bahan Bacaan:
- Al-Banna, Hasan. 2012. Majmu’atur
Rasail Jilid I (Cetakan Kesepuluh). Penerbit Al-I’tishom. Jakarta.
- Hawwa, Said. 2014. Fi Afaqi At-Ta’alim. Penerbit Era Adicitra Intermedia. Surakarta
- Madjid, Nurcholis. 2013. Islam,
Kemodernan, dan KeIndonesiaan (Edisi Baru, Edisi Kedua). Penerbit Mizan. Bandung.
- Matta, Anis. 2013. Mencari Pahlawan Indonesia. Cetakan
Keempat. The Tarbawai Center. Jakarta
- Matta, Anis, 2014. Gelombang
Ketiga. The Future Institute. Jakarta
- Quthb, Sayyid, 2012. Ma’alim
Fi Ath-Thariq Cetakan Keempat. Darul Uswah. Yogyakarta.
- Safitri, Alikta Hasnah. 2015. Intelektual
KAMMI; Profetik Menuju Kolektif. http://www.kammikultural.org/2015/01/intelektual-kammi-profetik-menuju.html
- Setyawan, Dharma. 2013. Muslim Negarawan dalam Gugatan. http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/20/muslim-negarawan-dalam-gugatan/
- Setyawan, Dharma. 2013. Kultural Pasti Berlalu. http://www.kammikultural.org/2013/09/kultural-pasti-berlalu.html
- Sugiarto, Bowo. 2013. Meneguhkan Otonomi: KAMMI dan Proyek Intelektual Kolektif. http://www.kammikultural.org/2013/05/meneguhkan-otonomi-kammi-dan-proyek.html
- Umar, Ahmad Rizky Mardatillah.
2015. Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang
Tanpa Nama. http://www.kammikultural.org/2015/08/bergerak-tanpa-kasta-berjuang-tanpa-nama.html