4 Februari 2014

Membingkai Perkaderan KAMMI: Kritik dan Gagasan

oleh: Alikta HS.
Aktivis KAMMI Solo, Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural

Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kaderisasi dan pembinaan adalah merupakan napas utama dari pergerakan. Apabila sebuah pergerakan ingin tetap terus bertahan, eksis, berupaya memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat, maka parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah bagaimana keberjalanan proses kaderisasinya. Karakter KAMMI sebagai harokatu tajnid menuntut konsekuensi logis akan kebutuhan proses pembinaan yang berjalan secara sistemik dan berkesinambungan demi mewujudkan cita-cita bersama organisasi, yakni: bangsa dan negara Indonesia yang Islami.

Refleksi Sederhana
Namun, hal yang bertolak belakang dengan idealita itu terjadi di tubuh KAMMI selama kurun waktu 15 tahun lebih ia mengada di Indonesia. Kaderisasi yang carut marut dari tingkat pusat hingga komisariat terjadi di depan mata tanpa penganganan yang berarti. Setiap pleno/evaluasi diadakan di komisariat maupun tingkat daerah, kritik terhadap kaderisasi selalu menguar ke permukaan, gagasan dan terobosan baru diungkapkan untuk membedah akar permasalahan kaderisasi. Akan tetapi, solusi yang ditawarkan tak kunjung membawa perubahan berarti, stagnan berdiam dalam notulensi acara, mandul dalam praksis di lapangan.

Beberapa kali saya sempatkan membahas persoalan kaderisasi dengan rekan saya di komisariat, jawaban seragam yang muncul membawa saya pada satu kesimpulan, yakni kegagalan KAMMI melakukan proses kaderisasi mandiri. Memang, tak bisa dipungkiri, relasi kekuasaan dan politik praktis telah membawa KAMMI dalam dilema berkepanjangan dalam merumuskan ideologinya, yang pada akhirnya berimplikasi pada aksiologis gerak KAMMI secara taktis di lapangan.

KAMMI sebagai organisasi pengkaderan memiliki instrumen kaderisasi yang terbingkai dalam Manhaj Kaderisasi 1432 H. Turunan dari penjabaran Manhaj tersebut adalah terbinanya kader KAMMI yang secara konseptual membentuk Muslim Negarawan, yang pada gilirannya mampu memimpin di berbagai sektor kehidupan dalam fase mihwar daulah dalam kontribusinya di ranah publik kenegaraan. Demi menunjang hal tersebut, setiap kader KAMMI diharuskan memiliki kompetensi wajib di bidang aqidah, fikrah dan manhaj perjuangan, akhlak, ibadah, tsaqofah keislamanan, wawasan ke-Indoneisaan, kepakaran dan profesionalitas, kemampuan sosial politik, pergerakan dan kepemimpinan, serta pengembangan diri. Dengan segala macam tata ukur tersebut, saya sering membayangkan bahwa seorang Muslim Negarawan pada haikatnya adalah manusia super yang tanpa cela dan cacat, sebuah terminologi alay yang justru menjadi kebanggaan organisasi bernama KAMMI. Tak masalah. Meski paradoks dengan yang saya yakini, saya cukup bangga membawa label ini kemana-mana.

Pada kenyataannya, KAMMI mengakomodir dua sistem pengkaderan di waktu yang sama, diterapkan pada kader yang sama, dalam kurun waktu yang juga sama. Hal ini tentu membawa problema dilematis bagi KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang independen. Di satu sisi, ia ingin melaksanakan secara total aplikasi manhaj KAMMI yang telah disusun sedemikian rupa, disisi lain ia memiliki posisi sebagai wajihah dakwah jama’ah Tarbiyah yang juga memberlakukan manhaj-nya sendiri.

Akibatnya, kader KAMMI terjebak dalam pembenaran bernama efektifitas dan efisiensi. Instrumen pengkaderan berupa tasqif, dauroh, kajian, telah dilaksanakan oleh jama’ah, jadi buat apa lagi KAMMI kembali mengadakan? Bukankah itu pemborosan waktu, tenaga, dan biaya?

Awalnya, saya mengamini kalimat diatas. Namun, kemudian sesuatu yang jauh lebih besar menggelitik dalam diri saya. Nah, jika demikian kenyataannya, artinya KAMMI belum mandiri secara ideologi. Apakah sama karakteristik gerak sebuah organisasi mahasiswa independen yang memiliki nalar berpikir gerakan mahasiswa dengan organisasi politik-keagamaan yang menekankan pada politik praktis?

Bagi saya, kader KAMMI pun akan canggung menjawab pertanyaan diatas. Hal ini dilatarbelakangi oleh dualitasnya sebagai kader KAMMI sekaligus kader jama’ah, sekaligus dualitas KAMMI sebagai organisasi mahasiswa independen dan hubungan patron-client nya dengan PKS. Bagi saya, pembongkaran dualitas peran ini harus tuntas sebelum seorang kader dilantik menjadi Anggota Biasa1 KAMMI paska mengikuti Dauroh Marhalah1.

Menyoal Dauroh Marhalah1
Berpedoman pada Manhaj Kaderisasi KAMMI 1432 H, ada lima materi wajib dalam penyelenggaraan Dauroh Marhalah1. Kelima materi itu antara lain: Aqidah Islam, Syumuliyatul Islam, Problematika Umat Islam, Islam Pemuda dan Perubahan Sosial, serta Sejarah dan Filosofi Gerakan KAMMI[3]. Selain lima materi wajib ini, pengelola Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS menyisipkan tiga materi tambahan, yakni Fiqh Demonstrasi, Pengembangan Diri, serta setting dan Simulasi Aksi.

Materi tersebut semestinya diberikan oleh Instruktur yang telah mengikuti TFI, akan tetapi KIDS (Korps Instruktur Daerah Solo) selama ini belum menjalankan fungsinya sebagai pemandu maupun pengelola Dauroh. Materi pertama dan kedua biasanya disampaikan oleh ustadz terpilih, materi ketiga dan selanjutnya oleh instruktur (kader KAMMI yang berkompeten), sedang materi Pengembangan Diri yang baru sekali diuji cobakan dalam Dauroh Marhalah1 bulan Oktober 2013 menghadirkan trainer dari luar kader KAMMI.

Sangat disayangkan bahwa KIDS belum menjalankan perannya sebagai elemen pengawal kaderisasi KAMMI yang secara struktural berada di bawah Departemen Kaderisasi KAMMI Jawa Tengah.  KIDS juga belum secara konsisten melakukan pengelolaan proses pendidikan dan pelatihan kader agar mampu menghasilkan kader yang berkualitas secara moral, spiritual, maupun intelektual. Dalih yang sekali lagi muncul adalah: tujuan menghasilkan kader yang demikian sudah diemban oleh manhaj jama’ah, melakukan hal yang sama persis merupakan pemborosan!

Namun, saya tidak ingin memperlebar pembahasan mengenai pembenaran yang terus menjadi dalih tersebut. Disini, saya akan memulai menyoal Dauroh Marhalah 1 sebagai pintu gerbang pertama bagi seorang mahasiswa memasuki organisasi bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.

Proses pengkaderan kader KAMMI dimulai dengan diadakannya screening berupa wawancara dan tes tertulis bagi mahasiswa yang berniat mendaftar mengikuti Dauroh Marhalah1. Dalam pengelolaan Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS pada Oktober 2013, peserta diwajibkan mengikuti screening berupa tes tertulis dan wawancara. Selain mengetahui data diri peserta, pengelola juga memberikan soal sebagai tes tertulis. Tes berupa soal essay yang dikerjakan secara individu dan open source. Berikut soal tes tersebut:
  1. Sejauh mana anda mengetahui Aqidah Islamiyah? Bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari?
  2. Sejauh apa anda mengetahui tentang KAMMI? Mengapa anda ikut DM1?
  3. Menurut anda permasalahan apa yang paling krusial di Indonesia? Peran apa yang bisa anda berikan untuk mengatasi permasalahan tersebut?
Selain tes tertulis, pengelola juga melakukan wawancara dengan tujuan menngetahui pemahaman peserta mengenai kondisi aqidah, pengetahuannya tentang gerakan mahasiswa di Indonesia, kondisi sosio-politik-budaya Negara Indonesia, pemahaman peserta terhadap ajaran Islam, serta pengetahuannya mengenai KAMMI dan alasan peserta mengikuti Dauroh Marhalah 1.
  1. Peserta lurus aqidahnya, tidak percaya tahayul, dll.
  2. Peserta mengetahui semua gerakan mahasiswa yang ada di Indonesia dan mengetahui perbedaan masing-masing.
  3. Peserta memahami kondisi di Indonesia.
  4. Mengetahui pemahaman peserta terhadap islam (apakah liberal, fundamentalis).
  5. Mengetahui tentang KAMMI dan tahu alasan mengapa ikut DM1.
Secara teknis, saya tidak begitu mempersoalkan mengenai isi dari wawancara tersebut meskipun saya merasa janggal dengan instrumen wawancara yang memuat mengenai pengetahuan peserta mengenai gerakan mahasiswa di Indonesia. Menurut saya pribadi, tiga hal yang mestinya menjadi titik tekan dalam pelaksanaan wawancara (tanpa menafikan hal yang lain) adalah: (1) Pengetahuan ke-Islam-an yang telah tercakup dalam tes tertulis di poin 1 dan wawancara di poin 1 dan 4, (2) Wawasan ke-Indonesia-an, yang telah tercakup dalam soal tertulis poin 3 dan wawancara poin 2, (3) Organisasi dan Kemahasiswaan yang tercakup dalam lembar biodata peserta.

Dua poin mengenai pengetahuan peserta tentang KAMMI, selain menunjukkan betapa narsisnya KAMMI,  juga mampu memberikan gambaran awal tentang segmentasi peserta Dauroh Marhalah 1. Seperti yang telah saya singgung di muka, dualitas kaderisasi yang melanda KAMMI sebagai organisasi maupun yang dialami oleh kader KAMMI sendiri semestinya membuat kita melakukan refleksi kritis terhadap segmentasi peserta DM1.

Saya yakin, peserta Dauroh Marhalah 1 akan memberikan jawaban beragam mengenai motifnya mengikuti DM1. Ada yang menganggap bahwa mengikuti DM1 merupakan kewajiban bagi kader Tarbiyah, ada yang karena desakan/ paksaan murobbi, ada yang hanya sekedar ikut-ikutan, mencari pengalaman, dan lain sebagainya. Motif awal ini semestinya menjadi data berharga bagi pengelola dalam melakukan proses pengelolaan data base calon peserta DM1.

Motif yang berbeda membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Seorang peserta yang memiliki kepahaman saklek bahwa DM1 adalah kewajiban yang mesti diikuti oleh kader Tarbiyah membutuhkan penanganan yang berbeda dengan peserta lain yang menganggap bahwa KAMMI adalah sebuah entitas pergerakan mahasiswa ekstra kampus yang independen dan bebas kepentingan golongan/partai manapun.

Ini merupakan tantangan awal yang harus dijawab oleh pengelola sebelum melangkah ke proses pengkaderan selanjutnya. Apakah data ini semacam menjadi arsip dan onggokan kertas belaka, atau menjadi instrumen pendukung vital dalam pengelolaan dauroh yang sebenarnya.

Tak lupa, seperti yang sudah-sudah, paska screening dilakukan, peserta akan diberikan tugas untuk membuat essay dan membaca buku tertentu. Essay biasanya berkisar soal problematika umat, sedang buku bacaan wajib di KAMMI UNS adalah Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus dan Dari Gerakan ke Negara. Evaluasi dari penugasan ini, sekali lagi, hanya menjadi onggokan kertas yang tertumpuk, tanpa evaluasi bahwa essay tersebut merupakan plagiasi dari tulisan yang dengan mudah didapat di internet, tanpa penghargaan bahwa tulisan tersebut bisa jadi dibuat dengan kesungguhan dan semangat yang luar biasa. Buku referensi yang diwajibkan pun hanya menjadi bacaan yang mengawang di angan-angan, tak ada pembacaan kritis mengenai buku-buku tersebut. Ya, kita baru sampai sebatas itu.

Pasca pengelola melakukan screening, selanjutnya diadakanlah Pra-DM1. Ini adalah agenda rutin yang dilaksanakan sebelum dimulainya Dauroh Marhalah 1, tujuan praktisnya adalah mengenalkan KAMMI pada mahasiswa sekaligus meyakinkan mereka bahwa mengikuti Dauroh Marhalah1 merupakan hal yang benar, tepat, dan memang seharusnya mereka lakukan. Tidak ada kritik mendasar mengenai pengelolaan Pra-DM1 sampai sejauh ini oleh saya.

Pada akhirnya, Dauroh Marhalah 1 yang selalu dirayakan dengan suka cita oleh setiap kader KAMMI terwujud di depan mata, dengan sejumlah peserta yang datang dengan antusias (mungkin ditambah ekspektasi berlebih). Hal ini membuat perasaan saya sebagai OC dalam empat Dauroh Marhalah 1 terakhir di UNS berdebar. Apakah KAMMI mampu menjawab ekspektasi mereka saat dengan antusias mereka hadir di hari pertama Dauroh? Ataukah, hanya kekecewaan yang akan mereka dapat karena dauroh KAMMI yang begitu-begitu saja?

Saya belum mampu menjawab pertanyaan ini. Sebab, tak ada yang benar-benar pernah mengatakan pada saya bahwa DM1 itu payah dan begitu-begitu saja. Mungkinkah pengelolaan DM1 selama ini memang luar bisa sempurna, atau kader KAMMI yang begitu latah dengan euforia dan penilaian hati atas dasar ikut-ikutan?

Bagi saya pribadi, Dauroh Marhalah 1 adalah agenda yang sangat vital dalam proses kaderisasi di KAMMI. Disinilah, untuk kali pertama, para calon kader mengenal KAMMI. Dari mulai sejarah, tafsir asas dan tujuan, paradigma, ideologi KAMMI dan bagaimana KAMMI memandang berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat, termasuk bagaimana KAMMI mengejawantahkan nilai-nilai syahadatain dan syumuliyatul Islam dalam langkah gerak organisasinya.

Berkaca pada Latihan Kader 1 (Basic Training) Himpunan Mahasiswa Islam, penulis membangun argumen mengenai bagaimana pengelolaan Dauroh Marhalah ideal di KAMMI. Tanpa menafikan bahwa kultur yang dibangun di HMI tak selalu tepat dan relevan untuk diterapkan juga di KAMMI. Bahwa KAMMI pun memiliki karakter khas yang harus selalu dipertahankan. Namun demikian, penulis berusaha mensarikan kritik mendasar terhadap pola Dauroh Marhalah1 di KAMMI.

Pertama, Segi Peserta
Sesuai dengan Panduan Kerja Nasional yang digelontorkan PP KAMMI, KAMMI memiliki target pengkaderan yang secara nasional dijadikan parameter dalam mengukur keberhasilan kaderisasi. Efeknya, di tingkat komisariat pengejaran kuantitas menjadi hal yang otomatis dominan terasa. Dalam empat DM1 yang penulis ketahui di UNS, jumlah peserta DM1 selalu lebih dari 40 orang, sehingga kelas/ ruang sesi selalu mengambil pola kelas klasikal. Pola klasikal bukanlah pola yang efektif dalam rangka ideologisasi kader. Maka, dauroh pun sama kondisinya dengan penyampaian materi di kuliah umum, apabila jumlah peserta membludak, tak akan jauh beda dengan seminar.

Bagi saya, permasalahan ini membutuhkan penanganan serius. Apabila instruktur memang menginginkan keidealan dan kualitas dauroh. Ada dua pilihan yang mungkin: mengurangi jumlah peserta atau membuat kelas-kelas tersendiri yang maksimal hanya diperuntukkan untuk 20-25 orang.

Kedua, Metode Penyampaian
Metode penyampaian materi pun terkesan indoktrinatif. Peserta masuk ruang sesi, moderator memberikan pengantar, waktu diberikan pada moderator, moderator menyampaikan, peserta berbicara saat sesi tanya jawab. Ini menyebabkan peserta sebatas tahu dan paham, akan tetapi gagal dalam mewacanakan hal tersebut dalam sebuah metodologi pikir yang utuh dan integral.

Dampaknya, peserta akan gagap menarik benang merah yang menghubungkan antara satu materi ke materi lainnya, sehingga kepahaman yang terbentuk pun pada akhirnya adalah kepahaman yang parsial, tidak utuh dan padu.

Ketiga, Gagalnya Ideologisasi
Yang terparah dari semua permasalahan yang saya kemukakan diatas adalah kegagalan Dauroh Marhalah 1 mencetak kader-kader ideologis yang siap bertarung di tataran wacana, utamanya terkait dengan tafsir paradigma gerakan KAMMI. Dauroh Marhalah 1 mestinya menjadi gerbang utama bagi kader untuk mengenal KAMMI, akan tetapi tidak ada materi ideologisasi yang cukup relevan didalamnya. Peserta hanya dituntut untuk tahu dan paham dengan sejarah gerakan KAMMI. Padahal, perlu ada pendalaman yang lebih komprehensif mengenai ideologi KAMMI.

Dalam Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam, materi LK1 meliputi: Metodologi Diskusi (Pengantar), Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam, Konstitusi HMI (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Struktur Organisasi, Pedoman Atribut, Memori Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI, Tafsir Tujuan serta Tafsir Independensi), kemudian porsi pemberian materi terbanyak adalah pada saat dipaparkan mengenai ideologi HMI yang terbingkai dalam Nilai Dasar Perjuangan.

Namun, porsi materi ideologi KAMMI yang mencakup banyak hal termasuk sejarah, visi, misi, prinsip, karakter, unsur-unsur perjuangan, paradigma, serta kredo mendapat porsi penyampaian materi yang sama dengan materi lainnya. Menurut hemat saya, porsi penyampaian materi ini harus diperpanjang, karena disinilah kader bisa mengkontruksi pemikirannya sebagai kader KAMMI yang memiliki identitas jelas, jelas dalam platform gerakan maupun karakter pribadi.

Manhaj Filosofi Gerakan KAMMI
Adalah hal yang sangat wajar, manakala penulis berpendapat bahwa pembuatan modul berisi literatur teks materi DM1 oleh instruktur adalah kebutuhan mendesak sekaligus merupakan perangkat utama dalam pelaksanaan Dauroh Marhalah 1. Setidaknya dengan modul tersebut, kita berharap peserta memiliki kesiapan dalam menghadapi materi yang akan diberikan. Ia bisa menyiapkan tesis atau antitesis sebelum materi, artinya ia tidak datang dari suatu ruang kosong, melainkan dari argumen teoritis berdasar kajian pustaka maupun pengalaman empiris yang pernah dilaluinya.

Modul tersebut akan memuat materi Dauroh Marhalah 1 yang semuanya terbingkai dalam analisa ideologi KAMMI atau tafsir filosofi gerakan. Materi yang berkaitan dengan syahadatain dan syumuliyatul Islam akan menjadi bab awal di modul ini dengan judul Tafsir Paradigma Islam KAMMI. Disini, KAMMI akan melakukan penafsiran secara qur’ani dengan dilengkapi pisau analisis sosial sehingga akan didapatkan tafsir utuh mengenai bagaimana syahadatain dan syumuliyatul Islam menjadi muara dari semangat penggerak yang dijiwai kader KAMMI dalam setiap aktivitasnya secara individu maupun organisasional dalam melakukan perubahan sosial.

Materi ketiga mengenai Problematika Umat Islam tidak akan dibahas di modul ini, melainkan menjadi sesi wajib diskusi. Disinilah instruktur mereview ulang tugas yang pada saat screening diberikan pada kader KAMMI. Tugas tersebut berupa analisa kritis peserta DM1 terhadap kondisi umat dewasa ini. Bisa berupa isu kontemporer, isu strategis, maupun lewat fenomena sosial yang peserta lihat di kesehariannya. Disini, instruktur dapat mulai memahami bagaimana peserta memposisikan dirinya dalam dinamika kelompok, pola pikir, serta pandangannya akan hal-hal keumatan. Pada tahap selanjutnya, ini akan menjadi data awal dalam pengelolaan kaderisasi saat mereka dikelompokkan dalam kelompok diskusi.

Materi keempat mengenai Islam, Pemuda, dan Perubahan Sosial akan dijabarkan dalam buku ini dengan judul KAMMI dan Perubahan Sosial. Disini akan dibahas mengenai perubahan sosial macam apa yang akan dilakukan KAMMI sebagai entitas yang lahir dari rahim pergerakan dakwah sekaligus kelompok organisasi kepemudaan milik Bangsa Indonesia. Dalam kerangka tersebut, instruktur akan mengambil benang merah dari problematika umat serta paradigma Islam yang KAMMI tawarkan sebagai solusi. Sehingga, tidak ada lagi dikotomi bagi kader KAMMI untuk menjadi bagian dari kader umat sekaligus kader bangsa. Akan dibahas pula Sejarah KAMMI sebagai aktualisasi riil dari perubahan sosial yang coba dilakukan oleh kalangan mahasiswa muslim di Indonesia dalam perannya sebagai kader bangsa Indonesia.

Materi kelima mengenai Ideologi KAMMI akan dibahas dalam Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI yang dirumuskan secara nasional dan menjadi rujukan bagi kader KAMMI dalam menjelaskan tafsir paradigmatik ideologi KAMMI. Tafsir Filosofi Gerakan ini akan mirip dengan teks Nilai Dasar Perjuangan HMI yang menjadi dasar teoritis penjelasan ideologi HMI. Jika dalam Nilai Dasar Perjuangan terdapat tujuh bab berisi : Dasar-Dasar Kepercayaan, Pengertian-Pengertian tentang Dasar Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir), Ketuhanan yang Maha Esa dan Perikemanusiaan, Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Ekonomi, Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan serta Kesimpulan dan Penutup.

Dalam benak saya, tafsir filosofi gerakan KAMMI nantinya akan dibahas mengenai : Visi Gerakan, Misi Gerakan, Prinsip Gerakan, Karakter Organisasi, Paradigma Gerakan, Unsur-Unsur Perjuangan, serta Kredo Gerakan.

Sementara, materi-materi yang merupakan inisiasi dari tiap instruktur daerah akan dituliskan dalam bagian tersendiri dalam buku ini. Tulisan tersebut merupakan tulisan dari instruktur sendiri, bukan saduran atau plagiasi. Keseriusan instruktur untuk menggarap DM1 ini baiknya tercermin juga dari i’tikad baiknya menuliskan tujuan dari penyampaian materi pada peserta Dm1.

Tafsir dan Kemandirian
Merumuskan Tafsir  Filosofi Gerakan KAMMI adalah PR besar bagi Pengurus Pusat. PP mestinya dalam waktu dekat ini membentuk suatu tim Dewan Pakar guna merumuskan tema besar itu. Sebab, dalam tingkat yang paling sederhana Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI merupakan landasan normatif dalam perjuangan organisasi. Ia merupakan etos yang menjiwai spirit perjuangan kader yang dimanifestasikan dalam aksiologisnya, ketiadaan tafsir pasti yang komprehensif akan menyebabkan kerancuan pikir kader dari tingkat nasional hingga komisariat.

Yang jadi persoalan adalah bagaimana mungkin dibentuk Tim Dewan Pakar yang merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan apabila kaderisasi KAMMI pun selalu dibayang-bayangi kaderisasi Jama’ah yang menancapkan pengaruhnya dengan begitu kuat. Pada akhirnya, tafsir hanyalah sekedar tafsir, berhenti di ruang-ruang diskusi dalam dauroh maupun diskusi. Setelah itu, kita akan kembali terbelit dalam dalih dan pembenaran atas nama efisiensi dan efektifitas.

Ya, mau bagaimana lagi?

3 komentar:

  1. Menarik,terima kasih atas poencerahannya.insya allah saya akan seriuskan pembahasan mengenai idelogisasi dalam daurah marhalah kammi.

    Salam hormat
    Andriyans elqassam

    BalasHapus
  2. yang masih menjadi pertanyaan bagi saya sebagai ab1, apakah menjadi kader kammi itu berarti harus/wajib mengikuti/menjadi kader jamah tarbiyah juga?

    terimakasih
    fadli.a.a

    BalasHapus
  3. SANGAT MENGESANKAN, SAYA SEMAKIN TERCERAHKAN SETELAH MEMBACA ARTIKEL DARI MBAK ALIKTA. TERIMAKASIH MBAK

    BalasHapus