21 Februari 2013

[IBHAR VOL. 1] Dr. Tariq Ramadan: Menyatukan Identitas Barat dan Islam








 Diolah oleh: Tim Redaksi


 

Gambar

Saat datang ke Jakarta pada tahun 2003, lelaki ini bercerita tentang masa kecilnya. “Kehidupan kami sangat sulit di pengasingan. Ayah saya meninggalkan Mesir karena tekanan Gamal Abdul Nasser—presiden Mesir ketika itu—pada tahun 1954 menuju Damaskus, lalu ke Lebanon, kemudian ke Eropa. Tadinya ayah memilih London, tapi kemudian akhirnya tiba di Swiss (1958) di mana masyarakat Muslimnya masih sangat sedikit.

Saya merasakan langsung betapa berat tantangan yang dihadapi iman ayah saya di lingkungan Barat. Alhamdulillah, tiga tahun setelah bermukim di Swiss berdirilah Islamic Center dibantu pemerintah Arab Saudi. Waktu itu ayah berhubungan baik dengan Mohammad Natsir.

Tahun 1970-an ketika saya memulai masa remaja, ayah mengalami masa yang berat, sendirian dan tak punya uang. Waktu itu saya mulai berpikir untuk kembali ke Mesir saja, sampai akhirnya saya berkesempatan pulang ke Mesir. Tujuan utama ke Mesir meletakkan pondasi keislaman saya tanpa sekolah formal. Saya mempercepat masa belajar yang seharusnya 5 tahun jadi 2 tahun.

Waktu itu, saya punya banyak guru untuk berbagai disiplin ilmu, ‘Ulumul Quran dan Tafsir, Hadits, bahasa Arab, Sirah Nabawiyah, dan lain-lain. Alhamdulillah apa yang saya dapat di masa itu sangat bermanfaat sampai sekarang.”

***


Lahir di Swiss, 26 Agustus 1962 sebagai putra pertama pasangan Dr. Said Ramadan dengan Wafa al-Banna (putri sulung pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna). Tariq meraih gelar master dalam filsafat dan sastra Prancis sekaligus doktor di bidang studi Islam dari Genewa University. Beberapa buku sudah ditulisnya, salah satunya To be a European Muslim yang telah diterbitkan Mizan dengan judul Dialog Islam-Barat, Pergumulan Seorang Muslim Eropa.

Tariq menawarkan konsep Jalan Ketiga bagi hubungan kaum muslimin dan dunia Barat. Dalam sebuah wawancara dengan Tempo, Tariq mengungkapkan, “Yang saya maksud sebagai Jalan Ketiga adalah in between, tetap menjadi muslim yang baik, sekaligus warga negara Eropa yang baik. Saya menolak muslim mengisolasi diri, tapi saya juga menolak muslim melebur dalam kehidupan negaranya sehingga menghilangkan identitas kemusliman. Ini adalah tradisi reformis, bukan modernis, karena sebenarnya konsep ini sudah cukup tua, setua agama Islam sendiri. Banyak kalangan di Barat yang sejak lama mengatakan muslim tak mungkin bisa dipersatukan. Namun, sekarang kita membuktikan bahwa muslim bisa bersatu padu.”

Menurut Tariq, problem utama umat Islam di Eropa adalah karena mereka belum terintegrasi sepenuhnya dengan masyarakat. Bagi orang Barat, hanya ada dua kelompok Islam: moderat dan fundamentalis. Pemahaman yang buruk dan representasi buruk kalangan Islam tertentu mengakibatkan orang Barat menerapkan hukum secara bias dengan standar ganda. Karena itu, seorang muslim harus paham dengan baik tentang agamanya dan bisa beradaptasi dengan lingkungan tempat kita tinggal. Dengan begitu, Islam menjadi kontekstual. Sebagai muslim, kita tak hanya dituntut memahami agama kita, tapi juga negara, hukum dan masyarakat di tempat kita tinggal.

***


Seiring dengan pertambahan penduduk Muslim di Barat, pertanyaan “Apa artinya menjadi seorang muslim Barat?” menjadi kian penting, baik bagi Islam maupun bagi Barat. Secara psikologis, sudah lama terjadi pertentangan antara konsep Islam dengan posisi diametral budaya Barat yang sekuler dan liberal. Seakan antara Islam dan Barat selalu terjadi dis-harmoni, apalagi kesatuan budaya. Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang menjadi pemikiran Profesor Tariq Ramadan, sebagai salah seorang pemikir terkemuka Eropa, sekaligus pemilik suara inovatif dari kalangan Islam.

Sementara media hanya berkutat pada persoalan Islam radikal. Menurut Tariq, sebuah revolusi diam-diam terjadi di kalangan Islam di Barat, yaitu ketika Muslim berusaha hidup sesuai dengan keimanan mereka di dalam konteks Barat. Warga Muslim Perancis, Inggris, Jerman dan Amerika, wanita maupun pria, berusaha memperoleh bentuk baru agama mereka dengan cara tetap setia pada ajaran Islam, sambil secara mantap menanamkan akar jati dirinya di dalam masyarakat Barat.

Tujuan Tariq adalah menciptakan masyarakat Islam Barat yang independen, yang bertumpu bukan pada tradisi negara-negara Islam, tetapi pada realitas budaya Barat. Dia memulainya dengan menawarkan cara baru pada pembacaan sumber-sumber Islam, menginterpretasikan untuk konteks Barat, dan menunjukkan betapa pemahaman baru terhadap prinsip-prinsip Islam yang universal dapat membuka pintu integrasi dengan masyarakat Barat.

Dia kemudian menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tariq yakin bahwa umat Islam dapat, dan sesungguhnyalah memang harus tetap setia pada ajaran Islam, sekaligus berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sebagai warga negara masyarakat Barat yang sekular. Dengan azas intelektualitas, Muslim Barat dan masa depan Islam menawarkan sebuah visi yang akan melahirkan sebab identitas Muslim yang baru, yang menolak untuk selamanya gagasan bahwa Islam harus selalu bertentangan dengan Barat.

***



Sebelum terlibat dalam pemikiran menyangkut masyarakat Muslim di Barat, ayah empat anak ini giat mencurahkan waktunya untuk solidaritas dunia ketiga. Dia banyak terlibat antara lain dalam kegiatan Worker Priests di Amerika Selatan, serta dalam sejumlah proyek pembangunan di Benua Afria, juga di Tibet, Asia. Tariq juga pendiri dan presiden dari asosiasi “Sikap Mengajar Penuh Solideritas” (Solidarity Teaching Attitude). Pada periode 1988-1992, dia diangkat sebagai dekan di Genewa College.

Ramadhan menyatakan, “Pendidikan dasar inilah, yang dikombinasikan dengan studi ilmu-ilmu klasik, merupakan faktor yang banyak memberikan kontribusi dalam pemikiran saya saat ini menyangkut keberadaan Muslim di Eropa.”

Dalam kurun waktu 1992-1993, Ramadhan sejenak melepaskan diri dari tugas rutinnya dan bermukim di Kairo. Di ibukota Mesir itulah dia mempelajari Islam secara intensif, secara pribadi dan langsung dengan sejumlah Syaikh di Universitas Al-Azhar. Menghabiskan waktu sepuluh hingga duabelas jam sehari dari subuh hingga maghrib, selama dua tahun, Ramadhan dapat meyelesaikan program studi yang seharusnya ditempuh dalam empat tahun. Di Kairo itu pula dia secara intensif berhubungan dengan sejumlah cendekiawan Islam terkemuka.

Kini Ramadhan mengajar filsafat di Genewa College dan mengajar ilmu-ilmu Islam di Universitas Fribourg, dan aktif dalam arus pemikiran mengenai Islam di Eropa dan di seluruh penjuru dunia. Sejak 1997, dia memberikan kuliah bulanan di Belgia dan Prancis mengenai keberadan Muslim di Eropa. Dia sangat aktif baik dalam komunitas Eropa maupun komunitas Muslim, juga sebagai staf ahli beberapa komisi Parlemen Eropa di Brussel.

Selain itu Ramadhan adalah anggota beberapa lembaga yang concern terhadap perkembangan Islam Eropa dan di seluruh dunia, seperti Deutsches Orient Institut, Britis Council, Vienna Peace Summit, Bercelona 2004 dan Komisi Liga Pendidikan Perancis “Laicite et Islam” [AS/diolah dari berbagai sumber]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar