Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, sekarang tinggal di Bandar Lampung
“Harmoni itu tidak pernah mengenal kata krisis” -Ashadi
Siregar.
Kutipan kata-kata
Ashadi Siregar di atas adalah bagian kecil dari pidato budaya saat peluncuran
majalah sastra “Sabana” di Rumah Budaya Emha Ainun Najib di Yogyakarta (25/06/13)
dengan tema “Menuju Bangsa Tanpa Sastra”. Bang Ashadi dengan kritis bertanya: apa yang
diharapkan dari sebuah karya sastra? Apa yang menjadikan sastra menjadi bagian
kebudayaan dalam cara berpikir kemanusiaan?
Pertanyaan itu
adalah letupan-letupan yang muncul di tengah krisis kepercayaan kita menghadapi
demokrasi kita yang semakin tidak menemui kepastian. Hari ini, kita mendapati ironi: sastra semakin
hilang dari bangku-bangku pendidikan, hilang dari kehidupan sosial. Tidak ada semangat berkarya, meresapi, bahkan merenungi
kembali karya sastra bangsa ini. Hilangnya sastra diikuti oleh semakin
tenggelamnya kebudayaan berpikir para generasi.
Lalu sejauh mana peran
sastra -yang membangun cara berpikir berbudaya dalam kehidupan manusia- berperan
terhadap perubahan yang
dicita-citakan, terutama oleh mahasiswa, lebih utama lagi oleh KAMMI?
Hegemoni
Politik
Jika diikuti secara seksama, pusat berpikir
para aktivis (terutamamahasiswa) pasca-98 semakin
terfokus pada politik dan
kian “political-minded”. Kita
belum melihat apresiasi kebudayaan dalam rumah sastra bangsa ini diberikan
tempat sebesar kita memberi tempat pada panggung politik kita -politikus,
partai, pemilu, acara televisi, headline koran. Semua
sedang mabuk dengan panggung kekuasaan.
Bahkan. kita menemukan kreatifvtas kebudayaan
sastra membusuk di panggung politik. Kreativitas budaya
hanya sekadar untuk
memberi legitimasi kesenangan para pelaku politik untuk diakui telah merakyat, sehingga
para sastrawan menjadi
sangat rendah di bawah ketiak para politikus.