22 Mei 2015

Rohingya dan Kekeliruan Cara Pandang Kita Soal Identitas

oleh: Ahmad Rizky M. Umar
Editor Jurnal Kultural

Pada tanggal 21 Mei 2015, laman Selasar.com dan Mata Garuda menerbitkan satu infografis menarik: "Kontribusi Sang Naga bagi Indonesia". Infografis sederhana tersebut memetakan kontribusi-kontribusi positif warga keturunan Tionghoa bagi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia, sekaligus membantah sebuah stigma, bahwa mereka adalah Liyan bagi kemerdekaan Indonesia.

courtesy of selasar.com
Saya ingin merefleksikan infografis tersebut dengan cara pandang yang sedikit berbeda. Selama ini, cara kita memandang orang-orang keturunan lebih banyak dipenuhi stigma --memandang apa yang nampak sebagai kebenaran yang menyeluruh. Sesuatu yang kemudian, dalam kasus lain, terbukti bisa sangat berbahaya.

Setidaknya cerita yang saat ini hangat di pesisir Sumatera dan beberapa negara lain di Asia Tenggara mencerminkan hal tersebut. Sejak pekan lalu, dunia tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya gelombang pengungsi Rohingya di beberapa negara Asia Tenggara. Mereka sejak bertahun-tahun silam sudah mencari perlindungan ke beberapa negara dan dikabarkan ingin kembali. 

Namun apa daya, perahu yang mereka tumpangi malah terapung di lautan dan terdampar di banyak tempat.

Masalah ini segera menjadi masalah luas di kawasan. Para nelayan Aceh dengan sigap datang membantu walau tentara kita cukup enggan. Diplomasi berlangsung. Indonesia, Malaysia, dan Filipina akhirnya sepakat membuka penampungan. 

Tetapi problem masih jauh dari selesai. Pertanyaan mendasar perlu kita ajukan: mengapa Myanmar enggan menampung orang-orang Rohingya, yang sebetulnya adalah bagian dari mereka?

Mau tidak mau, kita akan bicara soal identitas. Ada artikel menarik dari Avyanthi Aziz di Jurnal Citizenship Studies (2014) soal ini. Persoalan Rohingya, walau bagaimanapun juga, adalah refleksi dari cara pandang yang keliru soal identitas. Selama ini, identitas Rohingya sering dilekatkan pada penanda 'Muslim'. Dalam beberapa hal, ini membuat banyak Komunitas muslim kemudian berbondong-bondong membantu mereka. Namun, menurut kajian Avyanthi Aziz, orang-orang Rohingya juga enggan disebut sebagai orang Bangladesh dan insist untuk tetap menjadi bagian dari Asia Tenggara. Indonesia dan Malaysia lantas menjadi destinasi pengungsian. 

Ini yang pelik. Sejarah Myanmar, terutama ketika junta militer yang menganggap mereka sebagai ancaman berkuasa, telah menjadikan Rohingya sebagai sesuatu yang alien, sesuatu yang asing. Alasannya sederhana: orang-orang Rohingya dianggap sebagai pendatang karena mereka memasuki wilayah itu ketika kolonialisme Inggris berkuasa di Myanmar. Hukum kewarganegaraan kolonial membuat mereka harus 'masuk' pada satu formasi identitas tertentu. Namun, selepas kolonialisme, sentimen etnis semacam ini menguat kembali. 

Dengan kata lain, problem yang dihadapi oleh orang-orang Rohingya adalah problem identitas -ketika mereka  'di-Liyan-kan' oleh satu sistem politik dan ekonomi tertentu yang membuat mereka harus keluar dari skema kewarganegaraan pasca-kolonial di Myanmar. 

Hal ini diperparah oleh stigma. Saya pernah membaca sebuah meme dari teman, yang agak provokatif: Rohingya bukan kita! Menurutnya, tidak ada Rohingya dalam sejarah Myanmar. Cara pandang ini rupanya agak banyak dianut oleh orang-orang di Myanmar. Catatan Ahmad Suaedy, Direktur Abdurrahman Wahid Centre UI, isu Rohingya tidak mudah untuk dipaparkan di Myanmar, bahkan ketika Myanmar menjadi tuan rumah ASEAN People's Forum pada tahun 2014. 

Hal ini juga semakin diperparah oleh kaum agamawan -seperti Biksu Wiratu, misalnya- yang justru mengobarkan sentimen identitas ini dengan dalih-dalih agama. Padahal, persoalannya tak ada kaitan dengan agama tertentu. Peminggiran Rohingya dari Myanmar adalah warisan kolonial yang bersilang dengan rezim otoriter junta militer. Dengan demikian, diseretlah isu agama, menjadikan masalahnya jadi jauh bergeser dari akar persoalan.

Courtesy of Solo Pos


Hal ini mengantarkan kita pada dua refleksi mendasar. Pertama, cara pandang terhadap satu entitas kultural tertentu akan berpengaruh pada eksploitasi dan penindasan. Franz Fanon telah memaparkan ini secara panjang lebar di dalam bukunya yang terkenal, Black Skin, White Mask, bahwa cara pandang kolonial yang menganggap negara koloninya sebagai entitas yang harus dibina justru melahirkan dan melestarikan rasisme. Kedua, cara pandang stigmatif terhadap identitas. dalam banyak hal, juga direproduksi di tempat lain tanpa sepenuhnya kita sadari. 

Hal ini terlihat, misalnya, dari cara pandang kelompok-kelompok tertentu terhadap etnis Tionghoa atau cara pandang banyak umat Islam Indonesia terhadap Syiah. Sentimen-sentimen yang mengedepankan ras atau agama ini pada dasarnya adalah sentimen politis, yang berakar dari problem geopolitik tertentu. Hal yang bermasalah adalah jika kita menganggap identitas itu sepenuhnya salah dan harus dilenyapkan. Dengan cara pandang seperti itu, apa bedanya kita dengan orang yang menindas umat Muslim Rohingya?

Mungkin ada orang-orang dari sebagian etnis Tionghoa yang dulunya adalah bagian dari oligarki ekonomi ketika masa Orde Baru. Beberapa mungkin 'mengemplang' BLBI. Namun, ada juga yang berprestasi dan berkontribusi positif terhadap kebangsaan Indonesia. Ada nama-nama seperti Susi Susanti, Soe Hok Gie, atau Abdul Karim Oey yang dengan bangga mengharumkan nama Indonesia dan menginspirasi pergerakan-pergerakan mahasiswa di negeri ini.

Umat Islam di Indonesia, yang mayoritas bermazhab Syafii dan dengan demikian adalah Sunni, mungkin juga berbeda dengan Syiah. Apalagi dengan adanya konflik di Syria. Pertikaian semakin runcing. Namun, ternyata banyak juga orang-orang Syiah yang toleran dan mau membuka dialog. Kita bisa menyebut, misalnya, Abdul Karim Soroush yang filsafatnya tentang sains, teknologi, dan demokrasi justru menginspirasi pemikiran moderat di dunia Islam. Dan jangan lupa, di masa lalu ada Ikhwanus Safa', kelompok diskusi filsafat yang berjasa dalam mengembangkan Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam Dasar. 

Lagi-lagi, ini soal cara pandang. Allah sudah mengingatkan kita dalam Al-Qur'an: "...janganlah Kebencianmu terhadap Sesuatu Menghalangimu untuk Berlaku Adil. Berlaku Adillah! Karena Adil itu dekat dengan takwa..." Allah sudah memerintahkan kita untuk berlaku adil. Konsekuensinya, kita harus memandang sesuatu dengan cara pandang yang proporsional juga.

Umat Islam memang sudah sering menjadi korban karena ketidakadilan. Namun, hal tersebut tidak boleh menjadi justifikasi untuk berlaku tidak adil pula, kepada siapapun, dengan kelompok manapun.

Lantas, bagaimana kita bersikap jika ada ketidakadilan? Yang harus dilawan, tentu saja, adalah bentuk material dari ketidakadilannya, bukan identitas atau kelompok yang menindas. Jika ada struktur ekonomi politik yang menindas, sistem ekonominya yang perlu diperjuangkan untuk diubah. Dan artinya, bukan kelompok ekonomi yang dominan yang dihancurkan, melainkan formasi ketimpangan-lah yang harusnya diubah.

Di sinilah cara pandang kita terhadap identitas, mestinya, harus diperbarui. Ini bukan hanya soal pribuimi atau asing. Bisa jadi, problemnya lebih kompleks dari sekadar pribumi atau asing. Kalau kita hanya bicara soal pribumi atau asing, saya takut kita akan mereproduksi logika yang dibangun fanatik Buddha di Myanmar: mereka yang bukan pribumi harus keluar. Logika yang juga dipakai oleh junta militer di sana.

Dengan kata lain, kita membutuhkan visi Islam yang tidak hanya kosmopolitan, namun juga kritis. Kosmopolitanisme, meminjam istilah Bung Muhammad Al-Fayyadl, editor Islam Bergerak, berarti menjamin orang-orang yang berbeda untuk hidup tanpa rasa takut, dan bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain juga tanpa rasa takut. Namun, visi Islam yang kosmopolitan saja tidak cukup. Kita perlu visi Islam yang juga kritis, mampu menghadirkan satu tatanan sosial yang adil dan tidak menindas kelompok lain. 

Hal ini memang terlihat ideal, tetapi bukan berarti tidak mungkin diwujudkan. Semangat untuk menuju ke arah sana perlu dibuka oleh kaum Muslim yang progresif. Kuncinya adalah dengan mentradisikan dialog dan pengetahuan. Akan sangat ironis jika mahasiswa muslim, yang dinilai sebagai cendekiawan masa depan, justru menutup diri dari keberbedaan dan terjerembab ke dalam politik praktis yang sempit. Semangatnya, mungkin, bisa dibangun dengan kembali pada kredo pertama KAMMI: "berpikir dan berkehendak merdeka".  

Untuk mewujudkan masyarakat dan bangsa Indonesia yang Islami, tugas berat mungkin ada di pundak kita semua. Bahwa menjadi 'Islami' bukan sekadar mengenakan baju 'Muslim', tetapi bisa jadi lebih berat daripada itu: memastikan nilai-nilai Islam hadir dalam setiap laku dan perbuatan kita. Mungkin, dengan yang paling sederhana: bersikap adil pada mereka yang punya identitas berbeda. 

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar